Advertisement
![]() |
Ilustrasi pementasan teater |
Oleh: Adhyra Irianto
Sebuah tragedi berdarah membuat satu nyawa melayang, yang sialnya terjadi di atas panggung teater sekolah. Kejadian ini dianggap bukan karena kecelakaan, juga bukan karena dijebak, tapi "seni teater" sendiri yang dituding menjadi pihak paling bertanggung jawab.
Berita yang dimuat di media Kompas dengan judul, "Dalami Peran Saat Pentas Teater, Siswa SMK di Bandung Barat Tewas Tertusuk Gunting" dan diperkuat lagi dengan pernyataan polisi berjudul "Siswa SMK di Bandung Barat Tewas, Diduga karena Terlalu Mendalami Peran Teater" menjadikan seakan-akan tuduhan ini ditujukan ke seni peran.
Kejadian ini terjadi di Padalarang, Bandung Barat. Tepatnya, di SMK Dharma Pertiwi. Siswa bernama M. Ropiq Dafirly yang baru saja dua minggu menginjak usia 17 tahun yang menjadi korban. Ia seorang lelaki, namun berperan sebagai ibu hamil yang akan bunuh diri. Bukankah adegannya sangat karikatural?
Seni teater, semestinya bukan hal yang asing di Bandung Barat. Padalarang, rencananya akan menjadi lokasi baru untuk kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Sedangkan kampus yang sekarang ada di Buah Batu, Kota Bandung, akan menjadi kampus Pascasarjana. Berarti, Padalarang bukan wilayah yang asing dengan seni teater, bukan?
Mari kita bicarakan kejadian ini dengan pelan-pelan, serta mencoba melihat lebih banyak perspektif.
Pendapat Madin Tyasawan: Kemungkinan karena Kurang Wawasan Teknik Teater
![]() |
Madin Tsyawan |
Penulis buku Panduan Guru Seni teater untuk Siswa Kelas X SMA/SMK, E. Sumadiningrat atau dikenal juga dengan nama Madin Tyasawan, mengatakan bahwa kejadian ini menimbulkan beberapa pertanyaan di kepalanya, sebagai seorang seniman teater dan dosen pengampu mata kuliah Kajian Drama.
- Pertama, apakah benar kejadian ini terjadi karena "terlalu mendalami" peran teater?
- Kedua, apakah kesalahan teknis tersebut terjadi karena tidak sesuainya realita di atas panggung dengan proses latihan sebelum pentas?
- Ketiga, apakah peristiwa ini terjadi karena kurangnya wawasan tentang teknik bermain teater, baik si pemain maupun sutradaranya?
Tentunya, tiga pertanyaan ini saling berkaitan. Madin menegaskan, arahan sutradara (atau pelatih teater) mesti patokan yang harus dihayati oleh pemain semaksimal mungkin. Tujuannya adalah untuk menciptakan suasana "kedekatan emosional" dengan penonton.
"Biasanya, pendekatan seperti ini disebut dengan jenis akting presentasi, metode Stanislavsky. Metode akting yang mendorong aktor untuk tampil meyakinkan bahwa apa yang dilakukan aktor bersifat sesungguhnya. Walau demikian, penguasaan teknik presentasi model stanislavskian juga ada yang disebut dengan teknik mengekang dan mengendalikan. Teknik ini untuk menjaga agar laku tokoh yang sedang dibawakan menjadi sangat kuat dan menarik bila tidak dikaburkan dengan gestikulasi yang berlebihan, tidak relevan, dan semata-mata teatrikal. Ini dimaksudkan agar aktor tidak terdorong ke arah emosi-emosi pribadi, karena yang dibutuhkan adalah emosi-emosi analog. Pada konteks inilah, saya meyakini bahwa siswa yang melakukan adegan bunuh diri tersebut terbawa oleh emosi-emosi pribadinya," pendapat Madin.
Kesalahan teknis dari adegan yang sebelumnya, sambung Madin, sudah dipersiapkan saat proses pelatihan, amat memungkinkan juga terjadi. Seperti ungkapan Arifin C. Noor bahwa teater itu kini dan di sini. Peristiwa teater yang membangun realitas ilusif akan memiliki saat kekinian dan kedisiniannya yang memungkin berbeda dengan proses persiapan dan pelatihannya sebelum pentas. Apalagi, jika berandai, kehadiran benda-benda yang dimainkan, termasuk properti yang dibawa (hand property) saat pentas berbeda dengan properti yang biasa digunakan dalam proses pelatihan. Sehingga kehadiran properti—untuk konteks insiden di atas diduga sebuah gunting tajam—baru diberikan dan digunakan hanya pada saat ketika tampil pentas. Sehingga ketika konteks kini dan di sini terjadi dalam teater, kontrol atas benda itu kurang menjadi perhatian si aktor. Atau, bisa jadi kehadiran benda tajam tersebut luput dari arahan sutradara/pelatih pentas tersebut atas teknik memainkan propertinya.
