Sergap Darurat Embrio Multimodalitas Kurasi -->
close
Adhyra Irianto
15 January 2025, 1/15/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-01-15T10:42:47Z
ArtikelUlasan

Sergap Darurat Embrio Multimodalitas Kurasi

Advertisement

Oleh: Mardohar Simanjuntak


Kata dan gambar cenderung mengambil tempat yang sama di otak manusia. Oleh karena itu, persaingan keduanya biasanya menghasilkan kolaborasi. Bila kerja bersamanya terjadi di organ berpikir yang sama, maka yang terjadi adalah peristiwa sekuensial. Bila kolaborasinya dimungkinkan terjadi di dua orang yang berbeda, maka pengolahan informasinya akan bersifat paralel. 


Itulah mengapa komik dan berbagai buku dan novel selalu membutuhkan penulis dan ilustrator. Sangat sulit bagi seorang penulis untuk verbal dan visual pada saat yang bersamaan. Prinsip ini tidak mudah untuk diterima, dan baru di abad ke-20 berbagai profesi yang bagi-bagi tugas ini muncul: spesialisasi – tidak terkecuali kurator.


Sisi Multimodal Kurator


Seniman menjadi sangat sulit untuk mengerjakan apapun yang tidak berkaitan langsung dengan kekaryaannya, dan di sinilah peran seorang kurator. Sue Spaid (2022) mencatat ada tiga kemungkinan peran kurator: sebagai fasilitator resmi institusi penyelenggara (museum, galeri, dan semacamnya), sebagai pihak yang menyuarakan sisi seniman, dan sebagai agensi independen yang teguh pada prinsip-prinsip penyelenggaraan. Celina Jeffery (2015) berpendapat lain, menurutnya kurator bisa siapa saja, tidak terkecuali senimannya sendiri. 


Dua cara berpikir ini bisa dilakukan dengan arah yang berbeda: saat situasi membutuhkan maka siapapun bisa menjadi apapun, tidak terkecuali kurator. Singkatnya, kurator bisa dibaca secara neurosains sebagai sebentuk stamina tambahan saat situasi sulit. Tulisan ini, yang akan dibagi ke dalam dua bagian, mencoba memotret sesosok artist in the making yang memenuhi arus pembacaan semacam ini.


Angela Sunaryo – ‘Angela’ – pada saat tulisan ini dibuat sedang mempersiapkan tahap terakhir dari tugas akhirnya di Institut Teknologi Bandung. Sebagai seorang seniman yang memberi penekanan kekaryaannya pada suara, Angela punya jalur berkeseniaannya sendiri. Sosok Angela menjadi menarik karena kemampuannya untuk mengayomi berbagai peran yang mungkin sangat sulit dilakukan oleh mahasiswa seni rupa tingkat akhir. Karakter renaissance man ini – sebuah habitus polimatik – menantang arus pembacaan dari Spaid, Jeffery, dan bahkan Sarah Thornton (2008) yang dikenal dengan kategorisasi tujuh pilar-pilar artworld-nya. Kebutuhan menciptakan kondisi, mungkin itulah yang terjadi dengan sosok Angela.


Potret multimodalitas Angela ini diangkat untuk menunjukkan karakter umum dan khusus dari perkuratoran “darurat” di Indonesia, saat distingsi yang lebih mengarus utama tidak berhasil menyentuh kebutuhan pragmatis ini. Dengan sulit dan beratnya menemukan kurator lepas atau berhadapan dengan kurator terikat, mahasiswa tingkat akhir atau yang sedang menyelesaikan tugasnya cenderung mempergunakan jasa pro bono teman dekat – sohib – untuk memenuhi kebutuhan kuratorial agar tugas akhir bisa terlaksana. Di tulisan pertama ini, kita akan melihat bagaimana kerja pertemanan menjadi sebuah sembulan kajian kultural menarik yang dapat memberi spektrum tambahan pada praktik pengurasian sebuah peristiwa seni.


