Advertisement
Oleh: Zackir L Makmur*
Perteateran Indonesia, khususnya yang berkembang di Jakarta, selalu diwarnai oleh diskursus yang kadang memusingkan dan penuh dengan kontradiksi. Sejak era modernisasi, dunia teater Tanah Air menghadapi berbagai tantangan yang belum sepenuhnya menemukan solusi yang memadai. Salah satu contoh nyata dari problematika ini adalah Festival Teater Jakarta (FTJ), yang menjadi sorotan dalam diskusi publik bertajuk "GAGAP GEMPITA FTJ - Pedoman versus Implementasi." Acara ini, yang digelar oleh Asosiasi Teater Jakarta Pusat bekerja sama dengan program studi Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta, menampilkan sejumlah tokoh teater Jakarta ternama seperti Asep S Martin, Edy Susanto, Exan Zen, Fahrizal Mochsen, Harris Priadie Bah, Join Bayuwinanda, dan Krisna Aditya.
Sesungguhnya perteateran Jakarta –sebagai salah satu pusat kreativitas budaya di Indonesia, telah lama menjadi saksi dari perjalanan seni pertunjukan yang penuh dinamika. Namun, dibalik reputasinya sebagai kota seni yang seharusnya maju, dunia teater di Jakarta justru terjebak dalam berbagai konflik yang tampaknya tak pernah berujung. Di setiap sudut, baik di panggung maupun di luar panggung, perdebatan tentang pedoman, aturan, hingga interpretasi seni kerap kali menciptakan ketegangan dan ketidakpastian.
Salah satu contoh nyata dari masalah yang mendera teater Jakarta adalah Festival Teater Jakarta (FTJ), yang telah berlangsung lebih dari setengah abad. FTJ dimulai pada tahun 1973 dengan nama Festival Teater Remaja Jakarta, dan sejak itu berkembang menjadi festival teater terbesar dan tertua di Indonesia. Festival ini seharusnya menjadi ajang bagi seniman untuk menunjukkan karya terbaik mereka, merespons perkembangan sosial, dan mengungkapkan berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat. Namun, belakangan ini, FTJ justru semakin terbelenggu oleh berbagai permasalahan yang tidak kunjung selesai.
Maka dalam beberapa tahun terakhir, pelaksanaan festival (FTJ) ini menghadapi berbagai persoalan yang tak kunjung terselesaikan. Dari batasan usia maksimal 40 tahun bagi peserta, hingga permasalahan teknis mengenai naskah wajib, pedoman penilaian juri, dan ketidakjelasan dalam kepanitiaan, semua ini menciptakan ketegangan dan keraguan di kalangan praktisi teater Jakarta.
Permasalahan yang terjadi dalam FTJ bukan hanya sebatas isu teknis atau administratif, melainkan lebih dalam lagi, yaitu mengenai arah dan eksistensi teater kontemporer di Jakarta itu sendiri. Diskursus yang berkembang sering kali memperlihatkan jurang pemisah antara pedoman yang diterapkan oleh penyelenggara dan kenyataan implementasi di lapangan.
Pedoman yang semestinya menjadi acuan bagi setiap proses kreatif, justru kerap kali terhambat oleh kurangnya pemahaman dan adaptasi terhadap perubahan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat. Selain itu, ketidakkonsistenan dalam penerapan pedoman penilaian juri, serta peraturan swakelola dalam pelaksanaan kegiatan, semakin memperburuk keadaan, menjadikan festival ini terasa tidak adil dan penuh ketidakpastian.
Masalah lainnya adalah bagaimana FTJ seharusnya menjadi wadah bagi seniman untuk merespon dinamika masyarakat Jakarta, namun sering kali terjebak dalam rutinitas dan pedoman yang kaku. Teater di Jakarta harusnya bisa menjadi ruang refleksi, kritik sosial, dan bahkan perlawanan terhadap struktur kekuasaan atau kebijakan yang ada. Namun kenyataannya, sering kali FTJ (dan festival teater lainnya) terjebak dalam konflik internal yang tidak pernah selesai, mulai dari pemilihan juri yang dianggap tidak objektif, hingga masalah kepanitiaan yang tidak transparan.
