![]() |
Para aktivis Lingkar Teater Jakarta Barat |
Zackir L Makmur*
Hari Teater Dunia yang diperingati setiap 27 Maret menjadi momentum penting bagi komunitas teater global untuk merefleksikan peran teater dalam kehidupan masyarakat. Dicanangkan oleh Institut Teater Internasional (ITI) pada tahun 1961, perayaan ini bertujuan untuk menegaskan bahwa teater bukan sekadar seni pertunjukan, melainkan juga medium ekspresi budaya yang inklusif dan reflektif terhadap kondisi sosial masyarakat.
Di Indonesia, justru perayaan ini dirayakan oleh berbagai komunitas teater dari pinggiran Jakarta, di Rawa Buaya, Jakarta Barat. Mereka yang terhimpun dalam Lingkar Teater Jakarta Barat merayakan Hari Teater Dunia pada 22 Maret –dimajukan tanggalnya karena tanggal 27 Maret berdekatan Idul Fitri 1446. Mereka merayakan Hari Teater Dunia dengan melangsungkan pementasan Teater K-1, Teater Cermin, Teater Kucing Hitam, Teater Naung, serta pembacaan puisi dan diskusi panel, dengan tema “Panggung Setara”.
Tema tersebut semakin menghujam karena bukan sekadar slogan, melainkan pula sebuah gagasan ideologis yang mengusung prinsip kesetaraan dalam ekosistem teater –baik dari segi akses, ekspresi, maupun partisipasi komunitas seni. Dalam konteks ini, Panggung Setara menjadi simbol perjuangan melawan hierarki sosial yang sering membatasi eksplorasi kreatif para pelaku teater.
Dari tema itu semakin memperjelas bahwa teater sebagai seni yang tumbuh dalam masyarakat kerap kali menjadi refleksi dari kondisi sosialnya. Sekaligus pula ini menjadi ideologis dunia teater untuk melawan dominasi kelompok tertentu yang memiliki akses lebih luas terhadap panggung, sumber daya, dan perhatian publik. Oleh karena itu, upaya Lingkar Teater Jakarta Barat dalam mengusung Panggung Setara menjadi penting untuk membuka peluang bagi komunitas teater kecil agar memiliki ruang yang sama dalam berkarya dan berekspresi.
Mazhab Ideologis dalam Teater
Mazhab ideologis dalam teater telah berkembang sejak zaman Yunani kuno, ketika drama digunakan sebagai sarana refleksi sosial dan politik. Aristoteles, dalam "Poetika"-nya, merumuskan dramaturgi klasik yang menekankan struktur naratif dengan kausalitas yang jelas. Namun, seiring waktu, muncul berbagai aliran yang menentang konvensi ini. Pada abad ke-20, Bertolt Brecht memperkenalkan teater epik yang menantang dramaturgi aristotelian, mendorong penonton untuk berpikir kritis alih-alih larut dalam emosi. Teater rakyat di Amerika Latin pun berkembang sebagai perlawanan terhadap otoritarianisme, menegaskan bahwa panggung bukan sekadar tempat hiburan, melainkan juga alat perjuangan.
Dalam lanskap teater Indonesia, ide mengenai panggung sebagai ruang kesetaraan menemukan relevansinya. Konsep Panggung Setara mengedepankan prinsip inklusivitas dan keadilan, di mana setiap pelaku seni memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi tanpa terhambat faktor ekonomi, gender, atau latar belakang sosial. Seperti halnya teater epik Brecht yang mengusung kesadaran politik, Panggung Setara membuka ruang bagi berbagai ekspresi yang lahir dari pengalaman kolektif masyarakat. Hal ini menjadikan teater tidak lagi sekadar milik segelintir kelompok elite budaya, melainkan milik semua yang memiliki ketertarikan dan bakat dalam seni pertunjukan.