Darurat Hampir Sang Sarjana


Tanpa mesti melakukan survei, “Angela-Angela” semacam ini adalah pemandangan umum yang berperan sebagai penyelamat mereka yang berhadapan dengan desakan kelulusan. Dengan pendekatan yang sehangat persahabatan dan perbincangan dua arah yang hampir tanpa penyekat, sosok Angela dan sosok Musa Pedro Afgana – ‘Pedro’ – tepat mewakili salah satu derivat fenomenon pengurasian tugas akhir jurusan seni di Indonesia. Pedro membutuhkan teman diskusi sekaligus rekan yang dapat mewakili pembacaan kekaryaannya, sebelum dinilai oleh penguji. Angela, dalam kebutuhan ini menjadi pihak yang mewakili seniman – semacam advokat seniman – mengambil jalur kuratorial kedua seperti yang dikatakan oleh Spaid. Dari wawancara baik dengan Pedro dan Angela, keduanya terlibat dalam sebuah proses kurasi arus utama dalam skala mikro. Bahkan lebih dari sekadar kerja kurasi, Angela mengasumsikan kerja manajerial: mulai dari pemilihan tempat hingga berbagai pernak-pernik lainnya.




Semua dilakukan dengan serba darurat – waktu dan jadwal dipadat-pejalkan menjadi hitungan hari atau jam, Mulai dari esensi terpenting dari pameran, durasi, hingga kurasi. Pameran diselenggarakan hanya selama tiga hari setelah dibuka di hari Jumat, 6 September 2024, di Wangi Rupa Studio, Bandung; sebuah venue kesenian independen non-komersial (tidak ada biaya kunjungan) yang sekaligus merupakan tempat tinggal pemilik ruang (yang menolak untuk menyebutnya galeri). Meski demikian, Wangi rupa bukan tanpa catatan. Ruang seni ini juga tempat berpameran berbagai seniman yang memang akhirnya mengukuhkan diri untuk bergulat di dunia seni. Selain memilih lokasi dan mencetak periferal pameran (flyer dan katalog), tampilnya sang kurator di pembukaan juga menjadi poin yang sangat menarik. Berbekal ketrampilan bermusiknya, Angela dan Pedro menjadi bagian dari pengisi acara; tampil bersama membawakan sebuah lagu.


Bahkan domain rutin ampuan kurator pun dijalani Angela dengan penuh, mulai dari penentuan tema, pembahasan judul pameran, penentuan karya, hingga penulisan esai kuratorial, dan wall text. Hampir tidak ada celah yang luput dari perhatian kurator/best friend/manajer ini. Pameran ini pun berhasil melepas karya ke kolektor (sebuah justifikasi dari jejak komersil dalam penyelenggaraannya). Singkatnya, ini bukan sekadar pameran di sudut ruang pamer kampus yang dibuka-tutup seadanya di sela-sela jam kuliah. Angela menghadirkan peran dalam multimodalitas yang membuatnya memenuhi daftar tugas yang umumnya tidak pernah dicentang selesai. 


Kehampiran Pedro untuk menjadi sarjana, meskipun keduanya bertahun angkatan yang sama, menjadi picu tolak bagi Angela yang berkolaborasi dengan sang sohib dan mengelaborasi kekaryaan koleganya menjadi berbagai simbol yang tidak asing dalam dunia seni kontemporer. Durasi pameran yang hanya 72 jam tidak akan mungkin diapresiasi sebagai sebuah catatan bila tidak karena kontemporeritasnya. Artinya, Angela bisa saja mengasumsikan garis minimum agar kata ‘pameran’ memenuhi konteksnya; dan sang teman bisa mengenakan toga di akhir tahun. Alih-alih solusi monomodal, Angela memilih bergerak lebih jauh dan memberinya tantangan beban kerja lanjutan dengan mengisi berbagai celah.


Kucing Trans-spesies Sang Seniman


Angela mungkin, bila kita analogikan dengan pemanjat tebing, tidak akan bergerak sedikit lebih jauh menjangkaukan lengannya meraih titik tumpu yang lebih sulit bila tebing yang ia panjat tidak memberi cukup ruang untuk dibedah lebih lanjut. Baik Pedro maupun Angela adalah pencinta kucing (“cat persons”), yang kemudian menggali tema pameran berdasarkan etimologi skriptural dari spesies bergenus felis ini. Kata kunci yang dipilih keduanya, ‘olam’, mewakili hakikat permanensi secara biblis (εἰς τοὺς αἰῶνας τῶν αἰώνων); dan bagi Pedro dan Angela, kekucingan adalah ekso-sinonim dari kebahagiaan. Tema dan sekaligus judul pameran yang mereka gulirkan akhirnya “Olam dan Ekstensi Kebahagiaan”. Singkatnya, sebuah skenario “what if” yang mencoba menggali kemungkinan manusia untuk bahagia bila secara eskatologis yang alami sudah tinggal yang mekanik.  


