Advertisement
![]() |
Pertunjukan teater One-Act Plays of The Sea - Siklus Eugene O'Neill di Teater Lafayette (Federal Theater Project) |
Oleh: Adhyra Irianto*
Realisme, hingga saat ini, masih merujuk pada idealisasi seni akademik. Sebelumnya, akar seni hingga akhir abad 18 adalah romantisisme. Gerakan realisme adalah penolakan terhadap "pengidealan" ala romantisisme, serta distorsi, dan stilistik. Gerakan realisme adalah kesadaran untuk melahirkan karya seni yang menjadi representasi kehidupan.
Gerakan ini bermula ketika sekitar tahun 1855, ada nama N.G. Chernyshevsky asal Rusia, menulis disertasinya tentang hubungan seni dengan kenyataan, yang kemudian menjadi teks pondasi dari realisme Rusia. Tentunya, melahirkan nama-nama seperti Konstantin Stanislavsky, Bolelavsky, Nikolai Gogol, Anton Chekhov, Ivan Turgenev, Fyodor Dostoevsky, hingga Leo Tolstoy.
Disertasi Chernyshevky berjudul "Hubungan Estetis Seni dengan Realitas (bisa Anda unduh dan baca di Perpustakaan Pojok Seni)" mencoba untuk menolak ide Hegel bahwa seni adalah ide yang mewujud atau diejawentahkan menjadi "sesuatu". Karena itu, seni hari ini telah mati, karena puncak dari seni terakhir lahir di era Romantik. (Baca: Bagi Hegelian, Seni Telah Mati, Terutama Hari Ini)
Bahkan, seni yang "paling puncak" menurut Hegel adalah komedi (baca artikel Tiga Tahapan Seni dan Pendapat Hegel tentang Sastra Komedi Sebagai Puncak Tahapan Seni). Secara umum bisa kita katakan bahwa, lewat disertasinya Chernyshevky menolak pendapat Hegel.
Panggung teater dan lukisan misalnya, menurut Chernyshevky adalah dunia imajiner. Dunia imajiner ini adalah penuangan pengetahuan dari seorang pengkarya, yang tujuan awalnya untuk memenuhi 'hasrat kreativitasnya'; namun akan miskin isi, juga pucat dalam intensitas. Kenapa? Karena itu adalah representasi dari kehidupan nyata, bukan objek yang ada dalam pikiran senimannya.
Di sini kata kuncinya; karya seni adalah salinan ulang dari salinan kenyataan dalam kepala seniman. Bukan tindakan "memotret" tapi memasukkan pengalaman subjektif di kehidupan dalam kepala, yang kemudian "disalin" ulang dalam bentuk karya seni.
Cara yang dipaparkan Chernyshevky menjadi "tradisi mimetik modern". Tapi, bukan salinan mentah-mentah atau "memotret". Ada sebuah kenyataan yang disimak, dirasakan, dilihat, atau terinderakan oleh seorang seniman, menjadi sebuah dunia imajiner di kepala seniman.
![]() |
Pertunjukan "Kebun Cherry" tahun 2007 di Huntington Teater, Boston. Dibintangi oleh Will LeBow, Jessica Rothernberg, Kate Burton, Sarah Hudnut, dan Dick Latessa. |
Contoh:
Nyonya Lyubov, dan anaknya bernama Anya dalam naskah "Kebun Ceri" karya Anton Chekov, tentu bukan tokoh nyata, dan mungkin tidak pernah ada di dunia. Tapi, keduanya merupakan tokoh imajiner di kepala Chekov, yang diciptakannya untuk menggambarkan bagaimana kaum borjuis yang perlahan jatuh miskin, namun mati-matian mencoba mempertahankan status sosial. Kondisi itu adalah kondisi yang nyata di Rusia menjelang abad ke-20.
Situasi yang nyata, diambil oleh Chekov, menjadi semesta imajiner di kepalanya, kemudian diciptakan tokoh-tokoh yang merupakan "salinan" dari "salinan dalam kepala" tersebut. Konsep ini yang membedakan realisme dengan mimetik yang sudah menjadi tradisi sejak Yunani kuno.
Apakah realisme bisa dikatakan revitalisasi estetika Yunani kuno? Tidak sepenuhnya tepat. Namun, bisa dibilang secara epistemologis, realisme adalah proses revitalisasi estetika Yunani melalui "gerbong" teori proyeksi seni (baca Membedah Tahapan Noël Carroll Memberi Batasan Seni dan Bukan Seni?)
Mereduksi "Keindahan Buatan"
Realisme yang ditawarkan Chernyshevky, bila merujuk ke contoh naskah Kebun Ceri di atas misalnya, bisa didefinisikan sebagai "lanskap yang berasal dari kenyataan (pengalaman empiris seniman), kemudian dihidupi dengan imajinasi seniman".
Dalam konteks ini, estetika disandarkan pada kenyataan. Karya akan semakin indah bila semakin dekat dengan kenyataan. Karena itu, jargon realisme pun diambil dari salah satu kalimat dari disertasi Chernyshevky, "Keindahan adalah kehidupan".
