Setelah Berakhir, Saya Mau Bertanya Lagi: Install Ulang, Surawana Lewat Jalan Memutar, Mau Dipahami Sebagai Apa? -->
close
Adhyra Irianto
05 December 2024, 12/05/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-12-10T14:46:29Z
KritikteaterUlasan

Setelah Berakhir, Saya Mau Bertanya Lagi: Install Ulang, Surawana Lewat Jalan Memutar, Mau Dipahami Sebagai Apa?

Advertisement
Candi Surawana, Kediri
Candi Surawana, Kediri, sebagai objek wisata malam dalam dramaturgi lawatan
(Dok. Dahasila Paras Culture)


Oleh: Arung Wardhana Ellhafifie


Memperbincangkan “Drama Sosial” dalam “Wisata Malam” di Surawana 


Selama kurang lebih dua bulan saya mendampingi karya “Install Ulang: Surawana Lewat Jalan Memutar”, bersama performer/kreator Rifqi Haekal Amanullah, yang dipentaskan pada hari Minggu, 24 November 2024, yang disiarkan melalui live streaming; https://www.youtube.com/live/TwoZdPHnmxg, di Desa Wisata Canggu, Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur.


Proses pendampingan lebih banyak dilakukan secara daring daripada luring, yang open rehearshal-nya dilaksanakan pada hari Jumat-Sabtu, 22-23 November 2024; dalam hal ini saya ingin memosisikan diri sebagai masyarakat yang terlibat dalam menonton karya tersebut. Katakanlah saya mencoba membuat analisis kultural, dengan menggunakan kata kunci yang dikemukakan Victor Tuner (1920-83), antropolog Inggris/Amerika, konflik, kemudian dianalisis sebagai “drama sosial” - untuk meyakinkan diri bahwa ini adalah bagian dari wawasan yang berbeda dari sebelumnya.


Seperangkat perlengkapan dan peralatan tata cahaya yang dipersiapkan
(Dok. Dahasila Paras Culture)


Sebelum masuk ke uraian tentang “drama sosial”, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu pemicu utama munculnya ungkapan Turner, inilah yang dipakai. Sejak awal Haekal cukup mengetahui karya ini, yang difasilitasi oleh Bambang Prihadi, program Dapur LTC (Lab Teater Ciputat), Lab Indonesiana, Manajemen Talenta Nasional (MTN) 2024 bidang seni budaya, bekerjasama dengan Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan (DitPTLK), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) yang sekarang (Kementerian masing-masing).


Perlu diketahui, Haekal sebagai mahasiswa tingkat akhir Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta (dan juga founder Dahasila Paras Culture) memasukkan karya ini dalam Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang didampingi oleh Dr. Eko Wahyu Prihantoro, S.Sn., M.Sn., sehingga antara satu dengan yang lain saling terkait, yang kemudian karya ini menggandeng Border Crossing Space Border untuk diajukan ke Dana Stimulan Ekspresi Budaya (dukungan stimulan) Dana Indonesiana, Dirjen Kebudayaan, Kemdikbudristek (meskipun sampai saat ini surat perjanjian kontrak karya belum diterima oleh pihak terkait, tetapi diyakini dalam waktu dekat akan diterima mengingat kegiatan masih berlangsung berupa tur performatif karya ke beberapa kota hingga akhir Januari 2025) sebagai suatu proses yang terus berkelanjutan. 


Uraian di atas, meskipun dapat dianggap tidak penting, tetapi informasinya, mau tidak mau, harus diungkap secara gamblang, karena bagaimanapun disadari bahwa Lab Teater Ciputat membuat program Dapur LTC yang terdiri dari tiga kelas, yaitu Napak Tilas, Bongkar Muat, dan Jalin Karya, yang telah dipraktikkan oleh LTC untuk dibagikan dan diedarkan kepada peserta kelas terpilih, yang barangkali bukanlah informasi yang penting (dalam praktiknya). 


Katakanlah dalam karya ini, Haekal secara tidak langsung telah menciptakan sebuah “drama sosial”, karena ia telah membuat sesuatu yang sederhana menjadi satuan-satuan yang kompleks, yang tidak mungkin dikelola secara utuh oleh Haekal. Sebab titik menonjol dari masing-masing kolaboratornya, Haekal sebagai mahasiswa seni, yang juga memiliki segudang masalah di dalamnya, lebih dominan daripada dirinya sebagai peserta kelas LTC, bahkan tentu tidak dikenal.


Sebagian besar kolabpratornya tidak mengerti tentang kelas LTC; sebagai perangkat pengetahuan dari kelas yang berlangsung “di luar” kelas. Turner dalam Richard Schechner, Profesor Emeritus Universitas di Tisch School of the Arts, Universitas New York, dan editor TDR: The Drama Review, memaparkan teori “drama sosial”; kita harus membingkai serangkaian peristiwa sosial atau historis sehingga sekelompok peristiwa yang awalnya tampak tidak sempurna, dapat dikelola “sebagai” drama. 