Di sini, Pedro membagi ruang pamer menjadi dua, di satu sisi diisi drawing kucing-kucing mekanik yang sama sekali tidak mungkin dibelai, di sisi lain berbagai eksplorasi garis dan ruang-ruang kurvatur yang beririsan dengan imajeri ilmu-ilmu alam yang cenderung matematis. Sebagai penggemar budaya pop Jepang, Pedro adalah ilustrator yang tahun ini melanjutkan studinya ke jenjang magister di kampus yang sama. Akrab dengan ironi yang menjadi jangkar tematik artefak-artefak populer seperti manga, anime, dan lain semacamnya, pembahasan Pedro di Harmoni Mekanistik, misalnya, menjadi sebuah pernyataan tegas bayang distopik yang menghuni kepala generasi wibu (penggemar fanatik budaya Jepang); carpe diem pun dibaca secara nihilis menjadi tiada hari esok.


Yang ditampilkan Pedro adalah sebuah ironi pasca-modern khas disposisi traumatik pasca Perang Dunia Kedua, sebuah tawaran ahistoris yang menggabung-apropriasikan berbagai penanda disjungtif yang menawarkan harapan. Kontras dengan tema pameran yang dibawakan, keseluruhan karya yang ditampilkan mengarah pada pembacaan nihilistik dan sekaligus pesimistik; generasi Z yang memang hidup dalam ketidakpastian teknologis di tengah banjirnya informasi yang samar dengan misinformasi dan disinformasi. Sebuah ironi bak kiasan semut mati di bongkahan gula menjadi pesan sentral sang seniman. Cukup jarang memang relung subject-matter di tangan seniman yang sedang dalam proses menjadi (becoming) dijangkarkan pada sebuah kepedulian eksistensial. Pedro mungkin cukup tangkas menangkap gelagat ironis ini dari sekian manga dan anime yang dilahapnya.   


Sembul Arah Kurasi Multimedial


Percik oleh-oleh dari sembulan fenomenon kurator darurat semacam ini cukup bernas, karena sekarang gerak kurasi tidak lagi sepakem dengan yang digadangkan Spaid dan tidak juga Jeffery. Satu dekade lebih yang lalu Vince Dziekan (2011) pernah mengajukan gagasan tentang kurasi multimedial – sebuah bentuk pengurasian yang merespons ruang-ruang baru atau cara baru menampilkan ruang berkesenian lama. Sejak kelahirannya di rumah megah orang-orang kaya sebagai cabinet of curiosity – bentuk embrionik dari institusi museum dan galeri yang sekarang kita kenal. Posisi Angela sebagai kurator dalam studi kasus ini beririsan kental dengan seniman, dan posisi Pedro pun sangat menentukan komposisi pameran – lepas dari karya dipamerkan. Di sini kita melihat sebuah bentuk eksplorasi digresif: seniman/kurator – kurator/seniman.


Terhadap sembulan embrionik tangensial ini kita bisa saja bersikap acuh-tak-acuh; sebaliknya, kita juga bisa melihat bahwa spirit yang ada di dalam kerja Pedro dan Angela adalah sebuah pesan bahwa dunia kuratorial sedang berubah. Mungkin memang di era kecerdasan buatan yang diprediksi oleh banyak pihak akan benar-benar mengubah cara berada (mode of being) kita secara fundamental – sebagaimana internet membuat kita tidak lagi mengenali “dunia sebelum internet” – kita perlu merenungkan lagi sejauh mana sebuah peristiwa paparan seni (rupa) membuat banyak konsep yang terlihat pejal dan masif seperti kurator dan seniman menjadi berpori dan terlalu licin untuk disekap dalam sebuah kotak kaca konseptual. 

Ads