Advertisement
Oleh: Fikri Husni Hidayat
Pada tanggal 7 hingga 9 Maret 2025, Forum Seni Pertunjukan Bandung mengadakan festival seni bertajuk Pseudo-Entertaiment dengan narasi yang bertajuk “Apa yang tersisa dari masa depan” Pertunjukan ini berlandaskan kuratorial seputar isu-isu kehidupan sosial. Pembukaan yang digelar ketika hujan turun dengan lebat, tetap menarik animo penonton. Sejumlah pertunjukan yang digelar adalah hasil dari penelitian artistik bertema "Pseudo-Entertainment: Apa yang Tersisa dari Masa Depan". Pertunjukan ini digelar di sejumlah situs seputaran Kota Bandung.
Penelitian artistik ini digelar dalam bentuk residensi, di mana para partisipan akan membangun semacam kartografi sosial didasarkan pada refleksi kritis, pernyataan perlawanan, ironi paradoksal, dan sebagainya. Keluasan pektrum kartografi sosial ini menghasilkan keragaman artistik yang menjadi sajian dalam kegiatan ini.
SEMENTARA TAMAN
Ganda
Swarna melalui karyanya yang berjudul “Sementara Taman”, menjadi serangkaian
acara awal pada pra pembukaan Pseudo-Entertaument. Acara sesi mendengarkan
audio lanskap ini diselenggarakan di Taman Hutan Raya Djuanda sebagai bentuk
refleksi antara audio dan pemandangan taman hutan langsung.
Sementara Taman karya Ganda Swarna
Di awal, audio itu memperdengarkan
suara Ganda Swarna, yang kemudian dilanjut dengan bunyi yang menggambarkan
suara-suara yang biasa terdengar di sekitar pemukiman perkotaan hingga suara
perlawanan terhadap ketimpangan kasus tanah Dago Elos.
Usai refleksi, kemudian dilanjut
dengan sesi berbagi pengalaman terkait dengan hasil refleksi dari masing-masing
peserta. Banyak peserta yang antusias untuk melakukan sharing pengalaman untuk
memperkaya wahana interpretasi yang menyangkut dengan isu-isu sosial.
Refleksi tersebut menghasilkan
berbagai interpretasi yang mengkerucut pada persoalan perkotaan dan berbagai
persoalannya terkait sosial serta lingkungan. Sebab pada audio pertama dari
suara monolog Ganda Swarna, para peserta digiring untuk membayangkan suasana
taman hutan yang dirasakan seara langsung, digantikan oleh imajinasi pemukiman
kota ataupun rusunawa. Hal tersebut mewujudkan impresi atmosferal antara Taman
Hutan dan Kota yang saling berjalinan.
Banyak hal menarik dari hasil
sharing peserta terkait wahana refleksinya untuk dibagikan dalam bentuk
pengalaman. Seperti halnya Muhammad Imam Khadafi yang menyatakan bahwa makhluk
yang memikirkan eksistensinya sendiri adalah manusia, sehingga eksploiasi
besar-besaran terhadap alam menjadi dampak dari eksistensi manusia itu sendiri,
cenderung melupakan eksistensinya sebagai makhluk dari eksistensi lingkungan
itu sendiri.
Sharing pengalaman tersebut
diakhiri dengan ungkapan dari Ganda Swarna. Beliau mengatakan, bahwa audio yang
diperolehnya diambil dari beberapa objek tempat. Diantaranya adalah Rusun
Sunawa, Dago Elos dan Kiara Artapark.
PENYADARAN EKOLOGI MELALUI INSTALASI QUADROPHONI SPATIAL AUDIO
Usai pembukaan di tengah hujan
angin deras dengan akses ruang yang cukup sempit dari banyaknya peserta yang
hadir, acara masih berlanjut pada penyajian karya instalasi yang berjudul
“Bagaimana Jika Kini Sungai Berbalik Memunggungimu” yang dibuat oleh Rama
Anggara. Acara tersebut dipentaskan di Gelanggang Olah Rasa (GOR).
![]() |
Bagaimana Jika Kini Sungai Berbalik Memunggungimu karya Rama Anggara |
Secara implisit, narasi yang
dibawakan pada puisi tersebut adalah mengenai keadaan ekosistem sungai tercemar,
khususnya sungai yang berada di Jawa Barat seperti Sungai Citarum. Pertunjukan
tersebut sebagai upaya penyadaran terhadap krisis ekologi sungai, akibat kurang
bertanggung jawabnya hasil eksploitasi oleh umat manusia.
