Advertisement
Teater sebagai hiburan populer (Foto: Dokumentasi Okezone) |
Oleh: Zackir L Makmur*
Dewasa ini, teater kontemporer Indonesia laksana mobil bannya agak kempes, lantas berjalan di bebatuan dan lubang-lubang kecil. Tentu saja ini perjalanan yang menimbulkan guncangan-guncangan –ketika ia dinamakan transformasi estetika. Di mana dalam perkembangan teater kontemporer Indonesia, transformasi estetika dan orientasi pertunjukan mencerminkan dinamika sosial budaya yang lebih luas, termasuk pengaruh media populer dan digitalisasi.
Guncangan itu terasa semakin keras manakala pergeseran dari teater berbasis narasi dan eksperimentasi artistik menuju teater komedi yang lebih ringan dan berorientasi hiburan menjadi fenomena penting. Ironisnya, tren ini menunjukkan bagaimana budaya populer, yang didorong oleh acara televisi seperti “Extravaganza” dan “Opera Van Java (OVJ)”, mengubah ekspektasi penonton terhadap teater sebagai sarana hiburan yang lebih sederhana.
Fenomena ini semakin diperparah oleh menurunnya eksperimentasi artistik dalam dunia teater. Afrizal Malna, dalam esainya, esainya berjudul “Jangan Mengambil Nasi Dari Mulut Orang Lain” (Borobudurwriters.id/ 7 Desember 2024) betepa tajam menyoroti bahwa generasi baru, terutama Gen Z, lebih banyak menggantungkan kreativitas mereka pada teknologi dan media sosial sebagai representasi identitas.
Menurut pemikiran Afrizal Malna ini bahwa proses kreatif berbasis tubuh dan pengalaman langsung mulai tergantikan oleh ekspresi berbasis platform digital, sehingga esensi teater sebagai seni yang mengutamakan pengalaman langsung mulai kehilangan daya tariknya. Digitalisasi memang membawa peluang distribusi yang lebih luas, tetapi pada saat yang sama, ia mengikis dimensi manusiawi teater yang melibatkan improvisasi, spontanitas, dan interaksi emosional antara aktor dan penonton.
Maka menjadi gamblang bahwa di tengah tantangan ini, masa depan teater Indonesia memerlukan revitalisasi eksperimentasi artistik sekaligus adaptasi terhadap teknologi. Generasi muda harus diajak untuk memahami bahwa seni teater bukan sekadar hiburan ringan, tetapi juga medium refleksi sosial dan intelektual. Dengan memadukan tradisi teater eksperimental dan inovasi digital, seni pertunjukan dapat tetap relevan tanpa kehilangan jati dirinya sebagai wadah untuk menantang norma sosial, menginspirasi, dan menggugah kesadaran kolektif.
Deklinasi Eksperimentasi Dalam Seni Teater
Pemikiran Afrizal Malna karuan saja menggarisbawahi fenomena yang mengkhawatirkan –terkait menurunnya eksperimentasi dalam teater kontemporer Indonesia. Padahal eksperimentasi pernah menjadi ciri khas teater modern Indonesia, terutama dipelopori oleh WS Rendra, Putu Wijaya, mau kelompok-kelompok teater independen lainnya seperti Teater Kubur. Melalui perpaduan tradisi lokal dan eksplorasi artistik modern ini, mereka menciptakan pertunjukan yang tidak hanya menghibur tetapi juga menantang norma sosial serta mendorong penonton untuk berpikir kritis.
Akan tetapi perkembangan teater dewasa ini menunjukkan penurunan dalam semangat eksperimentasi tersebut, di mana fokus pada tubuh, ruang, dan pengalaman langsung perlahan tergantikan oleh pendekatan yang lebih dangkal. Di sini bersamaan pula kemajuan teknologi dan kehadiran media digital menjadi salah satu faktor utama dibalik pergeseran ini. Generasi Z, sebagai generasi yang tumbuh dengan internet dan media sosial, lebih banyak memanfaatkan teknologi untuk berekspresi dan mendistribusikan identitas mereka.
Dalam konteks ini, media sosial dan platform digital menjadi alat utama dalam membangun dan menyampaikan kreativitas. Sayangnya, hal ini sering kali menggeser perhatian mereka dari proses kreatif berbasis pengalaman langsung ke ekspresi yang lebih terstandarisasi melalui teknologi. Akibatnya, esensi teater sebagai seni yang memerlukan hubungan emosional langsung antara aktor dan penonton mulai kehilangan daya tariknya di mata generasi muda.
