Advertisement
Ubi-ubian yang menjadi bahan dari selametan polo pendem (Dok. Khwarizmi dkk) |
Oleh Arung Wardhana Ellhafifie
Bertolak dari Catatan ‘Lain’ Apresiator
Judul di atas tentu saja
sebuah praduga, analisis, anggapan, atau apalah namanya—yang belum terurai
dalam presentasi Khwariz (tadinya digunakan oleh saya sebagai data versus, sekalipun
saya pendamping). Saya ingin memulai ini dari komentar Hayyi Dohir Sindu
Herlianto (pelaku budaya/aktor), Malang, yang membayangkan pementasan “Beberan
Klasa: Darurat, Jadzab, Riset, dan Teks-Teks Berkeliaran”, tidak akan
terjadi apa-apa, karena anggapan jadzab sudah selesai dengan dunia, atau
rekayasa, yang menurutnya ruang itu penuh dengan perekayasaan, sedangkan jadzab
tidak ada perekayasaan. (Nb: cek saja di google pengertian jadzab, atau
dilacak di YouTube, sadar saya tidak menjelaskan di sini)
Sementara itu, Bedjo
Supangat (sutradara Teater Komunitas, Malang), menyoroti metodologinya sebagai
catatan penting, apakah relevansinya dengan generasi masa kini, yang justru
bernilai bagi proses yang sedang berlangsung.
Hal lain, yang saya anggap
sebagai potensi positif; dari Musthofa Kamal, seorang akademisi dan pemerhati
pertunjukan, diskusi yang terjadi dalam sebuah pertunjukan itu disadari baginya
sebagai performer, posisi penonton yang bergeser menjadi performer
untuk memberikan komentar dalam menanggapi riset tentang jadzab yang
tengah dilacak, dijelajahi, dan dieksplorasi dengan segala permasalahannya,
sebagai sebuah keinginan untuk kemudian disimpulkan, disadari bahwa praktik ini
adalah sebuah riset.
Saya sebenarnya ingin sependapat
dengan Kamal, untuk bacaannya yang cukup jeli dibanding keduanya (tetapi
rasanya tidak adil, mengingat saya lebih mengenal keduanya ketimbang Musthofa),
sebagai titik masuk saya untuk menganalisis ini secara garis besar, dari storytelling-performative;
genre yang berbeda dari sebelumnya yang coba diajukan oleh peserta kelas
Khwarizmi Aslamriadi, dalam napak tilas, Dapur LTC (Lab Teater Ciputat).
Program ini difasilitasi
oleh Bambang Prihadi, Lab Indonesiana, Manajemen Talenta Nasional (MTN) 2024
bidang seni dan budaya, bekerja sama dengan Direktorat Pembinaan Tenaga dan
Lembaga Kebudayaan (DitPTLK), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) yang sekarang
(Kementerian masing-masing), berlangsung di Pondok Pesantren Budaya
Karanggenting, Jl. Puncak Joyo Agung No. 30, RT.01/RW.07, Genting, Merjosari,
Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144, pada Senin, 25 November 2024,
penemuan kembali sosok dalam modernitas.
Saya kira Sindu tidak
begitu paham dengan storytelling-performative; Saat itu saya ingin
membantahnya, tetapi saya sudah tidak kuat lagi, tidak berdaya untuk membantah
komentar tersebut, di mana sebagian besar pelaku budaya di Malang yang sudah
terbiasa dengan pola-pola seperti itu.
Baiklah, saya coba analisis
dulu istilah ini, antara storytelling dan performative. Di mana storytelling;
dapat dipahami cara Khwariz menyampaikan cerita melalui berbagai media, seperti
kata-kata, gambar, atau suara. Jelas terlihat bahwa banyak media yang
disuguhkan dengan sekitar lima monitor 42 inci, objek, atau instalasi, soundscape,
chat gpt, video dokumenter atau video eksperimen dari monitor-monitor tersebut
yang bermunculan, yang luput dari perhatian Sindu dan Bedjo.
Media-media yang ada di Pesantren Budaya Karanggenting, Malang
(Dok. Khwarizmi dkk)
Jelas,
hal itu disampaikan secara lisan oleh Khwariz, kemudian video dokumenter yang
disutradarai oleh Muhammad Hafidh Tepeng dan Iqbal, begitu pula galeri jadzab
yang saat itu didisplay oleh rekan-rekan komunitas Bajra Nuklir
Sejahcerah, yang disampaikan pula dengan komposisi musik yang dipimpin oleh
Mohammad Harist Rendika Putra, yang pada awalnya bekerja antara Tepeng dan
Harist sebagai dramaturg dan kurator, yang kemudian mengundurkan diri, karena
merasa keryanya tidak pernah didengar; hal ini terkait dengan komentar Sindu
yang melihat mereka bekerja sendiri-sendiri, memangnya kenapa kalau mereka
bekerja sendiri-sendiri sesuai pemahamannya masing-masing, apa salahnya dengan
pertunjukan tersebut, kalau selama ini terintegrasi untuk menelusuri riset
dalam ekosistem “gawat darurat” sejak awal.
