Spiritual-Mitologi-Metafisika: Modus Kerja (Ekosistem “Gawat Darurat” dan Ketidaksadaran Personal), Praduga atas Presentasi Khwarizmi Aslamriadi -->
close
Pojok Seni
06 December 2024, 12/06/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-12-10T14:46:19Z
KritikteaterUlasan

Spiritual-Mitologi-Metafisika: Modus Kerja (Ekosistem “Gawat Darurat” dan Ketidaksadaran Personal), Praduga atas Presentasi Khwarizmi Aslamriadi

Advertisement
Ubi-ubian yang menjadi bahan dari selametan polo pendem
Ubi-ubian yang menjadi bahan dari selametan polo pendem
(Dok. Khwarizmi dkk)

Oleh Arung Wardhana Ellhafifie

 

Bertolak dari Catatan ‘Lain’ Apresiator


Judul di atas tentu saja sebuah praduga, analisis, anggapan, atau apalah namanya—yang belum terurai dalam presentasi Khwariz (tadinya digunakan oleh saya sebagai data versus, sekalipun saya pendamping). Saya ingin memulai ini dari komentar Hayyi Dohir Sindu Herlianto (pelaku budaya/aktor), Malang, yang membayangkan pementasan “Beberan Klasa: Darurat, Jadzab, Riset, dan Teks-Teks Berkeliaran”, tidak akan terjadi apa-apa, karena anggapan jadzab sudah selesai dengan dunia, atau rekayasa, yang menurutnya ruang itu penuh dengan perekayasaan, sedangkan jadzab tidak ada perekayasaan. (Nb: cek saja di google pengertian jadzab, atau dilacak di YouTube, sadar saya tidak menjelaskan di sini)


Sementara itu, Bedjo Supangat (sutradara Teater Komunitas, Malang), menyoroti metodologinya sebagai catatan penting, apakah relevansinya dengan generasi masa kini, yang justru bernilai bagi proses yang sedang berlangsung.


Hal lain, yang saya anggap sebagai potensi positif; dari Musthofa Kamal, seorang akademisi dan pemerhati pertunjukan, diskusi yang terjadi dalam sebuah pertunjukan itu disadari baginya sebagai performer, posisi penonton yang bergeser menjadi performer untuk memberikan komentar dalam menanggapi riset tentang jadzab yang tengah dilacak, dijelajahi, dan dieksplorasi dengan segala permasalahannya, sebagai sebuah keinginan untuk kemudian disimpulkan, disadari bahwa praktik ini adalah sebuah riset.


Saya sebenarnya ingin sependapat dengan Kamal, untuk bacaannya yang cukup jeli dibanding keduanya (tetapi rasanya tidak adil, mengingat saya lebih mengenal keduanya ketimbang Musthofa), sebagai titik masuk saya untuk menganalisis ini secara garis besar, dari storytelling-performative; genre yang berbeda dari sebelumnya yang coba diajukan oleh peserta kelas Khwarizmi Aslamriadi, dalam napak tilas, Dapur LTC (Lab Teater Ciputat).


Program ini difasilitasi oleh Bambang Prihadi, Lab Indonesiana, Manajemen Talenta Nasional (MTN) 2024 bidang seni dan budaya, bekerja sama dengan Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan (DitPTLK), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) yang sekarang (Kementerian masing-masing), berlangsung di Pondok Pesantren Budaya Karanggenting, Jl. Puncak Joyo Agung No. 30, RT.01/RW.07, Genting, Merjosari, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144, pada Senin, 25 November 2024, penemuan kembali sosok dalam modernitas.


Saya kira Sindu tidak begitu paham dengan storytelling-performative; Saat itu saya ingin membantahnya, tetapi saya sudah tidak kuat lagi, tidak berdaya untuk membantah komentar tersebut, di mana sebagian besar pelaku budaya di Malang yang sudah terbiasa dengan pola-pola seperti itu.


Baiklah, saya coba analisis dulu istilah ini, antara storytelling dan performative. Di mana storytelling; dapat dipahami cara Khwariz menyampaikan cerita melalui berbagai media, seperti kata-kata, gambar, atau suara. Jelas terlihat bahwa banyak media yang disuguhkan dengan sekitar lima monitor 42 inci, objek, atau instalasi, soundscape, chat gpt, video dokumenter atau video eksperimen dari monitor-monitor tersebut yang bermunculan, yang luput dari perhatian Sindu dan Bedjo.


Media-media yang ada di Pesantren Budaya Karanggenting, Malang
Media-media yang ada di Pesantren Budaya Karanggenting, Malang
(Dok. Khwarizmi dkk)


Jelas, hal itu disampaikan secara lisan oleh Khwariz, kemudian video dokumenter yang disutradarai oleh Muhammad Hafidh Tepeng dan Iqbal, begitu pula galeri jadzab yang saat itu didisplay oleh rekan-rekan komunitas Bajra Nuklir Sejahcerah, yang disampaikan pula dengan komposisi musik yang dipimpin oleh Mohammad Harist Rendika Putra, yang pada awalnya bekerja antara Tepeng dan Harist sebagai dramaturg dan kurator, yang kemudian mengundurkan diri, karena merasa keryanya tidak pernah didengar; hal ini terkait dengan komentar Sindu yang melihat mereka bekerja sendiri-sendiri, memangnya kenapa kalau mereka bekerja sendiri-sendiri sesuai pemahamannya masing-masing, apa salahnya dengan pertunjukan tersebut, kalau selama ini terintegrasi untuk menelusuri riset dalam ekosistem “gawat darurat” sejak awal.


