![]() |
Lukisan the Salmon Fisher karya Eilif Peterssen, tahun 1889. |
Oleh: Adhyra Irianto
Dalam pencarian kebenaran, hanya ada tiga jalan yang diketahui sebagai cara pencariannya. Hakikat kebenaran, dibangun atas teori-teori kebenaran sebagai tolok ukurnya.
Kemudian, dari teori-teori kebenaran tersebut, muncullah "3 only ways" yang hingga sekarang masih terus bergesekan. Tiga jalan tersebut adalah jalan filsafat, jalan agama, dan jalan sains. Dari awal, ketiganya sampai sekarang terus-terusan bergesekan.
Saya memang hanya akan membahas tentang "jalur kebenaran keempat", namun tentunya pembahasan tentang jalur-jalur kebenaran lainnya akan sedikit diulas seperti cuplikan.
Mari kita ke jalur Filsafat terlebih dulu.
Jalur Filsafat
Misalnya, dalam pencarian kebenaran lewat "jalur filsafat", kita ambil contoh teori korespondensi, sesuatu akan disebut benar apabila ada hal yang berkorespondensi dengannya. Contohnya:
Susu itu berwarna putih.
Katakanlah kalimat itu adalah proposisi, dan faktanya susu berwarna putih.
Bila ada susu berwarna cokelat, maka harus ada adjektif di belakang kata "susu" tersebut, yakni "susu cokelat".
Susu cokelat itu adalah subordinat dari susu. Susu cokelat adalah susu, tapi susu tidak berarti hanya susu cokelat.
Proposisi dan fakta, adalah dua hal yang berbeda. Proposisi seperti pernyataan pra-fakta, yang masih bisa diperdebatkan kebenarannya. Fakta adalah sesuatu yang benar-benar ada dan bisa diuji kebenarannya.
Namun, penggambaran fakta lewat proposisi tersebut menemui ganjalan. Seperti untuk proposisi "susu" tadi, faktanya "susu itu berwarna putih", atau "susu itu sebenarnya berwarna putih"?
Seperti pada proposisi ini:
"Beruang kutub itu berwarna putih"
Namun, fakta sebenarnya adalah warna putih itu merupakan pantulan dari warna salju.
Coba bayangkan ketika bertemu dengan proposisi yang jauh lebih "metafisik" seperti ini:
Tuhan itu maha penyayang
Proposisi di atas masih sangat bisa diperdebatkan karena sangat subjektif. Bagi yang merasa pernah mendapatkan anugerah mungkin, membenarkan pernyataan tersebut. Bagi yang seumur hidupnya diliputi kesialan meski sudah "mengabdi" akan menolak proposisi tersebut.
Saat itu, kita sudah mulai menyerempet ke jalur berikutnya. Sekarang, mari kita masuk ke jalur Keimanan.
Jalur Keimanan
Sebenarnya, ini jalur tertua. Sifatnya adalah tidak ada kebenaran yang datang dari manusia. Semua kebenaran datang dari ilahiah. Tuhan sebagai prima causa. Kebenarannya "mutlak" dan tidak bisa dibantah.
Maka, proposisi yang tadi disebut di atas, bersifat "benar" karena tertera dalam kitab suci. Hal-hal yang disebutkan dalam kebenaran iman ini "tidak bisa digapai oleh rasio" sehingga tidak boleh dibantah.
Kebenaran Pengetahuan
Selanjutnya, datanglah kebenaran ilmu pengetahuan, atau kebenaran sains. Maka, ada banyak proposisi yang sifatnya ilahiah dan metafisik yang satu per satu dibantah. Metode pembuktian kebenaran iman sangat tunduk pada otoritas, sedangkan sains harus ada fakta dan metode pembuktiannya harus bisa diuji berulang-ulang.
Konflik kedua ini semakin meruncing dalam pembahasan awal mula kehidupan, tata surya, kesehatan, dan sebagainya. Immanuel Kant sempat memberi "garis tengah" antara kedua belah pihak, dengan pernyataan: "ada dua jenis kebenaran, kebenaran empiris dan kebenaran moral".