CCTV, VISUAL DAN TUBUH
Selesai acara di GOR, peserta
kemudian berpindah tempat ke Route 64 untuk mengikuti acara selanjutnya. Tempat
tersebut berada di daerah Punlut sehingga diperlukan jarak tempuh sejauh 10 kilometer dari GOR. Setelah sampau di Route 64, para peserta diarahkan panitia menuju
pendopo dengan aturan tidak merokok dan tidak membawa makanan dan minuman.
![]() |
Panoption and What The Hell Are You oleh Fachry Matlawa |
Pertunjukan pertama menampilkan
performance yang berjudul “Panoption and What The Hell Are You”. Pertunjukan
yang diperagakan oleh Fachry Matlawa seorang diri tersebut diawali dengan
tarian khas daerah Timur dengan musik khas Papua. Dia juga mengajak penonton
secara random untuk ikut menari bersama dirinya, diiringin suara alat
gemerining yang dimainkan olehnya untuk mengiringi musik.
Di tengah pertunjukan,
menampilkan rekaman secara bersamaan antara rekaman CCTV dan rekaman di
perkotaan dari sudut pandang subjek atau POV (point of view). Dari rekaman POV
tersebut menghasilkan suara noise dari aksi gerakan gambar. Rekaman tersebut
menggambarkan subjek melakukan gerakan yang tidak beraturan, sehingga efek
suara yang noise di tambah dengan gerakan pemeran yang seakan-akan
mengintimidasi ruang menimbulkan atmosfer yang menegangkan.
IKATAN TALI EROTIS
Shibari merupakan istilah
masyarakat Jepang yang berarti tali-temali yang membentuk ikatan simpul. Saman
dulu, simpul ini digunakan agar para tawanan sukar melepaskan diri. Namun
semakin berkembangnya zaman, ikatan tali
tersebut berubah menjadi ikatan erotis yang menciptakan lekuk tubuh alami tubuh
yang lebih kontras (biasanya wanita). Istilah shibari tersebut dikenal dengan
istilah kunbaku yang berarti “keindahan ikatan tali yang erat”.
![]() |
Hands That Hold #1 oleh Mega Buana |
Konsep ikatan tali tersebut
dipakai dalam pertunjukan performatif yang berjudul “Hands That Hold #1” yang
dibuat oleh Mega Buana. Pertunjukan tersebut memberlihatkan 2 pasangan
perempua dan laki-laki, dengan gerakan yang lambat melepaskan ikatan
masing-masing pasangannya; pasangan yang satu dilepaskan oleh perempuan dan
yang satunya lagi oleh laki-laki.
Setelah ikatan-ikatan pada tubuh
terlepas, masing-masing pasangan saling bertukar pasangan dengan tetap
konsisten dalam melanjutkan gerakan yang lambat. Gerakan yang diperagakan seakan-seakan
berhati-hati dalam setiap tarik menarik tubuh dalam aksentuasi gerakan sensual.
Saat tempo semakin cepat,
kemudian mempelihatkan satu persatu antara laki-laki dengan laki-laki dan
perempuan dengan perempuan. Gerakan tersebut juga tetap mengantarkan pada kesan
yang serupa dengan gerakan-gerakan sebelumnya.
Walaupun gerakan tari ini terlihat
eksploratif, namun gerakan-gerakan tersebut mencitakan harmonisasi antara
masing-masing pasangan dalam menyesuaikan gerakan masing-masing pasangan tari.
Secara tersirat, gerakan tersebut menyiratkan tentang harmosisasi hubungan
antar manusia baik itu lawan jenis maupun sesama jenis.
DISCUSSION AFTER SHOW
Setelah pertunjukan performatif
berakhir, kemudian diadakan diskusi untuk menambah wahana estetis bagi sang kreator
maupun penonton.
Diskusi yang disebut diistilahkan majlis dramaturg itu menghasilkan berbagai macam interpretasi yang beragam, mulai dari performa pertama hingga yang ke dua. Mulai dari dramaturg, hingga ke backgroud musik. Pada saat diskusi, para kreator tidak mendeskripsikan maksud pertunjukannya, agar wahana estetis dari penonton dapat bersifat natural.
![]() |
Diskusi after show |
Diskusi after show tersebut menjadi harapan agar para kreator yang menunjukan hasil karya performatifnya dapat memodifikasi karyanya dengan lebih baik lagi melalui berbagai wahana estetis dari para audiens. Selain itu juga menjadi kritisasi para audiens menjadi berkembangnya ekosistem seni pertunjukan yang lebih baik dan inovatif.