Dikotomi Palsu: Seni Menghindari Diskusi ala Otoritas -->
close
Minggu 27/04/2025
Pojok Seni
14 April 2025, 4/14/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-04-14T01:00:00Z
Artikel

Dikotomi Palsu: Seni Menghindari Diskusi ala Otoritas

false dilemma
Young America's dilemma: Shall I be wise and great, or rich and powerful? (Puck 1901)

Oleh: Adhyra Irianto


Suatu kali, saya menulis opini di berjudul Bumi Rafflesia jadi Bumi Merah Putih: Bengkulu Miskin Narasi? 


Saya mengkritik ide pemerintah provinsi untuk mengubah branding Bengkulu, dari Bumi Rafflesia menjadi Bumi Merah Putih. Substansi kritiknya simpel, bagi saya Bumi Merah Putih adalah narasi pemersatu negeri, bukan milik satu provinsi yang bahkan bukan tempat di mana ide Merah Putih itu dicetuskan, atau minimal tempat di mana Merah Putih itu dijahit. Alasannya cuma, penjahit merah putih itu lahirnya di Bengkulu.


Tentunya, saya berharap argumen dibalas dengan argumen. Mari duduk bersama, diskusikan, dan akhirnya baru mengambil keputusan lagi. Kalau memang branding "Bumi Merah Putih" itu adalah ide yang benar-benar baik dan menjadi solusi bagi masalah di Bengkulu, yah saya mungkin akan menerimanya.


Tapi, satu-satunya yang datang ke saya adalah satu tudingan; "pendukung lawan politik".


Saya hanya ingin mengkritisi sebuah ide yang konyol dan tidak punya substansi jelas. Namun, saya hanya mendapatkan tudingan bahwa saya membawa misi politis tertentu. Sialan. Bahkan saya pun golput ketika Pilkada beberapa waktu lalu.


Lain waktu, saya juga mengkritik lewat tulisan, tentang ide pemangkasan anggaran untuk makan gratis dan penyertaan modal Danantara. Pemangkasan mungkin ide yang bagus, tapi kenapa yang menjadi korban selalu masyarakat menengah ke bawah? Kenapa pemangkasan tidak dimulai dari dijualnya mobil-mobil dinas mewah dan diganti dengan mobil yang lebih murah dan hemat bahan bakar?


Tapi, lagi-lagi, yang datang ke saya adalah tudingan; "pendukung lawan politik".


Beberapa tahun lalu, saya juga mengkritisi seorang pemuka agama yang katanya keturunan nabi, karena menganjurkan untuk mengganti sistem negara menjadi syariah. Juga mengarahkan massa untuk melakukan kekerasan dan ketidakadilan dengan membawa-bawa agama.


Apa yang datang ke saya adalah tudingan: "musuh agama".


Tidak satu dua kali, setiap kritikan dan argumen selalu mental dengan jurus yang sama; dikotomi palsu.


False Dilemma: Hanya Dua Pilihan Ekslusif


Hidup memang sebuah pilihan. Apapun yang terjadi pada diri kita hari ini, adalah buah dari pilihan yang kita ambil sebelumnya. Tapi, itu bukan pembenaran pada dikotomi, apalagi dikotomi palsu.


Bila 3 adalah angka yang bukan genap, maka 3 adalah angka ganjil. Sehingga dalam pernyataan tersebut, semua angka dikotomi menjadi genap dan ganjil. Tapi, bagaimanakah angka 0? Bahkan untuk angka satuan saja, masih tidak bisa diberlakukan dikotomi, bukan?


Hidup terlalu kompleks untuk dibelah menjadi hanya dua kemungkinan saja. Bila seseorang itu mencuri misalnya, tidak bisa dengan langsung Anda memberi cap sebagai "orang jahat". 


Karena hidup itu adalah sesuatu yang kompleks, punya banyak variabel, dan tidak bisa dikotomi menjadi dua sisi saja. Namun, masih banyak orang yang ingin hidup didefinisikan dalam dua oposisi biner.


Seorang merasa yakin bahwa keyakinan atau kepercayaan yang dipegangnya adalah yang benar, maka akan sangat yakin bahwa kepercayaan di luar itu adalah keliru. Bila seseorang merasa yakin ia lahir di bangsa, suku, atau daerah yang terbaik, maka ia akan sangat yakin bahwa siapapun yang berada di luar itu adalah orang-orang yang lebih buruk.


Seperti itu dampak dari dikotomi. Berujungnya, pada kekeliruan lain seperti red herring (membahas hal yang sebenarnya berada di luar konteks argumen), hingga ad hominem (menyerang personal, alih-alih argumennya).


Dalam dikotomi palsu alias false dilemma ini, kondisinya jauh lebih buruk. Ada dua opsi biner yang diajukan, dan sangat tidak akurat. 


Saya kira, saya mesti menekankan dulu dua hal yang berbeda; pertama, saya adalah orang yang percaya bahwa dunia ini kompleks sehingga tidak bisa dibagi dengan dikotomi tertentu. Dua, false dilemma adalah dikotomi yang palsu, alias pemberia dua opsi yang tidak akurat.