‘Hilangnya’ diri sebagai peserta kelas LTC dalam keseluruhan karya ini, yang disebutkan oleh para tetua atau pemimpin doa, perwakilan kepala desa, aktor dari komunitas Teater Kanda IAIN Kediri dan UKM Seni Segara Universitas Islam Kadiri-Kediri—yang selanjutnya memunculkan Haekal sebagai mahasiswa seni, mengingat pendamping karya ini berpamitan langsung dengan kantor desa yang tengah melaksanakan program BKMB. Hanya saja dapur LTC diserahkan terlebih dahulu (tanpa pamit secara langsung), yang kemudian diterima sebagai peserta kelas; saya kira ‘hilangnya’ ini juga bersifat sewenang-wenang.


Kolaborator pembudidaya ikan “Instal Ulang: Surawana Lewat Jalan memutar”
Kolaborator pembudidaya ikan “Instal Ulang: Surawana Lewat Jalan memutar”
(Arsip: Dahasila Paras Culture)

Schechner juga mengatakan bahwa “drama sosial” dalam kajian performance studies juga merupakan bagian dari tindakan, yang harus bersifat perbaikan menuju reintegrasi/pemisahan. Saya mungkin mencoba untuk sampai ke sana, sebagai struktur diakronis ini. Sebagaimana kolaborator pembudidaya ikan, yang disaksikan secara seksama oleh masyarakat sekitarnya.


Jika Turner mengintegrasikan teorinya tentang “drama sosial” ke dalam teori yang diusulkannya tentang proses ritual, dengan menggunakan fase tindakan perbaikan dari “drama sosial”, dan proses ritual. Proses ritual itu sendiri menggunakan berbagai perangkat – ramalan, pengorbanan, dan, dalam kata-kata Turner, “dekonstruksi dan rekombinasi ludis dari konfigurasi budaya yang sudah dikenal.”


Saya ingin memaparkan ini sebagai esai kritis tentang “drama sosial” yang telah berlangsung selama proses Haekal—saya harap ini dapat membantu menyelesaikan ‘penghilangan’, dengan melanjutkan isu, yang mungkin tidak penting, tetapi merupakan konflik etis di dalamnya sebagai pelaku budaya. 


Begitu pula yang saya kemukakan tentang konflik etika ketika seorang mahasiswa memperkenalkan saya kepada seorang akademisi seni yang sedang asyik memegang ponselnya (setelah berjabat tangan, tanpa sepatah kata pun, asyik dengan ponselnya yang ‘jelek’), secara etika tentu saja ada konflik sebagai sebuah “drama sosial”. Dari sikap yang ditunjukkan oleh model akademis semacam itu, saya kira ‘penghilangan’ itu bisa dianggap wajar meskipun tidak semuanya bisa digeneralisasi.


Dengan kata lain, model-model semacam itu, barangkali tidak ditemukan sepanjang proses LTC, tetapi tindakan ini sepenuhnya menginformasikan bahwa karya penyutradaraan LTC terbentuk dalam waktu yang lama dengan tiga kelas; khususnya dalam karya Haekal, menelusuri kembali, dengan menjelajahi candi, kemudian menghubungkannya dengan realitas sosial yang terjadi di Canggu; implementasinya dipandu oleh proses interaksi sosial.


Masyarakat Badas, Pare, dan beberapa Kecamatan lainnya di Candi Surawana
Masyarakat Badas, Pare, dan beberapa Kecamatan lainnya di Candi Surawana
(Dok. Dahasila Paras Culture)

Tentu saja saya menulis ini untuk memprotes apa yang dilakukan Haekal, sebagai aksi sosial, yang dirancang untuk menjungkirbalikkan pemahaman mereka, bahwa tanpa kelas itu, sesungguhnya karya ini tidak serta merta menjadi peristiwa sehari-hari, yang tidak hanya menjadi topik pembicaraan setiap saat, tetapi juga sebagai tema, ritme, dan model perilaku serta representasi atau fungsi kritis hubungan antara Surawana dan masyarakatnya. 


“Drama sosial” ini ingin dipahami dalam situasi budaya dan sejarahnya yang spesifik, di mana dalam sepuluh tahun terakhir, peristiwa ini telah menjadi kenyataan yang belum pernah terjadi sebelumnya—juga merujuk pada istilah drama. Schechner menekankan bahwa kata “drama” tidak digunakan untuk menegaskan hegemoni Barat, tetapi sebagai kode yang mewakili setiap jenis pertunjukan budaya tertentu. 


