Menelisik Pembredelan Pameran Lukisan di Galnas: Bagaimana Sebenarnya Kuratorial Karya Seni? -->
close
Pojok Seni
26 December 2024, 12/26/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-12-26T01:00:00Z
OpiniUlasan

Menelisik Pembredelan Pameran Lukisan di Galnas: Bagaimana Sebenarnya Kuratorial Karya Seni?

Advertisement
Lukisan karya Yos Suprapto yang tidak disepakati untuk dipamerkan
Lukisan karya Yos Suprapto yang tidak disepakati untuk dipamerkan karena dianggap terlalu vulgar, serta keluar dari tema yang sudah disepakati dengan kurator.

Oleh: Adhyra Irianto


Beberapa hari terakhir, Indonesia dikejutkan dengan kabar penutupan "paksa" pameran lukisan di Galeri Nasional pada hari Kamis (19/12/2024) lalu. Pameran lukisan tunggal karya pelukis Yos Suprapto dengan tema "Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan" dibatalkan paksa, pengunjung yang sudah hadir sebelum pembukaan terpaksa diminta keluar.


Saya menunggu beberapa hari untuk menulis ini, saya mencoba melihat kejadian ini dari kedua belah pihak. Di satu sisi, sebagai seorang seniman, saya prihatin pada pembatasan kebebasan berekspresi yang dialami pak Yos Suprapto. Di sisi lain, sebagai seorang yang secara akademik mempelajari seni, saya juga menghormati hak kurator. Maka, artikel ini dengan sengaja ditulis setelah saya memendam dulu perkara ini, agar tidak melibatkan emosi dalam menulisnya.


Kompas menyebut kejadian ini sebagai kejadian ini menggambarkan ekspresi ketakutan kurator yang berlebihan. Medcom menyebut bahwa pameran ini tidak ditutup, hanya harus ditunda dikarenakan faktor teknis.


Tapi, kejadian ini intinya adalah dari 30 lukisan yang dipajang dalam pameran tersebut, ada lima lukisan yang tidak disetujui oleh kurator, namun tetap terpasang. Hasilnya, kurator meminta 5 lukisan tersebut untuk turun, dan hal itu tidak disepakati oleh pelukis/seniman. Hasilnya, pameran itu ditutup.


Sesimpel itu saja, sebenarnya. Tidak ada campur tangan pemerintah, atau antikritik, atau apapun itu. Ini masih perkara antara kurator dengan senimannya. Pertanyaannya, kenapa masalah ini menjadi berlari kemana-mana?


Perkara Masalah di Galnas Jadi Kemana-mana


Seniman Yos Suprapto
Seniman Yos Suprapto

Perkara pertama adalah adanya perpindahan diskursus ke "ranah publik kedua" alias medsos. Karya Yos Suprapto tidak jadi dipamerkan di Galnas (atau mungkin ditunda) tapi, tetap "pameran" di media sosial. Siapapun melihat karya ini, dan kemudian mengomentarinya. Maka, orang-orang awam tentang seni rupa pun ikut memberikan pendapat. Ini perkara pertama.


Perkara kedua adalah ada hukum sederhana untuk "keterbatasan seni". Hukumnya berbunyi seperti ini; bila ruangnya terbatas maka seninya menjadi tidak terbatas, sebaliknya bila ruangnya tidak terbatas, maka seninya yang menjadi terbatas. 


Perkara ketiga, kurangnya pengetahuan publik tentang kuratorial seni. Pihak Galeri Nasional, mengambil keputusan untuk menghentikan (atau menunda) pameran bertajuk Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan tersebut tentunya salah satunya karena mengacu pada keputusan kurator. Sayangnya, pengetahuan tentang kuratorial seni ini masih cukup terbatas.


Mari kita bedah bersama-sama ketiga masalah ini. Sebenarnya, ketiga masalah ini terkait dengan adanya kualitas penerimaan seni oleh masyarakat atau pemirsanya. Selain itu, ketiganya saling berkaitan.


Perpindahan Diskursus ke Medsos


Era hari ini menjadikan obrolan yang tadinya hanya di ruang sidang PBB saja, berpindah ke media sosial. Apa yang dibicarakan di ruang yang seharusnya privat, dilemparkan ke publik. 


Misalnya, seorang ustad ceramah yang melecehkan agama lain, tadinya tidak begitu masalah karena harusnya berada di ruang privat. Mungkin untuk mengukuhkan keyakinan para pemirsanya, ustad tersebut menyebut kekurangan dari agama lain, dan membandingkan dengan kelebihan dari agamanya sendiri.


Tapi, masalahnya adalah videonya tersebar luas, dan akhirnya berada di media sosial. Saat ini, pembicaraan yang seharusnya berada di ruang privat, berubah menjadi berada di ruang publik. Semuanya menjadi berubah. Ada banyak yang tersinggung, bahkan sampai ke meja hukum.


Masalah lain yang timbul lewat perpindahan diskursus ke medsos ini adalah, seringnya informasi terpotong-potong, berkat fitur "story" atau "snap", hingga "TikTok". Video yang sangat pendek, menjadikan pembicaraan yang sebenarnya berdurasi 2 jam, menjadi hanya 5 menit saja.


