Catatan Sutradara: Tentang Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen -->
close
Pojok Seni
09 March 2025, 3/09/2025 08:30:00 PM WIB
Terbaru 2025-03-10T00:01:15Z
ArtikelUlasan

Catatan Sutradara: Tentang Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen

Advertisement

Oleh: Adhyra Irianto


Sejak awal akan kuliah di pascasarjana jurusan penciptaan seni teater, saya sudah mempersiapkan sebuah pondasi karya. Karya itu saya beri judul Ruang Tunggu, yang pertama kali diperkenalkan di publik pada Temu Teater Sumatera di Jambi tahun 2019, serta Temu Karya Teater Bengkulu di tahun yang sama. Saat itu, saya terpikir untuk mencari pondasi teoritis, dan membangun karya ini menjadi suatu bentuk yang baru.


Karya ini merupakan respon saya atas tingginya kasus bunuh diri di Provinsi Bengkulu, tempat yang saya tinggali hampir seluruh umur saya. Sejak 2021, khususnya, angka bunuh diri melonjak berkali-kali lipat bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, apalagi dibandingkan dengan pra pandemi Covid-19. 


Saya bekerja sebagai seorang jurnalis sejak 2011, maka di saat terjadi kasus bunuh diri di tahun 2021, saya datang ke lokasi sebagai seorang jurnalis. Masyarakat juga mengenali saya sebagai seorang jurnalis, sehingga saya bisa dengan leluasa mewawancarai sejumlah saksi mata. Maka, saya melakukan wawancara di sejumlah kasus bunuh diri dan saya menemukan dua fakta yang paling mengejutkan; (1) jumlah kasus bunuh diri yang dilakukan pria, jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang dilakukan wanita. (2) Mayoritas korban bunuh diri ini sempat mendatangi orang yang ia percayai sebelum akhirnya mengakhiri nyawanya.


Ketika saya bilang bahwa markas Teater Senyawa adalah tempat yang bisa didatangi untuk siapapun yang depresi, maka sebagian besar yang bercerita, dan melampiaskan masalah hidupnya lewat kelas drama, rata-rata adalah wanita. Wanita lebih mudah bercerita, mengeluh, dan menangis, sehingga tekanan yang ada di dalam dirinya bisa dirilis secara perlahan.


Tapi, hal itu akan sulit dilakukan oleh laki-laki. Seakan ada stigma yang kuat melekat di masyarakat, bahwa laki-laki tidak boleh menangis, tidak boleh bercerita, dan tidak boleh mengeluh atas keadaan yang menimpanya. Ada korban perundungan, ada yang putus cinta, ada juga yang tertekan karena masalah ekonomi, tapi mereka memilih menyimpannya sendiri.


Ketika masalah tersebut sudah tak tertahankan lagi, korban memilih untuk menceritakannya pada orang yang ia percayai. Namun, orang yang terakhir didatangi, justru menertawakan atau menyalahkan korban atas tekanan yang ia alami. Mereka akan menuding bahwa semua yang terjadi pada diri korban itu, adalah karena apa yang korban itu lakukan sebelumnya. Maka, tidak ada pembelaan, atau mungkin hal yang bisa meringankan para korban ini. Sehingga, tadinya mungkin ia ragu-ragu untuk mengakhiri hidup, selanjutnya malah menjadi semakin kuat keinginannya untuk bunuh diri.


Riset kecil-kecilan itu menjadikan saya berasumsi bahwa orang-orang yang telah tertekan dan melihat absurditas hidup secara jernih ini, tidak siap dan merasa sendirian. Mereka sudah kehilangan arah, kehilangan jati diri, juga kehilangan harapan. Ketika menceritakan perihal bunuh dirinya pada orang yang ia percayai, maka yang didapatkannya hanyalah tudingan, dan lagi-lagi tambahan kesedihan.


Inilah yang saya jadikan premis untuk menulis karya ini. Untuk memperkaya dan menjadikan pandangan saya lebih netral terhadap kasus ini, saya mencoba melihat kasus bunuh diri dengan perspektif sosiolog Emil Durkheim, serta filsuf Albert Camus. Lewat lakon ini, saya ingin menyatakan bahwa se-menyedihkan apapun situasi yang kita hadapi, kita bisa saling berbagi, menentukan sendiri makna subjektif hidup kita, dan menjalani hidup dari hari ke hari dengan adaptif. Bunuh diri, baik bunuh diri secara fisik maupun bunuh diri filosofis, bukan pilihan yang harus diambil.