Tentu saja Tepeng, Harist, Iqbal, dan Haydar bukan tanpa alasan, ketika mereka merasa kerja kolektif tidak terpakai, kebersamaan dalam menuangkan ide hanya satu arah tunggal (seperti masuk di kuping kanan keluar kuping kiri Khwariz), masuk akal ketika mereka terus berjalan sendiri, dengan mencoba mengintegrasikan, sama seperti saya mencoba mengusulkan sebuah dramaturgi versus, di dalamnya sebagai partisipan untuk mencoba memasuki wilayah yang berbeda, hanya saja saya ingin mengkritik diri sendiri; bahwa saya kehilangan daya untuk melawan situasi yang cukup berbeda, yang dapat dijelaskan di sub berikutnya.


Begitu pula dengan Bedjo, bagi saya dipahami hanya melihat pada permukaan, yang berbeda dengan Anwari (sutradara Padepokan Seni Madura) dan Elyda K. Rara (produser dan founder Kamateatra Art Project), atau Lusiana Dwi Andini (peneliti, sutradara, dan performer), yang cukup peka untuk membawa bahwa situasi ini memang dibangun dengan kekacauan.

Jika Sindu selalu memahami kegagalan sebagai langkah ‘mati’ seperti kebanyakan pengamat di Malang, atau di Jawa Timur (Jatim), tetapi bagi saya “kegagalan” bukanlah kata kunci yang ‘mati’, tetapi ia dinamis, “kegagalan” adalah kesempatan untuk melihat sesuatu yang berbeda, inilah yang coba diajukan oleh Ellyda (setelah pertunjukan selesai); dan serius Ellyada berharap Khwariz dengan mutligenre seperti ini terus berlanjut, karena sebagai sebuah penemuan yang berbeda dan cukup asing di Malang.

Saya ingin meneruskan kelanjutan dari kata performatif; pengertian ini saya ambil dari Haryatmoko yang merujuk pada Pierre Bourdieu (1930-2002), Félix Guattari (1930-1992), dan Gilles Deleuze (1925-1995), ketiganya adalah filsuf Prancis, saya juga mengambil pemahaman dari Hans-Georg Gadamer (1900-2002), filsuf Jerman; di mana saya cantumkan nama-nama mereka bukan demi legitimasi pemahaman, saya kira agar tidak asal sebut, dan ini bagian dari disertasi karya seni saya; performatif yang berlandaskan pada arketipe atau habitus milik Khwariz, awalnya saya kira ini sebagai dasar untuk mengolah gerak tubuh, permainan intonasi, naik turunnya emosi, dan menjadikan identitas individu dari kehidupan sehari-hari untuk membuat dirinya semakin mencoba mengeksplorasi apa yang berpotensi dalam dirinya.

 

Tubuh pertama Khawriz saat menceritakan perjalan riset jadzab
Tubuh pertama Khawriz saat menceritakan perjalan riset jadzab
(Dok. Khwarizmi dkk)

Saya kira alasan performatif yang khas dalam diri Khwariz untuk mengembangkan diri ke depan, sembari menelusuri untuk memahami sesuatu, tidak lain adalah upaya untuk memahami struktur yang melingkar dari istilah tersebut. Agaknya Khwariz mesti membuka kemungkinan adanya ruang kepekaan, ruang-ruang yang tidak tersedia dari dalam diri sendiri dan lingkungannya, tentang tubuh yang cenderung dipahami sebagai operasi kognitif atau aktivitas sensori yang melibatkan subjektivitas individu dengan fenomena objektif, termasuk fenomena mental—pengetahuan dan gagasan tentang terjadinya estetika, metafora, simbol, dan makna, di mana tuturan dalam setiap harinya untuk apa, saya kira tadinya memiliki daya performatif karena menghasilkan sesuatu.


Jika saya ingin memahami storytelling-performative; cara Khwariz bercerita melalui berbagai genre dan media, secara terbuka berbasis tuturan, berfungsi sebagai gaya, identitas diri, dan kekhasan dirinya sebagai lulusan psikologi, yang kini menempuh magister psikologi, semestinya keilmuwan lebih menonjol dalam menatap seni. Terutama memberikan refleksi atas penulisan riset dan menghasilkan publikasi seluas-luasnya. Ciri ini mengidentifikasi konsep gabungan antara autobiografi, psikologi, spiritual, mitologi, metafisika, dan etnografi (atau autoetnografi) yang menunjukkan aspek penting dari karya tulis kreatif sebagai riset.


Jika kita ingin merujuk pada jadzab yang sedang dibahas, tentu dalam hal ini saya sependapat dengan Sindu yang sejak awal membahas Khwariz ini, jadzab dari perspektif syariat, yang tidak dieksplorasi dari perspektif di luar itu. Hanya saja, Khwariz bersikeras sedari awal untuk melihatnya dari perspektif tersebut dengan kemampuannya yang memang sedikit, tetapi ia merasa pintar karena capaian-capaiannya selama ini; di sinilah pergulatan performatif saya temukan.