Tentu
saja Tepeng, Harist, Iqbal, dan Haydar bukan tanpa alasan, ketika mereka merasa
kerja kolektif tidak terpakai, kebersamaan dalam menuangkan ide hanya satu arah
tunggal (seperti masuk di kuping kanan keluar kuping kiri Khwariz), masuk akal
ketika mereka terus berjalan sendiri, dengan mencoba mengintegrasikan, sama
seperti saya mencoba mengusulkan sebuah dramaturgi versus, di dalamnya sebagai
partisipan untuk mencoba memasuki wilayah yang berbeda, hanya saja saya ingin
mengkritik diri sendiri; bahwa saya kehilangan daya untuk melawan situasi yang
cukup berbeda, yang dapat dijelaskan di sub berikutnya.
Begitu
pula dengan Bedjo, bagi saya dipahami hanya melihat pada permukaan, yang
berbeda dengan Anwari (sutradara Padepokan Seni Madura) dan Elyda K. Rara
(produser dan founder Kamateatra Art Project), atau Lusiana Dwi Andini (peneliti,
sutradara, dan performer), yang cukup peka untuk membawa bahwa situasi
ini memang dibangun dengan kekacauan.
Jika
Sindu selalu memahami kegagalan sebagai langkah ‘mati’ seperti kebanyakan pengamat
di Malang, atau di Jawa Timur (Jatim), tetapi bagi saya “kegagalan” bukanlah
kata kunci yang ‘mati’, tetapi ia dinamis, “kegagalan” adalah kesempatan untuk
melihat sesuatu yang berbeda, inilah yang coba diajukan oleh Ellyda (setelah
pertunjukan selesai); dan serius Ellyada berharap Khwariz dengan mutligenre
seperti ini terus berlanjut, karena sebagai sebuah penemuan yang berbeda dan
cukup asing di Malang.
Saya ingin meneruskan kelanjutan dari kata performatif; pengertian ini saya ambil dari Haryatmoko yang merujuk pada Pierre Bourdieu (1930-2002), Félix Guattari (1930-1992), dan Gilles Deleuze (1925-1995), ketiganya adalah filsuf Prancis, saya juga mengambil pemahaman dari Hans-Georg Gadamer (1900-2002), filsuf Jerman; di mana saya cantumkan nama-nama mereka bukan demi legitimasi pemahaman, saya kira agar tidak asal sebut, dan ini bagian dari disertasi karya seni saya; performatif yang berlandaskan pada arketipe atau habitus milik Khwariz, awalnya saya kira ini sebagai dasar untuk mengolah gerak tubuh, permainan intonasi, naik turunnya emosi, dan menjadikan identitas individu dari kehidupan sehari-hari untuk membuat dirinya semakin mencoba mengeksplorasi apa yang berpotensi dalam dirinya.
Tubuh pertama Khawriz saat menceritakan perjalan riset jadzab
(Dok. Khwarizmi dkk)
Jika
saya ingin memahami storytelling-performative; cara Khwariz bercerita
melalui berbagai genre dan media, secara terbuka berbasis tuturan, berfungsi
sebagai gaya, identitas diri, dan kekhasan dirinya sebagai lulusan psikologi,
yang kini menempuh magister psikologi, semestinya keilmuwan lebih menonjol
dalam menatap seni. Terutama memberikan refleksi atas penulisan riset dan
menghasilkan publikasi seluas-luasnya. Ciri ini mengidentifikasi konsep
gabungan antara autobiografi, psikologi, spiritual, mitologi, metafisika, dan
etnografi (atau autoetnografi) yang menunjukkan aspek penting dari karya tulis
kreatif sebagai riset.
Jika
kita ingin merujuk pada jadzab yang sedang dibahas, tentu dalam hal ini
saya sependapat dengan Sindu yang sejak awal membahas Khwariz ini, jadzab
dari perspektif syariat, yang tidak dieksplorasi dari perspektif di luar itu.
Hanya saja, Khwariz bersikeras sedari awal untuk melihatnya dari perspektif
tersebut dengan kemampuannya yang memang sedikit, tetapi ia merasa pintar
karena capaian-capaiannya selama ini; di sinilah pergulatan performatif saya temukan.
Ada
alam bawah sadar yang mengendalikan, artinya Khwariz juga tidak tipikal dalam
hal performatif, ada alam bawah sadar dalam dirinya yang harus dilatih untuk
peka terhadap yang ‘asing’ dan terbuka terhadap yang ‘liyan’; Performatif juga
mendorong kita untuk menemukan tindakan karya tulis kreatif sebagai strategi
untuk mendamaikan situasi tertentu dan perubahan psikologis apapun atas
realitas yang dihadapi; saya kira kurangnya mengecek alam bawah sadar tersebut,
tidak memberikan pemberdayaan diri yang berdampak nyata.
Hanya
saja, itulah yang selalu dilakukan Khwariz dengan alam bawah sadarnya. Syariah
yang ditolak Sindu untuk membaca perspektif jadzab, kemungkinan akan
makin tidak jelas; juga tidak sama sekali mengarahkan Khwariz dalam proses
perenungan, penyelesaian, pemahaman dan pencarian cara untuk keluar dari hal
yang ‘berkabut’.