Gagasan ini juga berkelindan dengan perkembangan seni pertunjukan kontemporer yang semakin menekankan kolaborasi dan keterbukaan. Sejarah menunjukkan bahwa seni selalu berkembang dalam dialektika antara tradisi dan inovasi. Dari tragedi Yunani yang monumental hingga teater modern yang mengeksplorasi bentuk-bentuk eksperimental, keberagaman selalu menjadi kekuatan utama. Dengan demikian, Panggung Setara dapat menjadi wacana baru dalam diskursus seni pertunjukan yang mengakomodasi berbagai perspektif dan ekspresi.
Munculnya konsep ini tidak hanya mengubah cara produksi teater, tetapi juga memperluas pemahaman tentang seni pertunjukan sebagai medan sosial yang dinamis. Dalam teater Yunani, struktur dramatik mencerminkan hierarki masyarakat; dalam teater Brecht, jarak emosional antara aktor dan penonton menjadi strategi untuk membangun kesadaran kritis. Kini, Panggung Setara menawarkan pendekatan yang lebih partisipatif, meniadakan batas-batas kaku antara penonton dan pemain, menciptakan interaksi yang lebih demokratis dan reflektif.
Dengan mengacu pada sejarah panjang pergerakan teater dunia, Panggung Setara memiliki potensi untuk menjadi sebuah mazhab ideologis baru dalam teater Indonesia. Jika Yunani kuno membangun fondasi dramaturgi, Brecht menantangnya dengan perspektif kritis, dan teater rakyat di Amerika Latin menjadikannya alat perlawanan, maka Panggung Setara hadir sebagai ruang baru yang mengakomodasi kebebasan ekspresi tanpa batasan struktural yang mengekang. Dalam dinamika seni pertunjukan yang terus berkembang, gagasan ini membuka kemungkinan bagi ekosistem teater yang lebih adil dan inklusif.
Panggung Teater yang Inklusif
Sejarah teater menunjukkan bahwa seni pertunjukan selalu berkaitan erat dengan dinamika sosial, politik, dan ideologi. Teater Yunani kuno mencerminkan struktur masyarakatnya, dimana tragedi menjadi media refleksi atas tatanan politik dan nilai-nilai moral. Bertolt Brecht, dengan teater epiknya, menantang status quo dengan menawarkan bentuk teater yang membangkitkan kesadaran politik dan menolak hiburan pasif. Sementara itu, teater rakyat di Amerika Latin menjadi alat perlawanan terhadap otoritarianisme, membuktikan bahwa seni dapat menjadi instrumen perubahan sosial yang efektif.
Dalam konteks Indonesia, Panggung Setara hadir sebagai respons terhadap ketimpangan dalam dunia seni pertunjukan. Konsep ini bukan sekadar model estetika, melainkan sebuah pernyataan politik yang menegaskan pentingnya kesetaraan dalam akses dan partisipasi. Dengan mengedepankan prinsip inklusivitas dan keadilan, Panggung Setara berupaya mendemokratisasi teater agar tidak hanya dikuasai oleh elite budaya, melainkan juga dapat diakses oleh komunitas yang lebih luas. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh kepentingan ekonomi dan politik, seni yang inklusif menjadi alat penting untuk merekatkan keberagaman sosial.
Agar Panggung Setara menjadi paradigma baru dalam dunia teater Indonesia, diperlukan langkah-langkah konkret dalam kebijakan budaya nasional. Pemerintah dan lembaga budaya memiliki peran strategis dalam menciptakan ekosistem teater yang lebih setara. Subsidi bagi komunitas teater kecil, penyediaan ruang pertunjukan yang terjangkau, serta pelatihan bagi generasi muda merupakan beberapa langkah yang dapat memperkuat akses terhadap dunia seni pertunjukan. Selain itu, kebijakan yang mendorong keterbukaan dan pluralitas dalam produksi teater dapat memastikan bahwa berbagai suara dan perspektif mendapat tempat di panggung nasional.
Advertisement
Penting pula bagi komunitas teater kecil untuk berkolaborasi dengan institusi seni yang lebih mapan. Sinergi ini dapat menciptakan jembatan antara kelompok yang memiliki akses terbatas dengan mereka yang memiliki jaringan dan sumber daya lebih luas. Sejarah menunjukkan bahwa inovasi dalam seni sering kali lahir dari pertemuan antara tradisi dan eksperimentasi, antara yang marjinal dan yang mapan. Dengan demikian, Panggung Setara tidak hanya menjadi sebuah teori pertunjukan, tetapi juga sebuah gerakan sosial yang memperjuangkan kesetaraan dalam dunia seni.
