Pseudo-Entertainment #1: Dari Taman ke Tubuh CCTV -->
close
Pojok Seni
08 March 2025, 3/08/2025 11:11:00 PM WIB
Terbaru 2025-03-08T16:13:04Z
eventUlasan

Pseudo-Entertainment #1: Dari Taman ke Tubuh CCTV

Advertisement
Pseudo-Entertainment #1

Oleh: Fikri Husni Hidayat


Pada tanggal 7 hingga 9 Maret 2025, Forum Seni Pertunjukan Bandung mengadakan festival seni bertajuk Pseudo-Entertaiment dengan narasi yang bertajuk “Apa yang tersisa dari masa depan” Pertunjukan ini berlandaskan kuratorial seputar isu-isu kehidupan sosial. Pembukaan yang digelar ketika hujan turun dengan lebat, tetap menarik animo penonton. Sejumlah pertunjukan yang digelar adalah hasil dari penelitian artistik bertema "Pseudo-Entertainment: Apa yang Tersisa dari Masa Depan". Pertunjukan ini digelar di sejumlah situs seputaran Kota Bandung.


Penelitian artistik ini digelar dalam bentuk residensi, di mana para partisipan akan membangun semacam kartografi sosial didasarkan pada refleksi kritis, pernyataan perlawanan, ironi paradoksal, dan sebagainya. Keluasan pektrum kartografi sosial ini menghasilkan keragaman artistik yang menjadi sajian dalam kegiatan ini.


SEMENTARA TAMAN



Ganda Swarna melalui karyanya yang berjudul “Sementara Taman”, menjadi serangkaian acara awal pada pra pembukaan Pseudo-Entertaument. Acara sesi mendengarkan audio lanskap ini diselenggarakan di Taman Hutan Raya Djuanda sebagai bentuk refleksi antara audio dan pemandangan taman hutan langsung.


Pseudo-entertainment #1
Sementara Taman karya Ganda Swarna


Agar dapat menikmati atau merasakan karya tersebut, para peserta diperkenankan membawa headset pribadi untuk mendengarkan audio yang sudah disediakan oleh panitia, yang dikirimkan melalui WhatsApp dalam bentuk Google Drive. Sambil mendengarkan audio tersebut, peserta diberikan pensil dan kertas untuk menggambarkan hasil interpretasi masing-masing terhadap apa yang mereka refleksikan.  Bentuknya bisa berupa gambar maupun tulisan ataupun keduanya sekaligus


Di awal, audio itu memperdengarkan suara Ganda Swarna, yang kemudian dilanjut dengan bunyi yang menggambarkan suara-suara yang biasa terdengar di sekitar pemukiman perkotaan hingga suara perlawanan terhadap ketimpangan kasus tanah Dago Elos.


Usai refleksi, kemudian dilanjut dengan sesi berbagi pengalaman terkait dengan hasil refleksi dari masing-masing peserta. Banyak peserta yang antusias untuk melakukan sharing pengalaman untuk memperkaya wahana interpretasi yang menyangkut dengan isu-isu sosial.


Refleksi tersebut menghasilkan berbagai interpretasi yang mengkerucut pada persoalan perkotaan dan berbagai persoalannya terkait sosial serta lingkungan. Sebab pada audio pertama dari suara monolog Ganda Swarna, para peserta digiring untuk membayangkan suasana taman hutan yang dirasakan seara langsung, digantikan oleh imajinasi pemukiman kota ataupun rusunawa. Hal tersebut mewujudkan impresi atmosferal antara Taman Hutan dan Kota yang saling berjalinan.


Banyak hal menarik dari hasil sharing peserta terkait wahana refleksinya untuk dibagikan dalam bentuk pengalaman. Seperti halnya Muhammad Imam Khadafi yang menyatakan bahwa makhluk yang memikirkan eksistensinya sendiri adalah manusia, sehingga eksploiasi besar-besaran terhadap alam menjadi dampak dari eksistensi manusia itu sendiri, cenderung melupakan eksistensinya sebagai makhluk dari eksistensi lingkungan itu sendiri.


Sharing pengalaman tersebut diakhiri dengan ungkapan dari Ganda Swarna. Beliau mengatakan, bahwa audio yang diperolehnya diambil dari beberapa objek tempat. Diantaranya adalah Rusun Sunawa, Dago Elos dan Kiara Artapark.


PENYADARAN EKOLOGI MELALUI INSTALASI QUADROPHONI SPATIAL AUDIO


Usai pembukaan di tengah hujan angin deras dengan akses ruang yang cukup sempit dari banyaknya peserta yang hadir, acara masih berlanjut pada penyajian karya instalasi yang berjudul “Bagaimana Jika Kini Sungai Berbalik Memunggungimu” yang dibuat oleh Rama Anggara. Acara tersebut dipentaskan di Gelanggang Olah Rasa (GOR).



Pseudo-entertainment #1
Bagaimana Jika Kini Sungai Berbalik Memunggungimu karya Rama Anggara


Walaupun banyak peserta yang ingin mengikuti pertunjukan tersebut, namun sangat disayangkan karena kuota yang terbatas, hanya bisa diikuti oleh 20 orang peserta. Karya tersebut meyajikan puisi berbahasa Indonesia yang membicarakan seputar isu-isu ekologi yang berkaitan dengan sungai. Nuansa background musik aliran sungai serta petikan kecapi dengan menggunakan audio spasial, menciptakan kesan yang lebih imersif dan realistis.