Ada alam bawah sadar yang mengendalikan, artinya Khwariz juga tidak tipikal dalam hal performatif, ada alam bawah sadar dalam dirinya yang harus dilatih untuk peka terhadap yang ‘asing’ dan terbuka terhadap yang ‘liyan’; Performatif juga mendorong kita untuk menemukan tindakan karya tulis kreatif sebagai strategi untuk mendamaikan situasi tertentu dan perubahan psikologis apapun atas realitas yang dihadapi; saya kira kurangnya mengecek alam bawah sadar tersebut, tidak memberikan pemberdayaan diri yang berdampak nyata.


Hanya saja, itulah yang selalu dilakukan Khwariz dengan alam bawah sadarnya. Syariah yang ditolak Sindu untuk membaca perspektif jadzab, kemungkinan akan makin tidak jelas; juga tidak sama sekali mengarahkan Khwariz dalam proses perenungan, penyelesaian, pemahaman dan pencarian cara untuk keluar dari hal yang ‘berkabut’.


Sepanjang proses, fokusnya adalah pada kumpulan problematika ego, yang kemudian selalu menganggap apa yang dibawanya adalah satu-satunya kebenaran, tanpa latihan yang ketat dari kehendak tubuhnya, seperti halnya Sindu yang langsung menganggap sesuatu seperti itu, begitu pula Bedjo akan menjadi suatu masalah; itu sebabnya saya dorong untuk menyebutnya “gawat darurat” karena pengetahuan risetnya juga masih dipertanyakan; itu sebabnya laporan perjalanan riset atas inisiatif saya melihat tanda-tanda ini, saya namakan ekosistem gawat darurat.


Yang dimaksud dengan ekosistem darurat menurut saya dalam hal ini; minimnya literasi pada lingkungan terkait (hubungan antara seni dan sains - atau berbagai ilmu), pertukaran wacana sangat minim, ‘beku’ dalam pemahaman yang dimiliki, keras kepala, ruang yang dituntut hanya popularitas atau keberadaan, tidak melakukan pembacaan diri, afirmasi orang lain tidak pernah diperhatikan, minimnya pemahaman terhadap sistem kerja otak yang tidak dapat berhasil merespons stresor dari lingkungan juga menyebabkan gangguan mental, ketidaksadaran terhadap kerja otak yang tidak bekerja sebagaimana mestinya terkait dengan kemampuan berpikir, mempersepsi, emosi, sinyal, fisik, dan perilaku - juga mengalami gangguan, dan lainnya yang berujung pada tindakan tidak sadar terhadap diri sendiri.


“Gawat Darurat, Jadzab, Riset, dan Teks-Teks Berkeliaran”, sebelumnya juga muncul dari pernyataan Khawariz, yang semakin saya berpradugas atas ketidaksadaran personal (yang tidak pernah dilacaknya), karema performatif tidak muncul dari dalam dirinya sendiri.


Praktik riset pun yang dilakukan bersamaan dengan pertunjukan, bagi saya sangat memungkinkan untuk menemukan identitas pertunjukannya. Di sisi lain, pembatalan hubungan antara realitas dan pertunjukan ditentukan oleh pertunjukan Khwariz itu sendiri melalui dramaturgi selametan, serta hubungan kembali dengan peristiwa yang memungkinkan konstruksi psikologis sebagai perjuangan yang lebih positif dengan tubuh sebagai alat dan media.


Saya kira semua yang hadir tentunya bertentangan dengan apa yang dibayangkannya; padahal bagi saya media apa pun yang dihadirkan adalah sebuah ekspresi perjalanan dari riset, tidak hanya dilihat dari bentuk, tetapi juga kausalitasnya. Khwariz sampai pertunjukan berlangsung, saya kira juga belum menyadari kekhasan gerakan tubuh dari video-video ekspresi dirinya.


Salah satu bentuk kesadaran terpenting, karakteristik performatif bukanlah berupa ketidaksadaran, melainkan suatu kesadaran, yang akhirnya sebagai desain dirinya sebagai metode diri yang dikembangkan melalui praktik itu sendiri, produksi pengetahuan dan melahirkan praktik lebih lanjut sebagai sebuah proses.


Khwariz tidak pernah mempertanyakan hubungan performatif antara diri dan yang lain, padahal di sanalah semakin memperlihatkan adanya ketertarikan antara objektivitas dan subjektivitas, realitas, dan performance. Dari sini saya semakin berpraduga, bahwa Khwariz tidak berupaya untuk menjadikan momentum ini untuk semakin memahami atau menghayati, lalu mempertanyakan tentang teknik performatif yang diusung dari ruang dalam.


Tubuh kedua Khwariz, sebagai seseorang yang mengalami gangguan jiwa
Tubuh kedua Khwariz, sebagai seseorang yang mengalami gangguan jiwa
(Dok. Khwarizmi dkk)


Ciri performatif itu makin ‘hilang’ dalam dirinya sendiri, saya tidak punya alasan lain, karena Khwariz tidak berusaha mentransformasikan apa yang dialami ke arah hasil riset, mengidentifikasi secara subjektif dalam memperluas pemahamannya; dan teknologi yang sama sekali tidak dikelola secara serius.


