Advertisement
Oleh: Adhyra Irianto
Saat beberapa "oknum" akademisi di Bengkulu dengan "semangat antikolonial" berencana mengubah citra Bengkulu dari "Bumi Rafflesia" menjadi "Bumi Merah Putih", maka sejumlah peneliti dari BRIN dan Jepang menyebut tiga jenis Rafflesia (Rafflesia Patma, Rafflesia Rochussenii, and Rafflesia Zollingeriana) berasal dari Jawa, Indonesia (Kusuma Y, et al, 2022).
Lalu, belum lama ini sejumlah peneliti internasional meneliti kemungkinan tumbuhnya Rafflesia di Royal Belum State Park, Perak, Malaysia lewat kemungkinan distribusi dan pembaruan ekologi (Kedri F, et al, 2018).
Kemudian, sejumlah peneliti dari Departemen Biologi, Pace University New York, menemukan bahwa transkriptom dari biji bunga Rafflesia memungkinkan adanya tranfer gen dan evolusi konvergensi. Itu menjadikan rencana pelestarian bunga terbesar di dunia ini bisa dimungkinkan dilakukan di lebih banyak tempat, selain Indonesia (Molina J, et al, 2023).
Di Jurnal Plants People Planet, sejumlah peneliti meneliti Rafflesia di pulau Jawa dari ujung barat sampai ujung timurnya. Lebih sialnya lagi, di daerah Naha Jaley, Sarawak, Malaysia, Rafflesia sudah tumbuh dan diberi nama Rafflesia Tuan-mudae. Daerah ini (Naha) telah dikonfirmasi sejak 2012 bisa menjadi tempat untuk ekosistem bunga yang disebut "sangat rentan" punah ini (Diway B, et al, 2022).
Itu artinya apa? Artinya, saat ini sedang perang narasi!
World Wildlife Fund (WWF) memprediksi punahnya 80 ribu spesies tanaman di berbagai wilayah dunia. Karena itu, kebijakan iklim sedang direncanakan, ada banyak dana yang disiapkan untuk menyelamatkan jenis tumbuhan dan hewan yang terancam punah ini. (Warren R, 2024).
Tidak hanya di dunia, di Indonesia, usaha untuk mempertahankan keaneka ragaman hayati, dalam isu konservasi alam juga sudah lama digalakkan. Bulan Agustus 2024 lalu, ada seminar Forum Bumi yang digelar di House of Izara, Jakarta Selatan. Seminar ini digelar oleh National Geographic Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Kehati.
Apa yang dibicarakan dalam seminar tersebut? Tajuk utamanya, Apa yang Terjadi Bila Keanekaragaman Hayati Kita Punah? Diskusi yang hadir adalah ancaman pada keanekaragaman hayati di Indonesia, serta apa tindakan penyelamatan yang perlu dilakukan.
Salah satu yang cukup mengancam biodiversity adalah alih fungsi lahan. Yah, aktivitas penambangan dan pabrik kelapa sawit yang semakin meluas di Bengkulu adalah salah satu predator yang mengincar kehidupan bunga raksasa ini.
Sialnya, Bengkulu bisa saja kehilangan keistimewaannya sebagai "tuan rumah" bagi Rafflesia. Berikutnya, habitat Rafflesia bisa dengan mudah dipindahkan ke mana saja, demi menghindari kemungkinan kepunahan. Ada banyak dana yang dipersiapkan untuk hal itu, terutama menghadapi kemungkinan "biodiversity losses" karena kenaikan suhu hingga 4 derajat Celcius di beberapa negara. (Price, J. et al, 2024).
Saat kondisi sedang seperti itu, tahu apa yang dilakukan oleh "akademisi" Bengkulu?
Hal yang mereka lakukan adalah mengganti citra Bumi Rafflesia menjadi "Bumi Merah Putih". Dua alasan klise, pertama "rafflesia" itu berbau kolonial, dan kedua Fatmawati menjahit bendera merah putih.