Sepanjang
proses, fokusnya adalah pada kumpulan problematika ego, yang kemudian selalu
menganggap apa yang dibawanya adalah satu-satunya kebenaran, tanpa latihan yang
ketat dari kehendak tubuhnya, seperti halnya Sindu yang langsung menganggap
sesuatu seperti itu, begitu pula Bedjo akan menjadi suatu masalah; itu sebabnya
saya dorong untuk menyebutnya “gawat darurat” karena pengetahuan risetnya juga
masih dipertanyakan; itu sebabnya laporan perjalanan riset atas inisiatif saya
melihat tanda-tanda ini, saya namakan ekosistem gawat darurat.
Yang
dimaksud dengan ekosistem darurat menurut saya dalam hal ini; minimnya literasi
pada lingkungan terkait (hubungan antara seni dan sains - atau berbagai ilmu),
pertukaran wacana sangat minim, ‘beku’ dalam pemahaman yang dimiliki, keras
kepala, ruang yang dituntut hanya popularitas atau keberadaan, tidak melakukan
pembacaan diri, afirmasi orang lain tidak pernah diperhatikan, minimnya
pemahaman terhadap sistem kerja otak yang tidak dapat berhasil merespons
stresor dari lingkungan juga menyebabkan gangguan mental, ketidaksadaran
terhadap kerja otak yang tidak bekerja sebagaimana mestinya terkait dengan
kemampuan berpikir, mempersepsi, emosi, sinyal, fisik, dan perilaku - juga
mengalami gangguan, dan lainnya yang berujung pada tindakan tidak sadar
terhadap diri sendiri.
“Gawat
Darurat, Jadzab, Riset, dan Teks-Teks Berkeliaran”, sebelumnya juga
muncul dari pernyataan Khawariz, yang semakin saya berpradugas atas ketidaksadaran
personal (yang tidak pernah dilacaknya), karema performatif tidak muncul dari
dalam dirinya sendiri.
Praktik
riset pun yang dilakukan bersamaan dengan pertunjukan, bagi saya sangat memungkinkan
untuk menemukan identitas pertunjukannya. Di sisi lain, pembatalan hubungan
antara realitas dan pertunjukan ditentukan oleh pertunjukan Khwariz itu sendiri
melalui dramaturgi selametan, serta hubungan kembali dengan peristiwa
yang memungkinkan konstruksi psikologis sebagai perjuangan yang lebih positif
dengan tubuh sebagai alat dan media.
Saya
kira semua yang hadir tentunya bertentangan dengan apa yang dibayangkannya;
padahal bagi saya media apa pun yang dihadirkan adalah sebuah ekspresi
perjalanan dari riset, tidak hanya dilihat dari bentuk, tetapi juga kausalitasnya.
Khwariz sampai pertunjukan berlangsung, saya kira juga belum menyadari kekhasan
gerakan tubuh dari video-video ekspresi dirinya.
Salah
satu bentuk kesadaran terpenting, karakteristik performatif bukanlah berupa
ketidaksadaran, melainkan suatu kesadaran, yang akhirnya sebagai desain dirinya
sebagai metode diri yang dikembangkan melalui praktik itu sendiri, produksi
pengetahuan dan melahirkan praktik lebih lanjut sebagai sebuah proses.
Khwariz
tidak pernah mempertanyakan hubungan performatif antara diri dan yang lain, padahal
di sanalah semakin memperlihatkan adanya ketertarikan antara objektivitas dan
subjektivitas, realitas, dan performance. Dari sini saya semakin
berpraduga, bahwa Khwariz tidak berupaya untuk menjadikan momentum ini untuk
semakin memahami atau menghayati, lalu mempertanyakan tentang teknik
performatif yang diusung dari ruang dalam.
Tubuh kedua Khwariz, sebagai seseorang yang mengalami gangguan jiwa (Dok. Khwarizmi dkk) |
Ciri performatif itu makin ‘hilang’ dalam dirinya sendiri, saya tidak punya alasan lain, karena Khwariz tidak berusaha mentransformasikan apa yang dialami ke arah hasil riset, mengidentifikasi secara subjektif dalam memperluas pemahamannya; dan teknologi yang sama sekali tidak dikelola secara serius.
Saya
menduga performatif Khwariz, sejak pertama kali bertemu di Surakarta, kemudian
pertemuan kedua di Yogyakarta, saya kira dapat menerjemahkan keintiman gerak
tubuhnya secara kinestetik ke medan Pesantren Budaya Karanggenting, dengan
menggunakan banyak media—jauh dari dugaan saya.
Kenyataannya,
pengelola Pesantren Budaya Karanggenting sendiri enggan memberikan argumen
terkait jadzab, ngacir ke jalan depan, padahal namanya sempat saya
sebutkan, bahkan menyampaikan pengantar selametan pun tidak bersedia.
Artinya, performatif yang saya duga itu kekuatannya menjadi dugaan yang
keliru—bisa juga judul ini juga keliru, padahal dia sendiri tidak dapat
mengamatinya sendiri, lingkungannya, dan orang-orang yang berkumpul dalam
kesehariannya.
