Tari Kejei Rejang: Sakral atau Profan? -->
close
Pojok Seni
19 February 2025, 2/19/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-02-19T10:40:41Z
ArtikelBudaya

Tari Kejei Rejang: Sakral atau Profan?

Advertisement


Oleh: Adhyra Irianto


Beberapa waktu terakhir, ada semacam perdebatan antara seni yang diperbolehkan untuk "dikreasikan" dan mana seni yang tidak boleh. Sakralitas dari seni tersebut menjadi alasan utamanya.


Berdasarkan fungsi dan tujuan penciptaannya, seni terbagi menjadi dua; seni profan dan seni sakral. 


Mari kita bedah ontologisnya, apa itu seni profan dan apa itu seni sakral.


Simpelnya, seni profan itu dibuat dengan tujuan; ekspresi pribadi, tujuan sosial, estetika, dan hiburan. Karena itu, seni profan "bisa diduitkan".


Sedangkan seni sakral adalah seni yang ditujukan untuk tujuan spritual; agama dan ritual. Sifatnya adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan yang dipercayanya. Karena itu, seni sakral "tidak bisa diuangkan".


Apa yang masuk dalam kategori seni sakral? Yah, Anda bisa mendengarkan lantunan nada yang indah dari tilawah, qiroah, atau shalawat Nabi, itu adalah seni sakral. Atau, Anda mendengarkan musik Gregorian dalam peribadatan Kristen. Atau, Anda pernah melihat ritual keagamaan berbentuk tarian dan bersifat performatif lainnya.


Namun, ada banyak seni yang dulunya sakral, sekarang bergeser ke seni profan. Tari kecak misalnya, dulunya adalah semacam ritual dan hanya bisa dipentaskan saat-saat tertentu untuk hal-hal tertentu. Namun, untuk tujuan wisata, tari ini diperkenalkan jadi sebuah tontonan.


Tentunya, tari yang ada saat ini bukanlah tari yang dulu. Tari kecak yang sekarang adalah tari yang diciptakan oleh Walter Spies asal jerman bersama Wayan Limbak asal Bali pada tahun 1930-an. Namun, berkat "perubahan" dari sakral ke profan itu, tari Kecak dikenal luas bahkan hingga ke kancah internasional.


Begitu juga kesenian tradisional lainnya, yang rata-rata bersifat sakral dan ritual, juga tersentuh perubahan zaman. Globalisasi, teknologi, dan modernisasi, menggeser fungsi kesenian yang tadinya sakral, perlahan berpindah dimensi menjadi hiburan (profan).


Misalnya, shalawat nabi yang biasa dilantunkan sehabis ibadah, lebih bersifat sakral. Berbeda dengan shalawat nabi yang berada dalam album musik seorang musisi dan bisa diperjualbelikan, atau diperdengarkan secara masif lewat berbagai platform, bentuknya lebih profan. Karena itu, kreativitas pengkarya akan masuk dalam lagu tersebut.


Sisi positifnya, kesenian tradisional ini bisa dikembangkan secara kreatif dan bisa terus berkembang, mengikuti perubahan zaman tersebut. Karena seni adalah semangat zaman, maka seni pun terus berubah mengikuti zaman yang terus bergerak.


Seni yang termasuk dalam bahasan di atas (sakral menjadi profan) dan menjadi pembahasan khusus dalam artikel ini adalah Tari Kejei, yang merupakan tari dari Suku Rejang (salah satu suku tertua di Nusantara, bermukim di Provinsi Bengkulu).


Tari Kejei, tarian sakral yang bergeser ke profan


Tari Kejei Rejang


Tari Kejei dulunya adalah bagian dari acara Bekejei, yang digelar minimal 3 hari berturut-turut. Bahkan ada yang sampai 3 bulan.


Tari ini dimulai dengan ritual temu'un gong, yang berisi pembacaan mantra oleh Tuwei Batin (tuwei berarti tua atau tetua, batin berarti jiwa/spiritual), saat menurunkan (temu'un) alat-alat musik (di antaranya tentu gong). Alat musik akan diasapi oleh kemenyan sambil merapal mantra.


Tahap berikutnya adalah jampi limau anak sangei, yang berarti pemberian jampi limau (dedaunan yang diletakkan di air lalu diberikan mantra), yang kemudian dipercikkan ke anak sangei (penari). Tujuannya agar terhindar dari gangguan roh jahat.


Masuk ke tahap tari penyambutan, yang dilakukan dengan cara mengantarkan tamu atau orang yang diagungkan ke tempat duduk selama perayaan Kejei. Tari penyambutan ini ditarikan oleh 5 atau jumlah ganjil lainnya dengan satu orang membawa bokor berisi rempah, terpenting ada pinang, tembakau, sirih dan kapur sirih. Inilah yang kemudian ditawarkan pada tamu agung untuk dicicipi.