Saya menduga performatif Khwariz, sejak pertama kali bertemu di Surakarta, kemudian pertemuan kedua di Yogyakarta, saya kira dapat menerjemahkan keintiman gerak tubuhnya secara kinestetik ke medan Pesantren Budaya Karanggenting, dengan menggunakan banyak media—jauh dari dugaan saya.


Kenyataannya, pengelola Pesantren Budaya Karanggenting sendiri enggan memberikan argumen terkait jadzab, ngacir ke jalan depan, padahal namanya sempat saya sebutkan, bahkan menyampaikan pengantar selametan pun tidak bersedia. Artinya, performatif yang saya duga itu kekuatannya menjadi dugaan yang keliru—bisa juga judul ini juga keliru, padahal dia sendiri tidak dapat mengamatinya sendiri, lingkungannya, dan orang-orang yang berkumpul dalam kesehariannya.


Komentar-komentar keras kepala tentang Khwariz pun muncul dari para pelaku, yang kerap menjadikan Pesantren Budaya Karanggenting sebagai pusat kegiatannya, sehingga seolah-olah yang didakwakan sebagai ilmu; yang ditekankan pada ketidaktahuan akan segala hal agar selalu dipelajari dengan perlahan, sama sekali tidak ditandai oleh orang-orang berpengaruh di lingkungannya seolah tidak memberikan pemikiran rasionalnya tentang jadzab; saking keras kepalanya Khwariz yang tentu selalu ditolaknya sampai kapanpun.


Musthofa peka terhadap kehadiran setumpuk arang atau dua karung arang, yang ditumpahkan ke sekujur tubuhnya—seperti semacam upaya untuk ‘menekan’ alter egonya, sementara alam bawah sadarnya terus melawan bahwa itu adalah tindakan yang tidak punya otak—yang kemudian terlihat seperti setumpuk arang, tidak menghasilkan eksternalisasi untuk menekan ego dalam dirinya, tetapi lagi-lagi hanya dilihat sebagai objek material yang tidak berfungsi sama sekali.


Khwariz berhenti seenaknya dengan alasan berbaring, mengingatkan saya pada pemain bodoh dalam “Jek Nebenne”, yang menurut saya tidak asing lagi menghadapi kebodohan semacam ini; apalagi dijadirkan dengan es batu di sekitar arang yang amburadul tersebut, yang dibuat melingkar—juga menunjukkan performatif dari dalam diri saya, secara tidak langsung untuk sebuah proses pengembangan, pengungkapan pengetahuan, dan pemahaman baru tentang diri sendiri di masa kini untuk masa depan; sama seperti saya melihat bagaimana Sindu dan Bedjo, di mana pemahaman mereka hanya terpaku di tempat, yang sedikit berbeda dengan Musthofa.

 

Practice as Research, melalui Beberan Klasa


Sekumpulan arang dan balok es batu yang mengelilingi tubuh Khwariz
Sekumpulan arang dan balok es batu yang mengelilingi tubuh Khwariz
(Dok. Khwarizmi dkk)

Apa yang dimaksud dengan ketidaksadaran personal? Mari kita telaah segala macam ingatan, pengetahuan tentang pikiran kita, emosi kita sehari-hari, hal-hal remeh, apa yang orang lain katakan tentang kita, maukah kita menelan mentah-mentah? Naluri seksual dan agresif yang ada dalam tubuh kita—tentu saja saya ingin merujuk pada struktur kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian, yang dirujuk oleh Sigmund Freud (1856-1939), psikoanalisis Austria; saya kira sejauh ini Khwariz tidak pernah menyadari demikian—dan dia menjadi contoh model dari sekian banyak pelaku budaya yang ditemui oleh saya dalam sepuluh tahun terakhir ini.


Practice as research; saya ambil dari tulisan Estelle Barrett dan Barbara Bolt, bagian dari salah satu metode riset artistik (singkatnya, apa itu riset artistik, tak lain adalah seniman yang meneliti, tepatnya saya sedang mempelajari dramaturgi, yang juga menempatkan domain utamanya sebagai peneliti - di mana sebelumnya banyak seniman yang melakukan riset, dengan domain utamanya adalah karya, sementara identitas utama saya juga ingin dilihat sebagai peneliti magang, secara naif); Hal ini tidak lain adalah riset alternatif yang mampu menghasilkan modal ekonomi, budaya, dan sosial, di mana kreator yang berfungsi sebagai pelaku, dramaturg, dan kurator, juga berfungsi, atau paling tidak memiliki peran ganda sebagai periset, dan masyarakat yang hadir dalam pertunjukan tersebut juga pelaku; termasuk apa yang dilakukan oleh Khwariz.


Kalau saya ingin menjadikannya practice as research, kita perlu mengidentifikasi, akhirnya saya duga Khwariz berkehendak menjadi orang bodoh yang suci dapat dijadikan simbol spiritualitas yang menentang kemapanan, sebuah gagasan yang cocok bagi masyarakat yang semakin individualis, yang tengah dihadapkan pada krisis lembaga-lembaga keagamaan.