Saya kira apa yang telah terjadi dapat ditarik sebagai budaya kontemporer, dalam menghubungkan setiap pertunjukan—estetika atau sosial—yang mungkin tidak terlalu efektif dan menghibur; juga terkait dengan keseluruhan, mengingat dari perkiraan lebih dari lima ratus orang, hingga tiga jam pertunjukan dengan moda wisata malam, hanya sekitar tiga puluh orang yang bertahan, di luar para kolaborator; saya kira ini berharga untuk diposisikan sebagai performance studies. 


Ketidakefektifan ini, menurut hemat saya, Haekal sebagai mahasiswa jurusan teater, juga tidak begitu memahami drama secara jernih; yang tidak saja bekerja sebagai representasi pameran objek, petunjuk (mitos, teka-teki, katekismus), aksi (pertunjukan mitos, tari, drama, dan sebagainya), tetapi lebih merupakan konfigurasi kultural yang bersumber dari hal-hal yang tidak dianggap penting, dianggap remeh, dengan memperkuat kewibawaan kampus seni, yang abai terhadap praktik komunitas sebesar LTC, menjadi bagian ritual tersendiri bagi saya.


Secara tidak langsung, ‘kesombongan’ telah terpendam, merasa sebagai seniman yang lahir dari perguruan tinggi seni, sementara praktik yang dijalankan bersumber dari LTC, sama sekali bukan kampus nonseni, yang dilupakannya adalah bahwa ia juga bagian dari estetika, menyangkut etika di dalamnya, sebagai proses pembelajaran; memasuki ranah drama, bentuknya yang khas dalam suatu budaya tertentu, pada suatu masa dan tempat tertentu, secara tidak sadar, atau mungkin prasadar, memengaruhi krisis dalam dirinya sebagai kreator. 


“Drama sosial” pada hakikatnya, saya tidak ingin mengaitkannya dengan hal-hal besar seperti (perang, revolusi, skandal, dan perubahan kelembagaan) - yang disebutkan Schechner, tetapi kawan yang ‘remeh’ ini juga dalam konteks ekosistem yang terbatas, atau selokan, atau akar rumput, tidak dapat dipungkiri bahwa ini juga merupakan drama sosial yang paling konkret.


Haekal berkolaborasi dengan koreografer dalam menatap Surawana dan sosialnya
Haekal berkolaborasi dengan koreografer dalam menatap Surawana dan sosialnya
(Dok. Dahasila Paras Culture)

“Drama sosial”, dengan harapan orang-orang akan datang dari beberapa desa di sebelah Cadas, untuk sekadar hiburan (yang mungkin tindakan Haekal dan koreografer tidak memiliki daya hiburan sebagaimana mestinya); tentu saja yang ada di kepala mereka selalu menjadi salah satu tujuan utama – sebuah metakomentar, eksplisit atau implisit, sadar atau tidak, tentang “drama sosial” utama dalam konteks sosialnya. 


Kedatangan berbondong-bondong ke Surawana pada malam hari, berkeliling malam, harapannya hanya untuk mendapatkan hiburan; yang kemudian menjadi ‘menghilang’ satu per satu, hanya menyisakan segelintir orang; juga bagian dari “drama sosial”, dengan segala pesan dan retorikanya untuk memberikan umpan balik ke dalam struktur “drama sosial”, untuk dipahami bersama dan sebagian menjelaskan ritualisasinya yang tidak dipersiapkan; sebagaimana Haekal juga tidak siap menerjemahkan “drama sosial” yang terjadi di Badas, karena ia memulainya dengan ‘penghapusan’ istilah kelas napak tilas dari LTC, yang diyakini sama sekali tidak disebutkan dalam proses itu.


Masyarakat dalam “Drama Sosial” atau Estetika, sebagai Ritus Sosial?


Masyarakat di Surawana lintas usia berkumpul jadi satu di antara bongkahan batu
Masyarakat di Surawana lintas usia berkumpul jadi satu di antara bongkahan batu
(Dok. Dahasila Paras Culture)

Saya kira jika kehidupan itu sendiri tidak ‘dihilangkan’ maka kelas yang kini terpinggirkan itu, kemudian menjadi cermin bagi performer/kreator yang dihadirkan kepada seni, dan yang hidup sekarang menjalani hidupnya di masa depan atas nama seni, membawa seni ke kampung halamannya, tetapi yang mendasar itu ‘dihilangkan’, ia ibarat antagonis “drama sosial”, “drama kehidupan,” sebagaimana kata Schechner. 


Bagaimana ia dapat dikatakan fasih dalam berdrama, sedangkan ia belum mampu menggambarkan drama itu sebagai estetika dengan berbagai pendapat, gambaran, kiasan, dan perspektif ideologis yang telah terjadi sebelumnya. Sedang terjadi kelas napak tilas atau penelusuran ulang, yang seharusnya dibicarakan dengan membuka arsip-arsip LTC, bagai agen sosial. 