Masuk ke rangkaian berikutnya yang menjadi inti dari tari Kejei. Pada saat ini, ada beberapa lelaki (jumlah ganjil) dan perempuan berada dalam dua baris berbanjar dengan batasan yang cukup senggang. Berikutnya, para penari duduk di antara meja penei (sesaji), dan seorang perempuan yang menyambei duduk di tengah dan mulai menyambei, sambil menutup wajah dengan kipas. Saat syair sambei dibacakan, para penari menunduk.


Setelah itu, tari Kejei dimulai. Gerakan tari dalam tari Kejei dibagi enam, yakni gerak sembah menari, gerak bederap salah, gerak metik jari, gerak mateak dayung, gerak sembah penyudo, dan gerak mendayung. 


Gerak sembah menari adalah gerakan sembah sebanyak tiga kali yang ditujukan untuk leluhur (pada sembahan pertama), pada tetamu agung (sembahan kedua) dan ke sesama penari (sembahan ketiga). 


Gerak bederap salah untuk lelaki diwujudkan dengan berdiri perlahan dari duduk sembah. Sedangkan untuk perempuan, diwujudkan dengan berdiri pelan namun tangan berada di belakang pinggang.


Gerak metik jari diwujudkan dengan mengelilingi penei sambil memetikkan jari.


Gerak mateak dayung diwujudkan dengan berjalan mengelilingi penei, dengan tangan lurus ke bawah dan ujung jari menghadap ke belakang, sambil memegang selendang (untuk perempuan). Sedangkan laki-laki, posisi tangannya lurus ke samping.


Gerak sembah penyudo adalah duduk sembah seperti yang pertama.


Gerak mendayung adalah gerakan berjalan di tempat dengan total 8 hitungan, dimulai dari kaki kanan. Badan tegak lurus, pandangan ke depan, dan melangkah mundur hingga menjadi satu barisan.


Untuk lebih lengkap, Anda bisa membaca di artikel berjudul Sekilas Tentang Tari Kejei : Tari Sakral Asal Tanah Rejang


tari kejei rejang


Setelah melihat deretan gerak yang "wajib" dalam tari Kejei di atas, tentunya Anda bisa melihat bahwa "hitungan" adalah yang terpenting dalam tari ini. Geraknya bisa dibilang "kaku" atau "tegang" menunjukkan bahwa tarian ini adalah jenis tarian yang sudah sangat tua.


Namun, saat ini baik sanggar, maupun bagi penarinya, tarian ini adalah salah satu bentuk tarian wajib di berbagai acara. Karena sudah semakin sering, para penari tarian ini juga sudah mendapatkan bayaran ketika menari. Maka, pergeseran dari tarian sakral menuju tari profan terjadi.


Ketika terjadi pergeseran ke profan tersebut, mulai terjadi banyak perubahan dan "negosiasi" terhadap tarian ini. Misalnya, kostum wanita yang terbaru mulai mengakomodir penggunaan jilbab, karena akulturasi dengan kebudayaan Islam. 


Akulturasi dengan Islam ini juga menjadikan hal-hal yang berbau "mantra" dalam ritual temu'un gong dan jampi limau anak sangei mulai ditinggalkan. 


Kreativitas juga mulai masuk, seperti adanya atraksi silat terlebih dulu sebagai pembuka tari ini, menggantikan menyambei yang dulunya menjadi pembuka.


Pergeseran dari sakral menjadi profan ini punya dampak bagus, yakni menjadikan suatu karya seni bisa terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Jangan terkejut bila 10 atau 20 tahun lagi misalnya, tari Kejei ini akan diiringi oleh EDM.


Iya, perihal "penyeragaman" tari yang dilakukan oleh tetua adat atau instansi lainnya, sebenarnya bukan hal yang baik untuk seni, apalagi itu seni sudah masuk kategori profan. Mungkin untuk lomba, atau parade/festival, yah penyeragaman tadi bisa dilakukan sebagai perwujudan petunjuk lombak. 


Tapi, untuk pertunjukan di luar itu, tentunya akan lebih baik bila biarkan tari ini terus bergerak bersamaan dengan zaman yang terus bergerak. Buktinya, penghilangan bagian "mantra-mantra" juga sebagai tindakan pengembangan tari berdasarkan perkembangan zaman, bukan?


Sebab, bila suatu seni tidak mengikuti semangat zaman, maka seni tersebut akan segera ditinggalkan oleh zaman.


Bibliografi:

  • Erin, Kartika. 2014. Fungsi Tari Kejei Pada Upacara Perkawinan di Curup Kabupaten Rejang Lebong. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
  • Jazuli, M. 2014. Telaah Teoretis Seni Tari. Semarang: IKIP Semarang Press
  • Saputra, M.A, Pratama, Adi R. 2018. Dari Sakral Menuju Profan: Pasang-Surut Kesenian Angklung Buncis di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Tahun 1980-2010. MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan. Volume 3(1).
  • Irianto, Adhyra., Saleh, S. 2022. KEBEBASAN GENERASI MUDA MENAFSIR TRADISI. Seni dalam Ragam Kelokalan. Sunan Ambu Press. ISBI Bandung

Ads