Apakah masalahnya selesai? Tidak juga. Bagaimana seorang guru biologi di sekolah bisa menjelaskan tentang evolusi spesies makhluk hidup, khususnya homo sapiens, bila di dalam kepalanya masih meyakini manusia bukanlah hasil dari evolusi? Tapi, adalah sesosok yang tiba-tiba turun dari langit karena buah yang mirip apel?
Bagaimana caranya seseorang bisa meyakini kebenaran empiris dan kebenaran moral sekaligus?
Saat itu, kebenaran empiris lebih banyak mengambil tempat. Revolusi industri, revolusi teknologi, dan berbagai macam revolusi lainnya adalah pencapaian gemilang dari "kebenaran sains". Eropa memasuki masa pencerahan, lepas dari cengkeraman otoritas keagamaan, dan maju pesat meninggalkan belahan lain di dunia.
Tapi, apakah kebenaran sains benar-benar sempurna dan tanpa kendala. Sialnya, tidak.
Karena kebenaran sains hanya memberikan probabilitas, atau mungkin "saran". Tapi, tidak bisa menyentuh masalah moral, aturan, norma, dan sebagainya.
Moral itu tidak ada, dan itu hanyalah hasil kesepakatan manusia. Tapi, seandainya seseorang yang bicara tersebut terkena masalah hukum yang berat. Misalnya, orang yang paling ia kasihi meninggal dunia karena dibunuh penjahat.
Ketika dihadapkan ke pengadilan, di depan seorang hakim, apakah penjahat ini dihukum menurut "kebenaran sains"? Tidak!
Karena itu, kita akan kembali lagi ke kebenaran filsafat. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pragmatis. Simpelnya, bukan apa pengetahuannya (ontologis) tapi bagaimana pengetahuan itu digunakan (aksiologis).
Sebuah ilmu pengetahuan, tidak bisa berdiri tanpa memenuhi tiga aspek utama filsafat: ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ilmu yang bisa dibahas hakikatnya, dan cara memperolehnya, tapi tidak punya manfaat, maka akan dihapuskan.
Misalnya, apakah penting untuk mendirikan ilmu tentang warna kuning? Katakanlah namanya "kuningologi", yang membahas tentang warna kuning mulai dari sejarah, kajian filosofis, dan sebagainya. Dan, dibatasi hanya warna kuning dan turunannya saja. Tapi, apa manfaatnya?
Sejumlah pemikir menyatakan, ketiga jenis kebenaran ini saling berhubungan dan berkaitan, seharusnya saling mendukung. Tapi, sebagian pemikir lagi menolak hal tersebut.
Bagaimana bisa menjelaskan bahwa gunung itu adalah karena sebuah proses "plate tectonics", bila dalam kepercayaan suatu agama disebut gunung itu dipancang (seperti memasang paku)?
Hasilnya, seperti yang kita lihat hari ini, tiga jenis kebenaran ini saling menolak satu sama lain. Lalu, di mana posisi "kita" sebagai seorang seniman?
Jalur Alternatif: Kebenaran Seni
Saya berada di posisi bimbang, di mana saya harus berdiri ketika mencari sebuah kebenaran? Namun, ketika mencoba mengenali diri sendiri, saya baru menyadari satu hal; bahwa selama ini, saya mencari sebuah kebenaran berdasarkan pengalaman objektif realitas.
Ketika melihat seseorang kecelakaan motor atau mobil, kita merasa simpati dan bersedih. Tapi, ketika merasakan sendiri pengalaman tersebut, kita tidak hanya sebatas simpati dan bersedih saja, tapi juga mulai mengubah perlahan apa yang harus kita lakukan saat berkendara.
Tapi, apakah harus benar-benar merasakan pengalaman tersebut baru bisa menyadari bahwa nyawa kita hanya ada satu dan sangat rentan ketika berada di jalan raya?
Ternyata kita bisa merasakan pengalaman realitas tersebut secara ilusi. Ketika Anda sedang menonton sebuah film, melihat seseorang melaju dengan kecepatan tinggi, lalu tanpa sadar ada truk melaju di depannya, kemudian ... crash! Anda bisa merasakan pengalaman itu ketika menonton film Fast & Furious misalnya.