Alasan Klise
Alasan klise pertama, tentunya harus secepatnya dibuang. Raffles dan Arnold sebagai dua orang yang meneliti dan mempublikasikan spesies yang kemudian diberi nama Rafflesia Arnoldi tahun 1818. Rafflesia menjadi sebuah genus, di bawahnya ada berbagai spesies Rafflesia selain R. Arnoldi. Kondisinya semua spesies Rafflesia saat ini sedang dalam zona merah, alias terancam punah. Penyebabnya, aktivitas deforestasi yang sebagian besar dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit, dan penambangan batu bara.
Sebelum "ditemukan" oleh kedua orang itu, warga di Provinsi Bengkulu akan takut bila bertemu dengan bunga ini. Mereka menganggap, bila bertemu dengan bunga ini, maka nasib mereka akan sial. Karena itu, bunga ini disebut "ibeun sekedei" alias "cawan hantu". Yah, bagaimana juga mau meneliti atau memperkenalkan bunga raksasa langka itu pada dunia, bila bertemu dengan bunga ini dianggap sama dengan ketemu hantu? Pada akhirnya, Raffles dan Arnold yang menemukan bunga ini juga bernasib sial. Kerja kerasnya tidak dihargai oleh warga setempat.
Rafflesia Arnoldi hanya salah satu spesies, masih terlalu banyak jenis atau spesies dari genus Rafflesia ini. Bengkulu menjadi "rumah" bagi lima spesies yakni Rafflesia bengkuluensis, R. Gadutensis, Rafflesia hasselti, dan Rafflesia kemumu. Bengkulu menjadi "Bumi Rafflesia" bukan tidak beralasan. Pertama, karena spesies Rafflesia pertama yang ditemukan berada di Bengkulu. Kedua, spesies Rafflesia terbesar (Rafflesia arnoldi) berada di Bengkulu. Untuk lebih jelas, lihat gambar di bawah ini.
![]() |
Jenis jenis Bunga Rafflesia |
Lima dari jenis spesies Rafflesia tersebut, tersebar di 9 kabupaten yang ada di Provinsi Bengkulu. Yah, sialnya memang Rafflesia saat ini cuma tidak ditemukan di satu tempat, yakni Kota Bengkulu. Mungkin pernah ada, saya yang tidak pernah dapat infonya. Maka, satu-satunya yang tersisa dari Kota Bengkulu, tentunya patung dan rumah dari Ibu Fatmawati yang menjahit bendera. Mana yang lebih menggambarkan Bengkulu secara keseluruhan? Bunga Rafflesia atau Ibu Fatmawati?
Bumi Merah Putih adalah Ide yang Konyol
Sedangkan nama yang diajukan, yakni Bumi Merah Putih, benar-benar ide yang konyol. Alasannya adalah, Fatmawati, yang merupakan istri presiden pertama sekaligus ibu dari presiden keempat, adalah orang yang menjahit bendera merah putih. Di sini kata kuncinya, "menjahit bendera merah putih".
Pekerjaan "menjahit" yang dilakukan Fatmawati perlu diapresiasi, tapi tidak dengan mengubah citra Bengkulu menjadi bumi Merah Putih. Kenapa?
Pertama, bendera itu tidak dijahit di Bengkulu. Bendera itu dijahit bulan Oktober 1944 di Jakarta.
Kedua, bendera itu dijahit dengan mesin jahit Singer, yang sangat baik untuk menjahit lurus. Perlu dicatat bahwa mesin jahit Singer ini adalah "made in China". Apakah menghindari "bau" kolonial sangat diperlukan, demi "bau" Tiongkok?
