Advertisement
Oleh Zackir L Makmur*
Teater modern, umumnya, menjadi perkakas arus globalisasi sehingga ia dipentaskan di gedung-gedung pertunjukan yang dirancang dengan pencahayaan, akustik, dan tata panggung modern. Lantas sang aktor (para pelakon) menghidupkan naskah, sementara penonton menikmati pertunjukan dalam suasana yang terkontrol.
Akan tetapi ketika teater modern justru dipentaskan di puncak gunung, atau alam terbuka, pengalaman pertunjukan pun mengalami pergeseran mendasar. Alam yang tidak dapat dikendalikan justru menjadikan elemen alami seperti angin, kabut, dan cahaya matahari sebagai bagian dari narasi pertunjukan.
Pementasan teater di alam terbuka begini membawa makna filosofis yang lebih dalam. Sebutlah kebermaknaan itu pada pentas teater di puncak gunung, di Dataran Tinggi Managalas, pada siang hari, dilakukan Teater Managalas Kuaefienami. Pentas pada 30 Januari 2025 ini, memaknai teater rakyat sebagai alat komunikasi yang efektif di Dataran Tinggi Managalas, Papua Nugini, untuk menyampaikan pesan-pesan penting. Dengan menggabungkan bahasa Tok Pisin dan Tok Ples, teater ini mengedukasi masyarakat lokal.
Begitu pula yang dilakukan Teater Bait Harmoni di wilayah Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, melangsung pentas di puncak Gunung Mas. Pentas yang berlangsung pada 04 Februari 2025 ini, seketika saja menjadi ruang kreativitas penting bagi generasi muda setempat, terutama pelajar SMP dan SMA. Selain sebagai ajang ekspresi seni, Teater Bait Harmoni berupaya memperkenalkan seni teater yang lebih integratif, dengan menggabungkan nyanyian, tarian, dan bahasa ibu dalam pementasan mereka.
Maka pementasan teater di puncak gunung bukan lagi sekadar perubahan lokasi, melainkan transformasi cara manusia memahami dan mengalami seni. Dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi dan ruang buatan, eksperimen semacam ini menjadi pengingat bahwa seni tidak pernah lepas dari konteks lingkungan, dan bahwa ruang pertunjukan bisa jauh lebih luas dari yang selama ini dibayangkan.
Pentas-pentas teater di puncak gunung itu pun mencuatkan fenomena seni yang tak hanya menggugah rasa, tetapi juga mengkritik arus globalisasi yang kerap mengikis kekayaan budaya lokal. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan budaya massa, pentas teater yang diadakan di lokasi-lokasi ekstrim seperti puncak gunung menawarkan ruang alternatif bagi masyarakat untuk merefleksikan hubungan mereka dengan alam dan budaya.
Pentas Teater di Gunung
Pentas teater di gunung bukan hanya sekedar tontonan, tapi juga sarana perlawanan terhadap standar budaya global yang semakin mendominasi. Di era globalisasi, budaya pop seringkali mereduksi kekayaan tradisi menjadi komoditas yang hanya dinilai dari sisi konsumsi. Maka melalui teater yang dipentaskan di alam terbuka, terutama di tempat-tempat yang masih kental dengan tradisi lokal, teater berhasil menjadi ruang bagi suara-suara yang terpinggirkan.
Penggunaan ruang alam yang khas ini, di mana puncak gunung, dengan segala keheningan dan keterasingannya, menawarkan latar yang kuat untuk mengkritisi ketergantungan manusia terhadap dunia digital dan gaya hidup konsumeris yang dibawa oleh globalisasi. Saat penonton duduk di tengah alam yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan modern, mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang keseimbangan alam dan keharmonisan hidup.
Di sinilah teater menjadi alat refleksi bagi masyarakat, mengingatkan mereka tentang pentingnya menjaga hubungan yang harmonis dengan alam, dan menghargai nilai-nilai budaya yang telah ada sejak lama. Dengan begitu pentas teater di gunung juga mendorong pembaruan dalam cara kita memandang seni dan pendidikan budaya. Di tengah arus globalisasi yang menekankan pada kemajuan teknologi dan homogenisasi budaya, teater di alam terbuka ini menunjukkan bahwa seni bisa menjadi alat pendidikan yang mencerahkan.
Melalui pementasan yang mengangkat isu-isu lokal, masyarakat, terutama generasi muda, dapat belajar untuk lebih menghargai warisan budaya mereka dan memahami pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Teater menjadi sarana yang efektif untuk mengedukasi masyarakat mengenai tantangan global tanpa harus kehilangan akar budaya mereka.