Pernyataan yang terdengar sepotong, tanpa kalimat sebelum dan sesudahnya, menyebabkan sebuah disinformasi. Lagi-lagi, hal ini yang lebih sering dibicarakan di medsos.


Masalah yang paling pelik adalah kadar pengetahuan seseorang ketika membicarakan suatu masalah. Entah masalah politik, agama, ekonomi, perang, budaya, sampai terakhir tentang seni, dibicarakan oleh orang-orang yang tidak memiliki pondasi keilmuan yang cukup. Berbekal dan bersembunyi di balik "kebebasan berpendapat", siapa saja mengomentari kejadian yang telah berpindah ke medsos tersebut.


Tadinya, seharusnya lukisan dibicarakan di ruang yang lebih privat, oleh orang-orang yang rela menyediakan waktu, tenaga, dan uangnya untuk masuk ke galeri nasional dan mempersepsi lukisan di dalamnya. Orang-orang ini terdiri dari empat tipe; pecinta lukisan, orang yang sedang belajar ilmu tentang lukisan, penggemar seniman yang bersangkutan, dan pengkaji lukisan. 


Bukankah ada orang yang "iseng" saja masuk ke galeri, membeli tiket, dan menikmati lukisan yang ada di dalamnya? Tidak. Meski diawali dengan iseng, tapi orang ini masuk dalam salah satu dari empat kategori di atas. 


Di era hari ini, lukisan tersebut dibicarakan oleh orang-orang yang bahkan tidak pernah melihat pameran lukisan manapun di seumur hidupnya. Lukisan itu dibicarakan oleh orang-orang yang juga tidak tahu apa itu lukisan, bagaimana mempersepsi lukisan, dan estetika lukisan. Hal ini yang menjadikan suatu perkara menjadi bola liar yang lari ke mana-mana.


Pembatasan Ruang untuk Kebebasan Seni, dan Sebaliknya


Apa yang dimaksud dengan analogi ini? Yah, semakin luas ruang berkesenian Anda, maka kebebasan Anda akan semakin terbatas. Kenapa? Karena ada anak-anak, ada orang berbeda suku, ada orang berbeda agama, dan sebagainya akan menjadi penonton Anda. Anda tidak bisa membatasi siapa yang akan melihat karya Anda, karena itu, pembatasan hanya bisa dilakukan pada karya Anda sendiri.


Anda ingin bicara tentang satir agama? Atau meledek budaya Anda sendiri? Atau menghina lambang negara? Atau bicara tentang paham yang dilarang oleh negara? 


Bisa! 


Syaratnya, ruang Anda harus terbatas, dan penonton Anda adalah orang-orang yang sudah terfilterisasi. Tidak ada video atau dokumentasi yang keluar dari ruang tersebut. Anda bisa bebas berbicara apa saja, dan pemirsa Anda adalah orang-orang yang satu ideologi dengan Anda.


Tapi, suasana akan berbanding terbalik ketika Anda tidak bisa membatasi ruangnya. Katakanlah Anda adalah selebritis atau mungkin influencer dengan pengikut jutaan orang. Lalu, Anda membuat sebuah karya tentang satir agama, atau meledek budaya, atau menghina lambang negara, dan seterusnya.


Apa yang akan terjadi pada diri Anda? Yah, Anda harus bersiap dengan segala macam tuntutan dan sandungan hukum yang siap menjerat Anda dengan hukuman penjara.


Kira-kira kurvanya seperti berikut ini.


Kurva kebebasan seni

Masyarakat kita mudah tersinggung. Tidak sedikit publik figur yang hancur karirnya karena salah kata di ranah publik. Maka, berada di ranah publik, itu mesti membatasi kebebasan Anda. Atau, perkara hukum siap menanti Anda.


Pertanyaannya, apakah Galnas itu ruang publik atau ruang privat? Benar! Ruang publik! Tapi, ini "Ruang Publik Terbatas".


Masalah ini menjadi semakin runyam ketika pembicaraan lukisan yang seharusnya berada di ruang publik terbatas, berpindah ke ruang publik tanpa batas. Tentu, hal ini berkaitan dengan perkara pertama, di mana diskursus tentang seni, dan estetika menjadi berpindah ke medsos.


Kurang Pengetahuan terkait Kuratorial Seni


Suwarno Wisetrotomo kurator
Suwarno Wisetrotomo, kurator yang tidak sepakat dengan 5 dari 30 lukisan yang akan dipamerkan.

Kurator seni adalah orang yang "bertugas" untuk menemukan karya untuk dipamerkan, mengkurasi karya yang bisa dipamerkan, meneliti dan mengkaji tema tertentu untuk bahan pameran, serta berbagi wawasan terkait ilmu seni dan estetika pada pemirsa yang datang ke pameran. Tidak hanya di dunia seni rupa, kuratorial juga terjadi di seni-seni lainnya.