Komentar-komentar
keras kepala tentang Khwariz pun muncul dari para pelaku, yang kerap menjadikan
Pesantren Budaya Karanggenting sebagai pusat kegiatannya, sehingga seolah-olah
yang didakwakan sebagai ilmu; yang ditekankan pada ketidaktahuan akan segala
hal agar selalu dipelajari dengan perlahan, sama sekali tidak ditandai oleh
orang-orang berpengaruh di lingkungannya seolah tidak memberikan pemikiran
rasionalnya tentang jadzab; saking keras kepalanya Khwariz yang tentu
selalu ditolaknya sampai kapanpun.
Musthofa
peka terhadap kehadiran setumpuk arang atau dua karung arang, yang ditumpahkan
ke sekujur tubuhnya—seperti semacam upaya untuk ‘menekan’ alter egonya,
sementara alam bawah sadarnya terus melawan bahwa itu adalah tindakan yang
tidak punya otak—yang kemudian terlihat seperti setumpuk arang, tidak
menghasilkan eksternalisasi untuk menekan ego dalam dirinya, tetapi lagi-lagi hanya
dilihat sebagai objek material yang tidak berfungsi sama sekali.
Khwariz
berhenti seenaknya dengan alasan berbaring, mengingatkan saya pada pemain bodoh
dalam “Jek Nebenne”, yang menurut saya tidak asing lagi menghadapi kebodohan
semacam ini; apalagi dijadirkan dengan es batu di sekitar arang yang amburadul
tersebut, yang dibuat melingkar—juga menunjukkan performatif dari dalam diri
saya, secara tidak langsung untuk sebuah proses pengembangan, pengungkapan
pengetahuan, dan pemahaman baru tentang diri sendiri di masa kini untuk masa
depan; sama seperti saya melihat bagaimana Sindu dan Bedjo, di mana pemahaman
mereka hanya terpaku di tempat, yang sedikit berbeda dengan Musthofa.
Practice as Research, melalui Beberan Klasa
Sekumpulan arang dan balok es batu yang mengelilingi tubuh Khwariz (Dok. Khwarizmi dkk) |
Apa yang dimaksud dengan ketidaksadaran personal? Mari kita telaah segala macam ingatan, pengetahuan tentang pikiran kita, emosi kita sehari-hari, hal-hal remeh, apa yang orang lain katakan tentang kita, maukah kita menelan mentah-mentah? Naluri seksual dan agresif yang ada dalam tubuh kita—tentu saja saya ingin merujuk pada struktur kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian, yang dirujuk oleh Sigmund Freud (1856-1939), psikoanalisis Austria; saya kira sejauh ini Khwariz tidak pernah menyadari demikian—dan dia menjadi contoh model dari sekian banyak pelaku budaya yang ditemui oleh saya dalam sepuluh tahun terakhir ini.
Practice
as research; saya ambil dari tulisan Estelle Barrett dan
Barbara Bolt, bagian dari salah satu metode riset artistik (singkatnya, apa itu
riset artistik, tak lain adalah seniman yang meneliti, tepatnya saya sedang
mempelajari dramaturgi, yang juga menempatkan domain utamanya sebagai peneliti
- di mana sebelumnya banyak seniman yang melakukan riset, dengan domain
utamanya adalah karya, sementara identitas utama saya juga ingin dilihat
sebagai peneliti magang, secara naif); Hal ini tidak lain adalah riset
alternatif yang mampu menghasilkan modal ekonomi, budaya, dan sosial, di mana
kreator yang berfungsi sebagai pelaku, dramaturg, dan kurator, juga berfungsi,
atau paling tidak memiliki peran ganda sebagai periset, dan masyarakat yang
hadir dalam pertunjukan tersebut juga pelaku; termasuk apa yang dilakukan oleh
Khwariz.
Kalau
saya ingin menjadikannya practice as research, kita perlu
mengidentifikasi, akhirnya saya duga Khwariz berkehendak menjadi orang bodoh
yang suci dapat dijadikan simbol spiritualitas yang menentang kemapanan, sebuah
gagasan yang cocok bagi masyarakat yang semakin individualis, yang tengah
dihadapkan pada krisis lembaga-lembaga keagamaan.
Argumen
ini bertolak dari peninggian spiritual orang bodoh yang suci sebagaimana
tercermin dalam pencabutan hak-haknya sehari-hari. Paradoks yang ia tawarkan
(pengetahuan psikologinya cuma seuprit dipresentasikan): penolakan total di
satu sisi dan pemilihan ilahi di sisi lain membuatnya menjadi suara yang tepat
untuk bertanya ‘kompensasi apa yang dapat diberikan tatanan hal-hal—baik sosial
maupun spiritual—kepada diri Khwariz dalam mencari perwujudan sosialnya’,
mengidentifikasi alasan lain untuk keberadaan representasi budaya dari sosok
orang suci yang bodoh di era modern: sosok tersebut dilihat sebagai sosok yang
cocok untuk memberikan eksplorasi modernis ke dalam mode subjektivitas
alternatif dan untuk memuaskan minat postmodern dalam wacana yang
terfragmentasi.
