Kesulitan Adalah Pintu Masuk ke Bentuk Terbaik Diri Anda -->
close
Adhyra Irianto
14 February 2025, 2/14/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-02-14T01:00:00Z
OpiniUlasan

Kesulitan Adalah Pintu Masuk ke Bentuk Terbaik Diri Anda

Advertisement
Kesulitan adalah pintu masuk ke bentuk terbaik diri Anda


Ketika menimba ilmu di Teater Satu Lampung di tahun 2018 lalu, direktur teater tersebut, Iswadi Pratama, memberikan sebuah pesan yang mengubah hidup saya selamanya. 


"Untuk dapat menghasilkan seni yang indah dan terbaik, tidak pernah ada jalan pintas, Anda harus berusaha sekeras mungkin; melawan setiap kesulitan, hambatan, dan ketidaknyamanan."


Faktanya, isi otak kita adalah bagaimana caranya bisa menikmati hidup dengan senyaman mungkin. Kita akan merasakan sensasi bahagia, senang, dan kepuasan ketika bertemu dengan hal-hal yang saat ini mudah diakses. 


Internet menawarkan dopamin secara instan, entah itu video pendek, quote-quote receh, hingga hal-hal yang bisa Anda tertawakan setiap saat.


Naluri kita selalu menginginkan sebuah kenyamanan. Bukankah bersandar sambil menikmati konten-konten lucu dari video pendek di TikTok itu jauh lebih nyaman ketimbang membaca buku sains atau filsafat yang njelimet


Bersantai sambil menonton video lucu dan konten nirfaedah jauh lebih nyaman ketimbang harus menguasai keterampilan baru setiap harinya. 


Kenapa bisa otak kita menolak hal yang membuat nyaman, namun sebenarnya menjadikan kita lebih baik, dan memilih hal-hal yang sebenarnya memiliki risiko terlalu besar untuk diri kita. 


Ternyata, semuanya disebabkan tubuh kita yang selalu mengandalkan dan di-drive oleh naluri. Saat itu, kita mengenyampingkan rasio.


Naluri ini telah menjaga peradaban manusia tidak punah. Naluri yang mengarahkan manusia untuk menghindari rasa sakit, serta ketidaknyamanan. 


Namun, di era serba cepat ini, mengikuti naluri memiliki harga mahal yang harus Anda bayar. Salah satunya adalah, stagnasi. Penyebabnya: brainrot alias pembusukan otak.


Bagaimana bisa mengubah hidup dengan cara menghadapi setiap kesulitan? Mari kita bicarakan pelan-pelan di tulisan ini.


Otak, dan Neuroplastisitas




Seperti otot, otak kita sebenarnya menginginkan hal-hal yang "sulit" untuk dilakukan. 


Hal itu dibutuhkannya agar bisa melakukan semua hal dengan lebih mudah, serta mengoptimalkan setiap "ujung" syarafnya dengan lebih baik. 


Seperti ini kira-kira, bila otot terus dilatih secara konsisten, dan akhirnya mampu mengangkat beban seberat 150 kg, apa yang akan dirasakannya ketika mengangkat beban 20 kg? 



Yah, seakan-akan tidak ada tenaga yang perlu dikeluarkan.


Tapi, bagi sebagian orang, 20 kg itu adalah beban yang cukup berat hingga harus menghabiskan tenaga untuk mengangkatnya.


Seseorang yang biasa berlari 5 km per hari, akan merasa bahwa jarak 100 meter adalah jarak yang sangat dekat. Sedangkan bagi yang tidak terbiasa, berjalan 100 meter sudah akan sangat menyiksa kakinya.




Perbedaan itu disebabkan resistensi tubuh yang berbeda. Untuk menghasilkan resistensi yang lebih kuat, maka tubuh harus "melawan" terlebih dulu.


Tidak ada yang tiba-tiba bisa berlari 5 km per hari, tanpa dimulai dengan membiasakan 100 meter terlebih dulu. 


Anda harus berhari-hari merasakan lelah ketika berlari 100 meter, sebelum akhirnya perlahan-lahan angka tersebut bisa dilampaui. 


Mungkin jadi 110 di minggu pertama, 150 di minggu kedua, 200 di bulan kedua, dan seterusnya hingga 5 km tanpa henti.


Orang yang mengangkat beban 150 kg, dimulai dari mengangkat beban 20 kg terlebih dulu. Kemudian, naik secara perlahan ketika latihan yang konsisten terus dilakukan.