Argumen ini bertolak dari peninggian spiritual orang bodoh yang suci sebagaimana tercermin dalam pencabutan hak-haknya sehari-hari. Paradoks yang ia tawarkan (pengetahuan psikologinya cuma seuprit dipresentasikan): penolakan total di satu sisi dan pemilihan ilahi di sisi lain membuatnya menjadi suara yang tepat untuk bertanya ‘kompensasi apa yang dapat diberikan tatanan hal-hal—baik sosial maupun spiritual—kepada diri Khwariz dalam mencari perwujudan sosialnya’, mengidentifikasi alasan lain untuk keberadaan representasi budaya dari sosok orang suci yang bodoh di era modern: sosok tersebut dilihat sebagai sosok yang cocok untuk memberikan eksplorasi modernis ke dalam mode subjektivitas alternatif dan untuk memuaskan minat postmodern dalam wacana yang terfragmentasi.


Sejujurnya saya sangat sadar sedari awal, untuk menantang psikologis saya menghadapi model semacam ini; yang kenyataannya saya takluk dan tuntuk tak berdaya dalam practice as research. Semakin lama berproses, Khwariz dalam ketidaksadaran personalnya semakin merasa seperti Si Bodoh Suci, yang berada di desa terpencil memberikan fatwa tentang keadaan agama di dunia kontemporer—yang mungkin bisa dianggap sebagai mikrokosmos.


Si Bodoh Suci seolah-olah dialah satu-satunya orang yang masih punya kepekaan agama di masyarakat—yang dihadirkan melalu tubuh kedua sebagai seseorang yang mengalami gangguan jiwa. Dialah satu-satunya yang menunjukkan minat yang tulus pada alam semesta, yang baginya, jauh lebih dari sekadar lingkungan yang terpelihara—mungkin begitulah yang dirasakannya, yang merupakan kebalikan dari kenyataan.


Jika Khwariz menganggap Si Bodoh Suci itu sebagai tandingan masyarakat mainstream - mungkin ia versus alam bawah sadarnya yang berdiri di luar norma-norma sosial yang tidak diterima oleh saya; kata-kata “di mana otak”, dua tubuh sudah dalam pertarungan dalam kejiwaannya sendiri—yang hampir mengalahkan tantangan psikologis saya.


Tentu saja memenangkan dirinya, sebagai impian Si Bodoh Suci telah diposisikan dengan baik untuk menawarkan kritik keras terhadap perilaku dan ide-ide saat ini, seolah-olah itu adalah fungsi kritis bagi mereka yang melakukan pelanggaran, untuk menawarkan prinsip-prinsip mulia; fungsi kritis semacam itu terus ditegakkan pada setiap orang yang berada di luarnya dalam melihat kegelapan dan cahaya; ia yakin itu akan menjadi jelas, tetapi sebaliknya menjadi semakin tidak jelas.


Ketidaksadaran personal begitu resisten, jahat untuk menerima keadaan metaforis tubuh pertamanya, seperti melihat orang-orang yang tidak memiliki naluri seperti orang banyak yang ingin menghancurkan setiap tanda peradaban, atau manusia yang tidak memiliki kecerdasan teoretis; Padahal jelas-jelas arang identik dengan tokoh-tokoh sufi, namun jika kita merujuk pada sejarah, saat ini nilai bara api adalah sesuatu yang tidak berguna, namun memiliki daya yang cukup untuk bermanfaat bagi kita, bagi tubuh agar memiliki energi murni bagi lingkungan sekitar—yang hingga pertunjukan berlangsung kalau dari jarak paling dekat, keinginan memberontak tampak kuat.


Versus yang saya maksudkan sama sekali tidak berdaya untuk melihat penyajiannya; sebaliknya, untuk menemukan suatu citra, suatu citra hati nurani, empati di sekitarnya, berprinsip, seolah digerakkan oleh ideologi, yang berfungsi sebagai manipulator atau dimanipulasi melalui alam bawah sadar. Yang lebih berbahaya, kejahatan kekuatan sosial dan budaya yang tidak disadari itu bekerja sambil tetap apolitis—ini menjadi ancaman baginya di kemudian hari. Jika ia tidak berani mengatakan bahwa tubuh versus ada di dalam dirinya, ia sendiri adalah ancaman.


Dramaturgi versus; suatu sistem operasi yang diangkut dari versus (dari tubuh Khwariz), untuk menunjukkan kecenderungan dan menghentikan laju obsesifnya, menjadi lengkap ketika lingkungan tidak mendukungnya. Saya seperti diri saya sendiri yang ‘mati’ selalu di hadapan orang banyak; meskipun semua objek material tersedia, ia tidak dapat aktif.


Tentu saja ini niatnya lebih kepada menawarkan kritik ganda: pertama terhadap struktur kekuasaan sosial, budaya, dan politik lingkungan yang membentuk atau menindas individu dalam “gawat darurat”, dan kedua terhadap rasionalitas abstrak yang menopang struktur ini, yakni dari ketidaksadaran Khwaris yang tidak dieksplorasi dan dibiarkan begitu saja dengan kesombongannya sendiri (termasuk kesombongan saya yang seketika berakhir).