Tidak ada informasi sebagai refleksi timbal balik, kehidupan performer/kreator, yang terlalu ‘congkak’ sebagai mahasiswa seni, tetapi lupa bahwa seni dibentuk oleh kehidupan, hadirnya di Surawana munculnya platform Dapur LTC, dan platform ini adalah semacam pertukaran sesuatu yang baru yang ditambahkan dan sesuatu yang lama yang ‘hilang’ atau dibuang. 


Sayangnya, mereka seolah tak ingin kehilangan jati diri lama, seakan ‘keterikatan’ adalah sebuah keniscayaan. Kita harus belajar lewat pengalaman, termasuk dari pengalaman ‘eliminasi’, yang bagi LTC tidak menyakitkan, tetapi bagi saya itu adalah pengalaman yang cukup rumit, dan mungkin pengalaman terdalam adalah lewat drama, bukan sekadar lewat “drama sosial” atau drama panggung (atau yang setara) yang biasa disaksikannya di kampus-kampus seni, tetapi lewat realitas ini, yang erat kaitannya dengan etika drama itu sendiri, yang perlu dimodifikasi, sebagai cara saling mengenal yang timbal balik dan berkesinambungan.


Banyak orang sepanjang pertunjukan, khususnya kolaborator yang terlibat di lembaga seni, seolah-olah dengan merdu menyampaikan orasi yang mengatakan bahwa kolaborasi mereka, seperti gelak tawa dan sorak sorai, berada di lingkungan seni, tanpa harus peduli atau membayangkan banjirnya orang yang datang ke Surawana. 


Dengan adanya undakan sebagai tempat lampu sorot yang dapat dilihat dengan radius tiga kilometer, putaran cahaya yang digerakkan, secara otomatis memiliki daya tarik publik, tetapi lupa tujuannya bukan hanya untuk berkumpul melihat kerumunan orang.


Arkeolog (tengah) dan dua juru pelilhara Surawana (kiri) dan Tegowangi (kanan)
Arkeolog (tengah) dan dua juru pelilhara Surawana (kiri) dan Tegowangi (kanan)
(Dok. Dahasila Paras Culture)

Inilah berkumpulnya stan atau tenda pedagang makanan, sekitar lima puluh orang di sepanjang jalan depan Surawana malam itu di tengah juru pelihara sibuk menjelaskan relief-relief maupun tindakan arkeolog yang memoderasi, namun ia lupa untuk tidak benar-benar memaksakan “kepeduliannya” membaca Surawana, melainkan hanya sekadar menyelesaikan studinya saja daripada keinginan untuk memberikan paradigma yang berbeda, dengan ‘kehilangan’ mengikat masyarakat yang membludak itu menjadi segelintir orang saja menjelang berakhirnya satu jam pementasan, karena hanya seperti memamerkan diri sebagai seni.


Haekal lupa bahwa banyak orang datang dengan kostum bukan untuk peran fiktif dalam sebuah drama, melainkan untuk peran kehidupan – untuk jalan-jalan ke Surawana, karena penasaran dengan apa yang terjadi dengan tunggang langgangnya, sekilas mirip konser dangdut dengan lampu-lampunya, yang mereka bayangkan mungkin seperti itu, saling bertautan untuk pamer lewat kostum, termasuk batik apa yang dipakai oleh para wakil desa.


Investigasi langsung yang dilakukan performer/koreografer ke generasi kini
Investigasi langsung yang dilakukan performer/koreografer ke generasi kini

Setiap orang yang datang bergabung dengan warga lainnya, dari yang tua hingga yang muda, dari yang berhijab hingga yang tidak berhijab, yang kostumnya sudah campur-campur, sudah sangat hibrid. Hibriditas ini lupa bagaimana keinginan berkumpul di Surawana untuk hiburan, bagaimana ‘mengikat’ masyarakat dengan produk untuk mereproduksi ilmu, tentu bukan hal yang mudah.


Kostum yang dikenakan sebagian orang seperti persiapan untuk sebuah acara besar di Surawana; untuk saling menonton bersama, sebuah tontonan, kata teater yang oleh sebagian orang dianggap sebagai pensi, sebuah pertunjukan seni, tetapi secara longgar untuk mengikat bagaimana masyarakat dapat terhubung. 


Setidaknya keinginan untuk melihat partisipasinya, tampaknya kurang dipersiapkan oleh Haekal, abai dengan segala atribut yang digunakan dari lintas generasi, karena tampaknya sibuk sendiri, dengan istilah kampus seni, yang jika ditelaah lebih jauh, penuh dengan permasalahan sistem dan kurikulum yang cukup rumit. Maka wajar jika akan semakin sedikit lulusan seni yang memiliki kontribusi signifikan terhadap perkembangan pertunjukan di tempat kita.