Padahal, dalam sejarahnya, teater eksperimental di Indonesia memiliki daya dorong yang kuat untuk melibatkan publik secara emosional dan intelektual. Melalui eksplorasi tubuh, improvisasi, dan penggunaan ruang yang inovatif, seniman-seniman teater Indonesia mampu menciptakan pertunjukan yang autentik dan berkesan. Aspek-aspek ini memberikan dimensi yang tidak dapat ditemukan dalam medium digital, seperti kehadiran fisik yang nyata dan hubungan manusiawi yang langsung.
Meskipun demikian, digitalisasi juga menawarkan peluang bagi perkembangan seni teater jika digunakan secara strategis. Platform digital dapat menjadi media untuk memperluas audiens, mendokumentasikan pertunjukan, dan mengeksplorasi teknologi baru dalam seni pertunjukan, seperti penggunaan augmented reality (AR) dan virtual reality (VR). Namun, integrasi teknologi ini harus tetap menghormati esensi teater sebagai seni pengalaman langsung.
Oleh karena itu, masa depan teater eksperimental di Indonesia memerlukan pendekatan yang adaptif tetapi tetap berakar pada nilai-nilai dasar seni pertunjukan. Edukasi terhadap generasi muda tentang pentingnya eksplorasi tubuh, ruang, dan pengalaman langsung menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan teater sebagai medium refleksi dan transformasi sosial. Dengan memadukan kekayaan tradisi eksperimental dengan potensi inovasi digital, teater Indonesia dapat terus berkembang tanpa kehilangan jati dirinya, menjadi ruang artistik yang mampu menggugah, menginspirasi, dan relevan di era digital.
Konsekuensi Bagi Masa Depan Teater Indonesia
Teater kontemporer di Indonesia saat ini berada pada persimpangan jalan yang menentukan arah perkembangannya di masa depan. Di satu sisi, teater menghadapi tekanan dari budaya populer yang mengutamakan hiburan ringan sebagai daya tarik utama. Acara-acara komedi di televisi seperti “Opera Van Java” dan “Extravaganza” telah menciptakan ekspektasi bahwa humor instan dan visual adalah elemen utama dalam sebuah pertunjukan.
Dari itu berakibat bahwa elemen-elemen naratif yang memerlukan refleksi dan pemikiran kritis, sering kali terpinggirkan dalam produksi teater masa kini. Pergeseran ini tidak hanya mengubah estetika pertunjukan, tetapi juga membatasi potensi teater sebagai ruang eksplorasi intelektual dan emosional. Di sisi lain, perubahan pola konsumsi seni yang dipengaruhi oleh teknologi digital turut mempengaruhi perkembangan teater. Generasi muda, terutama Gen Z, lebih terbiasa dengan konten singkat dan instan yang ditawarkan oleh platform media sosial.
Karuan saja hal ini menantang teater untuk tetap relevan tanpa kehilangan esensinya. Jika elemen intelektual dan eksperimental dalam teater diabaikan demi memenuhi selera audiens yang lebih ringan, teater berisiko kehilangan identitasnya sebagai bentuk seni yang mampu menggali isu-isu sosial, budaya, dan politik secara mendalam. Tantangan ini menjadi semakin kompleks ketika teknologi digital juga memunculkan preferensi terhadap ekspresi virtual dibandingkan pengalaman langsung.
Secara historis, teater di Indonesia telah menjadi medium yang tidak hanya menghibur tetapi juga menginspirasi perubahan sosial dan budaya. Karya-karya WS Rendra dan Putu Wijaya menunjukkan bagaimana teater dapat menjadi alat untuk menantang norma sosial, menyuarakan kritik, dan mendorong dialog tentang isu-isu penting. Elemen-elemen ini menjadi ciri khas teater eksperimental, yang kini semakin tergeser oleh dominasi hiburan ringan.
Jika tren ini terus berlanjut, teater dapat kehilangan posisinya sebagai ruang dialog kritis dan transformatif, lantas berubah menjadi sekadar produk budaya populer yang dangkal. Oleh karena itu, masa depan teater kontemporer di Indonesia bergantung pada kemampuannya untuk menyeimbangkan adaptasi terhadap budaya populer dan teknologi digital dengan mempertahankan esensi intelektualnya.
Revitalisasi teater sebagai medium yang menggugah pemikiran dan relevan secara sosial harus menjadi prioritas. Dengan pendekatan yang kreatif dan inovatif, teater dapat kembali menjadi ruang artistik yang tidak hanya menghibur tetapi juga menginspirasi perubahan sosial, menjaga keberlanjutannya sebagai bentuk seni yang berdaya transformasi di tengah tantangan zaman.***
*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku “Manusia Dibedakan Demi Politik” (2020), serta kumpulan puisi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa”.