Secara implisit, narasi yang dibawakan pada puisi tersebut adalah mengenai keadaan ekosistem sungai tercemar, khususnya sungai yang berada di Jawa Barat seperti Sungai Citarum. Pertunjukan tersebut sebagai upaya penyadaran terhadap krisis ekologi sungai, akibat kurang bertanggung jawabnya hasil eksploitasi oleh umat manusia.


CCTV, VISUAL DAN TUBUH


Selesai acara di GOR, peserta kemudian berpindah tempat ke Route 64 untuk mengikuti acara selanjutnya. Tempat tersebut berada di daerah Punlut sehingga diperlukan jarak tempuh sejauh 10 kilometer dari GOR. Setelah sampau di Route 64, para peserta diarahkan panitia menuju pendopo dengan aturan tidak merokok dan tidak membawa makanan dan minuman.


Pseudo-Entertainment #1
Panoption and What The Hell Are You oleh Fachry Matlawa


Pertunjukan pertama menampilkan performance yang berjudul “Panoption and What The Hell Are You”. Pertunjukan yang diperagakan oleh Fachry Matlawa seorang diri tersebut diawali dengan tarian khas daerah Timur dengan musik khas Papua. Dia juga mengajak penonton secara random untuk ikut menari bersama dirinya, diiringin suara alat gemerining yang dimainkan olehnya untuk mengiringi musik.


Di tengah pertunjukan, menampilkan rekaman secara bersamaan antara rekaman CCTV dan rekaman di perkotaan dari sudut pandang subjek atau POV (point of view). Dari rekaman POV tersebut menghasilkan suara noise dari aksi gerakan gambar. Rekaman tersebut menggambarkan subjek melakukan gerakan yang tidak beraturan, sehingga efek suara yang noise di tambah dengan gerakan pemeran yang seakan-akan mengintimidasi ruang menimbulkan atmosfer yang menegangkan.


IKATAN TALI EROTIS


Shibari merupakan istilah masyarakat Jepang yang berarti tali-temali yang membentuk ikatan simpul. Saman dulu, simpul ini digunakan agar para tawanan sukar melepaskan diri. Namun semakin berkembangnya zaman,  ikatan tali tersebut berubah menjadi ikatan erotis yang menciptakan lekuk tubuh alami tubuh yang lebih kontras (biasanya wanita). Istilah shibari tersebut dikenal dengan istilah kunbaku yang berarti “keindahan ikatan tali yang erat”.


Pseudo-Entertainment #1
Hands That Hold #1 oleh Mega Buana


Konsep ikatan tali tersebut dipakai dalam pertunjukan performatif yang berjudul “Hands That Hold #1” yang dibuat oleh Mega Buana. Pertunjukan tersebut memberlihatkan 2 pasangan perempua dan laki-laki, dengan gerakan yang lambat melepaskan ikatan masing-masing pasangannya; pasangan yang satu dilepaskan oleh perempuan dan yang satunya lagi oleh laki-laki.


Setelah ikatan-ikatan pada tubuh terlepas, masing-masing pasangan saling bertukar pasangan dengan tetap konsisten dalam melanjutkan gerakan yang lambat. Gerakan yang diperagakan seakan-seakan berhati-hati dalam setiap tarik menarik tubuh dalam aksentuasi gerakan sensual.


Saat tempo semakin cepat, kemudian mempelihatkan satu persatu antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Gerakan tersebut juga tetap mengantarkan pada kesan yang serupa dengan gerakan-gerakan sebelumnya.


Walaupun gerakan tari ini terlihat eksploratif, namun gerakan-gerakan tersebut mencitakan harmonisasi antara masing-masing pasangan dalam menyesuaikan gerakan masing-masing pasangan tari. Secara tersirat, gerakan tersebut menyiratkan tentang harmosisasi hubungan antar manusia baik itu lawan jenis maupun sesama jenis.


DISCUSSION AFTER SHOW


Setelah pertunjukan performatif berakhir, kemudian diadakan diskusi untuk menambah wahana estetis bagi sang kreator maupun penonton.


Diskusi yang disebut diistilahkan majlis dramaturg itu menghasilkan berbagai macam interpretasi yang beragam, mulai dari performa pertama hingga yang ke dua. Mulai dari dramaturg, hingga ke backgroud musik. Pada saat diskusi, para kreator tidak mendeskripsikan maksud pertunjukannya, agar wahana estetis dari penonton dapat bersifat natural.


Pseudo-Entertainment #1
Diskusi after show


Diskusi after show tersebut menjadi harapan agar para kreator yang menunjukan hasil karya performatifnya dapat memodifikasi karyanya dengan lebih baik lagi melalui berbagai wahana estetis dari para audiens. Selain itu juga menjadi kritisasi para audiens menjadi berkembangnya ekosistem seni pertunjukan yang lebih baik dan inovatif.

Ads