Aktor Film "Remake" Tidak Menonton Film atau Komiknya, Apakah Berdosa? -->
close
Minggu 30/03/2025
Pojok Seni
10 February 2025, 2/10/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-02-10T02:33:07Z
OpiniUlasan

Aktor Film "Remake" Tidak Menonton Film atau Komiknya, Apakah Berdosa?

Ilustrasi aktor


Oleh: Adhyra Irianto


Seorang aktor pria Indonesia dianggap sombong dan songong karena tidak menonton drama dan komik yang kemudian diangkat menjadi film layar lebar Indonesia. Yah, judul filmnya Bussiness Proposal, sebuah serial sepanjang 12 episode kalau tidak salah. Sedangkan, komiknya di Webtoon lebih tebal lagi, yakni 105 episode. 


Ketika film ini diadaptasi menjadi versi Indonesia, diperankan oleh Ariel Tatum, Caitlin Halderman, dan Abidzar Al Ghifari. Nah, nama terakhir yang disebut inilah aktor yang dimaksud. Ia dianggap tidak beretika, karena tidak menonton drama juga webtoon-nya sebelum mulai proses film ini. Aktor ini dianggap tidak sopan, karena seharusnya si aktor mesti nonton drakor dan webtoon-nya.


Baik, sebelum lebih panjang lagi, perlu ditekankan bahwa artikel ini bukan review dari filmnya yang diboikot sehingga sepi pengunjung. Tapi, artikel ini adalah tanggapan terhadap pernyataan, apakah seorang aktor yang main di film remake, harus nonton film sebelumnya?


Marlon Blando di film A Streetcar Named Desire


Marlon Blando dalam A Streetcar Named Desire
Marlon Blando dalam A Streetcar Named Desire


Kita akan mencoba menjawab dengan pelan-pelan. Tahun 1951, sebuah drama berjudul A Streetcar Named Desired Book karya Tennessee Williams diadopsi ke layar lebar. Pentas ini sebelumnya sukses menarik perhatian banyak atensi setelah dipentaskan tahun 1947. Nama aktor layar lebar kenamaan Amerika, Marlon Blando mendapat peran sebagai Stanley Kowalski.


Marlon Blando tentunya terlewatkan untuk menyaksikan pertunjukan A Streetcar Named Desire yang dipentaskan di Broadway, New York. Maka, Marlon Blando memilih untuk mempelajari karakter yang diberikan kepadanya based on script, alias mempelajari situasi terberi (given circumstance) dari naskah tersebut. Faktanya, Marlon Blando berhasil "menubuhkan" karakter Stanley yang sangat berbeda dari karakter yang sebelumnya hidup di panggung teater Broadway.


Marlon justru mempelajari "kera", yah seekor kera. Bukannya ia mengenali Stanley dari pentas sebelumnya, ia justru mempelajari seekor kera untuk membangun karakter Stanley yang unik dan monumental tersebut.


Robert de Niro di The Godfather II


Robert de Niro dalam Godfather II
Robert de Niro dalam Godfather II

Tentu Anda mengenal bagaimana suksesnya film trilogi The Godfather, baik secara artistik maupun ekonomi, bukan? Pemeran Vito Corleone (anak dari Michael Corleone), diperankan oleh salah satu aktor terbaik di Amerika pada generasinya, Robert de Niro pada the Godfather II. Pada film pertama, peran ini diperankan oleh Marlon Brando.


Tentu saja, peran Vito Corleone dipaparkan dengan jelas di novel yang ditulis oleh Mario Puzo. Robert de Niro, menyengajakan diri untuk tidak menyaksikan Vito Corleone pada The Godfather I yang diperankan Marlon Blando, agar bisa membangun karakter yang fresh dan unik.


Heath Ledger di The Dark Knight




Meski berakhir tragis dengan kematiannya, namun peran Joker yang diperankan oleh Heath Ledger pada film besutan Christoper Nolan, The Dark Knight. Faktanya, Heath Ledger dengan sengaja tidak menonton para "joker" sebelumnya di film-film Batman. Kenapa? Karena ia tidak mau sekedar "mereproduksi" joker berikutnya. Ia ingin membangun "joker" yang baru, dan punya keunikan sendiri.


Hasilnya adalah, ia meraih aktor pendukung terbaik untuk peran tersebut di Golden Globe Award 2009, hingga Piala Oscar. Peran Joker yang diambilnya, menjadi peran Joker terbaik sepanjang masa.


Joaquin Phoenix dalam Joker

Advertisement



Setelah melihat pemeran Joker yang berhasil dan sukses tersimpan di hati para penggemar, Joaquin Phoenix mendapatkan tugas berat untuk menghidupkan peran Joker tersebut dalam film bertajuk Joker. Tugas itu bertambah berat setelah aktor sebelumnya, Jared Letto, dianggap gagal memerankan peran Joker di film Suicide Squad.


Phoenix menghindari untuk mendalami peran dengan menonton Joker-joker sebelumnya. Ia memilih untuk membangun tokoh tersebut secara mandiri. Hasilnya, Joker yang memukau lahir di film Joker tersebut.


Robert Pattinson dalam The Batman


Robert Pattinson dalam Batman
Robert Pattinson dalam Batman


Selain Joker, peran yang lebih sulit untuk diperankan tentunya lawan abadinya, Batman. Sejak batman pertama diperkenalkan, Pattinson mendapatkan tugas berat untuk memerankan Batman di tahun 2022 lalu.


Apa yang dilakukan oleh Pattinson? Ia menghindari untuk melihat para Batman di film-film terdahulunya. Ia menganggap, ketika ia mendalami peran dengan melihat Batman di film-film sebelumnya, maka ia akan menghadirkan reproduksi karakter yang sama dan berulang. Ia mempelajari Batman yang akan diperankannya langsung dari naskah yang diberikan padanya.


Aktor yang Menghadirkan Reproduksi


Artikel ini bukan tentang film yang diboikot karena sensasi, atau emosi publik beberapa waktu terakhir. Namun, untuk menjawab bahwa aktor yang "menghindari" melihat karakter yang sudah terbangun sebelumnya adalah hal yang penting. Hal itu justru harus dilakukan agar aktor tidak menghadirkan reproduksi karakter. Ia harus menghadirkan karakter dalam perspektif yang lain.


Apalagi, dalam konteks remake dari Drakor ke film berlatar Indonesia. Dari wajah putih sipit, ke kuning langsat atau sawo matang. Dari budaya Asia Timur ke Nusantara. Tentu ada banyak hal yang harus berubah dari adaptasi ini.


Karena ada banyak hal yang berubah dari budaya asal ke budaya baru, maka karakter yang dihadirkan pun harus baru. Caranya, dengan menghindari reproduksi karakter lama yang ada di komik, maupun di drakornya.


Yah, kalau masalah etika, itu sebenarnya masalah pribadi si aktor sebagai dirinya, bukan sebagai karakter. Jangan sampai, satu karya seni dikurangi nilainya secara egois karena tindakan satu orang aktor di luar karyanya. Seorang pelukis yang katakanlah melakukan hal yang jahat, tidak boleh mengganggu penilaian kita terhadap karya lukisannya. Seorang vokalis band yang melakukan tindakan asusila, tentunya tidak boleh memengaruhi penilaian kita terhadap karya dari bandnya.


Seperti itu perlakuan terhadap sebuah karya seni seharusnya.

Ads