Advertisement
Oleh: Adhyra Irianto
Beberapa waktu terakhir, saya sering berdiskusi (bahkan berdebat) dengan sahabat-sahabat, baik secara langsung maupun di dunia maya (Facebook dan Quora). Inti perdebatannya adalah, apakah bisa menilai karya seni menggunakan sains, bukan "rasa" yang terkesan metafisik?
Dari hasil perdebatan tersebut, saya perlahan mulai membuka kembali buku-buku lama, dan artikel-artikel lama yang pernah ditulis. Untuk membahas ini, jangan langsung ke titik masalah, karena akan sangat subjektif jadinya. Kita mulai dengan pelan-pelan dulu.
Sebelum melakukan penilaian karya seni, apakah "si penilai" ini sudah bisa membedakan mana yang karya seni dan mana yang bukan? Mari kita simak bersama-sama, mulai dari bagaimana memberi batasan antara seni dan bukan seni?
Tentunya, Noël Carroll yang membahas itu dengan cukup detail. Dalam buku pengantar filsafat seni yang ditulisnya berjudul Philosophy of Art: A Contemporary Introduction, Noël Carroll pelan-pelan membedah tahapan-tahapan pembatasan terhadap seni sejak era Yunani kuno. Hingga era post-modern, Noël Carroll justru tiba pada kesimpulan bahwa seni adalah "ruang bebas yang menggambarkan betapa tidak jelasnya manusia".
Untuk lebih jelas, Anda bisa membaca ulang artikel berjudul Membedah Tahapan Noël Carroll Memberi Batasan Seni dan Bukan Seni?
Dari artikel tersebut, mari kita bergerak ke apa yang membedakan sebuah objek sehingga menjadi "objek umum" dan "objek estetis". Maka, kita akan berlabuh ke artikel berjudul Sifat Apa yang Dikandung Sebuah Objek Hingga Memicu Emosi Estetis?
Tulisan tersebut didasarkan pada tulisan Clive Bell berjudul Art di tahun 1914. Tulisan tersebut yang menjadi rujukan dari pakem formalisme yang digunakan hingga era modern. Clive Bell menawarkan teori yang disebut "bentuk bermakna" untuk mengarahkan satu benda menjadi benda estetis atau benda non-estetis.
Mikel Dufrenne, fenomenolog asal Prancis membedakan antara "karya seni" dan "objek estetis". Misalnya, ada sebuah lukisan dipajang di pameran. Kemudian, datang seorang yang masuk dan mengagumi lukisan tersebut. Maka, di saat itu, lukisan itu menjadi objek estetis.
Masih di tempat yang sama, di malam harinya, datang seorang satpam. Ia datang untuk memeriksa apakah lukisan yang dipajang masih ada di tempatnya, atau tidak. Saat itulah, ia juga melihat lukisan yang sama. Namun, ia tidak melihat dengan perspektif estetis. Maka, saat itu lukisan itu hanya menjadi karya seni.
Untuk lebih jelas, simak artikel berjudul Dufrenne dan Pemisahan Tegas Antara Karya Seni dengan Objek Estetis
Setelah membaca lagi rangkaian artikel di atas, kita sudah cukup jelas membicarakan tentang distingsi antara karya seni, objek estetis, dan objek non-estetis.Kenapa harus dijabarkan?
Yah, kalau seseorang tidak bisa membedakan mana objek estetis dan mana objek non estetis, bagaimana bisa melakukan penilaian pada sebuah karya seni?
Dan sekarang, baru kita kembali ke tajuk utama dari tulisan ini, apakah menilai seni bisa menggunakan sains?
Evaluasi Estetis dengan Sains?
Sejak era Agustinus (345-430 M), seni selalu dikaitkan dengan matematika. Tulisannya berjudul "de Pulchro et Apto" alias tentang yang indah dan pantas, menjadikan keindahan seni akan berkait dengan hal yang matematis.
Sebuah lagu yang baik bila dalam tempo yang terjaga, lukisan atau patung yang baik adalah yang berada dalam proporsi yang tepat, pertunjukan tari, teater, dan sebagainya juga ketika diperhitungkan dengan cermat. Maka, ada "matematika" dalam menilai sebuah karya seni.
Intinya, karya seni itu bisa disebut "bagus" kalau sudah "benar" secara matematis. Seni bersifat rasional, didasarkan pada penataan bagian-bagiannya dengan proporsional. Untuk lebih jelas terkait ini, Anda bisa membaca artikel berjudul Benar dan Bagus: Hakikat Matematis Seni
Sebagai tambahan, tesis yang diajukan Simone Teerink dari Universitas Utrecht, mengusulkan ada lima penilaian karya seni (atau objek estetis). Namun, Teerink sudah memberi garis bawah, bahwa nilai ≠ harga. Untuk lebih jelas, Anda bisa membaca artikel berjudul Lima Nilai yang Pengaruhi Penilaian Benda Seni: Respon pada Tesis Berjudul Unravelling Art Prices
Dari dua artikel di atas, apa yang bisa disimpulkan. Yah, bahwa sebuah penilaian atas karya seni, membutuhkan hal yang matematis. Secara umum, saya menyimpulkannya dalam artikel berjudul Hal yang Mutlak Dimiliki Seorang Juri Lomba Seni.