Dengan mengacu pada perkembangan teater dunia, Panggung Setara memiliki potensi untuk menjadi mazhab ideologis baru dalam seni pertunjukan Indonesia. Jika Yunani kuno membangun fondasi dramaturgi, Brecht menawarkan perspektif kritis, dan teater rakyat di Amerika Latin menggunakannya sebagai alat perjuangan, maka Panggung Setara hadir sebagai ruang demokratis bagi ekspresi seni yang beragam. Dalam dinamika politik dan sosial yang terus berubah, konsep ini menawarkan kemungkinan baru bagi teater sebagai medium transformasi budaya dan sosial.
Pendekatan Partisipatif dalam Seni Pertunjukan
Teater sebagai bentuk seni pertunjukan memiliki potensi besar untuk menjadi ruang inklusif yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Dalam konteks ini, pendekatan partisipatif dalam seni pertunjukan menjadi esensial, karena memungkinkan teater berkembang sebagai ruang dialog dan ekspresi bagi semua pihak. Panggung Setara, sebagai gagasan ideologis dalam dunia teater, menekankan pentingnya kesetaraan dalam seni pertunjukan. Dengan membuka ruang bagi semua individu tanpa memandang latar belakang, Panggung Setara tidak hanya menjadi simbol inklusivitas, tetapi juga mendorong lahirnya karya-karya yang lebih relevan dengan realitas sosial.
Pendekatan partisipatif dalam seni pertunjukan berarti melibatkan masyarakat secara aktif, tidak hanya sebagai penonton tetapi juga sebagai bagian dari proses kreatif. Model ini memungkinkan interaksi dua arah antara pemain dan audiens, menciptakan pengalaman teater yang lebih hidup dan dinamis. Panggung Setara mengadopsi model ini sebagai upaya untuk menantang struktur teater yang hierarkis dan eksklusif. Dengan menempatkan masyarakat dalam peran yang lebih aktif, teater tidak lagi menjadi milik segelintir elit, tetapi menjadi medium komunikasi yang dapat diakses oleh siapa saja.
Dalam praktiknya, Panggung Setara menekankan pentingnya kolaborasi dalam produksi pertunjukan. Setiap individu, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, atau disabilitas, memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam berbagai aspek teater, mulai dari skenario hingga eksekusi di panggung. Hal ini mencerminkan nilai-nilai demokratis yang menjadi landasan utama Panggung Setara. Dengan demikian, teater tidak lagi menjadi sekadar tontonan, tetapi juga menjadi wadah yang memperkuat kesadaran sosial dan empati dalam masyarakat.
Selain mendorong inklusivitas, Panggung Setara juga menantang norma-norma yang selama ini membatasi akses individu dalam seni pertunjukan. Melalui pendekatan ini, teater tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat transformasi sosial yang mampu menggugat ketidakadilan dan ketimpangan. Dengan memberikan ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan, Panggung Setara menghadirkan perspektif baru dalam dunia seni, menjadikan teater sebagai ruang yang lebih berdaya bagi semua.
Dengan berbagai langkah ini, Panggung Setara tidak hanya menjadi tema perayaan Hari Teater Dunia, tetapi juga sebuah gerakan budaya yang menantang ketidakadilan dalam dunia seni pertunjukan. Jika gagasan ini terus diperkuat dan dikembangkan, bukan tidak mungkin Panggung Setara akan menjadi paradigma baru yang mengubah wajah teater Indonesia menuju arah yang lebih demokratis dan inklusif. Dalam jangka panjang, pendekatan partisipatif ini dapat menciptakan masyarakat yang lebih sadar akan pentingnya keterlibatan dan kebersamaan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam seni pertunjukan.***
*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku “Manusia Dibedakan Demi Politik” (2020), serta kumpulan puisi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa”.