Dari dua kemungkinan tersebut, Madin berpendapat bahwa kejadian ini bisa jadi bermuara pada kekurangpengetahuan teknik bermain teater, baik pada si pemain maupun sang sutradara atau pelatih pentas teaternya. Walaupun sejatinya manusia adalah makhluk bermain (homo ludens) dan makhluk kreatif (homo creator) sebagai modal bahwa siapapun berpotensi mampu bermain teater, tetapi teater sesuangguhnya memiliki metode, teknik, dan pendekatannya yang perlu dipelajari secara intensif.
"Untuk itulah, Kemendikbudristek—melalui Pusat Perbukuan—pada 2023 banyak mengeluarkan buku panduan bermain teater baik untuk pegangan guru maupun buku teks siswa. Salah satunya buku yang saya tulis “Panduan Guru Seni Teater untuk Kelas X SMA/SMK/MA Sederajat”. Buku tersebut selain sebagai penuntun bagaimana metodologi pembelajaran teater di sekolah dapat optimal atas tujuan dan capaian pembelajarannya, juga setidaknya memberi peluang kemudahan mengajar Seni Teater bagi guru atau pelatih teater. Memodifikasi kegiatan pembelajaran yang ada dalam buku tersebut masih mungkin dilakukan guru untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi kelas," sambung Madin.
Mungkin, yang perlu diingat oleh guru/pelatih teater di sekolah, adalah juga memahami karakteristik mata pelajaran teater di sekolah. Setidaknya ada enam elemen karakter pembelajaran teater di sekolah, yaitu:
- Seni teater memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi, talenta, minat dan karakter individu;
- Seni teater relevan dengan kehidupan sehari-hari;
- Seni teater terhubung dengan dengan disiplin ilmu lain yang terkait dengan kemampuan literasi dan numerasi melalui kegiatan menulis, membaca dan memahami naskah cerita atau mendesain tata artistik panggung dan kostum menggunakan skala numerasi;
- Seni teater terhubung dengan disiplin ilmu lainnya seperti aspek psikologi, sosial, budaya, sejarah, dan politik. Seni teater memberikan kontribusi untuk mengenalkan, mengomunikasikan legenda, sejarah, budaya atau isu dalam masyarakat;
- Seni teater mengajari peserta didik bagaimana menciptakan dan menghayati semua karakterisasi tokoh dan sudut pandangnya;
- Seni teater mengajarkan untuk bersikap kritis dan mampu memberi solusi untuk menyelesaikan masalah, sehingga melalui seni teater, peserta didik mampu memahami berbagai persoalan yang terjadi dalam diri dan lingkungannya.
Sahlan Mujtaba: Ada masalah dengan pendekatan pembelajaran teater
![]() |
Sahlan Mujtaba |
Seniman teater asal Bandung, Sahlan Mujtaba, memberikan pendapat yang secara garis besar mengemukakan adanya masalah dengan pendekatan pembelajaran teater. Menurut Sahlan, dalam Kurikulum Merdeka, pembelajaran di sekolah (termasuk pembelajaran teater) harus menerapkan pembelajaran diferensiasi dan berpusat pada murid dengan mempertimbangkan kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial siswa. Setiap siswa memiliki kebutuhan, minat, dan tingkat kesiapan yang berbeda, sehingga pembelajaran teater perlu dirancang agar inklusif, adaptif, dan memberdayakan.
"Kasus siswa yang meninggal saat adegan bunuh diri dalam pentas teater mengindikasikan adanya masalah dalam pendekatan pembelajaran, baik dari segi bimbingan, pendampingan emosional, maupun pemahaman terhadap dampak psikologis dari peran yang dimainkan. Pembelajaran teater tidak boleh hanya berorientasi pada pencapaian artistik atau penguasaan teknik akting, tetapi juga harus memperhatikan kesiapan mental siswa dalam menghadapi karakter yang kompleks dan emosional," kata Sahlan.
