Advertisement
Oleh: Ambrosius M. Loho, M.Fil.*
Ketika Sidang ICH UNESCO yang membahas secara khusus Kolintang sebagai Warisan Budaya Takbenda pada tanggal 5 Desember 2024 di Paraguay, ada poin-poin utama yang dipaparkan oleh Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadly Zon. Poin-poin ini merupakan pesan utama yang sarat makna dan justru menjadi hal penting untuk dieksplorasi secara lebih. Maka tulisan ini akan fokus pada poin-poin utama itu.
Demikian kata Menteri sebagaimana penulis kutip dari berbagai media: Kolintang ini sejatinya mencakup lima hal penting yakni: Tradisi lisan, seni pertunjukan, praktik sosial dan ritual, pengetahuan ekologis, dan kerajinan tradisional. Kelima elemen ini, tentu memiliki arti dan makna masing-masing.
Pertama, Tradisi Lisan. Sekilas dapat dikatakan bahwa tradisi Lisan adalah tradisi yang berbentuk suara, bisa juga cerita tanpa ditulis, yang diperuntukan bagi mereka yang tidak mengenal tulisan. Sebelum manusia mengenal tulisan, tradisi lisan menjadi sumber-sumber pengetahuan di masa lalu. Tradisi lisan dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam penelusuran peninggalan masa lalu. Peninggalan arkeologis dapat ditelusuri melalui pengembangan teknik tradisi lisan ini. Saat melakukan kajian pada objek masa lalu dengan mengunakan teknik ini, tentunya diperlukan penilaian kebenaran dan kevalidan dari sumber-sumber lisan tersebut.
Kedua, seni pertunjukkan. Seni pertunjukkan adalah salah satu seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok dalam pertunjukannya. Di Indonesia sendiri, pertunjukan seni memiliki banyak ragam dan jenisnya, terutama yang berbentuk seni tradisional. Sebut saja ada pertunjukan ketoprak, wayang, tari-tarian, ludruk, dan masih banyak lainnya. Selain itu, ada juga pertunjukan yang berbentuk modern yang tak kalah menakjubkan untuk disaksikan. Sebut saja ada teater, opera, drama dan lain sebagainya.
Ketiga, praktek sosial dan ritual. Musik kolintang dan seni- seni lainnya tentu memiliki sejarahnya. Salah aatubyang umum dikenal dimasanya bahwa musik kolintang adalah musik ritual. Sebuah musik yang dimainkan dalam upacara-upacara ritual keagamaan. Konon musik kolintang bahkan tidak bisa dimainkan selain dalam acara-acara pada umumnya. (Bdk. Wullur & Katuuk, 2024).
Keempat, pemgetahuan ekologis. Dilansir dari https://www.ipbes.net/glossary-tag/local-ecological-knowledge dikatakan bahwa: Pengetahuan tentang alam, termasuk organisme (hewan dan tumbuhan), ekosistem, dan interaksi ekologis, yang dimiliki oleh masyarakat lokal yang berinteraksi dengan dan menggunakan sumber daya alam.
Ini merupakan perwujudan dari pengetahuan lokal adat, tetapi juga mencakup pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal yang mungkin tidak diakui secara resmi sebagai masyarakat adat (secara hukum).
Dengan kata lain, ini adalah kumpulan pengetahuan, praktik, dan kepercayaan kumulatif, yang berevolusi melalui proses adaptif dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui transmisi budaya (Berkes, 2012). Ini mencakup cara mengetahui dan melakukan, yang merupakan konsep dinamis yang mengandalkan pengembangan pengalaman dan adaptasi terhadap perubahan, sehingga menyerap komponen belajar sambil melakukan yang kuat.
Kelima kerajinan tradisional. Eksistensi pengrajin kolintang dalam konteks pengakuan UNESCO, tidak bisa diabaikan. Mereka adalah orang-orang memproduksi kerajinan alat kesenian tradisional. Maka jika demikian, maju mundurnya gerak komunitas kolintang, amat bergantung pada para pengrajin.
Disisi yang sama, dalam konteks alam pikir seni, kerajinan tradisional menjadi dasar yang signifikan sebuah kesenian berbasis tradisi. Perkembangannya juga turut ditentukan oleh kerajinan kesenian tradisional ini.
Akhirnya, lima elemen pokok ini, menjadi sorotan tokoh negara, Menteri Kebudayaan dalam kerangka menguatkan konstruksi budaya Indonesia. Ini penting untuk dikaji mendalam, karena setelah mendapatkan pengakuan sebagai ICH UNESCO lima elemen penting inilah yang akan berperan dan menjadi kunci keberlanjutan budaya seni khususnya musik kolintang. ***
*Penulis adalah anggota Tim 5 Naskah Akademik & Form ICH 02, Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Katolik De La Salle Manado