Sejujurnya
saya sangat sadar sedari awal, untuk menantang psikologis saya menghadapi model
semacam ini; yang kenyataannya saya takluk dan tuntuk tak berdaya dalam practice
as research. Semakin lama berproses, Khwariz dalam ketidaksadaran
personalnya semakin merasa seperti Si Bodoh Suci, yang berada di desa terpencil
memberikan fatwa tentang keadaan agama di dunia kontemporer—yang mungkin bisa
dianggap sebagai mikrokosmos.
Si
Bodoh Suci seolah-olah dialah satu-satunya orang yang masih punya kepekaan
agama di masyarakat—yang dihadirkan melalu tubuh kedua sebagai seseorang yang
mengalami gangguan jiwa. Dialah satu-satunya yang menunjukkan minat yang tulus
pada alam semesta, yang baginya, jauh lebih dari sekadar lingkungan yang
terpelihara—mungkin begitulah yang dirasakannya, yang merupakan kebalikan dari
kenyataan.
Jika
Khwariz menganggap Si Bodoh Suci itu sebagai tandingan masyarakat mainstream
- mungkin ia versus alam bawah sadarnya yang berdiri di luar norma-norma sosial
yang tidak diterima oleh saya; kata-kata “di mana otak”, dua tubuh sudah dalam
pertarungan dalam kejiwaannya sendiri—yang hampir mengalahkan tantangan
psikologis saya.
Tentu
saja memenangkan dirinya, sebagai impian Si Bodoh Suci telah diposisikan dengan
baik untuk menawarkan kritik keras terhadap perilaku dan ide-ide saat ini,
seolah-olah itu adalah fungsi kritis bagi mereka yang melakukan pelanggaran,
untuk menawarkan prinsip-prinsip mulia; fungsi kritis semacam itu terus
ditegakkan pada setiap orang yang berada di luarnya dalam melihat kegelapan dan
cahaya; ia yakin itu akan menjadi jelas, tetapi sebaliknya menjadi semakin
tidak jelas.
Ketidaksadaran
personal begitu resisten, jahat untuk menerima keadaan metaforis tubuh
pertamanya, seperti melihat orang-orang yang tidak memiliki naluri seperti orang
banyak yang ingin menghancurkan setiap tanda peradaban, atau manusia yang tidak
memiliki kecerdasan teoretis; Padahal jelas-jelas arang identik dengan
tokoh-tokoh sufi, namun jika kita merujuk pada sejarah, saat ini nilai bara api
adalah sesuatu yang tidak berguna, namun memiliki daya yang cukup untuk
bermanfaat bagi kita, bagi tubuh agar memiliki energi murni bagi lingkungan
sekitar—yang hingga pertunjukan berlangsung kalau dari jarak paling dekat,
keinginan memberontak tampak kuat.
Versus
yang saya maksudkan sama sekali tidak berdaya untuk melihat penyajiannya;
sebaliknya, untuk menemukan suatu citra, suatu citra hati nurani, empati di
sekitarnya, berprinsip, seolah digerakkan oleh ideologi, yang berfungsi sebagai
manipulator atau dimanipulasi melalui alam bawah sadar. Yang lebih berbahaya,
kejahatan kekuatan sosial dan budaya yang tidak disadari itu bekerja sambil
tetap apolitis—ini menjadi ancaman baginya di kemudian hari. Jika ia tidak
berani mengatakan bahwa tubuh versus ada di dalam dirinya, ia sendiri adalah
ancaman.
Dramaturgi
versus; suatu sistem operasi yang diangkut dari versus (dari tubuh Khwariz),
untuk menunjukkan kecenderungan dan menghentikan laju obsesifnya, menjadi
lengkap ketika lingkungan tidak mendukungnya. Saya seperti diri saya sendiri
yang ‘mati’ selalu di hadapan orang banyak; meskipun semua objek material
tersedia, ia tidak dapat aktif.
Tentu
saja ini niatnya lebih kepada menawarkan kritik ganda: pertama terhadap
struktur kekuasaan sosial, budaya, dan politik lingkungan yang membentuk atau
menindas individu dalam “gawat darurat”, dan kedua terhadap rasionalitas
abstrak yang menopang struktur ini, yakni dari ketidaksadaran Khwaris yang
tidak dieksplorasi dan dibiarkan begitu saja dengan kesombongannya sendiri
(termasuk kesombongan saya yang seketika berakhir).