Perjalanan Karya menjadi Montage-Absurd


Lakon yang paling pertama saya tulis berjudul Ruang Tunggu dan Pertanyaan tentang Catatan Akhir. Karya ini yang kemudian difragmentasi, serta direkonstruksi dengan pendekatan parabolic drama, sehingga menjadi berbentuk montase. Yah, sama seperti premis karya saya; saya juga harus adaptif. 


Beruntung, saya tidak sendirian, saya ditemani oleh teman-teman yang hebat. Tim yang hebat, tentunya akan membuat sebuah karya hebat. Tidak ada karya hebat yang lahir hanya karena tangan satu orang; dia harus lahir dari puluhan pasang tangan orang-orang hebat.


Naskahnya saya selesaikan selama satu bulan, ditulis dalam 7 fragmen berbeda. Bila saya analogikan, biasanya saya menulis naskah seperti menulis novel yang memiliki cerita yang linear, maka naskah ini saya tulis seperti menulis antologi cerpen. Masing-masing cerita memiliki satu benang merah yang sama, yakni sama-sama menceritakan hal-hal yang dapat membuat depresi, serta hal-hal terkait bunuh diri. Naskah tersebut saya tulis di Curup, setelah naskah selesai saya segera kembali ke Bandung. Saya menyampaikan pada teman-teman yang tergabung dalam tim ini,  Premis utama dari cerita ini adalah tidak ada idealisme atau nilai-nilai yang perlu dipertahankan hingga mengorbankan nyawa, karena kehidupan manusia jauh lebih berharga daripada idealisme itu sendiri. Pemaknaan terhadap hidup seorang manusia hanya bisa ditentukan oleh manusia itu sendiri, tanpa harus mengikuti apalagi tertekan dengan pemaknaan hidup dari orang lain. Bagaimana caranya, agar pertunjukan ini bisa tetap menyampaikan premis yang ingin saya sampaikan?


Dan pada akhirnya, semuanya berjalan dengan baik, dan saya membagi pembahasan ini menjadi menjadi dua, yaitu penjelasan mengenai strategi penerapan teori pada metode ini. Penerapan sejumlah teori dengan mengurai setiap detail proses mulai dari penyusunan premis, pembuatan aransemen per fragmen, penyusunan naskah, negosiasi naskah dengan dramaturgi dan realitas panggung, penyusunan dan penciptaan karakter, penciptaan tekstur pementasan, hingga penciptaan pementasan. Bagian kedua adalah penjelasan mengenai proses penyutradaraan dari konsepsi hingga pementasan.


Secara umum, alur rantai penciptaan ini digambarkan dalam bagan berikut.



Berdasarkan premis yang telah dibangun, saya menulis naskah per fragmen. Penulisan naskah berdasarkan premis mengadopsi teknik penulisan naskah yang diperkenalkan oleh Lajos Egri (2020). Egri menyebutkan bahwa struktur tulang diperlukan untuk membuat setiap karakter menjadi lebih hidup. Perbedaan dalam proses pembuatan teater montase-absurd adalah pembuatan cerita dilakukan per fragmen, bukan keseluruhan cerita. Namun, setiap karakter dibangun dalam tiga dimensi; psikologis, fisiologis, dan sosiologis untuk mendapatkan kedalaman.


Setiap fragmen terdiri dari 5-7 menit, dan melibatkan paling banyak 2-4 aktor dalam setiap frame. Dengan demikian, aktor bisa berperan ganda dan muncul di lebih dari satu fragmen. Ada dua atau tiga karakter yang paling mewakili premis, adalah aktor yang tidak mengalami atau menjalani pemeranan ganda. Setiap aktor bisa saja masuk kembali ke fragmen lain dengan karakter yang sama, namun tidak ada linearitas cerita atau plot. Setiap fragmen tetap menjadi bagian yang otonom dan tidak bergantung pada cerita sebelumnya.


Teater absurd, dalam konteks yang diteorikan oleh Esslin, adalah pertunjukan teater yang secara sengaja menghilangkan isu-isu intelektual, tuntunan moral, dan spiritualitas. Pembahasan utama dalam teater absurd adalah absurditas kehidupan yang digambarkan sebagai mimpi buruk. Manusia ada karena pilihannya untuk bertindak secara bebas dan merdeka, sekaligus bertanggung jawab atas kebebasan tersebut. Ketidakbebasan atau keterkungkungan menghasilkan penderitaan metafisik, sementara keterkungkungan berasal dari makna orang lain yang dipaksakan untuk mengakui kebenaran objektif. Teater absurd memiliki gagasan asli eksistensialisme, bahwa paradoks kebebasan menghasilkan absurditas dunia. Kebebasan setiap manusia akan bergesekan satu sama lain, yang digambarkan oleh Sartre dalam drama Pintu Tertutup (judul asli Huis Clos, dalam Debray, 1980).


