Advertisement
![]() |
Transformasi Budaya Indonesia (foto: indoconsult.de) |
Oleh: Adhyra Irianto
Culture eats strategy for breakfast kata seorang konsultan dari Austria, Peter Drucker. Pembicaraan ini didasarkan pada konteks manajemen suatu perusahaan. Kita bisa mengartikan budaya berdasar apa yang diartikan oleh Koentjaraningrat; sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Culture eats strategy for breakfast bisa kita artikan bahwa budaya itu memiliki dua bilah mata pisau, mungkin bisa menjaga identitas dan hak tradisional suatu masyarakat, tapi sekaligus bisa menghancurkan semua jenis strategi untuk sekedar bisa "sarapan". Budaya bisa menjaga suatu kelompok masyarakat dari diskriminasi, tapi sekaligus bisa menjadikan diskriminasi menjadi semakin kuat dengan menciptakan kelas-kelas sosial.
Budaya sangat kuat tertanam dalam benak dan kebiasaan masyarakat. Satu sisi, ia akan menjaga stabilitas masyarakat. Satu sisi lagi, ia akan menolak apapun jenis perubahan yang datang ke masyarakat tersebut.
Tanpa disadari, budaya akan menciptakan standar moral; agar seseorang disebut "beradab". Namun, kompas moral di setiap daerah akan jauh berbeda. Table manner di Eropa, sangat jauh berbeda dengan di rumah makan Padang. Bahkan cara makan di rumah makan Padang juga jauh berbeda dengan di Warteg.
Budaya di suatu tempat mengajarkan Anda "lebih cepat lebih baik", sedangkan di tempat lain mengajarkan Anda "pelan-pelan asal selamat". Intinya, akan muncul istilah panik moral ketika ada penyerapan budaya dari luar secara masif dan mengganggu apa yang sudah masuk dalam kategori "status quo" dalam kebudayaannya.
Saat itu, muncul hal yang bisa kita sebut sebagai "kekuatan dinamika" (power dynamics) dari masyarakat sebagai bentuk counter. Tujuannya adalah "menyucikan budaya asli".
Sebelum Islam masuk ke Nusantara, masyarakat terbiasa untuk begadang selama 7 hari di tempat keluarga yang baru ditinggal. Tujuannya adalah menemani dan menghibur keluarga yang ditinggal, agar tidak merasa kesepian. Warga setempat akan datang lagi pada hari ke-40, ke-100, hingga ke-1000. Sebab, dulunya, ada seorang suami/istri yang ditinggal oleh pasangannya, lalu tinggal seorang diri dan larut dalam kesedihan dan kesepian. Hasilnya, ia malah melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri.
Ketika budaya Islam masuk, muncul kecurigaan dan ketakutan akan menghilangnya kebiasaan tersebut. Karenanya, oleh Wali 9 (dari cerita yang paling kuat, adalah Sunan Kalijaga), kebiasaan itu tidak dihilangkan, hanya diganti dan dinegosiasi. Orang-orang tetap datang di hari pertama, hingga ketujuh, namun diganti dengan membaca Yasin dan Tahlil.
Sekarang, datang lagi ulama-ulama dari Timur Tengah yang tentunya tidak mengetahui budaya setempat. Mereka "mem-bid'ah-kan" apa yang telah menjadi kesepakatan dan kebiasaan tersebut. Apa alasannya, lagi-lagi alasan yang sama, "menyucikan budaya asli". Hal ini menjadi salah satu yang memicu percikan clash antara agama dengan budaya lokal.
Itu juga sama dengan ritual potong rambut pada bayi yang baru lahir. Bayi yang dianggap reinkarnasi dari "seseorang sebelumnya" membawa sesuatu yang sama dengan milik "pendahulunya", yaitu rambut. Maka sebagai simbolisasi kehidupan baru, maka rambut tersebut dipotong.
Para Wali 9 tidak menghilangkan kebiasaan tersebut, hanya menggantinya dengan doa-doa Islami. Akhir-akhir ini, kebiasaan itu juga "di-bid'ah-kan" dengan alasan "menyucikan ajaran asli". Clash antara pemegang teguh budaya, dengan kaum "agama asli" semakin meruncing dan seperti bom yang menunggu waktu untuk meledak.
Protes Budaya Lama Menjadi "isme" Baru
![]() |
Transformasi Budaya Indonesia (foto: enchantingtravels.com) |
Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Wali 9 itu adalah contoh yang sangat baik tentang transformasi. Bagaimana sebuah budaya yang suah melekat lama di dalam diri masyarakat, tidak dihilangkan tapi dilakukan hibridisasi dengan ajaran yang baru. Sehingga, budaya lama tidak hilang, dan budaya baru bisa masuk dengan baik.
Namun, semakin menuju ke era modern, ternyata sistem hibridisasi ini tidak bisa berjalan baik. Yah, budaya yang sudah mengakar justru menjadi tameng yang berbahaya untuk negosiasi bagi kemajuan dan pengembangan kebudayaan itu sendiri.