Maka kecenderungan grup teater yang menggelar pertunjukan di lokasi alam terbuka, seperti di gunung, mencerminkan respon terhadap era globalisasi yang semakin mendorong homogenisasi budaya dan semakin berkurangnya perhatian terhadap kearifan lokal. Pemilihan gunung sebagai panggung tidak hanya membawa kesan estetik, tetapi juga memperkuat hubungan antara manusia dan alam. Tempat seperti gunung juga memberikan ruang untuk ekspresi bebas dan mendalam, karena suasana alami memungkinkan para pemain dan penonton merasakan kedekatan dengan alam yang seringkali terabaikan dalam kehidupan urban yang serba cepat.
Penggunaan gunung sebagai tempat pertunjukan juga menandakan upaya mempertahankan atau bahkan meresapi kembali nilai-nilai tradisional dalam konteks seni. Dalam era globalisasi yang dipenuhi dengan teknologi dan hiburan digital, teater di gunung memberikan pengalaman yang lebih personal dan mendalam, di mana pengunjung dapat menyaksikan dan merasakan langsung proses penciptaan seni yang lebih dekat dengan alam dan tradisi lokal.
Meskipun penggunaan gunung sebagai panggung menawarkan pengalaman yang luar biasa, ada tantangan yang harus dihadapi, baik dari segi logistik, aksesibilitas, maupun keberlanjutan acara tersebut. Pertunjukan di alam terbuka memerlukan persiapan matang, mulai dari pengaturan panggung yang ramah lingkungan, perlengkapan yang sesuai, hingga memastikan kenyamanan penonton dan pemain.
Bersamaan pula terdapat risiko terkait pelestarian alam, dimana pertunjukan yang digelar di gunung harus menjaga kelestarian ekosistemnya. Oleh karena itu, meskipun teater gunung membawa dimensi baru dalam seni pertunjukan, penting untuk menjaga keseimbangan antara kreativitas dan tanggung jawab terhadap lingkungan untuk menciptakan pengalaman yang harmonis antara seni, alam, dan masyarakat.
Peran Teater
Teater memiliki peran yang sangat signifikan bagi masyarakat pedesaan atau pegunungan, khususnya di tengah era globalisasi yang semakin berkembang. Dalam konteks ini, teater dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan budaya yang menyelami nilai-nilai lokal yang dapat tergerus oleh pengaruh budaya asing.
Lewat perannya ini teater sering kali mengangkat cerita rakyat, mitos, atau tradisi lisan yang mengandung ajaran moral dan etika hidup masyarakat setempat. Dalam hal ini, teater bertindak sebagai alat pelestarian budaya yang sekaligus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga identitas budaya mereka di tengah derasnya arus globalisasi yang sering kali meminggirkan kearifan lokal.
Teater di desa atau pegunungan memberi peluang bagi masyarakat untuk terlibat langsung dalam proses kreatif, memberikan mereka ruang untuk mengekspresikan diri, berbagi cerita, dan memperkuat ikatan sosial di komunitas mereka. Teater di pedesaan atau pegunungan juga memberikan manfaat sosial yang besar, seperti penguatan solidaritas dan rasa kebersamaan antar anggota masyarakat.
Kegiatan teater seringkali melibatkan banyak individu dalam sebuah kolaborasi, baik sebagai pemain, penulis naskah, pembuat kostum, maupun penonton. Melalui kerjasama ini, individu-individu yang terlibat bisa saling mengenal lebih dekat, memahami perbedaan, dan bekerja bersama untuk tujuan bersama, yakni menyajikan pertunjukan yang berkualitas.
Maka di tengah globalisasi yang mempengaruhi pola pikir dan kebiasaan masyarakat, teater juga dapat berperan sebagai media refleksi dan kritik sosial yang sangat relevan. Masyarakat pedesaan atau pegunungan seringkali dihadapkan pada perubahan besar yang dibawa oleh modernisasi dan digitalisasi, yang dapat menimbulkan disorientasi nilai, terutama di kalangan generasi muda.
Melalui teater, isu-isu yang berkaitan dengan identitas, perubahan sosial, dan tantangan kehidupan di era globalisasi dapat disampaikan dengan cara yang lebih menyentuh dan menyeluruh. Teater memberikan ruang bagi masyarakat untuk merenungkan situasi mereka, memikirkan kembali nilai-nilai yang mereka anut, dan memberikan jawaban kreatif terhadap tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, teater bukan hanya sebagai bentuk seni, tetapi juga sebagai alat yang memperkuat ketahanan budaya dan mental masyarakat di tengah perubahan zaman. ***
*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku “Manusia Dibedakan Demi Politik” (2020), serta kumpulan puisi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa”.