Dramaturgi versus penggunaan tubuh untuk melakukan tindakan perlawanan, yang tidak diketahui—seperti mengambil tindakan Marina Abramović, seorang seniman konseptual Serbia; tindakan saling menampar, yang akan dilakukan dengan memukul Khwariz dengan sapu lidi, dan selanjutnya; Vito Accounci (1940-2017), seorang seniman konseptual Amerika, tindakannya memeriksa tubuhnya sendiri dengan gerakan berulang-ulang, dan hanya terpenuhi dengan melakukan tindakan I Made Yogi Sugiartha, dengan memartil balok es, di mana saya mencangkulnya, lalu Tamara Pertamina, dengan tindakan menulis kaligrafi di atas balok es; yang langsung runtuh saat lingkungan tidak memiliki antusiasme terhadap saya untuk menirukan tindakan yang mirip, seperti tidak berdaya dalam ekosistem yang “gawat darurat”, ditambah lagi materi presentasi saya tidak terbaca di dinding—tanpa orang-orang mengambil inisiatif untuk membaca atau tindakan yang lebih kreatif lainnya, atau menggunakan kacamata.


Fungsi dramaturgi versus niatnya adalah menyelidiki fenomena paradoks kepribadian dengan menggunakan teater sebagai transportasi dan transformasinya, termasuk bangkitnya ideologi berbahaya dalam dirinya sendiri; menggunakan karakter-karakternya dengan cara seperti bermimpi menjadi Si Bodoh Suci: baik sebagai bangkitnya ideologi totaliter yang kosong secara spiritual yang menghancurkan lingkungannya, terutama lingkungan teater yang dipenuhi dengan model-model semacam itu; tetapi tetap tidak menghentikan saya menjadikan presentasi tersebut sebagai practice as research.

 

Ketidaksadaran sebagai Cermin Jacques Lacan; Barangkali!


Khwariz dalam mengantarkan ubi-ubian setelah prosesi awal selametan
Khwariz dalam mengantarkan ubi-ubian setelah prosesi awal selametan
(Dok. Khwarizmi dkk)
 

Subjudul di atas, semula ingin disajikan dalam ketidakberdayaan terhadap versus; yang saya rujuk dari pemahaman Jacques Lacan (1901-81), seorang filsuf psikoanalisis Prancis. Salah satu fase yang disebutkan Lacan, yakni fase imajiner, atau cermin—kita mesti terus-menerus berusaha menemukan alam bawah sadar di dalam diri kita. Akan tetapi, alam bawah sadar itu sudah terpisah dari apa yang mewadahinya—karena itu kita mesti senantiasa mencari dan merasakan adanya kekurangan (lack), kalau kita sebagai entitas juga belum sepenuhnya utuh Metafora dan metonimi; sudahkah yang dikemukakan Lacan dilakukan untuk menemukan kekurangan itu, untuk melengkapi keutuhannya?


Hal-hal yang berada di luar dirinya, sejauh mana diinput, sejauh mana karya seni ditujukan; karena tidak ada yang instan. Cermin—menjadi bayangan yang harus berfungsi sebagai landasan untuk terus bergerak dari ketidaksadaran; untuk memenuhi keutuhannya dari apa yang kurang, bukan untuk memaksakan diri karena ketidakmampuan.


Karya seni/pertunjukan yang diikutsertakan seringkali ditujukan untuk gaya hidup, bukan salah satu upaya kita untuk menutupi kekurangan diri, yang juga secara tidak langsung dari karya tersebut juga memberikan implikasi bagi hasrat bawah sadar - maka tidak mengherankan jika kerentanan dapat bersinggungan dengan pembahasan spiritual-mitologis-metafisis, jika tidak diketahui dengan betul, mengapa diikutsertakan, karena hal-hal yang sifatnya seperti ini semuanya berkabut dan abstrak atas sebuah platform yang ‘mapan’, yang seringkali diletakkan sebagai eksistensi, namun di sisi lain sebagai diri yang belum siap menerima, yang menimbulkan rasa cemas dan khawatir yang berlebihan terhadap berbagai karya, yang terus menerus ditekan ke alam bawah sadar - yang terus berlanjut jika represi tidak segera dilakukan terhadap diri.


Ketidaksadaran tentang keterpisahan dalam fase realitas, bahwa sesungguhnya ada realitas eksternal di luar diri untuk terus diangkut, dicari hingga terpenuhi. Selama karya/pertunjukan tersebut diikutsertakan dari alam bawah sadar, seseorang terdorong untuk menjadi emosional, dendam, dan keinginan untuk dilihat, bukan upaya untuk selalu merasa kurang untuk memperbaiki atau menyempurnakan itu, kerentanan psikis pun terus mengikuti; karena jati diri yang seharusnya dicari, hanya sibuk mengurusi ketidaksadaran personal yang pada hakikatnya terasa ‘berlebihan’.


Jati diri yang tidak sepenuhnya dimiliki setiap orang; generasi hari ini dengan; spiritual-mitologi-metafisika - hanya dijadikan ‘kelebihan’, bukan sebagai sesuatu yang mesti ditelusuri maknanya untuk diungkapkan secara gamblang. Semakin sering memperlihatkan abstraksi suatu tema, kerentanan seseorang makin dekat - karena atas dasar ditunggangi ‘eksistensi’ yang didorong sebagai hal yang utama.


Jika kerja dan eksistensi dipahami sebagai tubuh; secara sadar/tidak sadar kita akan mengatakan mana yang lebih kita nikmati; dan ketidaksadaran akan membawa kita pada jebakan hari ini jika kita terlalu mudah mengatakan salah satunya - karena pada hakikatnya kekurangan itu tidak bisa dinikmati.


