Bicara Mitos dalam Seni Pertunjukan; Mitopoiesis dan Memenangkan Hati Pemirsa -->
close
Pojok Seni
27 January 2025, 1/27/2025 03:33:00 PM WIB
Terbaru 2025-01-27T08:33:26Z
Artikel

Bicara Mitos dalam Seni Pertunjukan; Mitopoiesis dan Memenangkan Hati Pemirsa

Advertisement
mitopoiesis
Pertunjukan Malin Kundang Lirih


Oleh: Adhyra Irianto


Menarik menyimak diskusi yang digelar oleh Actor Idea yang mengangkat tajuk "Dari Mitos ke Pertunjukan; Diskusi Pasca Pertunjukan Malin Kundang Lirih". Sayang sekali, saya hanya menyimak sekitar 15-20 menit terakhir, yakni ketika diskusi dan tanya jawab.


Namun, dua hal yang setidaknya berhasil saya "hisap" dalam beberapa menit tersebut dari beberapa pembicara, yakni Ari Pahala Hutabarat, pimpinan Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung, serta Pandu Birowo (dosen Prodi Teater ISI Padangpanjang). Juga ada Fajar Eka Putra (aktor/direktur program Komunitas Actoridea) dan Wanda Rahmad Putra (aktor/dosen prodi teater ISBI Bandung).


Hal pertama adalah, Indonesia ini memiliki keragaman budaya, yang secara langsung melahirkan keragaman mitos. Mitologi nusantara, menjadi salah satu yang sebenarnya memiliki daya tarik, apabila diproses dengan baik.


Hal kedua adalah, mitos adalah dongeng yang bermuatan filosofis; entah itu makna hidup, akal budi, hingga pedoman hidup. Maka, mitos adalah cara manusia mencari makna. Sejak manusia mencari makna, maka agama dan mitologi muncul di muka bumi. Mitologi memiliki kunci dalam gerakan budaya sepanjang sejarah.


Mitos bisa menjadi sampel, yang kemudian menjadi bahan riset, dan menjadi premis sebuah pertunjukan. Seperti itu lahirnya "Malin Kundang Lirih" ketika sejumlah antitesis diajukan dalam pertunjukan tersebut.


Lewat diskusi dan tanya jawab, sejumlah penanya mempertanyakan bagaimana cara membuat mitologi menjadi sebuah ide cerita untuk pertunjukan, dan sebagainya.


Mitopoiesis: Merebut Kembali Hati Pemirsa


Bayangkan film-film science-fiction yang ditawarkan Hollywood, atau mungkin beberapa cerita drama Korea berlatar era Joseon yang berhasil menarik perhatian pemirsa di Indonesia. Coba bayangkan, bagaimana tokoh-tokoh mitologi Nordik seperti Thor, bisa menjadi tokoh superhero yang diminati. Kisah-kisah para penyihir, pangeran, kerajaan, dan kisah dewa-dewa Yunani, juga menjadi sebuah cerita yang sangat menarik.


Dari apa yang Anda bayangkan, bisa Anda lihat bahwa tidak hanya di dunia eksak atau sains, bahkan untuk mitologi saja, kita selalu mengekor ke "barat". 


Mitos akan sangat berkaitan dengan sakralitas yang dibutuhkan sebagai "makanan jiwa" bagi seorang manusia. Mitos, akan sangat terkait dengan kearifan/kecerdasan lokal. Ketika mitos lokal "dilawan" dengan alasan post-modernisme, sebenarnya ini adalah sebuah simptom bahwa kecerdasan lokal diremehkan atau diabaikan oleh publiknya sendiri.


Itu menjadi penyebab kenapa kisah Dayang Sumbi misalnya, akan dianggap kuno, bila dibandingkan dengan kisah Cinderella misalnya. Sekarang, bagaimana cara untuk merebut kembali hati publik lokal?


Saat itu, mitopoiesis menjadi jawabannya. Mitopoiesis (mhytopoeia) adalah proses "penciptaan mitos" yang didasarkan dari tema mitologikal. Malin Kundang Lirih misalnya, adalah bentuk mitopoiesis. Sebagaimana NetFlix misalnya, mengangkat kisah mitologi The Fallen Angel (Lucifer) menjadi sebuah bentuk konstruksi fiksi berbasis mitologi ini. 


Cara konstruksi mitopoiesis adalah; 


  • Membangun cerita berdasarkan "tema" dari mitologi/kitab/dst
  • Menghadirkan tokoh mitologi tersebut hidup bersama manusia post-modern
  • Berlatar belakang era kontemporer
  • Membongkar paradigma lama (oposisi biner)
  • Lebih bermuatan filosofis
  • Menghadirkan keraguan/kerancuan/kebingungan dari makhluk post-modern pada kehadiran makhluk surgawi/makluk mitologis
  • mempresentasikan permasalahan masyarakat saat ini
  • Menghadirkan hal-hal terkait metafisi, supranatural, dan keajaiaban
  • Menghadirkan kisah romantis di dalamnya
  • Berhubungan dengan geopolitik saat ini. 


(Hal tersebut saya paparkan dalam paper berjudul Netflix's Mythopoesis Phenomenon: Lucifer and Messiah.)


Kitab I La Galigo, sebagai kisah Epik dari Bugis, menjadi premis pertunjukan yang sangat menarik. Tapi, sutradara kenamaan asal Amerika, Robert Wilson yang menjadi sutradara. Kenapa, salah satu sutradara teater terbaik dunia seperti Robert Wilson tertarik dengan mitologi Nusantara, namun kita tidak?

Ads