Salah satu kostum yang dipakai oleh masyarakat dalam wisata malam di Surawana
Salah satu kostum yang dipakai oleh masyarakat dalam wisata malam di Surawana
(Dok. Dahasila Paras Culture)

Keterlibatan masyarakat Surawana yang hendak diaktivasi, baik melalui Haekal sendiri maupun koreografer, tidak sepenuhnya memberi kesempatan bersama untuk terlibat dan ‘terikat’ dalam wisata malam Surawana. Warga sekitar yang sudah ada di sana tidak bisa memperluas wacana antara Surawana dengan masyarakat. Setelah Haekal dan koreografer mencoba mengajak masyarakat untuk menirukan gerakan yang dikoreografi, tidak ada satupun dari mereka yang antusias melakukan gerakan yang diinginkan.


Pertama, menurut saya, ada ketidaksadaran awal tentang pentingnya keterhubungan yang berkesinambungan, sehingga muncul keinginan untuk melibatkan masyarakat secara serius dengan gerakan-gerakan yang telah mereka persiapkan. 


Ya, kemudian mereka menyerah, menghentikan gerakan-gerakan mereka - sehingga keterhubungan masyarakat ini terus terkoneksi dengan aksi-aksi yang lain, misalnya gerakan menyapu puluhan bongkahan batu candi, dan juga tidak cukup memahami bahwa semua ini adalah bagian dari “drama sosial” yang ritualistik - seperti ‘kelalaian’ atau ‘ketidakpedulian’ terhadap satu pemahaman, yang seolah-olah lebih mengutamakan estetika ketimbang “drama sosial”nya, yang terkesan sangat tajam. 


Kedua, mereka menggelar pertunjukan lewat gerakan, dan keduanya ingin menuntaskan sesuatu. Dengan ‘menghilangkan keterikatan’, tanpa melihat makin pentingnya kegiatan kemasyarakatan untuk memenuhi kewajiban sosial. Atau paling tidak motif pertemuan menjadi tidak jelas - entah apa yang akan terjadi jika terus memaksakan hal seperti itu. 


Sebaliknya, keduanya adalah kutub kontinum. Polaritas dasarnya adalah antara efikasi dan hiburan, bukan ritual dan teater - ritual dalam hal ini berupaya mereproduksi pengetahuan, dengan beberapa potongan ritual yang terjadi, yang tidak dapat menggambarkan serangkaian transformasi yang terjadi. 


Pertanyaan Schechner: Apa perbedaan antara “drama sosial” dan drama estetika? Drama estetika menciptakan waktu, ruang, dan karakter simbolik; hasil cerita ditentukan sebelumnya oleh drama. Drama estetika adalah fiksi. “Drama sosial” memiliki lebih banyak variabel, hasilnya meragukan, dan seperti permainan.


“Drama sosial” adalah “nyata”, terjadi “di sini dan saat ini”. Dalam Surawana, “drama sosial” ‘keterikatan’ masyarakat yang tidak dibawakan Haekal, bukan lagi transformasi yang jelas, cukup rumit dan menjadi ancaman untuk mencapai hasil yang “nyata”. 


Bagaimana ‘keterikatan’ ini menandai atau “mewakili” hasil, tetapi menciptakan hasil yang harus dirayakan bersama untuk mempertahankan setidaknya seratus orang hingga pertunjukan berakhir - dengan asumsi produksi pengetahuan di dalamnya.


Dalang menunjukkan kemampuan dan keterampilannya di Surawana
Dalang menunjukkan kemampuan dan keterampilannya di Surawana
(Dok. Dahasila Paras Culture)

Transformasi gambar di atas, wisata malam di Surawana, menyulap pertemuan yang berpotensi mematikan menjadi pertunjukan yang estetis dan ekonomis. Intinya adalah estetika; yang dijadikan fokus, menggambarkan perubahan yang dihasilkan oleh pertunjukan ritual melalui potongan-potongan ritual Islam yang dihadirkan atau digabung dengan ritual Hindu, bagaimana membangun candi. 


Menurut saya ini adalah acara teater yang sangat bergantung pada konteks dan fungsi. Suatu pertunjukan disebut demikian karena di mana pertunjukan itu dilakukan, oleh siapa, dalam situasi apa, dan untuk tujuan apa. Tujuan adalah faktor terpenting yang menentukan apakah suatu pertunjukan bersifat ritual atau tidak. Jika tujuan pertunjukan adalah untuk menghasilkan perubahan, maka kualitas lain di bawah tajuk “khasiat” juga akan hadir, dan pertunjukan itu adalah ritus sosial. 