Karuan saja fenomena ini mencerminkan ketegangan dalam dunia teater Jakarta yang lebih besar. Sebagai kota kosmopolitan di Indonesia, Jakarta seharusnya menjadi pusat kreativitas dan inovasi. Namun, teater di kota ini sering kali terperangkap dalam rutinitas yang penuh perdebatan dan kritik yang tak berkesudahan. Padahal teater tidak hanya sekedar panggung pertunjukan, tetapi juga tempat untuk menyampaikan pesan, menggugat ketidakadilan, dan mengkritik realitas sosial.
Sayangnya, (boleh jadi teater kontemporer Indonesia juga), perteateran di Jakarta, sering kali gagal menjadi ruang yang bebas dari ketegangan internal, dan malah terjebak dalam siklus konflik yang tak kunjung berakhir. Masalah lain yang muncul adalah ketidakseimbangan dalam sistem pendanaan dan akses terhadap sumber daya.
Seniman teater yang kreatif dan inovatif seringkali terkendala oleh minimnya dukungan finansial dan infrastruktur yang memadai. Banyak grup teater independen di Jakarta yang harus berjuang keras untuk bisa tampil dalam festival atau mendapatkan pengakuan atas karya mereka, sementara pada saat yang sama, mereka terhambat oleh birokrasi dan peraturan yang kaku. ***
Tidak sampai di situ, bahwa permasalahan FTJ bukanlah masalah yang berdiri sendiri, menjadi perkara yang lebih tragis. Bersamaan pula ini mencerminkan potret lebih besar dari dunia teater Jakarta yang terjebak dalam konflik-konflik internal yang tidak pernah selesai. Teater seharusnya menjadi ruang bebas untuk berekspresi, berinovasi, dan merespons dinamika sosial yang ada. Akan tetapi, kenyataannya, dunia teater Jakarta sering kali dikuasai oleh perdebatan yang tak berkesudahan, terutama mengenai masalah administrasi, struktur organisasi, dan regulasi yang seringkali tidak dapat mengikuti laju perkembangan seni pertunjukan itu sendiri.
Dari itu perteateran Jakarta sering kali tidak mampu mengadaptasi diri dengan perubahan zaman. Masyarakat kota ini, yang terus berkembang pesat dengan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik, seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi karya-karya teater yang menggugah dan relevan. Namun, alih-alih merespons tantangan tersebut, banyak karya teater yang disajikan terkesan stagnan, bahkan terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja.
Maka salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini, adalah dengan membuka ruang dialog antara semua pihak yang terlibat dalam dunia teater, mulai dari seniman, penyelenggara, hingga masyarakat penonton. Teater tidak hanya soal pertunjukan di atas panggung, tetapi juga soal bagaimana membangun komunikasi dan kolaborasi antara berbagai elemen yang ada. Diskusi dan refleksi tentang masa depan teater Jakarta perlu lebih terbuka dan inklusif, melibatkan berbagai perspektif dan ide yang berbeda.
Namun, meskipun ada usaha untuk mencari solusi, pertanyaan besar tetap muncul: apakah dunia teater Jakarta mampu keluar dari konflik-konflik yang menghambat kreativitasnya? Ataukah akan terus terjebak dalam lingkaran perdebatan yang tidak menghasilkan perubahan signifikan? Hanya dengan pendekatan yang lebih transparan, kolaboratif, dan responsif terhadap perkembangan zaman, dunia teater Jakarta bisa menemukan jalan keluar dari masalah-masalah yang selama ini menghambat kemajuan dan inovasi dalam seni pertunjukan.***
*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku “Manusia Dibedakan Demi Politik” (2020), serta kumpulan puisi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa” .