Maka, keindahan adalah perwujudan sempurna dari kenyataan. Itu menyebabkan, ada usaha untuk mereduksi usaha "mengindah-indahkan" yang berasal dari imajinasi subjektif. Misalnya, apakah Anda ingat bagaimana seseorang membaca puisi? Biasanya, cara membaca naskah seperti itu akan dibawa dalam naskah-naskah era romantik. Hal itu akan direduksi pada cara membaca naskah realis.
Membaca naskah seperti membaca puisi misalnya, bersandar pada keyakinan bahwa "karya seni harus lebih indah dari kenyataan alamiah". Implikasi seperti itu, ditolak habis oleh Chernyshevky dalam kerangka realisme yang ditawarkannya.
Cinderella yang memiliki tangan halus dan lembut, padahal ia adalah seorang gadis desa dan terus bekerja kasar. Tentunya, hal itu akan ditolak habis-habisan dalam kerangka realisme. Cerita Cinderella yang asli, harusnya memiliki tangan yang kasar, kulit yang kecoklatan dan pucat, serta punya kekuatan dan "aroma" matahari. Itu baru realisme.
Realisme Bukan Mimetik Bulat-Bulat
![]() |
Lukisan karya Eilif Peterssen berjudul Laksefiskeren (tahun 1889) |
Melihat pemaparan di atas, mungkin akan terpikir bahwa konsepsi dari realisme adalah meniru bulat-bulat. Hal itu tidak sepenuhnya benar.
Dalam bingkai realisme, karya seni adalah salinan dari kenyataan. Keindahan dalam karya seni adalah turunan dari keindahan kenyataan. Tidak ada dekorasi yang berlebihan, juga aksesoris yang berlebihan. Tapi, realisme yang ditawarkan Chernyshevky juga merupakan kritik pada tradisi mimetik era klasik.
Tradisi mimetisisme di era klasik, menurut Chernyshevky, mengabaikan masalah "isi" dan hanya fokus pada "kulit". Mungkin indah, dan hebat, bila seseorang bisa menirukan suara elang, atau gagak. Tapi, apa yang ingin ditunjukkan pada penonton? Apa maknanya?
Melukis mangga, pisang, dan jambu di dalam suatu wadah, akan terlihat sangat indah. Tapi, apa yang ingin disampaikan lewat karya itu?
Dari titik ini, realisme memiliki pondasi untuk mereproduksi watak dari objek, alih-alih "hanya" mereproduksi bentuk. Semangat zaman, suasana, sejarah, dan penggambaran psikis menjadi kekuatan utama realisme, bukan "bentuk". Bila keindahan bentuk disebut sebagai "keindahan formal" sejak era mimetik klasik, maka di era realisme, ditambah dengan "keindahan substanstif".
Realisme sebagai "subsitusi" keadaan
Seni dalam kerangka realisme, hadir sebagai subsitusi dari realita. Seni tidak lebih tinggi, juga tidak lebih rendah dari realita. Bahkan, seniman juga harus mengakui bahwa tujuan ia membuat seni, karena ingin menjunjung tinggi realita. Kehidupan dengan semua kompleksitasnya, pun menginspirasi seorang seniman membuat karya seni. Maka, apa alasan seniman menyatakan karya seni lebih tinggi dari kehidupan nyata?
Seni sebagai subsitusi dari realita, bisa diibaratkan seperti ketika Anda sedang chat dengan orang yang Anda cintai. Anda melakukannya dengan tersenyum, sesekali melihat foto wajahnya, dan sebagainya. Tapi, Anda sedang memegang ponsel, dan melihat fotonya di ponsel. Anda sedang tidak bertemu secara fisik dengan orang yang Anda cintai.
Seperti itu seni menjadi subsitusi kenyataan. Ia tidak akan lebih tinggi, bila dibandingkan dengan ketika Anda bertemu langsung dengan orang yang Anda cintai tersebut secara fisik. Ia hanya "menggantikan". Meskipun Anda sudah melakukan "video call" yang memperlihatkan wajah dan tubuh orang yang Anda cintai tersebut, belum juga mampu menggantikan keinginan untuk bertemu langsung.
Maka, realisme lahir sebagai sebuah gerakan seni. Ketika seni mengurangi bedak dan gincu pada wajahnya, dan mencoba mengurangi mistifikasi di dalam pemaknaannya, atau aura-aura mistis yang kerap disematkan seniman ke dalam karyanya. Realisme lahir untuk menampilkan hidup apa adanya, sehingga bisa menjadi cermin sosiokultural. Menggambarkan sebuah karya seni, mesti didasarkan dari apa yang berhasil terinderakan. Akting dalam kerangka realisme misalnya, harus mampu "dimengerti" dan "dipercaya", agar bisa ditonton sebagai sebuah salinan kenyataan.
*Penulis adalah owner dan founder Pojokseni.com