Kekurangan tidak lain hanyalah penanda, perlu dicari maknanya melalui penanda - dan sesuatu yang abstrak, tidak bisa langsung dilakukan dengan sesuatu yang lebih abstrak lagi; hanya untuk membuktikan ke luar, bukan ke diri sendiri - jika terlalu banyak berdiskusi tentang sesuatu yang samar, itu secara langsung memberi tanda kerentanan diri.


Jadi, untuk keluar dari kerentanan psikis ini; sesuatu yang samar seperti spiritual-mitologi-metafisika, dijelaskan dalam hal-hal konkret hingga tindakan, sebagai tanda diri mengejar wacana tanpa struktur, pikiran semakin dihinggapi kekosongan dan kompleksitas semakin tampak di depan mata.


Minimnya survival mengenali psyche kita sendiri saat ini, terkait dengan pemahaman manusia, tubuh, dan jiwa itu sendiri. Di balik tubuh, narasi manusia, selalu kedengaran di telinga kita berkenaan dengan kata-kata; termasuk yang saya sampaikan ini adalah rangkaian kalimat, ini adalah fakta, tanpa harus menelusuri ke belakang dari mana segala macam pernyataan itu muncul (sebagai modal eksistensi) atau eksistensi kita dalam sebuah ruang yang punya nilai khusus - yang di dalamnya senantiasa terjalin jiwa kita seutuhnya - di mana survival kita adalah menelusuri pelan-pelan psyche kita sendiri.


Yang dibutuhkan dalam survive penjelajahan jiwa kita sendiri; hari ini kita harus memberi tanda, titik atau koma, kalau titik apa yang kita lakukan, kalau koma apa yang kita lakukan. Misalnya kalau titik tentu itu diperlukan untuk menyela fakta-fakta itu lewat ketidaksadaran personal. Kalau misalnya realitas hari ini bekerja di atas platform yang ‘mapan’; di luar dugaan banyak orang, kita punya survival yang lebih sama dengan gema platform.


Kalau tidak, kita ingin segera menuntaskan karya ini; secepatnya, asalkan ditampilkan sebagai jati diri yang eksis - di mana ide karya (sejarah manusia dan tubuh kita), tak bisa dikendalikan, malah kita jadi ‘budak’ gangguan kita sendiri dan selalu bermasalah - karena tak ada kesadaran bagaimana kita survive mengabdi pada tubuh dan manusia kita - kalau tidak; kerentanan terus mengikuti di balik diskusi di antara rekanan Khwariz yang cukup ‘berkabut’ untuk diklarifikasi.


Lingkungan yang terbentuk juga menjadi penanda jelas, siapa tentang diri kita; kalau kita bertindak dalam tulisan tanpa menggunakan telinga kita secara terbuka; yang ada hanyalah perasaan berbeda yang dibawa dari ketidaksadaran, membuat jiwa kita makin rentan.


Bagaimana meneguhkan orang lain di lingkungan kita, juga mencari tanda-tanda tentang kita, baik secara ontologis maupun filosofis; secara samar apa yang dilakukan hanyalah kepura-puraan untuk mengabdi pada lingkungan—yang juga hadir dan ada dengan dunianya sendiri, maka otomatis jiwa cenderung labil setiap saat. Yang muncul dari ketidaksadaran kita, sebagai pengetahuan tentang diri kita—hanya melihat tokoh/figur terkenal, atau artis, seniman yang beken, tanpa terlebih dahulu mengenali diri kita sendiri dalam hal kapasitas, kita juga tidak tahu lagi di mana kita berada, kegagalan sudut pandang kita—sibuk dengan orientasi pada agenda yang sedang berlangsung, tidak lagi bertindak sebagaimana dipahami sebagai estafet.


Siraman arang ke tubuh Khwariz, tidak dimakna sebagai metafor
Siraman arang ke tubuh Khwariz, tidak dimakna sebagai metafor (Dok. Khwariz dkk.)


Kesadaran akan tema-tema spiritual-mitologis-metafisis akhir-akhir ini sedang menjadi tren; seperti kajian-kajian sosialis dan filsafat di media sosial, yang menjadi pilihan generasi masa kini di luar mereka yang belajar filsafat; ini menjadi tanda, yang bisa menjadi penanda, menjadi modus kerjanya.


Tokoh-tokoh sebesar Karl Marx yang mengajukan paham Marxisme yang berlandaskan pada kesetaraan; yang dinilai Lacan sangat cocok bagi Sigmund Freud. Wacana yang dilontarkan Freud, mengungkit kenyataan bahwa apa yang diproduksi di level pendukung, yakni tubuh, mesti kita waspadai; menduga bahwa ini belum tentu tubuh; anggapan semacam ini juga dipertanyakan oleh Marx, dalam kaitannya dengan kenikmatan bersama; tubuh tidak sendiri, bahwa ada yang lain dari mereka, di antara kita semua.


Saat ini, kita cukup leluasa dapat menemukan di media sosial tentang pembahasan Lacan tentang Freud; berbicara tentang penanda - adalah kembali kepada landasan ini yang ada di dalam tubuh. Tindakan-tindakan generasi masa kini dalam berkompetisi, atau yang disebut akting, tentu saja memiliki tujuan dan motif yang berbeda-beda.