Sahlan mempertanyakan tentang pemilihan properti dalam pertunjukan teater yang menjadi sumber petaka tersebut. Properti yang digunakan, terutama yang berkaitan dengan kekerasan atau kematian, harus dipertimbangkan secara matang agar tidak menimbulkan dampak psikologis yang negatif bagi pemain maupun penonton. Guru dan fasilitator harus memastikan bahwa setiap elemen dalam pertunjukan, termasuk properti dan adegan yang dimainkan, tetap dalam batas yang aman dan sesuai dengan kesiapan emosional siswa.
"Teater seharusnya menjadi ruang yang aman, nyaman, dan menyenangkan, di mana siswa dapat belajar banyak hal, mulai dari ekspresi diri hingga pemahaman sosial dan empati. Guru dan fasilitator perlu memastikan adanya ruang dialog, refleksi, dan dukungan psikososial agar pengalaman berteater menjadi aman dan bermakna, memperkaya pengetahuan, serta kesejahteraan mental, bukan membebani atau memicu tekanan yang berlebihan," sambung Sahlan.
Sahlan mengusulkan pendekatan teater seperti gaya teater Brecht, bisa dipertimbangkan untuk teater sekolah. Pendekatan akting sepeti metode Stanislavsky, juga bisa diajarkan dengan "benar" agar kejadian tersebut tidak terjadi lagi.
Konklusi dan Solusi
Madin Tyasawan adalah akademisi dan seniman yang menulis buku pembelajaran seni teater untuk siswa tingkat SMA. Sedangkan Sahlan Mujtaba, adalah seniman teater asal Bandung. Keduanya, menurut saya, sangat dekat dengan kejadian ini. Madin adalah seniman teater yang concern dengan teater remaja, bahkan menuliskan buku pedoman pembelajarannya. Sedangkan Sahlan, selain seniman teater yang juga concern dengan seniman muda, ia juga tinggal di Bandung, dekat dengan tempat kejadian tersebut. Keduanya menganalisis kejadian tersebut dan memiliki kesimpulan yang hampir sama; kurangnya wawasan dari pelatih, sutradara, dan pemain pertunjukan tersebut tentang teknik bermain teater.
Tadinya, saya sempat takut kejadian ini justru akan dilimpahkan ke seni teaternya, sebagaimana yang "dituduhkan" polisi. Malah, kedepannya seni teater yang "di-blacklist" dan tidak boleh ditampilkan lagi di panggung yang sama (di sekolah tersebut). Karena itu, tulisan ini ditujukan untuk meluruskan bahwa "apapun yang dilakukan tanpa dasar ilmu yang kuat, akan membahayakan bagi diri sendiri dan orang lain".
Seseorang yang tidak dibekali dengan ilmu memasak yang cukup, tiba-tiba diminta untuk menyiapkan makanan, tentu hasilnya adalah makanan yang tidak enak. Situasi yang paling ekstrim sebagai dampaknya adalah ada yang keracunan makanan, atau malah kompornya meledak sehingga menimbulkan korban jiwa.
Di bidang seni juga berlaku hal seperti itu. Bernyanyi misalnya, tanpa dibekali oleh bekal ilmu pengetahuan yang cukup, akan menghasilkan suara yang baling (fals) sehingga mengganggu orang lain. Dampak paling buruknya, si penyanyi bisa saja cedera rahang sehingga tulangnya bergeser karena mengambil nada tinggi dan keras tanpa dibekali teknik dan pemanasan yang cukup.
Intinya, saya ingin menyimpulkan pendapat kedua seniman teater di atas menjadi; "jangan melakukan sesuatu bila tidak dibekali dengan ilmu pengetahuan yang cukup".
Bila bekal pengetahuan si anak tidak cukup, itu berarti bisa kita pertanyakan proses pelatihan dan pembimbingannya. Siapa yang melatih atau membimbingnya? Ataukah si anak tersebut belajar sendiri dengan melihat contoh pementasan teater di YouTube, atau mungkin membaca satu-dua artikel saja? Kalau benar seperti itu, maka itu harus segera dieliminasi. Karena, kejadian serupa bisa saja terjadi lagi.
Buku-buku pengetahuan teater sudah tersedia di pasaran, akses ke seniman teater bisa dengan mudah dilakukan dengan kontak lewat media sosial, dasar-dasar keilmuan juga berserakan di dunia maya, maka seharusnya di tahun 2025 ini, kecelakaan yang disebabkan minimnya pengetahuan dan salah cara membimbing, sudah harus dikurangi sampai titik paling rendah.
Dan tentunya, tuduhan "mendalami seni peran" atau "terlalu masuk ke karakter" juga bisa disiasati lewat tim panggung, atau oleh sutradaranya dengan cara yang tidak melukai, bahkan menghilangkan nyawa dari aktor-aktornya.