Atau, kita bisa merasakan dan membangun semesta ilusi tentang kehidupan seorang pemuda yang berintelektual tinggi, sekolah dengan tinggi, namun hidup di era kolonial, ketika membaca karya Pramoedya Ananta Toer.
Atau, bagaimana cara menjadi seorang yang bisa melewati kehidupan dan tetap bermanfaat bagi sekeliling, meski telah melakukan dosa yang sangat besar? Anda bisa melihat bagaiman Oedipus menyerahkan tubuh rentanya pada alam, dalam Oedipus di Colonus.
Atau, bagaimana melihat dunia seperti seorang yang depresi akut dan muak dengan dunianya? Anda bisa melihat lukisan Van Gogh.
Atau, kenapa seseorang lebih mudah terpedaya dengan hal yang licik dan penuh tipudaya, daripada hal yang polos dan rentan? Anda bisa merasakannya lewat Swan Lake (The Black Swan Dance) sebuah karya balet yang musiknya dibuat oleh Tchaikovsky.
Atau, bagaimana merasakan kemarahan generasi 90'an dengan kondisi geopolitik dunia saat itu, lewat mendengarkan Rage Againts the Machine misalnya.
Lewat seni, entah itu lukisan, tarian, musik, teater, film, sastra, dan sebagainya, menawarkan sesuatu yang disebut "realitas ilusi" yang memberikan kita kemungkinan-kemungkinan, tanpa bersifat ceramah, seperti tiga jenis jalur pencarian kebenaran lainnya.
Lewat jalur ini, kebenaran didapatkan lewat dialektika. Dengan bekal pengetahuan dan pengalaman empiris yang berbeda, setiap orang akan menanggapi sebuah karya dengan berbeda pula. Namun, hasilnya tetap hal yang "serupa", yakni mendapatkan bekal pengalaman dari sesuatu kejadian yang belum pernah (dalam realitas) kita rasakan.
Rekonstruksi Pemikiran Ouspensky: Sedikit Menyisihkan "Mistik" dan "Esoterik"
![]() |
Pertunjukan teater: The Cherry Orchard dipentaskan di Broadway, tahun 2007 |
Bagaimana cara mencari kebenaran lewat jalur ini? Saat inilah, saya mencoba merekonstruksi pemikiran Ouspensky.
Ada tiga hal yang bisa kita tarik dari "kebenaran seni":
- Pertama, kebenaran seni itu tidak bersifat mutlak. Setiap orang memiliki interpretasi subjektif, berdasar dari pengalaman empiris, spiritual, mimpi, pengetahuan, dan semua hal yang pernah terjadi dalam hidupnya.
- Kedua, seni memungkinkan kita untuk mengalami suatu realitas ilusi, secara emosional dan intelektual. Hal tersebut bisa menjadi modal berharga untuk pengambilan keputusan di dunia nyata.
- Ketiga, seni bisa menjadi jalur pencarian kebenaran yang setara dengan tiga jenis kebenaran sebelumnya.
Namun, dari poin ketiga, akan kembali muncul pertanyaan, bagaimana caranya?
Inilah kenapa saya tetap mengatakan bahwa ini bukan pemikiran saya, atau gagasan saya secara murni. Karena, saya menegosiasi pemikiran dan rumusan Ouspensky. Metode yang bisa digunakan untuk menjadikan "jalur seni" sebagai jalur kebenaran keempat, adalah dengan metode analitik-holistik.
Mari kita sedikit "menyarikan" pemikiran Ouspensky dengan sederhana.
Penjelasan Pemaparan Ouspensky secara Sederhana
Ouspensky percaya bahwa seni sejati dapat membantu manusia meningkatkan kesadaran dan memahami realitas lebih dalam. Seni bukan sekadar hiburan atau ekspresi emosional, tetapi juga dapat berfungsi sebagai jembatan menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
Dari pemikiran tersebut, maka kita bagi seni menjadi dua; (1) seni yang sekadar hiburan dan ekspresi emosional, (2) seni yang (juga) dapat berfungsi sebagai jembatan menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
Dari itu, kita mendapatkan informasi bahwa seni terbagi dua; Seni Objektif dan Seni Subjektif.