Bagaimana dengan otak? Sama seperti otot yang terus berkembang dan meningkat kemampuannya ketika dilatih secara konsisten, otak juga memiliki sifat plastisitas atau neuroplastisitas.




Tahukah Anda berapa neuron yang ada di otak manusia? Totalnya 86 miliar neuron


Setiap neuron akan melakukan kontak dengan neuron lainnya agar terjadi transmisi sinyal saraf. Ini disebut sebagai sinapsis. Total 1000 triliun sinapsis terbentuk di otak akibat koneksi setiap neuron.


Setiap ada hal baru; entah itu pengetahuan baru, entah itu keterampilan baru, atau mungkin pengalaman baru, maka itu membuat neuron di saraf otak terus berkembang. 


Mereka saling menggabungkan diri, hingga sinapsis juga terus bertambah. Apa yang terjadi?


Yah, otak akan terus meningkatkan kapasitas penyimpanan informasi.


Bagaimana kalau tidak? Maksudnya tidak ada pengalaman baru, pengetahuan baru, atau keterampilan baru yang kita dapatkan di satu hari? Anda akan merasa nyaman, tapi...


Inilah harga mahal yang harus dibayar manusia karena "kenyamanan" itu!


Hal yang terjadi adalah sebuah kondisi di mana intelektual (dan mental) akan terus menurun karena kemampuan berpikir, memori, analisis, dan sebagainya juga menurun. 


Kenapa menurun? Karena setiap harinya, kita tidak mengoptimalkan penggunaan kapasitas otak kita secara optimal. 


Neuron yang harus terkoneksi dengan neuron lain secara optimal tidak terjadi, maka terjadilah kondisi yang sering disebut dengan istilah populer belakangan ini; "brain-rot"


Hal ini menjawab kenapa kondisi mental generasi yang lebih muda, jauh lebih rentan daripada generasi yang ada di atasnya. Itulah yang tadi disebut sebagai "harga yang terlalu mahal untuk dibayar dari sebuah kenyamanan".


Maka, kenyamanan mesti dilawan, dikonstruksi ulang, didestruksi, dan dihancurkan. Kenapa, karena "kenyamanan" yang dirasakan otak harus lebih tinggi kadarnya dari hari sebelumnya.


Karena lawan utamamu adalah kenyamanan, maka bisa kita sebut pula bahwa lawan berat dirimu untuk terus berkembang dan menjadi lebih baik adalah; dirimu sendiri.


Melawan Kenyamanan, Mencintai Kesulitan


Apa yang sedang Anda rencanakan, mungkin Anda tuliskan sebagai resolusi awal tahun lalu? Entah itu ingin menyelesaikan membaca satu atau dua buku, atau mungkin berolahraga untuk meningkatkan stamina, atau mungkin ingin memulai menulis buku? 


Atau mungkin ingin belajar menggambar, atau belajar main musik. Atau mungkin keterampilan lainnya yang ingin Anda kuasai, karena Anda merasa, Anda memiliki bakat di sana.


Mahasiswa mungkin ingin mulai mengerjakan skripsi, atau semester yang lebih bawah mungkin ingin pelan-pelan menulis laporan dan tugasnya. 


Tapi, tidak mulai juga. Anda entah kenapa butuh semacam lecutan untuk memulai. Entah itu karena diingatkan oleh dosennya, atau mungkin karena besok adalah deadline mengumpulkan tugas.


Saat lecutan itu datang, Anda mengerjakannya dengan panik. Maka, bila kemampuan Anda sebenarnya bisa menghasilkan sebuah hal dengan poin 80. Namun, karena dikerjakan dalam keadaan panik dan waktu yang mepet, akhirnya Anda hanya "asal mengumpulkan" dan poinnya mungkin hanya 45.


Berapa kerugian Anda? 35 poin! Dan saat itu, Anda akan mengeluh karena teman Anda yang menurut Anda tidak lebih pandai, tapi nilainya lebih tinggi.


Tadinya, Anda hanya menundanya satu hari. Tapi, tanpa terasa menjadi satu minggu. Bahkan mungkin sudah berbulan-bulan, sampai akhirnya masa tenggang waktu sudah habis.


Menunda satu hari itu tadinya karena masih nyaman dengan kenyamanan yang didapatkan hari ini. 