Kondisi false dilemma itu kurang lebih seperti ini:


Apakah Anda mau jus apel atau jus alpukat?


Bayangkan, kalau pertanyaan itu diajukan pada seorang yang sebenarnya tidak suka minum jus. Atau, mungkin suka jus, tapi tidak menyukai jus apel maupun jus alpukat, tapi menyukai jus buah naga misalnya.


Seperti itu kurang lebih analogi dikotomi palsu atau false dilemma ini. Alih-alih bertanya, mau minum jus atau tidak? Atau mau jus rasa apa? Tapi, yang diberikan adalah "false dilemma" seakan-akan di antara apel dan alpukat itu adalah hanya satu-satunya opsi yang bisa dipilih.


Bila "cuma" masalah jus saja, sudah bisa membuat Anda tidak bisa menikmati sesuatu yang benar-benar Anda inginkan, apalagi bila dikotomi palsu itu terjadi di lingkungan kita? Entah itu lingkungan akademik, relijius, sosial, sampai politik.


Seperti: 


Orang yang tidak mendukung berdirinya syariat Islam (khilafah) di Indonesia, adalah pendukung PKI.


Itu adalah salah satu bentuk false dilemma yang sekitar tahun 2016 - 2018 lalu begitu getol disebarkan di Indonesia.


Contoh lain, dalam sebuah pemilu hanya ada dua calon:


Pemimpin A adalah koruptor, pemimpin B adalah orang yang gila kekuasaan namun tak cakap. Namun, tidak memilih berarti bukan warga negara yang baik.


Ketika hanya ada dua calon pemimpin, dan keduanya bukanlah pilihan bagi Anda, apakah Anda tidak punya opsi lain seperti "golput" misalnya? Bukankah "tidak memilih" juga adalah hak politik?

Advertisement

False dilemma disengaja untuk menghadirkan dua pilihan, sehingga tidak ada kemungkinan solusi yang lain untuk sebuah masalah yang sebenarnya kompleks.


Menariknya, false dilemma ini terkadang berbentuk suatu pernyataan yang "seperti" logis. Anda bahkan mendapatkan pernyataan false dilemma yang dinyatakan oleh otoritas, dan disampaikan di media massa. Tapi, retorika yang menyesatkan itu justru dipercaya oleh pendukungnya, sehingga mengamini bahwa memang hanya ada dua opsi yang harus diambil.


Seperti ketika Menteri ESDM yang menyebut tetap ada di negeri ini meskipun apapun keadaannya, atau pergi dari negara ini maka Anda tidak nasionalis. Hanya ada dua opsi; tetap di negeri ini, atau tidak nasionalis dengan pergi ke luar negeri.


Kemudian, orang-orang yang mengkritisi kebijakan efisiensi anggaran, dan dampaknya pemecatan massal karena lesunya jual beli. Hasilnya, ada dua opsi; tetap mendukung pemerintah bagaimanapun yang terjadi, atau tidak mendukung karena "barisan sakit hati".


False dilema adalah kekeliruan yang dimulai dengan menciptakan dua opsi yang ekslusif, namun tidak akurat. Sangat mudah sekali menciptakan ilusi "dua opsi" tersebut di negeri ini. Menolak A, berarti B, seakan-akan tidak ada opsi C, D hingga Z.


Pertanyaannya, kenapa? Mau tidak mau, kita harus kaitkan dengan tingkat berpikir. Sejumlah ahli yang menyebut tingkat berpikir dalam ranah kognitif terdiri dari enam tingkatan: 




Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Lidiawati & Aurelia (2018) menyebut bahwa siswa di Indonesia hanya bisa mencapai level 1 dan 2 dari 6 tingkatan tersebut. Perkembangan kognitif tentunya sangat terkait dengan pembiasaan untuk berpikir kritis.


Apa kaitannya dengan "false dilemma"? False dilemma adalah penciptaan dikotomi palsu untuk menggiring opini para pendukungnya, bahwa siapapun yang berbeda pendapat dengan komunitas tersebut, adalah lawan yang harus diberangus.


Kemampuan berpikir kritis memungkinkan seseorang, bahkan itu pendukungnya sendiri, bisa menganalisa dan mengevaluasi setiap pernyataan yang diberikan oleh otoritas tertentu. Namun, apa yang "direncanakan" pemerintah dengan false dilemma itu berhasil, karena tetap berhasil menggiring mayoritas pendukungnya.


Dengan demikian, dikotomi palsu menjadi jurus utama yang terus menerus dipakai bila ingin menghindari diskusi dengan pernyataan yang berseberangan. Setiap argumen, tidak perlu dilihat substansinya. Juga, tidak perlu capek-capek membalas dengan argumentasi. 


Hanya perlu bilang mereka adalah "kaum yang iri, tidak nasionalis, pembenci, penista, dan sebagainya", maka diskusi yang sehat bisa dihindari, bukan? Bukankah itu lebih menghemat waktu dan tenaga.


Itu alasannya, kenapa makan bergizi gratis bisa memangkas dana untuk kesenian, kebudayaan, pendidikan, dan dana-dana lainnya.

Ads