"Pengarang yang Mati di Tangan Barthes, Dihidupkan Lagi oleh Foucault" -->
close
Adhyra Irianto
09 January 2025, 1/09/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-01-09T01:00:00Z
SastraUlasan

"Pengarang yang Mati di Tangan Barthes, Dihidupkan Lagi oleh Foucault"

Advertisement
pengarang telah mati
Ilustrasi pengarang 


Oleh: Adhyra Irianto


Sebuah paradoks, karena era modern dimulai dengan terbitnya buku Roland Barthes berjudul "The Death of the Author" pada tahun 1968. Namun, semakin ke sini, peran pengarang yang disebut Barthes telah mati ini, perlahan dihidupkan kembali.


Kematian Pengarang di Tangan Barthes


Pengarang menurut Barthes, sudah tidak dikaitkan lagi dengan teks yang ditulisnya, ketika berada di tangan pembaca. Sebuah teks tidak lagi mewakili atau mengungkapkan perasaan tertentu sebagai ideal ekspresivis. Karena, teks yang lahir di pascamodern, perlahan hadir sebagai permainan bentuk literer.


Selain itu, ekspresi yang dituangkan dalam teks menandai sebuah kematian. Kematian pengarang. Asumsinya adalah, sebuah teks akan lahir apabila pengarang sudah tidak memegang kendali lagi terhadap teks tersebut.


Kematian pengarang setelah teksnya lahir, seakan dirayakan sebagai sebuah pencapaian era pascamodern. Berbeda dengan era pramodern, ketika seorang penulis adalah sesuatu yang penting, sama atau mungkin lebih penting dari teks yang ditulisnya. Era pascamodern seakan ingin memisahkan pengarang dengan karyanya sendiri. Pengarang telah mati, dan teksnya sudah menjadi milik bersama. Pengarang mati, pembaca lahir. Bahkan si pengarang itu sendiri, akan berubah menjadi pembaca ketika ia membaca karyanya sendiri. Itu yang disebut Catherine Belsey sebagai "reader's power".


Cikal Bakal Reinkarnasi Pengarang


Tapi, apakah kematian pengarang itu benar-benar bertahan? Semakin ke sini, roh pengarang yang telah "mati" itu dihidupkan kembali, kemudian diselundupkan menjadi roh dari teks yang sedang berada di tangan pembaca. Ketika seseorang sedang mencoba menafsirkan sebuah teks, dengan melihat struktur dan unsur interinsik dari sebuah teks, apa yang akan dilakukan oleh alam bawah sadarnya kemudian? 


Yah, mencari tahu siapa penulis teks tersebut. Lahirnya di mana, hidup di tahun berapa, dan apa latar sosio-kultural dan geopolitik ketika karya tersebut lahir. Kenapa drama End Game akan dicari kesamaan dan benang merahnya dengan Come and Go, serta Waiting for Godot? Yah, jawabannya adalah; karena ketiganya ditulis oleh pengarang yang sama yakni Samuel Beckett.


Apakah itu menandakan kematian Beckett setelah teksnya lahir? Tidak, rohnya diselundupkan kembali ke dalam teks-teksnya. Anda mungkin mampu menafsirkan The Balcony dalam karya kritik sastra Anda. Tapi, apakah Anda akan benar-benar menghilangkan sosok Eugene Ionesco dalam prosesnya?


Karya adalah apa yang dihasilkan pengarang. Maka, apakah pengarang dan karya memang bisa dipisahkan seperti yang dipaparkan Barthes?


Pengarang "Dihidupkan" Foucault


Mari kita simak apa yang dipaparkan Michel Foucault pada tahun 1969 dalam tulisannya "Whats in Author?". Hal pertama yang dipertanyakan Foucault adalah bagaimana cara melepaskan teks dari pengarangnya?


Teks bisa dianalisis dan ditafsirkan dengan tidak mengaitkan pada biografi pengarangnya, hal itu akan melahirkan sebuah konsepsi pemaknaan yang beragam dan tak habis-habis dari sebuah teks. Hal ini menjadi alasan bagi seorang teoritikus untuk menyebutkan bahwa teks bisa ditafsirkan bagaimana pun, dan menghasilkan jauh lebih banyak makna.


Tapi, bukankah itu berarti teks yang dimaksud merupakan sebuah proses kreatif yang luar biasa? Maka, siapa yang kreatif luar biasa di sini? Teksnya atau pengarangnya?


Seandainya sebuah teks ternyata melanggar hukum tertentu, katakanlah bermuatan fitnah atau menyerang SARA. Kemudian, apakah pengarangnya bebas dari tuntutan, karena telah "mati" setelah teksnya lahir? Toh, bisa saja, dugaan fitnah atau serangan SARA dalam teks tersebut hanyalah asumsi dari tafsiran pembacanya saja, bukan? Ternyata tidak bisa. Pengarang akan tetap bertanggungjawab dengan apa yang telah ditulisnya. Apa sebabnya? Yah, karena penulis tidak bisa berpisah dengan teksnya, sampai kapanpun.


Lihat bagaimana sebuah teks dikotomi dengan "genre" tertentu. Apa yang menjadikan suatu drama menjadi absurd dan drama yang lain menjadi ekspresionis? Apalagi kalau bukan efek artistik yang digunakan pengarang, disesuaikan dengan pakem genre yang telah disepakati "rezim".


Apa yang membuat sebuah buku dikategorikan menjadi karya pop, karya sastrawi, dan terakhir menjadi karya ilmiah? Pertama, dilihat dari "pakem genre" yang sudah disepakati. Kedua, dilihat lagi dari kecenderungan pengarangnya. Kata Foucault, "rezim" inilah yang kemudian melakukan klasifikasi terhadap karya berdasarkan patokan konvensi genre. 


Maka, Foucault menghidupkan lagi pengarang dengan mempertanyakan "apa modus wacana 'matinya pengarang' ini?" juga mempertanyakan "di manakah modus semacam itu pernah disebarkan sebelumnya?". Pertanyaan itu bermuara pada pertanyaan pamungkas "siapa yang kemudian menerima dan menggunakan wacana tersebut?"


Tentu, Foucault tidak berbicara pengarang sebagai "pencipta" atau "kreator". Ia berbicara tentang fungsi pengarang sebagai sesuatu "subjek" yang dikondisikan oleh lingkungan sosialnya (yang diciptakan oleh pembacanya). Karya seni tidak lagi menjadi subjek, ia kembali ke posisi awalnya sebagai objek.


Katakanlah pengarang memang telah mati ketika karyanya lahir. Matinya pengarang menjadikan lahirnya pembaca bersamaan dengan teksnya. Apa yang terjadi kemudian? 


Yah, pembaca itulah yang menghidupkan kembali si pengarang. Karena menyadari ada pertalian psikologis antara pengarang dengan karyanya yang tidak bisa diputus, ketika menafsirkan karya itu.


Buku/tulisan dalam artikel ini:  The death of Author by Roland Barthes, What Is an Author by Michel Foucault tersedia di Perpustakaan Pojok Seni.

Ads