Namun, jika tujuan pertunjukan sebagian besar adalah untuk memberikan kesenangan, untuk pamer, untuk menjadi cantik, untuk menjadi indah, untuk menjadi wow, atau untuk menghabiskan waktu, maka pertunjukan itu adalah hiburan. Faktanya adalah tidak ada pertunjukan yang murni berkhasiat atau murni menghibur.


Kreativitas Kolaboratif-Kolektif Berpotensi Menjadi Kreativitas Massal


Kolaborator, pembudidaya hidroponik di wisata malam, di Surawana
Kolaborator, pembudidaya hidroponik di wisata malam, di Surawana
(Dok. Dahasila Paras Culture)

‘Keterikatan’ antarmasyarakat yang tak mampu bertahan hingga akhir wisata malam itu, juga muncul dari ketegangan kreatif biner efikasi-hiburan. Meski efikasi dan hiburan bukanlah hal yang bertolak belakang, masing-masing bergantung dan terus-menerus berada dalam hubungan aktif dengan yang lain. 


Apa yang dimaksud dengan pertunjukan kolaboratif-kolektif, dalam hal ini, yang diberikan demokratisasi kepada masing-masing kolaborator, tampaknya belum tuntas. Bagaimana masyarakat kini memandang Surawana, seharusnya juga menjadi partisipasi aktif untuk meneruskan kreativitasnya secara kolektif; untuk dilanjutkan nanti di masa kini demi masa depan. 


Estetika tak lagi sepenuhnya penting, jika kita hendak memahaminya sebagai sebuah pergaulan sebagai empati sosial, yang melahirkan estetika bergembira, dalam merayakan bersama wisata malam di Surawana, barangkali baru pertama kali digelar dalam lima puluh tahun terakhir; Berfokus pada masa kini dan masa depan, waktu historis dan/atau masa kini agar kita bersama-sama menyadari keterkaitannya, memegang kendali agar ‘keterkaitan itu’ dan nilai itu menjadi transformasi diri yang lebih bermakna dalam menghargai, mengevaluasi, menempatkan fungsi kritik di dalamnya, untuk terus berkembang pesat layaknya kreativitas individu.


Relief-relief yang ada di Surawana, coba diurai oleh juru pelihara
Relief-relief yang ada di Surawana, coba diurai oleh juru pelihara
(Dok. Dahasila Paras Culture)

Kalau misalnya estetika yang dipahami secara umum adalah keindahan, namun yang pasti estetika secara sosial oleh masyarakat luas di Badas, adalah kesenangan, untuk hiburan yang diharapkan, ternyata tidak sesuai dengan harapan mereka; karena reproduksi pengetahuan yang diharapkan dari kreativitas kolaboratif-kolektif, juga sangat mungkin berubah tanpa diduga menjadi kreativitas massal, selama kondisi ‘keterikatan’ menjadi ranah utama sebagai bahan penyampaian. 


Sayang, ‘keterikatan’ itu tidak lagi dipikirkan, asyik dengan dirinya sendiri atas nama mahasiswa yang belajar seni; yang dapat diasumsikan dengan mengasumsikan pandangan umum tertentu tentang asal usul dan hakikat Surawana yang tidak diketahui secara umum jika bukan seorang pemerhati budaya. Persoalan utamanya adalah bagaimana ‘keterikatan’ itu menjadi hal yang krusial untuk terus disambung, yang menimbulkan rasa ingin tahu masyarakat setempat, ketika mereka merasa terlibat dalam menjelaskan banyak pertanyaan; sehingga dapat saling beradu argumen.


Puluhan sepeda engkol biasa ditemui di sepanjang jalan kampung Inggris, Pare
Puluhan sepeda engkol biasa ditemui di sepanjang jalan kampung Inggris, Pare
(Foto: AWE)

Kalau kita mau merealisasikannya dalam konteks “drama sosial”, kehadiran orang banyak itu sebenarnya adalah pelaku budaya yang sesungguhnya. Kolaborator yang sudah dipersiapkan, sangat mungkin mereka sudah tidak berarti lagi. Happening menjadi sebuah titik yang bisa diambil. Kalau tidak, kalau kita terus mempertahankan alur yang sudah dipegang; adanya hierarki budaya terhadap masyarakatnya. 


Kalau kita merasa bahwa para seniman adalah pelaku budaya secara utuh, itu tidak bisa membuktikan superioritas. Siapa yang bisa memastikan karena bagaimana Haekal dan para kolaborator, sebagian besar pelaku beserta tim produksinya yang tidak takut unjuk gigi, bukanlah representasi masyarakat Badas; bagaimana itu bisa dipastikan secara logika dan fisik. 