Ketimbang Anda melecut diri Anda dengan deadline, kenapa tidak Anda lecut dengan alasan "agar mendapatkan nilai semaksimal yang bisa Anda raih"?


Seni, meskipun sudah ada Artificial Inteligence (AI), tapi faktanya memang tetap tidak ada jalan pintas. 


Anda bisa melihat perbedaan mencolok dari pertunjukan yang dipersiapkan lewat puluhan kali latihan dan berbulan-bulan. Dengan sebuah pertunjukan yang baru dipersiapkan selama dua hari.


Anda bisa dengan mudah membedakan mana karya seorang seniman yang berlatih selama bertahun-tahun, dengan karya seniman yang baru belajar kemarin sore.


Sialnya, Anda juga bisa membedakan dengan mudah, mana karya yang dibuat oleh AI, atau mungkin oleh ChatGPT. Dengan karya yang dibuat oleh tangan manusia, seberapapun kecil kemampuannya.


Sedikit tips: Mulai dari langkah kecil


Alih-alih belajar suatu ilmu dengan melihat video YouTube, cobalah membaca buku, dan "berguru" pada ahlinya. Apalagi, cuma melihat quote pendek di TikTok tanpa tahu bagaimana konteksnya.


Uniknya, lebih nyaman mempelajari sesuatu dengan hanya membaca satu atau dua quote pendek di TikTok, bukan?


Ada yang menonton dua atau tiga video tentang suatu ilmu, lalu sudah merasa sebagai seorang expert? Padahal, bukannya mengetahui, Anda justru mungkin tersesat. 


Tapi, Anda tidak menyadari bahwa Anda sedang tersesat. Karena, mengira diri Anda telah memahami hal yang tadinya Anda pelajari lewat quote atau video pendek.


Ini kondisi yang disebut sebagai Dunning Kruger Effect.




Secara singkat dibahas di artikel berjudul Hal yang Harus Dihindari Seniman: Dunning-Kruger Effect.


Bila Anda melihat sebuah buku tebal, katakanlah buku yang ditulis Martin Suryajaya berjudul Sejarah Estetika.



Bagaimana mau menyelesaikan buku ini? Bagaimana agar informasi sebanyak-banyaknya dari buku ini bisa diterima di otak kita?


Ada cara yang bisa Anda coba. Mulailah dari membaca 5 lembar terlebih dulu. Tidak usah muluk-muluk.


Besok, baca lagi 5 lembar, setelah itu berhenti. Begitu juga keesokan harinya.


Sampai, muncul rasa ingin membaca 10 lembar. Lalu akhirnya mungkin 20 lembar sekali baca.


Tanpa Anda sadari, Anda telah menyelesaikan buku tersebut.


Apa yang perlu Anda lakukan setelah itu? Yah, komentari buku tersebut. 


Entah dengan berdiskusi, bersama orang-orang yang sudah membaca buku itu.


Atau, mungkin Anda menulis komentar Anda.


Ketika kepala Anda penuh berisi, maka Anda perlu wadah untuk mengeluarkan "kepenuhan" tersebut.


Setelah berhasil satu buku, coba pindah ke buku lainnya yang berkaitan.


Berdiskusi lagi. Menulis komentar Anda lagi.


Sampai akhirnya, Anda perlahan mendapatkan pondasi berpikir tentang suatu disiplin ilmu yang ingin Anda dalami.


Lalu, perlahan mengembangkan pemikiran Anda sendiri, disesuaikan dengan "realita" yang Anda temukan.


Realita/data/fakta > diolah dengan nalar logis (dengan basic keilmuan > menghasilkan sebuah kesimpulan yang baik.


Menjauhlah dari deretan quote tanpa konteks, atau ada konteks yang dicocok-cocokkan saja.


Simak satu atau dua video panjang berisi pemaparan para ahli. Tapi, sandingkan dengan membaca artikel ilmiah, buku, dan penelitian terkait.


Berdiskusi lagi. Menulis komentar lagi.


Anda mau mencobanya mulai sekarang?


Intinya, hadapi kesulitan itu, jangan kabur.


Maka, tagar #kaburajadulu adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab. Bukannya melawan, dan mencoba memberikan perubahan.


Malah kabur, karena takut kesulitan. 


Ingat, kesulitan adalah pintu masuk ke bentuk terbaik diri Anda sendiri.

Ads