Diskusi Akhir Tahun PTR 2024: Karya Teater sebagai Pusat Gravitasi -->
close
Adhyra Irianto
01 January 2025, 1/01/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-01-01T08:10:32Z
OpiniUlasan

Diskusi Akhir Tahun PTR 2024: Karya Teater sebagai Pusat Gravitasi

Advertisement


Oleh: Adhyra Irianto


Hujan menyambut kedatangan saya di Pekanbaru. Wajar, kalau saya sempat khawatir bahwa acara Pesta Teater Riau 2024 yang ditaja Jaringan Teater Riau (JTR) akan diguyur hujan. Begitu juga diskusi teater yang digelar tanggal 28 Desember 2024. Diskusi yang mengambil tema besar "Seperti Apa Wajah Teater Riau ke Depan" ini, diisi oleh saya (dari Bengkulu), S. Metron Masdison (Sumatera Barat), Agus Susilo (Sumatera Utara), dan Fedli Aziz (Riau), dimoderatori Ekky Gurin. 


Nyatanya selama gelaran PTR 2024, cuaca sangat bersahabat. Begitu juga ketika diskusi dimulai, sore pukul 16.00 WIB. Cuaca tak begitu panas, meski tak begitu sejuk. Setidaknya, cuaca ini sangat tepat untuk menjaga kesadaran berdialektika. Maka, obrolan sore itu dimulai. Metron Masdison dari Padang membuka obrolan sore itu.




Metron berbicara tentang jaringan, serta pentingnya seorang seniman teater menghargai dirinya sendiri. Penyebab teater selalu dihargai murah, kata Metron, adalah karena seniman kerap "jual murah". Seniman mulai harus menghargai dirinya, di samping meningkatkan kualitas diri dan pertunjukannya.


Agus Susilo mengungkit masa-masa mudanya, ketika film kungfu dari Tiongkok kerap mendominasi sebagai hiburan berkelas yang menawarkan tradisi lokal dengan modernisme yang berkelindan. Meski berlatar era modern, namun Boboho, paman dan teman shaolin-nya kerap menggunakan pakaian kungfu, atau setidaknya menggunakan Changsan untuk momentum lebih formal.


Fedli Aziz membuka obrolan tentang Riau. Landskap Riau menawarkan banyak kisah yang "harus" diangkat; tentang Kota Dumai yang sudah tidak punya tanah lagi karena sudah jadi milik perusahaan, atau tanah Riau yang terus menjadi padang perburuan. Semuanya bisa menjadi premis cerita yang menarik untuk diangkat, sekaligus diteriakkan.


Saya mengambil tema yang berbeda, yah agar tidak perlu mengulangi apa yang sudah disampaikan senior-senior tadi. Saya hanya menyarankan agar ada seorang kritikus teater yang lebih banyak lahir lagi. Setidaknya, satu pertunjukan dikritik oleh lebih dari satu orang, agar ada lebih banyak perspektif untuk melihat satu pertunjukan.


Sebuah pertunjukan, baru bisa dicermati, ditafsirkan, dan dituliskan dengan baik, bila dibaca secara dekat. Pembacaan dekat itu dilakukan dengan memperhatikan sampai bagian paling detail, atau bagian yang paling kecil dari pertunjukan. Pertunjukan akan disigi, diteliti, dianalisis, dibedah, hingga detail-detailnya. 


Harus ada seseorang yang perlu melakukan itu, tidak hanya di Riau, tapi juga di seluruh Sumatera. Maka, seniman akan menyadari apa yang perlu dipertahankan, dan apa yang perlu diperbaiki dari karyanya, maka kualitas karya akan terus bisa diperbaiki.


Karya sebagai Pusat Gravitasi




Para pembicara, meski membicarakan teater secara umum, tapi secara tersirat menginginkan adanya peningkatan kualitas karya secara terus menerus. Tidak secara instan (karena memang tidak ada yang instan) tapi secara gradual. Teater di Sumatera punya lebih banyak modal bahan yang bisa menjadi bahan pertunjukan (baik narasi maupun bentuk/wujud), yang kemudian diolah dengan berbagai pilihan gaya, genre, atau mungkin aliran.


Itu adalah anugerah dari luas dan beragamnya kebudayaan di Sumatera, baik di sekitaran Bukit Barisan maupun di pesisir barat dan timur. Dengan keragaman itu, mustinya akan menghasilkan keragaman ide, cara menyiasatinya, dan menghasilkan beragam pula cara mengejawantahkannya.


Berikutnya, karya seni akan menjadi pusat gravitasi. Seniman/grup didukung oleh infrastruktur yang baik, penonton yang memberi apresiasi, serta kritikus yang cukup teliti, semuanya akan bermuara pada satu hal: karya teater.


Diskursus berasal dari wacana sosial yang ditawarkan karya. Ditampilkan oleh seniman yang telah terlatih, didukung oleh infrastruktur yang baik, ditulis oleh kritikus yang baik, dan diapreasiasi oleh penonton. Maka, wajah "peradaban" teater akan terus membaik.


Meski pembicaraan terjadi di Pekanbaru, saya kira diskusi ini mesti mendapatkan lebih banyak dilakukan di lebih banyak tempat. Tentunya, dengan pembicara yang berbeda namun tetap memiliki visi yang sama.


Di mana posisi pemerintah? Pemerintah, berada di posisi yang sama seperti sponsor, donatur, dan sebagainya. Selain membangun infrastruktur yang baik, mendukung dengan pendanaan yang baik pula, serta memberi ruang yang sama bagi teater dari seluruh daerah untuk berbicara di ruang-ruang publik.

Ads