Teknik yang digunakan untuk menyusun naskah adalah teknik montase yang diperkenalkan oleh Sergei Eisenstein, yang kemudian diadopsi ke dalam teater oleh Bertold Bretch. Tujuan penggunaan teknik ini adalah untuk menghasilkan lebih banyak idiom, dari tampilan penjajaran peristiwa dalam bentuk fragmen-fragmen yang berdiri sendiri. Teknik yang digunakan untuk menyusun naskah adalah teknik montase yang diperkenalkan oleh Sergei Eisenstein, yang kemudian diadopsi ke dalam teater oleh Bertold Bretch. Tujuan penggunaan teknik ini adalah untuk menghasilkan lebih banyak idiom, dari tampilan penjajaran peristiwa dalam bentuk fragmen-fragmen yang berdiri sendiri.


Dari metode ini, saya membagi berbagai kemungkinan atau motif bunuh diri ke dalam fragmen-fragmen yang berdiri sendiri. Beberapa fragmen dimaksudkan untuk menertawakan absurditas kehidupan. Perpaduan montase dengan gaya absurd ini membuat satu pertunjukan akan memiliki alur seperti ini:



Elaborasi bentuk ini didasarkan pada plot dramatis melingkar dari teater absurd, dan titik balik. Titik balik adalah titik ketika satu fragmen memudar, dan fragmen berikutnya memudar. Hal ini membuat struktur plot seperti bukit-bukit di mana setiap puncaknya tidak lebih tinggi dari yang lain. Kisah ini diceritakan seperti kumpulan cerita pendek yang terputus-putus, dan setiap cerita berdiri sendiri. Namun, setiap cerita memiliki benang merah yang mengacu pada premis yang telah dibangun sebelumnya.


Prototipe montase-absurd yang dibuat oleh penulis dimulai dari penulisan naskah berjudul Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen. Naskah ini terdiri dari 7 fragmen yang masing-masing berdurasi 6-7 menit. Masing-masing fragmen berdiri sendiri-sendiri (independen), sedangkan benang merah dari setiap fragmen adalah berbagai macam persoalan traumatik yang menjadi motif bunuh diri dalam berbagai kasus di Rejang Lebong. Ada tiga kasus bunuh diri yang menjadi rujukan utama, yaitu bunuh diri seorang mahasiswa IAIN Curup (fragmen 3), seorang suami yang ditinggalkan istrinya (fragmen 2), dan seorang korban perundungan yang merasa tidak dianggap oleh lingkungannya (fragmen 1). Fragmen-fragmen lainnya menjelaskan sikap yang diambil oleh seorang yang mengalami trauma, tekanan dari lingkungan sekitar, dan penggambaran absurditas kehidupan yang membuat seseorang putus asa hingga memutuskan untuk bunuh diri.


Saat inilah, naskah Ruang Tunggu & Pertanyaan tentang Catatan Akhir telah saya tutup halaman terakhirnya. Saya membutuhkan inovasi, dan montage-absurd ini bisa menjadi jalan terbaik. Alhasil, karya ini bukannya "berevolusi", tapi berganti wajah, meski masih memiliki premis yang sama. Saat inilah, karya Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen terlahir.


Proses Latihan Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen


1. Penciptaan Karakter: Akting Pasca-realis


Kaum avant-garde menolak realisme. Demikian juga, bentuk teater berikutnya dimulai dari gerakan absurdis. Karena alasan ini, gaya post-realistik lahir untuk mengakomodasi gaya pertunjukan avant-garde. Bentuk teater post-realistik merupakan pilihan untuk menggabungkan elemen-elemen presentasional dari teater klasik dan elemen-elemen representasional dari teater realis. Dialog yang digunakan adalah bahasa formal (sehari-hari) yang dipadukan dengan idiom-idiom seperti bahasa slank dan bahasa puitis.


Secara umum, teknik akting post-realistik dicirikan dengan penggunaan bahasa yang klise dan abstrak, berada di ruang kosong, jarang menggunakan warna-warna natural, pakaian yang tidak dapat diidentifikasi, karakter yang tidak terlihat natural, dan karakter yang menggambarkan sosok yang tidak nyata. Jenis akting ini digunakan untuk membangun karakter dalam pertunjukan teater montase-absurd ini. Secara umum, bentuk aktingnya adalah karikatural yang mendekati realistis.