Ritual sosial yang paling hakiki adalah menjaga ‘ketertarikan’ masyarakat yang datang, mereka tidak lain adalah pelaku budaya dengan kostum yang sudah dipersiapkan, bukan sebagai pelaku, mereka bisa tiba-tiba menjadi pelaku, aksioma bisa silih berganti satu sama lain; akhirnya dengan ‘keterikatan’ itu, sejarah Surawana bisa jadi mungkin dipahami; Bre Wengker dan lain-lain bisa jadi sangat mungkin kalau ‘keterikatan’ itu kemudian diwujudkan sebagai suatu bentuk “drama sosial” yang terjadi dalam wisata malam.


Visinya adalah menuntaskan penyelidikan terhadap banyaknya orang yang datang silih berganti; yang kemungkinan besar tidak dapat disangsikan lagi ‘keterikatan’ “drama sosial” itu lebih bermakna daripada sasaran yang memang ditargetkan sejak awal, bukan sekadar tontonan riuh tentang pemahaman estetika, yang juga sudah pasti tidak akan dipahami oleh tim produksi kalau ditanya lagi, sejarah estetika, merujuk pada kumpulan buku-buku; katakanlah, lalu bagaimana menjelaskannya itu bisa dipercaya, bagaimana mereka membaca “drama sosial”, apakah itu juga bagian dari kreativitas massal, yang mana kesenangan mereka menikmati hiburan kehidupan malam pada saat itu.


Tindakan Haekal dkk. di antara percakapan owner kursus Bahasa di Pare  (Dok. Dahasila Paras Culture)
Tindakan Haekal dkk. di antara percakapan owner kursus Bahasa di Pare
(Dok. Dahasila Paras Culture)

Para penggerak budaya yang berlatar belakang menjadi owner salah satu lembaga kursus bahasa di Desa Pare; kemunculan mereka seakan tak berarti, padahal suara mereka lebih penting dalam melihat video workshop tersebut, karena ikatan sejarah yang memutarbalikkan segalanya diabaikan begitu saja. Terlalu fokus pada asal muasal lembaga seni, yang dianggap bagian dari dunia budaya, yang pada kenyataannya hanya membuat sebuah produk, tanpa harus berpikir lebih luas dan terbuka sebagaimana yang terjadi saat ini di dunia praktisi; hanya fokus pada kita yang membuat tari, musik, dan teater, serta film. 


Haekal lupa, prinsip dasar menilik masyarakat sosial dengan menggunakan pertunjukan atau wisata malam untuk tujuan pemulihan pemahaman; justru ketika peserta wisata membludak, momen terbesar adalah masuknya pengetahuan lewat pemahaman tersebut. 


Fungsi-fungsi kritis tersebut dapat ditelusuri secara tersembunyi lewat bayang-bayang mereka mendapatkan hiburan tersebut; mungkin dalam hal ini saya tidak mengingatkan secara gamblang. Namun, di sinilah letak ketegangan bagaimana pengakuan sebagai mahasiswa kampus seni, membayangkan sebuah pertunjukan lebih banyak bercerita tentang apa yang diinginkan para cendekiawan dari sebuah budaya tertentu ketimbang tentang apa yang mungkin sebenarnya terjadi. Secara teoretis, pertunjukan adalah suatu situasi, bukan suatu peristiwa atau genre. 


Antusiasme masyarakat berada dalam ritus sosial dengan ekspresi masing-masing
Antusiasme masyarakat berada dalam ritus sosial dengan ekspresi masing-masing
(Dok. Dahasila Paras Culture)

Kata Schechner terkait performance studies: Pertunjukan berasal dari kebutuhan untuk membuat sesuatu terjadi dan menghibur; untuk mendapatkan hasil dan bermain-main; untuk menunjukkan cara kerja sesuatu dan untuk menghabiskan waktu; untuk berubah menjadi orang lain, untuk menikmati menjadi diri sendiri; ‘menghilang’ dan pamer; mewujudkan yang lain, yang transenden dan menjadi “hanya saya” di sini dan saat ini; berada dalam trans dan memegang kendali; fokus pada kelompok sendiri dan menyebarkan sebanyak mungkin penonton; bermain untuk memuaskan kebutuhan pribadi, sosial, atau agama yang mendalam; dan bermain hanya berdasarkan kontrak untuk mendapatkan uang.


Sementara dari tujuan awal melihat hubungan antara surawana dan masyarakat; begitu sebagai masyarakat peserta wisata malam membludak, Haekal kehilangan akal, untuk menggeser kreativitas kolaborator-kolektif, menjadi kreativitas massa, yang bisa mendudukkan terjadi sebagai domainnya, yang sudah saya singgung, sebagai semiotika, yang berbeda, untuk berpartisipasi secara serius memecah banyak hal yang terjadi. 


Pergeseran ini saya kira diperlukan keberanian memahami pemahaman tentang estetika yang juga belum tentu jelas juga pemahamannya, dari pertunjukan kolaboratif-kolektif, menjadi massal, yang sudah sempat disinggung.


