Kenapa Warga Indonesia Menggandrungi Film Horor? Sebuah Jawaban Jujur -->
close
Pojok Seni
07 March 2025, 3/07/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-03-07T01:13:46Z
ArtikelUlasan

Kenapa Warga Indonesia Menggandrungi Film Horor? Sebuah Jawaban Jujur

Advertisement
Kenapa penduduk Indonesia menggandrungi film horor
Kenapa penduduk Indonesia menggandrungi film horor

Oleh: Adhyra Irianto


PojokSeni - Film terlaris sepanjang masa di Indonesia, masih dipegang oleh film horor berjudul KKN di Desa Penari dengan total penonton lebih dari 10 juta penonton. Dari 10 film terlaris sepanjang masa di Indonesia, 5 di antaranya adalah film horor, antara lain KKN di Desa Penari, Pengabdi Setan 2: Communion, Vina Sebelum 7 Hari, Sewu Dino, dan Kang Mak from Pee Mak.


Dari 100 film terlaris sepanjang masa di Indonesia, 50 persen di antaranya adalah film horor. Bahkan, film "debut" Baim Wong sebagai sutradara bergenre horor berjudul Lembayung duduk di posisi 78 film terlaris sepanjang masa.


Sekarang kita beralih ke film asing yang terlaris di Indonesia. Nyaris semuanya adalah film superhero dengan "kekuatan luar biasa" semacam Avengers: Endgame yang duduk di posisi pertama, disusul Spider-Man: No Way Home. Terus sampai posisi 18 diisi dengan film "imajinasi tingkat tinggi" seperti Jumanji, Frozen, dan Jurassic Park. Sampai posisi 19, baru ada film non superhero yang muncul. Dan bisa ditebak film genre apa? Yah... lagi-lagi horor.


Untuk film Indonesia, penonton datang untuk menonton film horor. Sedangkan film asing, penonton datang untuk menonton superhero. Pertanyaannya, kenapa Indonesia suka dengan film horor? Atau minimal film yang berisi orang-orang dengan kekuatan luar biasa?


Bayangkan saja, CEO MD Pictures, Manoj Punjabi berkata bahwa film horor itu bisa diterima masyarakat banyak Indonesia karena "relate" dengan orang Indonesia. Relate? Jutaan orang Indonesia relate dengan cerita horor?


Relate yang dimaksud adalah "relate dengan budaya dan kepercayaan" masyarakat. Bukannya ini cukup berlawanan dengan tingkat relijiusitas orang Indonesia? Bisa dibilang, jumlah orang yang "beragama" di Indonesia itu hampir 100 persen. Berapa persen sih paling-paling yang menganut "aliran kepercayaan" di negara ini (apalagi atheis). Tapi, kenapa film horor yang paling digandrungi?


Sejumlah ulasan yang mengungkap alasan kenapa Indonesia suka film horor, tidak secara "jujur" menyebutkan alasannya. Yah, kalau secara jujur, maka mereka langsung saja bilang alasan utamanya; karena animisme dan dinamisme di Indonesia tidak bisa dihilangkan dari kultur asli. 


Animisme dan Dinamisme, Bahkan Totemisme 



Satu hal yang tidak bisa dihilangkan dari Indonesia adalah percaya pada roh leluhur, makhluk lain yang gaib dan bisa mengganggu bahkan menyentuh manusia, serta kepercayaan pada tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan, seperti gua, pohon, batu besar, sampai bangunan tua, karena dipercayai ada penghuninya. Dan, tentunya itu adalah penciri animisme dan dinamisme.


Ada satu lagi istilah yang jarang terdengar, tapi cukup kentara di temukan di Nusantara. Itu adalah totemisme. Berbeda dengan animisme dan dinamisme, totemisme adalah kepercayaan bahwa ada kekuatan tertentu pada hewan/spesies lain selain manusia. Karena itu, ada kepercayaan yang dikait-kaitkan dengan spesies hewan lain; seperti kucing hitam yang bisa membuat mayat hidup lagi bila melangkahi, kupu-kupu sebagai pertanda ada tamu jauh yang akan datang, dan sebagainya.