Advertisement
Seni objektif adalah seni yang diciptakan oleh individu yang telah mencapai kesadaran tinggi, sehingga memiliki makna universal yang dapat dirasakan siapa saja, terlepas dari budaya atau latar belakang mereka. Contoh yang sering disebut dalam tradisi ini adalah arsitektur suci, musik klasik, atau seni simbolik yang memiliki efek mendalam pada jiwa manusia.
Seni subjektif adalah seni yang berasal dari keadaan psikologis yang lebih rendah dan seringkali hanya mencerminkan perasaan atau pikiran pribadi seniman, tanpa nilai transformatif yang mendalam.
Khusus untuk "jalur keempat" ini, maka kita sisihkan dulu seni yang "subjektif". Dari metode analitik-holistik yang dikembangkan Ouspensky, seni yang diperlukan adalah seni yang mampu membangunkan seseorang individu dari "tidur dalam keadaan terjaga". Yah, itu adalah hal yang dikatakan oleh Ouspensky untuk menyebut seseorang yang tidak sadar bahwa ia sekarang sedang dalam kondisi tidak sadar.
Namun, saya mencoba menyisihkan basis esoterik seperti "mencapai keluhuran manusia", atau "mengingatkan manusia akan esensi sejati", atau hal-hal yang metafisik lainnya. Saya lebih tertarik dengan konsep bahwa seni merupakan "cermin realitas". Ouspensky berpendapat bahwa seni yang sejati bukan sekadar representasi dunia fisik, tetapi juga mencerminkan dimensi realitas yang lebih tinggi. Seni semacam ini sering menggunakan simbolisme, arketipe, dan struktur tersembunyi yang dapat mengaktifkan pemahaman intuitif dalam diri penonton atau pendengarnya.
Pencarian Kebenaran lewat Jalur Keempat; Jalur Seni
Yah, seni adalah sebuah logika sensasi atau intuisi yang terencana. Karya seni tidak memiliki fungsi apapun, dan tidak bisa dibebankan dengan fungsi apapun. Biarkan para pemirsanya yang "mengambil" manfaat dari seni, sedangkan seniman tidak bisa "memaksakan" suatu kebenaran lewat seni yang ia paparkan.
Apa artinya? Seniman bisa jadi punya visi tertentu lewat karyanya. Tapi, ia tidak bisa memaksakannya. Saat itu, pencarian kebenaran lewat jalur keempat ini akan memanfaatkan metode analitik-holistik.
Mari kita berikan sebuah ilustrasi. Karena saya orang teater, maka contoh yang akan saya berikan juga dari teater.
Ada seseorang bernama Fulan, yang kebetulan rumah tangganya kerap jadi ribut, gara-gara tetangganya selalu sibuk menyalahkan apapun yang mereka lakukan.
Fulan menjadi seseorang yang benci dengan keadaan lingkungan sekitarnya, lalu berencana untuk menyampaikannya lewat pertunjukan teater.
Ia membawakan naskah berjudul Sayang Ada Orang Lain karya Utuy Tatang Sontani. Tadinya, ia berharap naskah ini bisa mengubah pandangan seseorang bahwa "sebuah rumah tangga bisa rusak karena pemaksaan kebenaran oleh orang luar".
Namun, penonton justru menangkap pesan "suami istri harus saling terbuka dan saling bercerita". Penonton yang lain menangkap "jangan menjadi istri yang melawan agama hanya untuk memenuhi kebutuhan". Ada banyak tangkapan lain berdasarkan pengalaman masing-masing, latar belakang sosial, pendidikan, budaya, dan sebagainya.
Tidak ada yang berceramah lewat pertunjukan seni, begitu juga Fulan. Maka, hal yang Fulan tawarkan adalah dialektika. Untuk pengambilan kesimpulan, tidak bisa satu sisi saja untuk melihat suatu peristiwa, atau problem sosial. Semua perspektif harus digunakan.
Ini poin pertama dari metode ini: harus melihat dari lebih banyak perspektif. Yah, tiga jalur kebenaran sebelumnya pun harus digunakan semuanya.
