Rizal
Sofyan
Hujan mengguyur Gelanggang Olah Rasa di Jalan Bukit Pakar
Utara. Hari
Jum’at, 7 Maret 2025 itu bertepatan dengan pembukaan Pseudo-Entertainment dari
Bandung Performing Art Forum (BPAF). Program yang dikelola oleh Taufik Darwis bersama teman-teman panitia
menyita ini perhatian skena seni di Bandung. Pembukaan acara presentasi karya
hasil residensi ini berlangsung ramai walau suara harus bertarung dengan deras
suaranya hujan di sore itu. Menurut Taufik Darwis, acara presentasi karya hasil
residensi ini berlangsung selama 3 hari dari tanggal 7 hingga 9 Maret 2025 di
tempat berbagai lokasi di Kota Bandung.
Saat itu saya sudah reservasi untuk melihat presentasi
karya dari Rama Anggara yang berjudul Bagaimana Jika Kini Sungai Berbalik
Memunggungimu?. Presentasi karya ini dilaksanakan di studio black box.
Ruangan untuk presentasi di tata dalam bentuk panggung proscenium yang
hanya cukup untuk 16 orang saja dalam 1 sesi. Terlihat 2 orang di depan
penonton yaitu Rama dan rekannya. Rama mengoperasikan laptop sementara rekannya
memainkan alat musik kecapi dan vokal.
Pertunjukan dimulai dengan Rama yang memberikan
pernyataan terkenal dari Brouwer yaitu “Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang
tersenyum”. Kalimat yang familiar jika dikaitkan dengan Kota Bandung. Kalimat
ini dapat ditemukan di bawah Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) Jalan Asia
Afrika dekat Alun-Alun Kota Bandung. Lalu ia memutar ambient
bentang alam di Bandung yang diputar dalam konsep audio 360˚. Atmosfir di dalam
studio black box menjadi bentang alam hasil dari penataan suara. Di belakang
penonton seakan-akan hadir sungai yang mengalir beserta riak-riaknya. Sementara
di hadapan penonton adalah hutan dengan segala hiruk pikuknya.
Seketika
petikan kecapi dari rekan Rama menambah warna baru dalam pertunjukan ambient
tersebut. Ia menambahkan vokal
dengan lirik terjemahan dari ”Hana Nguni Hana Mangke, Tan Hana Nguni Tan
Hana Mangke”. Lirik ini merupakan filosofi Sunda yang berarti ”ada sekarang
ada dahulu, tak ada sekarang tak ada dahulu”. Lirik ini menjadi pengantar dari
pesan yang ingin disampaikan sekaligus benang merah dramatik. Karena setelah
ini, ambient berubah menjadi riuh kota dengan suara kendaraan dan
kebisingan kota lainnya. Konsep audio 360˚, kembali menciptakan pengalaman
seperti di pinggir jalan tepatnya di perempatan. Ditambah kini pemetik kecapi
menambah variasi lirik yang bergaya anekdot seperti acara drama radio terkenal
Cangehgar. Hanya saja isi dari anekdotnya menyindir masalah ekologi. Dibawakan
dengan gaya bahasa kekinian, ia mempertemukan kebucinan dan masalah ekologi.
”Jangan mau sama yang ga cinta sama alam, sama alam aja ga peduli apalagi sama
kamu” begitulah kira-kira isi anekdotnya.
Pertunjukan ditutup oleh Rama dengan pertanyaan bagaimana
jika kini sungai berbalik memunggungimu. Penyataan tersebut seketika membuat
saya merefleksikan kembali keadaan ekologi dan masa depan dari Kota Bandung. Realitas
atas Bandung hari ini yang kini terasa mulai gerah, mumet, padat, dan tak
terkendali lajunya menyeruak dalam pikiran setelah Rama melontarkan hal
tersebut. Pernyataan anekdot dalam pertunjukan tersebut kini terasa lebih
logis.
Pertunjukan Rama mengingatkan saya pada bentuk tradisi di
Baduy. Pada tahun 2023 saya menerima undangan untuk kegiatan Kantor Bahasa
Provinsi Banten untuk mempelajari sastra lisan di Baduy yaitu Pupulih. Pupulih
ini seperti dongeng sebelum tidur. Ia tidak hanya diceritakan secara lisan,
tetapi biasanya diiringi oleh alat musik kecapi buhun dan gaya berceritanya
dengan cara menembang. Isi cerita mengenai mitologi yang berisi pesan moral.
Suatu ketika saat demonstrasi Pupulih kepada peserta, saya dan sebagian
peserta tertidur. Mungkin karena lelah atau memang alam di siang hari itu terasa
nyaman untuk memejamkan mata. Panitia dan peserta hanya bisa
bercanda bahwa Pupulih memang benar dongeng pengantar tidur.
Advertisement
Saya
lihat Rama berangkat dari material ambient alam dan kota yang bertolak
belakang. Kemudian ia merangkainya dalam kerangka naratif. Ia ingin bercerita
mengenai masa lalu, masa kini, dan masa depan lewat bentuk ambient
naratif. Suasana yang diberikan dalam pertunjukannya ialah suasana yang
meditatif. Jika melakukan
pencarian di Youtube, ambient selalu dihubungkan pada kegiatan relaksasi
seperti tidur dan meditasi. Nampaknya lewat situasi yang meditatif Rama ingin
mengantar penonton untuk merenungkan kembali dosa-dosa manusia kepada ekologi.
Ambient
ini bercerita bahkan ditambahkan unsur vokal beserta liriknya. Rama
mengadaptasi bentuk tradisi – saya mencurigai bentuk tradisinya ialah Pantun
Sunda. Kemudian ia melakukan adaptasi konten pada isi cerita. Jika saya baca,
Rama ingin bahasa dan situasi yang kontekstual dengan masa kini, sehingga
lahirlah teks anekdot yang memiliki karakter yang dekat dengan masa kini. Terlebih Rama menempatkan posisi di masa lalu. Ia mewakili
suara dari masa lalu – termasuk filosofinya – untuk menyindir masa kini.
Sepintas dua hubungan itu menciptakan pertanyaan terhadap masa depan.
Pertunjukan ini terasa sangat lambat, kurang cocok bagi penganut fast culture atau kurang sreg bagi yang terbiasa grasak-grusuk. Bagi saya, durasi ambient atau variasi dari ambient perlu dikembangkan. Agak monoton rasanya di 3/4 pertunjukan. Pilihan irama hingga warna suara pada petikan frekuensi tinggi di kecapi merusak atmosfir meditatif. Petikan itu seperti menyiratkan kesan ancaman dan karakter horor, tetapi mengganggu komposisi yang sudah dibangun.
Jika boleh, saya ingin tidur di pertunjukan ini seperti halnya yang saya lakukan di demonstrasi Pupulih tahun 2023 silam karena ambient yang begitu rileks. Hanya saja Rama tidak membiarkan itu terjadi. Ia ingin saya rileks sambil memikirkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ia membicarakan eksistensi di mana saya harus tetap terjaga untuk merefleksikan keadaan tempat di mana saya tinggal. Pertunjukan ini terlalu syahdu untuk membicarakan kerusakan. Paradoks.