Misalnya, dalam gelaran parade teater, kurator akan menyeleksi proposal karya, disesuaikan dengan tema tertentu, atau mungkin standar artistik tertentu, dan pada akhirnya menunjuk beberapa pertunjukan seni yang layak ditampilkan. Bisa jadi, ada ratusan bahkan ribuan proposal karya yang masuk, tapi kurator dengan latar belakang keilmuan dan pengalamannya akan menunjuk (misalnya) 20 pertunjukan saja.


Publik cenderung hanya mengetahui "seniman" sebagai satu-satunya profesi di bidang seni. Yah, seniman memang pusat perhatian, tapi kurator adalah orang yang bekerja di balik perhatian yang tiba pada seorang seniman. Ia menjaga publik tetap bisa memandang, menghargai, dan memahami seni yang ditampilkan.


Tidak seperti profesi lain di bidang seni, seperti kritikus, produser, (tentunya) seniman, desainer, dan lain-lain, kurator bekerja di "ruang gelap", namun ia menjadi penggerak kebudayaan yang kuat. Semakin baik kurator yang dimiliki galeri seni, maka akan semakin bermutu karya seni yang ditampilkan di sana.


Kurator "berhak" menentukan sebuah karya layak atau tidak layak dipamerkan ke publik. Sebab, karya apapun yang dipamerkan ke publik, kurator yang bertanggung jawab untuk melakukan penelitian, pengkajian, kemudian menginterpretasi karya tersebut pada pemirsanya. Kurator juga membuat esai, penjelasan tekstual, hingga konten tertentu membantu pengunjung lebih mengenal dan memahami karya yang dipamerkan.


Bila ada "ketidaksepakatan" antara kurator dan seniman, tidak semestinya sebuah pameran langsung dibuka, bukan? Harusnya, masih ada pembicaraan sampai benar-benar sepakat terlebih dulu. 


Kurator, setidaknya memiliki pengetahuan pengkajian seni dan sejarah seni yang mumpuni. Juga beberapa ilmu lainnya seperti humaniora dan antropologi. Kurator seni juga mesti berpengalaman, karena itu ia memulai dari kerja sukarela (tidak dibayar) agar mendapatkan pengalaman tersebut. Di berbagai negara, kerja kurator hanya bisa dikerjakan oleh orang-orang yang menyandang gelar S3 bidang pengkajian seni. 


Jadi, peran kurator tidak boleh dikecilkan dalam sebuah pameran. Ini adalah pelecehan pada sebuah profesi, yang (padahal) hanya bisa dilakukan oleh sedikit orang saja dengan basic keilmuan dan pengalaman yang mumpuni.


Pandangan Pribadi


Lukisan karya Yos Suprapto yang tidak disepakati untuk dipamerkan
Lukisan karya Yos Suprapto yang tidak disepakati untuk dipamerkan

Sekarang, pandangan pribadi saya, masalah ini sebenarnya terlalu keruh di permukaan, namun masalah yang cukup simpel di dasarnya. Keruh karena sudah berpindah ke ranah publik, dibicarakan di medsos, hingga seperti bola api yang liar ke sana kemari, tapi membakar apa saja yang ditemui. Tapi masalahnya adalah adanya ketidaksepakatan antara kurator dengan seniman terkait 5 karya. Kurator kekeuh karya tersebut harus diturunkan dan tidak boleh dipamerkan, senimannya kekeuh karya tersebut tetap dipasang, meski tidak sesuai dengan tema yang sudah ditentukan dan disepakati.


Sialnya, menurut saya, keduanya punya hak untuk sama-sama kekeuh. Hanya saja, melihat dari posisi seorang seniman, memang ada negosiasi dan kompromi yang harus dilakukan seniman. 


Saya analogikan seperti ini:


Saya punya karya A, dan saya ajukan ke suatu festival, namun kurator festival menganggap karya ini terlalu panjang dan hanya minta pertunjukan selama 45 menit saja. Saya sempat bersikeras, bernegosiasi, dan akhirnya dapat kesepakatan bahwa saya akan tampil selama 50 menit. Tapi, ternyata di hari H, saya tetap kekeuh tampil selama 2 jam. Lalu, panitia mematikan lampu ketika pertunjukan saya sudah lewat dari 1 jam.


Dalam kasus seperti itu, siapa yang salah sebenarnya? Seniman yang tidak mau bernegosiasi, atau kurator yang tidak bergeming tetap memilih membubarkan pertunjukan? Yah, kalau sama-sama kekeuh, seperti itu jadinya.


Tapi, coba bayangkan kalau panitia tidak membubarkan pertunjukan tersebut, siapa yang akan kena semprot karena overdurasi? Yah, kurator yang kena.


Bila pertunjukan tersebut dibubarkan, siapa yang akan kena semprot karena dianggap tidak menghormati karya seni? Yah, lagi-lagi kurator yang kena.


Jadi, saya menghormati profesi kurator, dan saya harap seniman lain juga melakukan hal yang sama. Apalagi, Galnas adalah lembaga milik negara, yang tentunya memiliki aturan tertentu yang sudah dituangkan lewat perundang-undangan. Kurator memiliki acuan kerja, dan tentunya seniman mesti menghormati hal tersebut.


Saya tidak membela siapapun. Dan, saya menghormati kedua belah pihak.

Ads