Ketiga, bahan dari Bendera Merah Putih tersebut adalah dua blok kain berukuran 2x3 meter milik Hitoshi Shimizu, seorang Pimpinan Barisan Propaganda Jepang. Baik, setelah berhasil menghindari "bau" kolonial, maka sekarang kita akan ber"bau" Jepang. (Fatmawati, 1978)
Keempat, Bendera Merah Putih bukan ide dari Fatmawati. Perumusan warna dan bentuk bendera ini dilakukan oleh tim yang dipimpin Ki Hajar Dewantara dan tim yang berisi Puradirejda, Poerbatjaraka, Hoesein Djajadiningrat, Moh Yamin, Radjiman Wedyodiningrat, Sanusi Pane, Mas Mansyur, PA Soerjadiningrat, dan Dr Soepomo. (Yamin M, 2017)
Ide Merah Putih ini terinspirasi dari bendera dan umbul-umbul perang yang digunakan Kerajaan Majapahit. Bahkan, panji yang digunakan Diponegoro saat melawan Belanda juga berwarna Merah Putih. Dan sebelum dikibarkan saat hari kemerdekaan, "merah putih" yang lain pernah dikibarkan oleh Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada Kongres Rakyat Indonesia ahun 1939. (Rahmawati, M, 2020)
Jadi, nama "bumi Merah Putih" juga kurang cocok, karena memang rahim yang melahirkan Merah Putih juga bukan "bumi" Bengkulu. Kecuali, nama yang diajukan adalah "bumi sang penjahit merah putih".
Coba bayangkan, dengan analogi yang sama, rumah tukang yang ikut membangun kantor gubernur, apakah bisa disebut "Rumah Gubernur"? Atau, rumah penjahit yang menjahit baju presiden, bisakah disebut "Rumah Baju Presiden"?
Kesimpulan
Kerusakan hutan di Bengkulu sudah masuk dalam kategori berbahaya. Walhi Bengkulu mencatat bahwa ribuan hektar wilayah hutan lindung di Bengkulu sudah menjadi areal perkebunan. Bahkan, beberapa di antaranya adalah perkebunan ilegal.
Tidak hanya kondisi alam Bengkulu, dan juga berpengaruh pada kurang mampunya tanah melakukan resapan air, tapi juga sangat berdampak pada si bunga raksasa. Habitatnya rusak, maka perlahan bunga ini menuju kepunahan.
Kembali menggaungkan "bumi Rafflesia" bukan hanya untuk pariwisata, apalagi cuma masalah "populer". Ini adalah salah satu cara untuk menjaga alam, karena menjaga Rafflesia hanya bisa dilakukan dengan cara menjaga habitatnya.
Yah, kalau memang sudah terlalu risih dengan nama "Rafflesia" dengan alasan kuno "kolonial" itu, maka biarkan saja konservasi di Pulau Jawa, atau malah di Lembah Naha, Serawak, yang menjadi habitat bagi Rafflesia. Maka, biarkan saja nama "bumi Rafflesia" menjadi sebutan baru untuk daerah lain.
Sedangkan kita, asyik masyuk dengan sebutan paling nasionalis "Bumi Merah Putih" seakan-akan Merah Putih lahir di simpang lima Kota Bengkulu. Dan seakan-akan warna Merah Putih yang berkibar di seluruh negara saat ini adalah ide dari orang Bengkulu. Dan seakan-akan, Bengkulu adalah tempat di mana Merah Putih paling dihormati di Indonesia. Sebuah simulakra yang mungkin menyenangkan bagi pihak yang punya ide "luar biasa" ini.
Bagi saya pribadi, ide tersebut tidak hanya "sekedar" ide konyol. Karena, ide ini berarti akan mengganti logo Provinsi Bengkulu, batik Bengkulu, dan juga semua organisasi, instansi, komunitas, dan sebagainya yang menggunakan embel-embel "Rafflesia" menjadi "Merah Putih".
Seandainya pertukaran ini disetujui dan benar-benar terealisasi, hal ini hanya akan membuktikan pada "dunia" bahwa Bengkulu memang sangat miskin narasi.