Masalahnya adalah, Nusantara ini terbiasa dengan animisme dan dinamisme (juga totemisme) itu jauh lebih lama daripada "beragama" yang dibawa dari luar. Sebagai informasi saja, manusia modern Nusantara diduga adalah proto melayu yang masuk membawa kebudayaan neolitikum pada 1500 SM. Deutro melayu masuk ke Nusantara 1000 tahun setelahnya, atau sekitar 500 SM.


Itu berarti, hingga saat ini, yakni abad ke-21, kehidupan di Nusantara (dihitung dari Proto Melayu) itu sudah berjalan sekitar 3100 tahun. Hindu sebagai "agama resmi" yang masuk pertama di Nusantara baru dikenal di abad ke-5, alias 1500 tahun yang lalu. Itupun baru menyebar dengan masif sekitar 1000 tahun yang lalu. 


Berarti, animisme dan dinamisme telah dijalani selama 2.100 tahun lebih lama oleh mayoritas penduduk Nusantara, bila dibandingkan dengan Hindu. Apalagi dibandingkan dengan agama yang masuk lebih belakangan, seperti agama Samawi (Islam dan Kristen).


Maka, bisa disimpulkan bahwa perkara: hantu, roh, arwah, tempat angker, penunggu, dan setipenya, itu sudah lebih lama (ribuan tahun) menghuni pikiran publik di Nusantara. 


Ada alasan lain, kenapa animisme dan dinamisme tidak bisa dihilangkan sepenuhnya dari psikologi masyarakat Indonesia. Kita lanjutkan di bawah ini.


Hutan, Penunggu, dan Kegelapan


Selain itu, mari lihat fakta lainnya. Mari lihat peta "kuno" pulau Jawa berikut ini.




Lihat foto di bawah ini, bagian yang dilingkari warna merah itu adalah Sunda Kelapa, alias Jakarta sekarang. Dan bisa dilihat deretan kota-kota yang tercatat di peta tersebut, semuanya berada di tepi pantai!



Seakan-akan sebagian besar pulau Jawa itu berisi tempat yang kosong. Kenapa bisa seperti itu?


Lihat foto berikut: 



Karena pada abad ke-15 perjalanan dari Jakarta menuju Panaruca (sekarang Panarukan) di Jawa timur  itu melalui Laut. Bahkan dari Jakarta ke Pragota (sekarang Semarang) juga dilalui lewat laut. Bagian tengah-tengah pulau Jawa adalah hutan. Bahkan sampai abad ke-18 ketika Kerajaan Mataram telah berada di masa puncaknya pun, lalu lintas di Jawa masih mengandalkan jalur laut. 


Yah, pertama kali jalur darat digunakan di Pulau Jawa adalah ketika Daendels membangun jalur Anyer - Panarukan pada sekitaran tahun 1811. Kalau Daendels saat itu belum terpikir membuat jalur tersebut, bisa dibayangkan sampai tahun berapa orang Indonesia masih tinggal di hutan-hutan? Kota satu dan lainnya terpisahkan oleh hutan? Bahkan rumah satu dan rumah lainnya juga terpisahkan hutan?


Itu Jawa, loh yah. Daerah dengan penduduk terpadat di Indonesia, yang dibangun terlebih dulu, dan pusat pemerintahan sejak era kolonial. Bayangkan pulau-pulau lainnya!


Karena itu, lahirlah mitos jangan keluar rumah saat magrib, karena nanti diculik genderuwo atau makhluk lainnya. Yah, karena setelah magrib, semua tempat tersebut akan sangat gelap. Ada banyak hewan buas yang siap menunggu anak malang lewat di depan mereka ketika hari mulai gelap.


Karena itu juga, baik pepohonan, semak belukar, gua, gunung, bukit, dan sebagainya, semuanya dianggap memiliki penunggu yang akan berbuat jahat bila seseorang melakukan hal yang sembarangan di tempat itu. Hal inilah yang terus bertahan sampai saat ini, meski jalanan sudah memiliki lampu jalan, dan tidak harus lewat hutan lagi untuk ke rumah tetangga.