Dramaturgi
versus penggunaan tubuh untuk melakukan tindakan perlawanan, yang tidak
diketahui—seperti mengambil tindakan Marina Abramović, seorang seniman
konseptual Serbia; tindakan saling menampar, yang akan dilakukan dengan memukul
Khwariz dengan sapu lidi, dan selanjutnya; Vito Accounci (1940-2017), seorang
seniman konseptual Amerika, tindakannya memeriksa tubuhnya sendiri dengan
gerakan berulang-ulang, dan hanya terpenuhi dengan melakukan tindakan I Made
Yogi Sugiartha, dengan memartil balok es, di mana saya mencangkulnya, lalu
Tamara Pertamina, dengan tindakan menulis kaligrafi di atas balok es; yang
langsung runtuh saat lingkungan tidak memiliki antusiasme terhadap saya untuk
menirukan tindakan yang mirip, seperti tidak berdaya dalam ekosistem yang “gawat
darurat”, ditambah lagi materi presentasi saya tidak terbaca di dinding—tanpa
orang-orang mengambil inisiatif untuk membaca atau tindakan yang lebih kreatif
lainnya, atau menggunakan kacamata.
Fungsi
dramaturgi versus niatnya adalah menyelidiki fenomena paradoks kepribadian
dengan menggunakan teater sebagai transportasi dan transformasinya, termasuk
bangkitnya ideologi berbahaya dalam dirinya sendiri; menggunakan
karakter-karakternya dengan cara seperti bermimpi menjadi Si Bodoh Suci: baik
sebagai bangkitnya ideologi totaliter yang kosong secara spiritual yang
menghancurkan lingkungannya, terutama lingkungan teater yang dipenuhi dengan
model-model semacam itu; tetapi tetap tidak menghentikan saya menjadikan presentasi
tersebut sebagai practice as research.
Ketidaksadaran sebagai Cermin Jacques Lacan; Barangkali!
Subjudul
di atas, semula ingin disajikan dalam ketidakberdayaan terhadap versus; yang
saya rujuk dari pemahaman Jacques Lacan (1901-81), seorang filsuf psikoanalisis
Prancis. Salah satu fase yang disebutkan Lacan, yakni fase imajiner, atau
cermin—kita mesti terus-menerus berusaha menemukan alam bawah sadar di dalam
diri kita. Akan tetapi, alam bawah sadar itu sudah terpisah dari apa yang
mewadahinya—karena itu kita mesti senantiasa mencari dan merasakan adanya
kekurangan (lack), kalau kita sebagai entitas juga belum sepenuhnya utuh
Metafora dan metonimi; sudahkah yang dikemukakan Lacan dilakukan untuk
menemukan kekurangan itu, untuk melengkapi keutuhannya?
Hal-hal
yang berada di luar dirinya, sejauh mana diinput, sejauh mana karya seni
ditujukan; karena tidak ada yang instan. Cermin—menjadi bayangan yang harus
berfungsi sebagai landasan untuk terus bergerak dari ketidaksadaran; untuk
memenuhi keutuhannya dari apa yang kurang, bukan untuk memaksakan diri karena
ketidakmampuan.
Karya
seni/pertunjukan yang diikutsertakan seringkali ditujukan untuk gaya hidup,
bukan salah satu upaya kita untuk menutupi kekurangan diri, yang juga secara
tidak langsung dari karya tersebut juga memberikan implikasi bagi hasrat bawah
sadar - maka tidak mengherankan jika kerentanan dapat bersinggungan dengan
pembahasan spiritual-mitologis-metafisis, jika tidak diketahui dengan betul,
mengapa diikutsertakan, karena hal-hal yang sifatnya seperti ini semuanya
berkabut dan abstrak atas sebuah platform yang ‘mapan’, yang seringkali
diletakkan sebagai eksistensi, namun di sisi lain sebagai diri yang belum siap
menerima, yang menimbulkan rasa cemas dan khawatir yang berlebihan terhadap
berbagai karya, yang terus menerus ditekan ke alam bawah sadar - yang terus berlanjut
jika represi tidak segera dilakukan terhadap diri.
Ketidaksadaran
tentang keterpisahan dalam fase realitas, bahwa sesungguhnya ada realitas
eksternal di luar diri untuk terus diangkut, dicari hingga terpenuhi. Selama
karya/pertunjukan tersebut diikutsertakan dari alam bawah sadar, seseorang
terdorong untuk menjadi emosional, dendam, dan keinginan untuk dilihat, bukan
upaya untuk selalu merasa kurang untuk memperbaiki atau menyempurnakan itu,
kerentanan psikis pun terus mengikuti; karena jati diri yang seharusnya dicari,
hanya sibuk mengurusi ketidaksadaran personal yang pada hakikatnya terasa ‘berlebihan’.
Jati
diri yang tidak sepenuhnya dimiliki setiap orang; generasi hari ini dengan;
spiritual-mitologi-metafisika - hanya dijadikan ‘kelebihan’, bukan sebagai
sesuatu yang mesti ditelusuri maknanya untuk diungkapkan secara gamblang.
Semakin sering memperlihatkan abstraksi suatu tema, kerentanan seseorang makin
dekat - karena atas dasar ditunggangi ‘eksistensi’ yang didorong sebagai hal
yang utama.
Jika
kerja dan eksistensi dipahami sebagai tubuh; secara sadar/tidak sadar kita akan
mengatakan mana yang lebih kita nikmati; dan ketidaksadaran akan membawa kita
pada jebakan hari ini jika kita terlalu mudah mengatakan salah satunya - karena
pada hakikatnya kekurangan itu tidak bisa dinikmati.