Karena "hakikat matematis" dalam karya seni inilah, Roger Fry dalam buku berjudul Vision and Design (1920) menawarkan ide bahwa keindahan sebagai desain. (Disarikan pada artikel berjudul Alasan Roger Fry Mengganti Keindahan Menjadi Desain)
Satu artikel lagi, yang perlu disimak ulang untuk pembicaraan ini adalah Mengapa Selera Estetis Setiap Manusia Berbeda? Apakah Semua Evaluasi Estetis "Berhak Didengar"?
Artikel tersebut didasarkan pada esai yang ditulis David Hume berjudul Of the Standard of Taste. Intinya adalah, pernyataan estetis harus didasarkan pada sebuah evaluasi (penilaian) estetis. Hal yang berbeda bila yang dinyatakan adalah sebuah pernyataan faktual. Apa bedanya?
- "Malam tadi, ada sebuah pertunjukan teater" >> pernyataan faktual
- "Malam tadi, pertunjukan teaternya jelek" >> pernyataan estetis.
Pernyataan pertama, tentu bisa Anda simpulkan sendiri bagaimana membuktikan kalimat tersebut benar atau tidak. Tapi, untuk pernyataan kedua, maka ada evaluasi estetis. Dan, tidak semua evaluasi estetis itu berhak didengar!
Bisakah Evaluasi Estetis Menggunakan Neurosains?
Era 1990-an, sebuah disiplin ilmu baru hadir di dunia, sebagai dampak dari lahirnya komputer. Disiplin ilmu ini disebut "neurosains" yang mempelajari tentang sistem saraf dalam otak manusia. Ilmu ini mengkaji secara mendalam tentang persepsi, ingatan, kesadaran dan kepekaan, kontrol pikiran, fungsi otak dan tubuh, perilaku, dan sebagainya.
Sebagai dampak dari kelahiran ilmu ini, maka lahir pula sebuah pendekatan melakukan evaluasi estetis menggunakan neurosains. Pendekatan ini disebut neuro-estetika.
Masih di era 1990-an, nama Samir Zeki, seorang professor dan ilmuwan neurobiologi, mengajukan adanya "titik keindahan" di dalam otak manusia. Letaknya, menurut Samir Zeki, berada di korteks orbito-prafrontal (Watson, Frackowiak, Zeki; 1993). Titik itulah yang bertanggung jawab pada sebuah evaluasi estetis.
Namun, Cela Conde, ilmuwan neurosains lainnya, membantah hal tersebut. Ia menyebut titik yang dimaksud Zeki, justru berada di korteks dorsolateral prafrontal (Massey; 2009). Temuan-temuan masih berlanjut, sampai saat ini. Hingga, bisa kita simpulkan bahwa ada penilaian estetis yang menggunakan sebuah titik di otak (di korteks), yang memengaruhi evaluasi estetis.
Baiklah, memang ada "titik keindahan" di otak, tapi bagaimana sebuah penilaian atau evaluasi bisa "diringkus" dalam sebuah formula neurosains? Mari kita simak lagi pernyataan terbaru dari Samir Zeki yang dipresentasikannya di tahun 2000-an. Tulisannya berjudul "The Neurology of Ambiguity" dipublikasikan oleh Universitas Oxford (2006) semakin menjelaskan bahwa seni itu "kebal" terhadap nalar, dan memungkinkan munculnya ambiguitas.
Lalu, apakah "sains" tadi tidak bisa digunakan sebagai "alat bedah" evaluasi estetis?
Tidak bisa100 persen. Kira-kira, kalau skala nilai itu adalah 1-10, maka 7 poin di antaranya bisa "diukur" menggunakan matematis. Ada hal teknis (yang sangat objektif) yang harus dipenuhi agar sebuah karya tersebut bisa mendapatkan 7 poin. Ada semacam pola-pola yang sudah "diluhurkan" atau "disepakati" dalam kerangka estetika.
Bagaimana dengan 3 poin lainnya. Saat ini; tafsir, persepsi, perasaan, dan setipenya (yang sangat subjektif), akan digunakan. Inilah yang disebut "keseimbangan". Seperti itu penilaian estetis pada suatu karya.
Dan tentunya, penilaian tersebut harus dilakukan pada karya "secara utuh", tidak bisa hanya sebagian apalagi hanya sekelumit. Maka, jangan pernah memberikan sebuah pernyataan estetis pada karya yang tidak pernah Anda tonton. Itu adalah syarat mutlak.