Tubuh tasawuf dalam perspektif syariah yang dikehendaki Khwariz
Tubuh tasawuf dalam perspektif syariah yang dikehendaki Khwariz
(Dok. Khwarizmi dkk)

Tren kemudian semacam menyimpulkan tentang kebenaran bahwa kita semua memasuki ranah ketiganya; sementara tubuh kita saling menjauh dari setiap artikulasi; hal itu justru semakin mengganggu jiwa kita jika kita tidak siap dan menerimanya. Kedua sosok ini saling terkait dengan dua sosok besar lainnya; yang mudah diakses melalui internet, namun segala sesuatu yang diambil jika hanya mengikuti tren, tanpa mengetahui kisi-kisi dan kesesuaian dengan tubuh kita, termasuk pikiran-pikiran di dalamnya, sesungguhnya adalah untuk sebuah kesadaran bersama; kesadaran akan tubuh yang darinya segala makna muncul, bukan sekadar mengikuti tren yang tengah berkembang; apakah tubuh dan wacana saling menikmati? Kenikmatan itu adalah fondasi, dasar, karena keduanya dapat saling memahami dan mengerti, jika tidak maka gangguan akan terus mengikuti.


Tubuh tasawuf dalam perspektif syariah yang dikehendaki Khwariz
Tubuh tasawuf dalam perspektif syariah yang dikehendaki Khwariz
(Dok. Khwarizmi dkk)

Sebagai penutup, Klaim saya; bahwa jadzab bukanlah orang yang sedang mengalami gangguan jiwa, jadi tidak ada yang namanya mantan jadzab, jika seseorang menggunakan istilah mantan, berarti ia sedang mengalami gangguan jiwa, di mana saat ini kesehatan mental memang cukup rentan (kalau mau disadari) - tetapi ini bisa menjadi jalan spiritual saya, untuk memandang masalah ini secara serius, bagaimana dua jalan ma’rifat yang ditempuh oleh jalan suluk dan jadzab, yang mana jalan ini bukanlah pilihan - tiba-tiba ditarik ke dalam semesta hingga hilang ingatan, untuk saya lihat lagi sebagai ‘jalan sunyi’ saya, sebagai kelanjutan dari bagaimana saya memandang jalan lainnya, bermuara pada jalan tasawuf.


Wajah-wajah dalam presentasi Khwariz; di antara agresivitas dan modus
Wajah-wajah dalam presentasi Khwariz; di antara agresivitas dan modus (Dok. Khwarizmi dkk)

Intermezzo, sebuah performatif yang saya duga dari Khwariz, mengingatkan saya pada agresinya terhadap perempuan saat itu, seorang performans yang nyaris wajahnya setenang gambar di atas, di Yogyakarta, yang makin menunjukkan bahwa performatif yang disaksikan oleh saya adalah ‘palsu’ jika merujuk pada; Tubuh adalah hal pertama yang tampak ketika dunia sekitar melihatnya, yang memunculkan perasaan terhadap orang lain, termasuk perasaan untuk berbicara tentang spiritual-mitologi-metafisika; pertanyaannya, terbuat dari apakah perasaan itu? Siapa yang menuntun perasaan itu? Siapa pula yang terus mengembangkan perasaan itu?


Realitas yang tersembunyi di balik tubuh, dari tema-tema ini, bukanlah di dalam tubuh kita sendiri. Ini juga merupakan sebuah wacana untuk menyatukan setiap tubuh yang berbeda, relasi sosial bersama, menata tatanan, sepakat untuk bisa memahami, dan meletakkan cara berpikir kita selogis mungkin dan lebih konkret—agar tidak ‘berkabut’.


Selama alur logika itu digunakan bersama, dari apa yang dikatakan kepada orang lain, kita sakit atau tidak; Mengapa? Justru karena ada sesuatu yang menjelaskan kepada kita tentang ambiguitas itu; sementara kita kemudian menjadi saudara yang sabar di rumah kita sendiri, dan kita bertanggung jawab atas ambiguitas itu, untuk menafsirkan, dan kita kembali ke akar tubuh dengan logika, untuk menyatakan bersama tentang persaudaraan tubuh; itu tidak harus trendi, populer, atau terkenal.


Performatif menurut saya diciptakan karena ia membentuk pemahaman tentang kekuatan kritis terhadap orang-orang ‘bodoh’ di sekitar kita, dengan menunjukkan serangkaian pengetahuan, nilai, dan sistem pemikiran yang kita gabungkan untuk mengembangkan cara berada di dunia dan menafsirkan realitas. Tradisi berasal dari masa lalu dan membentuk masa kini, di berbagai tingkatan. Anggapan ini hanyalah ruang spekulatif saya untuk melihat gejala-gejala yang tentu saja termasuk dalam wilayah budaya kita, jadi saya pikir itu segala ‘kebodohan’ akan dihentikan dengan benar, termasuk pernyataan ‘ketidakberdayaan’ untuk versus, karena cukup merasakannya pada saat itu juga, lantas menjadi kecemasan sepanjang perjalanan pulang dari Malang-Kediri-Surakarta.


Ads