Advertisement
Oleh Zackir L Makmur*
Hari-hari belakangan ini ada kabar yang semakin bergemuruh di republik ini, yakni soal pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, bukan hanya soal pembangunan infrastruktur, tetapi sebuah simbol ketidakadilan sosial yang mendalam. Proyek ini telah mengubah akses masyarakat pesisir terhadap laut yang mereka andalkan sebagai sumber kehidupan.
Dalam puisi-puisi terbaru karya Toto ST Radik mengangkat perkara itu demikian ironis: sebuah kesedihan dan kerinduan terhadap kebebasan laut yang kini terhalang pagar. Puisi seperti “Kotakota Mabuk”: o, kotakota mabuk//angin laut jawa//asin dan sangit di kapuk//menyergap dadap// ke kosambi ke teluknaga//jalan melingkar tak ketemu hadap//tembok tebal setinggi langit//truk dan eskavator bagai monster//area terlarang: hanya untuk yang// beruang.
Penyair kelahiran Desa Singarajan, Pontang, Serang, Banten, 30 Juni 1965, ini melangsungkan kritik tajam pada keadaan daerahnya soal Pagar Laut. Kritik ini memperlihatkan kerakusan kapitalisme yang menggerakkan proyek reklamasi. "Manusia telah menjelma jadi binatang/lupus est homo homini!" kata puisi Kotakota Mabuk, yang mengacu pada sifat predatoris manusia dalam persaingan ekonomi dan pembangunan.
Maka kota yang mabuk oleh kerakusan tidak lagi mengenal batas etika dan keadilan. Imaji "truk dan eskavator bagai monster" menunjukkan betapa masif dan mengerikannya kekuatan yang menggilas lingkungan demi kepentingan segelintir orang. "Hanya untuk yang beruang" menegaskan bahwa proyek ini bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk mereka yang memiliki modal.
Kata "kolonisasi" di puisi itu juga diulang-ulang guna menyoroti, bahwa eksploitasi ruang hidup masyarakat pesisir serupa dengan praktik kolonialisme di masa lalu, di mana kekuatan ekonomi dan politik merampas hak hidup kaum kecil tanpa perlawanan yang berarti. Dari itu polemik Pagar Laut tersebut menjadi simbol benturan antara ambisi modernisasi kota dan keberlangsungan hidup masyarakat pesisir. Tambahan lagi sejarah reklamasi di kawasan ini berakar dari kebijakan pembangunan yang bertujuan meningkatkan daya saing ekonomi dan infrastruktur.
Namun, sejak awal implementasinya, proyek ini menuai kontroversi karena mengancam ekosistem laut serta menggusur ruang hidup para nelayan. Dalam konteks ini, puisi-puisi penyair Toto yang dihimpun dalam seri #“Kotakota Mabuk" di akun facebook dan instagramnya, sejak 14 November 2024, perkara demikian begitu bau amis dan bau darah. Dalam puisi penyair yang menerima penghargaan Surasowan Award (1998) ini digambarkan betapa pembangunan berdampak terhadap nelayan yang kehilangan mata pencaharian dan identitas mereka.
Dengan bahasa yang tajam dan metafora yang kuat, Toto menyuarakan kritik terhadap ketimpangan yang muncul akibat reklamasi dan ekspansi kota. Hal ini terlihat pada puisi
“Beleid Kotakota Buatan”:
beleid kotakota buatan itu
melipat langit dan bumi
di bawah meja makan
hari jadi selalu berkabut
di atas laut
lambung perahu nelayan robek
oleh cagak bambu
tak bisa melaju
tak bisa melaju
bocor perahu bocor
menunggang ombak
ikanikan menjauh
di kaki langit tak terjala
gedunggedung tinggi mengepung
membunuh bakau dan padang lamun
mengusir telurtelur ikan
ular, katak, dan monyet
menyisakan para penyamun
o, para penyamun bersertifikat
siang malam menghunjamkan batubatu
pasir
baja
dan beton bertulang
menjadi tembok laut raksasa
menghadang gelombang ombak
menghalau angin garam
: kenyamanan bagi kotakota buatan
nelayan berenang
di pucuk amuk ombak
perahu tenggelam
di dasar lumpur laut
langit dan bumi ialah besi berkarat
: di manakah tepi
di manakah rumah
lelah sudah sampai darah
luka sudah menjadi belati!
2025
Puisi "Beleid Kotakota Buatan," ini semakin memperjelas kritik terhadap kebijakan pembangunan yang cenderung eksklusif dan mengorbankan ekosistem laut. "Beleid kotakota buatan itu/melipat langit dan bumi/di bawah meja makan" menyoroti bagaimana keputusan-keputusan penting dibuat tanpa mempertimbangkan suara masyarakat terdampak. Metafora "perahu nelayan robek oleh cagak bambu" mencerminkan ketidakberdayaan nelayan dalam menghadapi ekspansi beton yang menghalangi akses mereka ke laut.
Para penguasa dan pemodal, yang disebut sebagai "penyamun bersertifikat," terus menancapkan batu, pasir, baja, dan beton untuk menciptakan "kenyamanan bagi kotakota buatan." Sementara itu, nelayan hanya bisa "berenang di pucuk amuk ombak," terombang-ambing dalam ketidakpastian, kehilangan sumber mata pencaharian, dan akhirnya tersingkir dari tanah mereka sendiri.
Sementara itu dalam puisi "Laut dan Kotakota," Toto mengilustrasikan bagaimana urbanisasi yang tak terkendali menelan alam dan meminggirkan mereka yang bergantung pada laut sebagai sumber kehidupan. Kota diibaratkan sebagai "raksasa" yang melahap sawah, hutan, kebun, tambak, hingga laut. Toto menuliskan begitu pedih di puisi ini, “kotakota terus tumbuh membesar//perahuperahu teronggok reyot//di bawah kilau emas seribu lampu//yang menggantung tingg//di balik dinding beton//kotakota selalu mengalahkan airmata//yang mengalir menjadi sungai//tanpa muara.
Dalam puisi itu juga betapa imaji tentang perahu reyot yang teronggok di bawah kilauan lampu-lampu kota, menunjukkan ironi yang tajam: modernisasi menghadirkan cahaya bagi segelintir orang, tetapi meninggalkan kegelapan bagi mereka yang tersingkir. Pertanyaan retoris, "ke manakah para nelayan pergi?" menegaskan bahwa proyek pembangunan ini menciptakan keterasingan dan ketidakpastian bagi masyarakat pesisir.
Dari semua itulah Toto ST Radik menjelamkan puisi tidak hanya merupakan ekspresi keindahan bahasa, tetapi juga refleksi realitas sosial. Penyair menangkap pengalaman kolektif suatu kelompok masyarakat dan menerjemahkannya dalam bentuk puisi yang menggugah kesadaran. Seperti dalam kasus Pagar Laut di Tangerang, puisi-puisi Toto lahir dari peristiwa ini yang berfungsi sebagai bentuk dokumentasi sekaligus kritik terhadap kebijakan yang merugikan kelompok marginal. Dalam perspektif ini, puisi memiliki peran sebagai "sastra perlawanan" yang menyoroti ketimpangan, ketidakadilan, dan dampak sosial dari kebijakan pembangunan yang tidak inklusif. ***
*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku “Manusia Dibedakan Demi Politik” (2020), serta kumpulan puisi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa” .