2. Penyutradaraan: Tekstur Pertunjukan (Parabolic Drama)


Proses penyutradaraan mengadopsi metode Montecchi (2019) yang menjadikan sutradara sebagai penafsir utama sebuah proses, mulai dari menciptakan atau memodifikasi sebuah proses, kemudian mengimplementasikannya. Fase penciptaan dari konsepsi hingga desain, hingga latihan dan pertunjukan didasarkan pada keterlibatan para pendukung karya sebagai kolaborator. Hal ini memungkinkan lahirnya berbagai proses, termasuk mendapatkan kemungkinan artistik yang lebih spesifik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses penyutradaraan yang digunakan sebagai istilah dalam artikel ini adalah penyutradaraan sebagai sebuah prosedur untuk memenuhi, memahami, dan mewujudkan sebuah pertunjukan berdasarkan konsepsi yang telah dibangun sejak awal. Penyutradaraan kemudian menjadi sebuah proses yang mengiringi semua tahapan yang diuraikan dalam bagan di atas. Secara umum, struktur setiap fase penyutradaraan dapat disederhanakan menjadi tiga bagian pra-pertunjukan: analisis naskah, casting, latihan.


Penyusunan dan perumusan bentuk montase-absurd ini menggunakan pendekatan drama parabola yang diperkenalkan oleh Michael W. Bennett (2009). Konsepsi ini terutama digunakan untuk mengenali struktur dalam drama Waiting for Godot karya Samuel Beckett dan beberapa drama lain yang memiliki makna atau nilai filosofis yang paralel. Susandro, Afrizal, & Suisno (2020) menyebutkan bahwa alasan narapidana di San Quentin yang tidak berpendidikan tinggi dapat memahami pementasan Waiting for Godot adalah karena adanya paralelitas antara nilai filosofis pementasan dengan pengalaman empirik para narapidana. Ini adalah sesuatu yang tidak dimiliki oleh para kritikus dan akademisi di Paris pada tahun 1950-an. Artinya, bentuk pertunjukan teater absurd telah dirancang untuk sampai pada nilai yang menyatu dengan perasaan penonton. 


Pendekatan drama parabola ini saya terapkan mulai dari penulisan naskah hingga pementasan Pelukis & Wanita pada tahun 2019. Apa yang ingin disampaikan oleh penulis melalui pementasan tersebut dapat tersampaikan dengan baik, pada pementasan di Padang, Sumatera Barat pada 17 Desember 2019. Merujuk pada pementasan di San Quentin, berarti keselarasan nilai-nilai filosofis yang dimaksud telah diwujudkan melalui bentuk teater absurd seperti yang diteorikan oleh Esslin.


Drama parabola berada pada tataran ide, sehingga untuk mengaplikasikan dan mewujudkannya diperlukan kreativitas seorang sutradara. Oleh karena itu, teori kreativitas perlu dijelaskan untuk menjelaskan langkah kerja seorang sutradara dalam bereksplorasi dengan metode penciptaan montase-absurd.


3.Rehearsal


Rehearsal menurut Llyod Anton Frerer dibagi menjadi empat tahap, yaitu reading, blocking, line, dan finalisasi. Proses reading merupakan latihan yang diawali dengan comprehensive reading yang dilanjutkan dengan dramatic reading terhadap teks dialog.Dalam proses ini, pemilihan intonasi, penjelasan artikulasi, perubahan emosi, dilakukan dalam beberapa kali putaran.Proses ini juga didukung dengan pembedahan naskah, diskusi, untuk memperkuat pemahaman setiap detail adegan dalam sebuah fragmen.Proses ini dimaksudkan untuk membangun setiap komponen akting sebelum memasuki tahap blocking.


Blocking adalah teknik mengatur setiap detail langkah dan gerakan pemain untuk menghidupkan perilaku dan akting pemain di atas panggung (Anirun, 2002). Dalam latihan blocking untuk menciptakan pertunjukan teater montase-absurd, gerakan pemain dibebaskan dengan penjelasan setting.Setting panggung dalam teater montase-absurd didesain sangat minimalis. minimalisasi dalam pertunjukan montase-absurd dimaksudkan agar pemaknaan filosofis tentang kegelapan, dan kepolosan setiap individu lebih tervisualisasikan. "Minimalis art" ini menjadi dasar dan aturan dalam perumusan setting, yang akan memberikan efek signifikan pada latihan blocking. Sebagai contoh, drama Waiting for Godot karya Samuel Beckett hanya menampilkan sebuah pohon besar sebagai latar panggung.Ini adalah bentuk minimalisasi seni, sehingga simbolisasi yang dilakukan melalui setting dapat bekerja dengan baik.Sebuah pertunjukan montase-absurd harus didukung oleh latar belakang sederhana yang melambangkan atau memperkuat simbolisasi dari premis pertunjukan. Dalam prototipe pertunjukan montase-absurd yang dirancang oleh penulis, panggung hanya berisi level, kursi panjang, dan beberapa warna dari lampu ParLED.Tidak semua tempat dibanjiri cahaya, hanya beberapa titik yang diperlukan, menggunakan lampu profil (zoom/spot).