Kepercayaan yang Masih Tertinggal




Meski sudah mayoritas beragama Samawi (Islam 83%, Kristen Katolik+Protestan 10%), tapi makhluk-makhluk mitologis peninggalan era animisme & dinamisme akan tetap hidup di pikiran masyarakat Indonesia. 


  • Dewa-dewa misalnya, dipimpin oleh dewa besar yang menurut kepercayaan Hindu-Buddha disebut Batara Guru. 
  • Dewi-dewi, seperti Bidadari yang hidupnya di "tengah" alias bukan di surga, juga bukan di bumi. Karena itu, "mandi"nya harus di bumi.
  • Selain itu makhluk sejenis "babodo'" atau yang hanya muncul malam dan bertugas menculik anak-anak di luar rumah sehabis magrib. Wewe Gombel, Genderuwo, dan sebagainya adalah makhluk jenis ini. 
  • Berikutnya, juga ada "arwah penasaran" yang akan jadi hantu, sejenis pocong, kuntilanak, dan sebagainya. Biasanya, akan berbuat jahat karena membalas dendam dan sebagainya. 
  • Kemudian ada sebangsa "jin" yang bukan makhluk setipe manusia, atau berasal dari manusia (seperti roh, atau arwah), tapi "dipelihara" oleh manusia. Tuyul, jin dalam botol, dan sebagainya adalah tipe-tipe makhluk yang ini.
  • Terakhir, mungkin ada "penyihir" alias "dukun", yang merupakan manusia biasa, namun memiliki "ilmu sihir" dan bisa melakukan banyak hal yang "ajaib". 


Deretan "makhluk-makhluk" tersebut adalah "peninggalan" era animisme yang masih bertahan hingga saat ini. Film-film horor ikut menjaga "mempertahankan" mereka tetap ada di pikiran masyarakat Indonesia hingga saat ini.


Sedangkan peninggalan dinamisme berupa adanya jimat, entah itu pusaka, cincin, gelang, dan sebagainya, yang dianggap memiliki kesaktian tertentu. Bagian ini juga sulit dihilangkan, dan biasanya film horor juga akan melibatkan "tokoh sakti" yang memiliki senjata atau jimat untuk mengalahkan makhluk jahat tak kasat mata.


Sekarang, mari kita bayangkan sejenak psikologis orang-orang yang tinggal di tepi hutan. Keadaan sekitar (circumstances) adalah kegelapan, serba tidak pasti, lebih banyak marabahaya, dan tentunya misterius. Ketika malam hari mati lampu, maka kegelapan yang dulu memberi ketakutan pada "leluhur" diturunkan lewat cerita-cerita itu, akan kembali hadir.


Ada ketakutan yang terpendam dan diwariskan secara turun temurun di dalam tubuh manusia di seluruh pelosok Indonesia. Namun, tahukah Anda, kepercayaan pada makhluk tak kasat mata ini justru menyelamatkan peradaban Nusantara.


Bayangkan saja, nenek moyang kita bisa bertahan hidup dari berbagai jenis makhluk hidup dari hewan, tumbuhan, jamur, sampai bakteri membahayakan yang ada di hutan, karena lebih mawas diri. Juga bisa bertahan dari keadaan perubahan iklim karena meyakini makhluk penunggu laut, sungai, dan gunung? Hal-hal itu yang menjadi mekanisme pertahanan internal di tubuh nenek moyang kita, dan menjadi biografi tubuh bagi orang Indonesia.


Jadi, kenapa penduduk Indonesia masih sangat menggandrungi film horor? Jawaban di atas tentunya sudah memberikan penjelasannya. Tapi, apakah itu adalah hal yang buruk? Yah, tergantung perspektif Anda melihatnya. 


Karena kalau mau bicara relate, maka horor yang paling relate bagi penduduk Indonesia adalah: sakit dan tak punya duit. Salah satunya saja sudah sangat menakutkan, apalagi paduan keduanya sekaligus! Karena ada anekdot di negeri ini: Orang miskin dilarang sakit.

Ads