Kekurangan
tidak lain hanyalah penanda, perlu dicari maknanya melalui penanda - dan
sesuatu yang abstrak, tidak bisa langsung dilakukan dengan sesuatu yang lebih
abstrak lagi; hanya untuk membuktikan ke luar, bukan ke diri sendiri - jika
terlalu banyak berdiskusi tentang sesuatu yang samar, itu secara langsung
memberi tanda kerentanan diri.
Jadi,
untuk keluar dari kerentanan psikis ini; sesuatu yang samar seperti
spiritual-mitologi-metafisika, dijelaskan dalam hal-hal konkret hingga
tindakan, sebagai tanda diri mengejar wacana tanpa struktur, pikiran semakin
dihinggapi kekosongan dan kompleksitas semakin tampak di depan mata.
Minimnya
survival mengenali psyche kita sendiri saat ini, terkait dengan
pemahaman manusia, tubuh, dan jiwa itu sendiri. Di balik tubuh, narasi manusia,
selalu kedengaran di telinga kita berkenaan dengan kata-kata; termasuk yang
saya sampaikan ini adalah rangkaian kalimat, ini adalah fakta, tanpa harus
menelusuri ke belakang dari mana segala macam pernyataan itu muncul (sebagai
modal eksistensi) atau eksistensi kita dalam sebuah ruang yang punya nilai
khusus - yang di dalamnya senantiasa terjalin jiwa kita seutuhnya - di mana
survival kita adalah menelusuri pelan-pelan psyche kita sendiri.
Yang
dibutuhkan dalam survive penjelajahan jiwa kita sendiri; hari ini kita
harus memberi tanda, titik atau koma, kalau titik apa yang kita lakukan, kalau
koma apa yang kita lakukan. Misalnya kalau titik tentu itu diperlukan untuk
menyela fakta-fakta itu lewat ketidaksadaran personal. Kalau misalnya realitas
hari ini bekerja di atas platform yang ‘mapan’; di luar dugaan banyak
orang, kita punya survival yang lebih sama dengan gema platform.
Kalau
tidak, kita ingin segera menuntaskan karya ini; secepatnya, asalkan ditampilkan
sebagai jati diri yang eksis - di mana ide karya (sejarah manusia dan tubuh
kita), tak bisa dikendalikan, malah kita jadi ‘budak’ gangguan kita sendiri dan
selalu bermasalah - karena tak ada kesadaran bagaimana kita survive
mengabdi pada tubuh dan manusia kita - kalau tidak; kerentanan terus mengikuti
di balik diskusi di antara rekanan Khwariz yang cukup ‘berkabut’ untuk
diklarifikasi.
Lingkungan
yang terbentuk juga menjadi penanda jelas, siapa tentang diri kita; kalau kita
bertindak dalam tulisan tanpa menggunakan telinga kita secara terbuka; yang ada
hanyalah perasaan berbeda yang dibawa dari ketidaksadaran, membuat jiwa kita
makin rentan.
Bagaimana meneguhkan orang lain di lingkungan kita, juga mencari tanda-tanda tentang kita, baik secara ontologis maupun filosofis; secara samar apa yang dilakukan hanyalah kepura-puraan untuk mengabdi pada lingkungan—yang juga hadir dan ada dengan dunianya sendiri, maka otomatis jiwa cenderung labil setiap saat. Yang muncul dari ketidaksadaran kita, sebagai pengetahuan tentang diri kita—hanya melihat tokoh/figur terkenal, atau artis, seniman yang beken, tanpa terlebih dahulu mengenali diri kita sendiri dalam hal kapasitas, kita juga tidak tahu lagi di mana kita berada, kegagalan sudut pandang kita—sibuk dengan orientasi pada agenda yang sedang berlangsung, tidak lagi bertindak sebagaimana dipahami sebagai estafet.
Siraman arang ke tubuh Khwariz, tidak dimakna sebagai metafor (Dok. Khwariz dkk.)
Kesadaran akan tema-tema spiritual-mitologis-metafisis akhir-akhir ini sedang menjadi tren; seperti kajian-kajian sosialis dan filsafat di media sosial, yang menjadi pilihan generasi masa kini di luar mereka yang belajar filsafat; ini menjadi tanda, yang bisa menjadi penanda, menjadi modus kerjanya.
Tokoh-tokoh
sebesar Karl Marx yang mengajukan paham Marxisme yang berlandaskan pada
kesetaraan; yang dinilai Lacan sangat cocok bagi Sigmund Freud. Wacana yang
dilontarkan Freud, mengungkit kenyataan bahwa apa yang diproduksi di level
pendukung, yakni tubuh, mesti kita waspadai; menduga bahwa ini belum tentu
tubuh; anggapan semacam ini juga dipertanyakan oleh Marx, dalam kaitannya
dengan kenikmatan bersama; tubuh tidak sendiri, bahwa ada yang lain dari
mereka, di antara kita semua.