Hal ini memungkinkan lahirnya berbagai proses, termasuk mendapatkan kemungkinan artistik yang lebih spesifik.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses penyutradaraan yang digunakan sebagai istilah dalam artikel ini adalah penyutradaraan sebagai sebuah prosedur untuk memenuhi, memahami, dan mewujudkan sebuah pertunjukan berdasarkan konsepsi yang telah dibangun sejak awal.Penyutradaraan kemudian menjadi sebuah proses yang mengiringi semua tahapan yang diuraikan dalam bagan di atas. 


Secara umum, struktur setiap fase penyutradaraan dapat disederhanakan menjadi tiga bagian pra-pertunjukan: analisis naskah, casting, latihan. Penyusunan dan perumusan bentuk montase-absurd ini menggunakan pendekatan drama parabola yang diperkenalkan oleh Michael W. Bennett (2009). Konsepsi ini terutama digunakan untuk mengenali struktur dalam drama Waiting for Godot karya Samuel Beckett dan beberapa drama lain yang memiliki makna atau nilai filosofis yang paralel.


Latihan ini akan diikuti dengan latihan baris, yang bertujuan untuk menghafal titik-titik (garis) yang membentuk setiap gerakan, perpindahan, waktu dialog, dan perpindahan. Idealnya, latihan ini dilakukan selama seminggu penuh, agar setiap aktor mampu menghafal setiap gerakan, serta melepaskan ketergantungan pada naskah, dan menjadi lebih luwes di atas panggung. Latihan dilakukan secara cut to cut progress, mengingat pementasan dirancang dalam bentuk montase. 


Proses latihan terakhir adalah latihan terakhir, yaitu latihan runing-through. Gladi bersih ini dimaksudkan untuk melihat kelayakan sebuah karya, dan penyempurnaan elemen-elemen pementasan. Saat ini, kreativitas seorang sutradara ditujukan untuk memperkuat (atau mungkin melemahkan) interpretasi setiap karakter. Dalam konteks ini, kreativitas sutradara menurut Steinberg (Zhang & Steinberg, 2011) adalah keterlibatan kelancaran berpikir, fleksibilitas, elaborasi, dan orisinalitas. Penciptaan dengan metode montase-absurd, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, telah mengaplikasikan bentuk-bentuk elaborasi, kelancaran berpikir, dan fleksibilitas. Untuk menciptakan pertunjukan yang orisinil, eksperimentasi segala macam teknik pentas dilakukan pada tahap finalisasi latihan. Ini adalah proses melakukan dramaturgi dengan berpikir sambil berlatih (Bleeker, 2023). Proses ini disebut dengan making-thinking, yang memungkinkan hal-hal baru dirancang dengan berpikir kreatif, dalam merajut atau mengelaborasi materi-materi menjadi sebuah pertunjukan yang utuh. Pertunjukan menjadi pusat dari semua percampuran pemikiran di dalamnya.


4. Pertunjukan


Pada bagan proses penciptaan sebelumnya, tidak terdapat pementasan sebagai puncak akhir dari proses penciptaan. Hal ini disebabkan oleh pandangan penulis bahwa tugas seorang sutradara sudah selesai ketika pementasan dimulai. Hal ini sejalan dengan pernyataan Frerer (1996) bahwa ketika pementasan dimulai, stage manager akan mengambil alih tugas pengontrolan, dan pekerjaan sutradara telah berakhir. Setiap komponen dalam pementasan telah diberikan kuasa penuh, berdasarkan hasil diskusi dan komunikasi dengan sutradara pada proses sebelumnya. Dengan demikian, teater montase-absurd telah dipentaskan dan lepas dari tugas seorang sutradara.


Proses penciptaan teater montase-absurd dengan prototipe karya berjudul Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen dipentaskan pada bulan Oktober 2024, di Gedung Rumentang Siang. Bila Anda belum menyaksikannya, silahkan lihat video pertunjukannya di bawah ini:




Ads