Penulis: Ambrosius Markus Loho, S.Fils., M. Fil (Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Katolik De La Salle Manado, Pegiat Seni Tradisi)
Tari maengket sering dianggap entah sebagai tarian atau nyanyian atau pula tarian sambil bernyanyi. Kendati begitu, di Minahasa atau pada umumnya orang mengenal bahwa Maengket adalah sebuah tarian saja.
Dari fakta itu maka maengket dapat dipandang ssbagai sebuah seni yang menggabungkan antara gerak, nyanyian tradisi dan (notasi) musik Minahasa, demikian penulis suka menyebutnya.
Dalam kapasitas sebagai pegiat estetika, penulis meyakini entahkah maengket itu sebagai tarian, musik, nyanyi dan bahkan hal yang lainnya, namun yang terpenting, Maengket ini berbasis pada tradisi Minahasa yang kuat, yang juga bersumber/ berlatar seni Mazani, sebuah seni bernyanyi di Minahasa. Bahkan melampaui itu, nilai kultural Minahasa, terutama sastra/bahasa Tombulunya sangat kuat. Hal ini nyata dalam rajutan syair berbahasa Tombulu, di mana hal itu terbangun dari apa yang dihidupi di Minahasa (way of life), yang dilantunkan/dinyanyikan oleh para penari Maengket.
Jika kita melihat secara lebih mendalam dan detail pada masing-masing babak Maengket, yaitu Maramba, Makamberu dan Lalayaen, 'jalan hidup', laku hidup atau apa yang dihidupi orang Minahasa di zaman duli, bahkan sampai saat ini (?), adalah apa yang dirajut dalam sastra Maengket itu. Semua dirajut dengan kata, kalimat, kemudian dinyanyikan secara bersama-sama.
Praktisnya, babak pertama Maramba menceritakan tentang tradisi menaiki/memasuki rumah baru, dengan ritual adat. Ritual menaiki rumah baru ini, atas cara tertentu menjadi pertanda bahwa sebuah rumah harus diuji kekuatan konstruksinya dengan gerakan rumamba (menginjak-injak) lantai rumah dengan kekuatan penuh. Dalam syairnya berbunyi demikian: "ya meyemo kita, meyemo, rumamba mo, rumamba mo tumbale weru e" (hai marilah kita semua, mari kita menginjak-injak lantai rumah, menginjak-injak rumah baru).
Advertisement
Sementara itu, babak kedua, Makamberu menunjuk kepada nyanyian dalam tarian berupa perayaan syukur atas panen padi orang Minahasa. Ketika mereka memetik padi, mereka menyanyikan dengan gembira dan sukacita, karena panen ini adalah hasil yang mereka tuai. Kamberu (padi baru, makanan baru) adalah berkat dan bahkan ungkapan kasih yang Maha Kuasa (meyrara'ateme ni Wailan), kepada manusia. Hal ini mengandung makna bahwa kehidupan manusia adalah sebuah berkat dari Yang Mahakuasa. Maka dari itu, kita perlu memaknainya dengan ucapan syukur dan doa.
Demikian juga dalam babak ketiga Lalayaen, sebuah bentuk cerita muda mudi yang bertemu namun tetap bersyukur kepada Tuhan. Hal ini menandakan bahwa perjalanan kehidupan sepasang muda mudi, untuk ukuran tertentu, berada dalam penyelenggaraan Ilahi. "Mahalik lik antana aku imenero genang genangan, Sangalian endo inania wo tare kita mawerenan, Pina liliuz kula makasa ko karia". Semua proses perjalanan pemuda-pemudi dalam usaha mencari, mengenal dan mengasihi satu sama lain, membangun ingatan dan kenangan satu sama lain. Semua itu pun pada akhirnya disatukan dengan ucapan syukur kepada Tuhan, lewat ungkapan "Wailan tumou tou tou, itou tou irake-rakek ta e" Yang Mahakuasa hidup dan dipuja puji.
Semua ini, pada akhirnya menjadi pembelajaran untuk semua, bahwa sebuah seni apapun bentuknya, berakar dari tradisi yang kental dan kuat. Tradisi itu menjadi lambang/ simbol hidup orang setempat. Dalam konteks tulisan ini, nilai kultural, makna dan simbol dalam sastra Maengket, merupakan sesuatu yang telah dan sedang dihidupi orang Minahasa sejak dahulu sampai saat ini. Sigi Wangko Nai Peleng e....