Berikutnya, analisa dengan berbagai jalur tadi. Gunakan metode yang biasa digunakan di metode masing-masing. Anda tentu tidak bisa menggunakan kebenaran dari kitab suci misalnya, untuk membuktikan kebenaran lewat jalur filsafat.
Intinya, ini adalah poin kedua, bahwa Anda akan mendapatkan lebih banyak proposisi kebenaran lewat berbagai jalur tersebut.
Poin ketiga, atau katakanlah tahapan ketiga, giliran "daya pikir kreatif" kita digunakan untuk menemukan irisan dari berbagai proposisi kebenaran tersebut.
Misalnya, dalam kasus Fulan tadi, ditemukan berbagai proposisi:
- Rumah tangga akan baik-baik saja, bila istri manut pada suami.
- Rumah tangga akan baik-baik saja, bila pintu rumah selalu ditutup sehingga tidak ada tetangga yang mengganggu.
- Rumah tangga akan baik-baik saja, bila pasangan menjadi lebih terbuka ke sesamanya.
- Rumah tangga akan baik-baik saja, bila suami menjadi seorang yang penyabar.
Maka, mana yang paling tepat untuk kasus ini? Setelah menyaksikan "Sayang Ada Orang Lain" yang dipentaskan oleh Fulan dan kawan-kawan, masing-masing pemilik proposisi tersebut akan mulai mulai melihat (meninjau secara kritis) pemikiran yang lain. Dari situ, katakanlah Anda adalah orang yang tadinya sepakat dengan poin 1, sekarang mulailah skeptis dengan pemikiran Anda sendiri. Dan mulai mempertimbangkan, bagaimana kalau jawaban yang benar justru ada di poin yang lain. Ini adalah tahapan keempat dari metode ini.
Tahapan kelima, Anda mulai memposisikan diri sebagai orang yang netral, dan memilih untuk menjadi "pengamat". Semua yang Anda yakini, dari berbagai kemungkinan tadi, Anda lepaskan. Semua jawaban anggap saja memiliki kemungkinan yang sama. Hasilnya adalah, Anda bisa jadi memilih jawaban lain, tetap kembali ke jawaban pertama setelah melakukan penyanggahan berulang, atau mungkin justru menambah pilihan yang lainnya.
Apapun hasil dari tahapan kelima, di tahapan berikutnya (tahapan keenam) Anda hanya perlu mempertanyakan ulang lagi dengan kemungkinan realitas ilusi yang lain. Misalnya, bagaimana bila disandingkan dengan pengalaman subjektif ketika menyaksikan pentas Rumah Boneka misalnya, karya Henrik Ibsen. Atau mulai membayangkan realita (ilusi) yang pernah dirasakan ketika menonton Pernikahan Darah karya Gracia Lorca.
Hasil dari mempertanyakan ulang di tahapan keenam tersebut, Anda mungkin akan menemukan jawaban yang Anda butuhkan. Meski, bukan jawaban itu yang Anda inginkan. Ingat, sejak awal metode ini memang ditujukan untuk mencari kebenaran, alias apa yang Anda butuhkan. Bukan untuk mencari pembenaran, alias apa yang Anda inginkan.
Bagaimana bila di tahapan keenam itu Anda justru tidak menemukan jawaban yang dibutuhkan? Maka, metode ini justru akan mengarahkan Anda untuk bertanya pada expert. Misalnya, masalah Anda adalah masalah kesehatan, maka Anda akan bertanya pada dokter, atau ahli kesehatan. Bukan pada ustad, filsuf, atau pada ahli matematika.
Intinya, perbedaan dari jalur keempat ini, dibanding tiga jalur lainnya adalah, tidak ada "ceramah". Tidak ada satu orang yang memaparkan "kebenaran" satu arah seperti guru di kelas, filsuf yang sedang memaparkan suatu hasil renungannya, atau ulama yang sedang berceramah.
Itulah kenapa, orang-orang seni itu sangat akrab dengan "perdebatan". Karena, yah memang seperti itu jalur kebenaran yang satu ini. Bisa didapatkan lewat dialektika.