Saat ini, kita cukup leluasa dapat menemukan di media sosial tentang pembahasan Lacan tentang Freud; berbicara tentang penanda - adalah kembali kepada landasan ini yang ada di dalam tubuh. Tindakan-tindakan generasi masa kini dalam berkompetisi, atau yang disebut akting, tentu saja memiliki tujuan dan motif yang berbeda-beda.
Tubuh tasawuf dalam perspektif syariah yang dikehendaki Khwariz
(Dok. Khwarizmi dkk)
Tren
kemudian semacam menyimpulkan tentang kebenaran bahwa kita semua memasuki ranah
ketiganya; sementara tubuh kita saling menjauh dari setiap artikulasi; hal itu
justru semakin mengganggu jiwa kita jika kita tidak siap dan menerimanya. Kedua
sosok ini saling terkait dengan dua sosok besar lainnya; yang mudah diakses
melalui internet, namun segala sesuatu yang diambil jika hanya mengikuti tren,
tanpa mengetahui kisi-kisi dan kesesuaian dengan tubuh kita, termasuk
pikiran-pikiran di dalamnya, sesungguhnya adalah untuk sebuah kesadaran
bersama; kesadaran akan tubuh yang darinya segala makna muncul, bukan sekadar
mengikuti tren yang tengah berkembang; apakah tubuh dan wacana saling
menikmati? Kenikmatan itu adalah fondasi, dasar, karena keduanya dapat saling memahami
dan mengerti, jika tidak maka gangguan akan terus mengikuti.
Tubuh tasawuf dalam perspektif syariah yang dikehendaki Khwariz (Dok. Khwarizmi dkk) |
Sebagai penutup, Klaim saya; bahwa jadzab bukanlah orang yang sedang mengalami gangguan jiwa, jadi tidak ada yang namanya mantan jadzab, jika seseorang menggunakan istilah mantan, berarti ia sedang mengalami gangguan jiwa, di mana saat ini kesehatan mental memang cukup rentan (kalau mau disadari) - tetapi ini bisa menjadi jalan spiritual saya, untuk memandang masalah ini secara serius, bagaimana dua jalan ma’rifat yang ditempuh oleh jalan suluk dan jadzab, yang mana jalan ini bukanlah pilihan - tiba-tiba ditarik ke dalam semesta hingga hilang ingatan, untuk saya lihat lagi sebagai ‘jalan sunyi’ saya, sebagai kelanjutan dari bagaimana saya memandang jalan lainnya, bermuara pada jalan tasawuf.
Wajah-wajah dalam presentasi Khwariz; di antara agresivitas dan modus (Dok. Khwarizmi dkk) |
Intermezzo, sebuah performatif yang saya duga dari Khwariz, mengingatkan saya pada agresinya terhadap perempuan saat itu, seorang performans yang nyaris wajahnya setenang gambar di atas, di Yogyakarta, yang makin menunjukkan bahwa performatif yang disaksikan oleh saya adalah ‘palsu’ jika merujuk pada; Tubuh adalah hal pertama yang tampak ketika dunia sekitar melihatnya, yang memunculkan perasaan terhadap orang lain, termasuk perasaan untuk berbicara tentang spiritual-mitologi-metafisika; pertanyaannya, terbuat dari apakah perasaan itu? Siapa yang menuntun perasaan itu? Siapa pula yang terus mengembangkan perasaan itu?
Realitas
yang tersembunyi di balik tubuh, dari tema-tema ini, bukanlah di dalam tubuh
kita sendiri. Ini juga merupakan sebuah wacana untuk menyatukan setiap tubuh
yang berbeda, relasi sosial bersama, menata tatanan, sepakat untuk bisa
memahami, dan meletakkan cara berpikir kita selogis mungkin dan lebih
konkret—agar tidak ‘berkabut’.
Selama
alur logika itu digunakan bersama, dari apa yang dikatakan kepada orang lain,
kita sakit atau tidak; Mengapa? Justru karena ada sesuatu yang menjelaskan
kepada kita tentang ambiguitas itu; sementara kita kemudian menjadi saudara
yang sabar di rumah kita sendiri, dan kita bertanggung jawab atas ambiguitas
itu, untuk menafsirkan, dan kita kembali ke akar tubuh dengan logika, untuk
menyatakan bersama tentang persaudaraan tubuh; itu tidak harus trendi, populer,
atau terkenal.
Performatif menurut saya diciptakan karena ia membentuk pemahaman tentang kekuatan kritis terhadap orang-orang ‘bodoh’ di sekitar kita, dengan menunjukkan serangkaian pengetahuan, nilai, dan sistem pemikiran yang kita gabungkan untuk mengembangkan cara berada di dunia dan menafsirkan realitas. Tradisi berasal dari masa lalu dan membentuk masa kini, di berbagai tingkatan. Anggapan ini hanyalah ruang spekulatif saya untuk melihat gejala-gejala yang tentu saja termasuk dalam wilayah budaya kita, jadi saya pikir itu segala ‘kebodohan’ akan dihentikan dengan benar, termasuk pernyataan ‘ketidakberdayaan’ untuk versus, karena cukup merasakannya pada saat itu juga, lantas menjadi kecemasan sepanjang perjalanan pulang dari Malang-Kediri-Surakarta.