Kecenderungan untuk bergerak ke arah yang berbeda, sangat memungkinkan dalam berlangsungnya semua pertunjukan. Mengubah cara berpikir diperlukan sikap yang matang, kesadaran lain yang penting bagi masyarakat dalam membaca sosial di Badas. Saya kira itulah wajah-wajah mereka yang menunjukkan keinginan sudah siap dengan apa pun yang terjadi. Jika hiburan tidak dapat diterima, saya masih percaya bahwa ketika keadaan sosial berubah, melalui perubahan kreativitas, sudah bisa dipastikan untuk lebih bersemanbgat dalam berpartisipasi.


Entah kenapa kalau saya mau berpikir secara mendalam, terus dengan membuat sebuah peristiwa, yang berada di rumusan lain sebelumnya, bisa menjadi tindakan radikal untuk mendekati orang-orang biasa, saya sebut pelaku budaya sejatinya adalah mereka di Surawana. Masyarakat bisa lebih banyak diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kemungkinan peristiwa yang bisa mengahsilkan untuk itu semua. Di sisi lain, saya juga cukup sadar, betapa rumitnya pengetahuan teater di kampus seni, yang sudah mengakar dengan estetika yang terus menerus dipertahankan, padahal kalau ditanya juga belum tentu bisa menguraikan secara holistik dan mendalam. 


Maksudnya adalah hierarki budaya yang tiba-tiba diciptakan, seolah kehadiran mereka menjadi penting muncul pada saat itu juga, padahal sebagai tontonan, yah mungkin saja, tetapi tidak bisa mengikat secara penuh. Bisa mungkin modus ini juga sebagai tipu daya budaya, dengan kepatuhan pada pengetahuan baru, tetapi sebenarnya tidak mau tunduk pada pemahaman yang lama, dengan membawa embel-embel atribut kampus seni, yang menurut saya cukup mengganggu bahwa kediktatoran berkembang pesat melalui kegiatan semacam ini, dalam konteks negara bisa mungkin ini adalah keberhasilan karena diarahkan oleh drone, dan sebgitu banyaknya orang di awal pertunjukan.


Penggiat pencak silat, sebagai kolaborator dalam wisata malam
Penggiat pencak silat, sebagai kolaborator dalam wisata malam
(Dok. Dahasila Paras Culture)

Lagi-lagi ‘keterikatan’ dan keinginan untuk diapresiasi bersama; terlibat meski hanya tampak seperti sebuah tatanan, namun yang terpenting kepekaan bagaimana menyikapi Surawana yang merepresentasikan siklus eksistensi tanah mereka dari zaman dahulu hingga saat ini, tak lain untuk kepentingan praktis.


Hal lain yang mesti disadari, dari tempat kita hadir, karena sebagai praktik kelas ‘di luar kelas’, itu juga menjadi catatan berharga. Bisa jadi, tiba-tiba, munculnya ide kreativitas massal yang berlandaskan pada penyadaran; bagi saya, kelas semacam ini menjadi wadah pengembangan ilmu yang bisa terus direproduksi untuk membangun kesadaran bersama.


Dalam kehidupan nyata, tiba-tiba muncul sekumpulan orang; hiburan menjadi hampa harapan akan mimpi yang dituju dari rumah, dan akhirnya hanya menjadi kerumunan.


Saya sudah mengingatkan Haekal, dalam lampiran dengan mengemukakan perlunya modifikasi ritual untuk mengatasi kondisi sosial saat ini; sebagai entry point yang konkret, justru sebagai ‘ikatan’ kebersamaan dengan masyarakat. Kadang perubahan adalah hasil pertimbangan yang panjang, sering kali lebih spontan. Banyak revisi yang tidak begitu jelas, kecuali jika pengamat benar-benar mengenal proses ritual itu dengan mengikuti sejumlah pementasannya, seperti seorang kritikus mengikuti sebuah produksi tari atau karya teater.


Intinya, tidak seorang pun tampak lebih banyak akal, selalu mereka yang datang ke Surawana, justru para pemerhati cagar budaya atau seniman, jangan harap dirinya mengaku sebagai seniman, dalam konteks “drama sosial”, hierarki budaya itu tidak dapat dielakkan, dan dapat dianggap sebagai manifestasi dari upacara publiknya.


Sebuah peringatan untuk berhati-hati: Kesia-siaan menjadi sebuah catatan, akhirnya wisata malam hanya semacam ritus sosial yang bersifat senyap dan ritualistik atau simbolik, yang mencoba menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan. Hal itu secara otomatis menyiratkan kesinambungan dengan masa lalu - yang sejatinya juga penuh dengan pertanyaan tentang etika, nalar, norma, dan lain-lain, harus dipertanyakan lagi, diinstall ulang dari situ tampaknya.

Ads