Contoh lain di era modern, pasca perang dunia kedua, terjadi dinamika yang cukup signifikan di masyarakat setelah lesunya ekonomi pasca perang. Hasilnya, kaum wanita yang dulunya hanya memasak di rumah, dan suaminya bekerja, sekarang terpaksa harus ikut bekerja. Suami dan istri bekerja, anak bahkan ikut juga bekerja. Tapi ternyata, hal itu menghasilkan kenaikan ekonomi bagi keluarga tersebut. Hasilnya, mereka bisa hidup dengan layak.
Melihat hal itu, keluarga yang lain mulai mengikuti langkah yang sama. Terjadilah perubahan kebudayaan secara signifikan karena kaum wanita bekerja di pabrik bersama dengan kaum pria.
Masalah timbul ketika pulang ke rumah, mereka tidak punya makanan yang cukup enak untuk dimakan. Mereka terpaksa harus tetap membeli makanan di luar dan itu-itu saja. Hasilnya, para pria mulai protes, mereka ingin kembali ke budaya lama dengan membawa-bawa sejarah.
Awalnya, ada banyak wanita yang kembali ke dapur rumahnya karena protes tersebut. Mulai dari dogma budaya sampai agama digunakan untuk menjadikan wanita adalah "orang yang ditakdirkan terkurung" seperti dulu. Namun, lama kelamaan, para wanita mulai melawan. Mereka merasa memiliki hak, kemampuan, dan juga keinginan untuk berkarir. Mereka juga ingin punya mimpi dan cita-cita untuk kembali ke era di mana para wanita bekerja bersama-sama dengan laki-laki.
Maka timbul budaya protes yang baru lagi. Clash antara "feminisme" melawan "budaya lama/patriarki" kembali meruncing. Di semua lini, kejadiannya selalu seperti itu, seperti roda berputar yang tak tahu di mana ujungnya.
Transformasi Budaya
![]() |
Transformasi budaya Indonesia (foto: art.maranatha.edu) |
Lalu semuanya akan kembali pada pernyataan Peter Drucker di atas, culture eats strategy for breakfast. Budaya diwariskan mungkin lewat cerita-cerita yang diwariskan turun temurun, justru menjadi penghalang bagi sebuah perubahan. Apa yang diceritakan adalah suatu gagasan, penemuan, dan inovasi yang dilakukan di era terdahulu, dalam kondisi sosio-kultural yang "dulu", dan tentunya ada banyak yang akan kurang tepat bila diterapkan di era ini.
Contoh simpelnya, ada mitos bahwa seorang gadis jangan duduk di depan pintu karena akan susah jodoh. Yah, karena dulu, Anda duduk di depan pintu akan memberi "kode" pada orang lain bahwa Anda sedang tidak menerima tamu. Karena itu, Anda sedang menghambat rezeki Anda sendiri, termasuk urusan jodoh.
Tapi sekarang, seorang gadis yang duduk di depan pintu itu sudah sangat sulit ditemukan. Mereka akan rebahan sambil mengurung diri di kamar, asyik scrolling media sosialnya. Bahkan, tetangganya juga tidak pernah lihat bagaimana bentuk anak gadis tersebut.
Maka, ketika ia duduk di depan pintu hari ini, ia akan dikenali oleh tetangganya, atau orang yang melintas. Bahwa ia lebih besar kemungkinan mendapatkan jodoh dan rezeki, justru ketika duduk di depan pintunya, ketimbang terus mengurung diri di kamar dan asyik dengan media sosial saja.
Tapi, karena terlebih dulu "terkurung" dengan budaya lamanya, maka orang-orang di Indonesia lebih percaya dengan pantangan duduk di depan pintu, dan membiarkan saja anak gadisnya diam di dalam kamar sendirian; sehari semalam. Kenapa? Karena diam di dalam kamar itu tidak melanggar pantangan apapun. Maka lahirlah generasi anti sosial seperti yang kita lihat di sekeliling kita hari ini.
Maka, harus diakui bahwa ada banyak budaya kita yang sebenarnya sudah tertinggal oleh zaman. Namun, secara "aturan dramatik", karakterisasi, sampai storytelling, sebenarnya masih tetap sama seperti saat ini.
Karena itulah, ada banyak yang masih menonton Cinderella, Narnia, drakor dengan latar era Joseon, dan kisah-kisah yang sebenarnya "usang". Tapi, dikemas dengan modern.
Itu yang disebut transformasi budaya. Dalam perspektif seni, kita mengubah cerita "lama" dalam setting tempat yang baru, situasi kekinian, dan mungkin mengikuti trend. Tapi, aturan dramatik, karakterisasi dan storytellingnya itu akan tetap sama, bahkan mungkin lebih kompleks.
Budaya harus dilestarikan, atau dipertahankan, itu adalah adagium yang menyesatkan. Budaya yang dilestarikan adalah sebuah artefak yang hanya dipandangi di museum, bukan sebuah "benda hidup" yang terus berkembang seiring perkembangan zaman.
Maka, budaya itu dikembangkan, ditransformasi, ditafsirkan sesuai zaman, bukan dipertahankan dalam bentuk asli. Yah, mungkin untuk penelitian anak-anak antropologi, itu akan sangat menarik. Tapi, bagi publik saat ini?
Percayalah, sejauh Anda mencoba melihat budaya yang masih bisa terus bertahan hingga saat ini di Indonesia, maka hanya ada satu penyebabnya; ia bertransformasi!
Culture maybe eats strategy for breakfast. But, tranformation will make your lunch ready.