Malin Kundang Lirih: Dekonstruksi Mitos dan Refleksi Kemanusiaan -->
close
Adhyra Irianto
05 December 2024, 12/05/2024 02:00:00 PM WIB
Terbaru 2024-12-05T07:00:00Z
ArtikelUlasan

Malin Kundang Lirih: Dekonstruksi Mitos dan Refleksi Kemanusiaan

Advertisement

Pertunjukan Malin Kundang Lirih

 

Oleh Fitri Atul Aini*

Kisah Malin Kundang sebagai simbol anak durhaka yang dikutuk menjadi batu oleh ibunya telah lama menjadi cerita moral yang hidup di tengah masyarakat Indonesia, khususnya di masyarakat Minangkabau. Namun, legenda anak durhaka itu digugat kembali oleh  pertunjukan monolog "Malin Kundang Lirih" karya Pandu Birowo. Pertunjukan yang digelar pada Selasa (03/12/2024) di Gedung Teater Arena Mursal Estan, ISI Padang Panjang ini berhasil menghidupkan dimensi baru dari kisah ini. Karya teater yang berdurasi hampir dua jam ini menyajikan interpretasi baru atas mitos Malin Kundang melalui narasi kritis dan reflektif.
 
Meskipun demikian, karya yang dipentaskan dalam konsep monolog oleh Fajar Eka Putra ini tidak hanya mengundang diskusi, tetapi juga menggugah secara emosi. Pertunjukan yang diproduksi oleh Actoridea Padangpanjang ini didukung oleh Lab Indonesiana dan Dapur LTC 2024. Karya ini dibimbing oleh Ari Pahala Hutabarat yang dibantu oleh Akbar Munazif sebagai Pengarah Laku, Iwan Kuncup sebagai Skenografer dan Wanda Rahmad Putra sebagai Dramaturg.
 
Sebuah adegan teatrikal dari gerak silat yang diiringi musik dan dendang khas Minangkabau menjadi adegan pembuka pertunjukan. Pertunjukan ini menggabungkan elemen tradisi Minangkabau dengan sentuhan artistik kontemporer. Tidak sekadar menceritakan ulang kisah klasik, monolog ini menantang pemaknaan lama dengan menyodorkan perspektif baru yang lebih kompleks dan manusiawi melalui ekspresi tubuh, intonasi suara, serta penggunaan ruang panggung yang dinamis.
 
Awal pertunjukan dibuka dengan suara musik rabab dan dendang, serta alunan suara ombak yang membawa penonton masuk ke dalam dunia Malin Kundang yang penuh luka dan penyesalan. Kehadiran janang dan pendendang di atas panggung, serta dukungan dari tiga penari, memperkuat suasana emosional dan menghadirkan latar cerita yang dinamis. yang memberikan pengantar tentang kisah yang akan disajikan.  Pertunjukan ini menawarkan perspektif baru yang jarang diangkat: bagaimana jika Malin Kundang bukanlah anak durhaka seperti yang selalu diceritakan?
 
Cerita dimulai dari masa kecil Malin yang penuh kasih, menggambarkan hubungan kompleks antara ibu dan anak dalam keluarga yang harmonis. Setiap perpindahan adegan diiringi dengan komunikasi antara Malin dan janang, menciptakan ritme yang mengalir dan tidak membosankan. Setiap perpindahan adegan ditandai dengan dialog reflektif antara Janang dan penonton. Salah satu momen paling menggugah adalah dialog tokoh Malin, yaitu: kalian yang selalu menyebutku anak durhaka, aku tidak sedurhaka yang kalian katakan!” Dialog ini mengguncang persepsi lama dan membuka ruang bagi penonton untuk melihat sisi lain dari Malin. Bukan sebagai anak yang durhaka, tetapi sebagai individu yang berjuang melawan stigma sosial dan ekspektasi keluarga.


Malin Kundang Lirih
Malin Kundang Lirih


 Adegan perjalanan Malin ke perantauan menjadi momen transformatif yang penuh dengan dinamika emosi. Perpindahan latar dari kampung halaman ke perantauan diperkuat oleh musik tradisional yang mengiringi setiap perubahan suasana. Fajar Eka Putra dengan piawai membawa penonton masuk ke dalam konflik batin Malin. Melalui gestur tubuh yang ekspresif dan pengolahan vokal yang intens, ia berhasil menyampaikan dilema identitas Malin saat berada di perantauan. Puncak emosional tercapai ketika Malin mempertanyakan nasibnya yang dikutuk oleh sang ibu: “ibu macam apa yang mengutuk anaknya menjadi batu?” Pertanyaan ini menantang penonton untuk mempertimbangkan peran ibu dalam cerita ini, bukan sebagai sosok yang sepenuhnya benar, tetapi sebagai manusia yang juga bisa keliru dalam mengambil keputusan.
 
Malin menolak stigma anak durhaka yang selama ini melekat dan mempertanyakan apakah kisahnya harus selalu berakhir tragis. “Tidakkah ada kisah lain? Haruskah Malin Kundang selamanya menjadi simbol anak durhaka?” Dialog ini tidak hanya menyuarakan keresahan tokoh Malin, tetapi juga merefleksikan ketidakadilan yang sering terjadi dalam masyarakat yang cenderung menyederhanakan kompleksitas manusia menjadi narasi moralistik hitam putih. Dengan narasi yang berlapis, pertunjukan ini mengajak penonton untuk merenungkan kembali mitos yang diwariskan secara turun-temurun dan mempertanyakan relevansinya di masa kini.
 
Pertunjukan ditutup dengan adegan yang penuh haru ketika Malin mengingat kembali pesan terakhir dari ibunya. Dengan suara yang lirih dan penuh emosi, tokoh Malin menyampaikan bahwa kasih sayang ibunya tetap abadi meskipun dibalut dalam tragedi. Penonton diajak untuk menyadari bahwa hubungan ibu dan anak tidak selalu bisa dinilai dari satu perspektif saja. Kasih ibu yang disebut “sepanjang jalan” ternyata juga bisa diwarnai dengan konflik, kesalahan, dan pengampunan. Adegan penutup ini memberikan ruang refleksi yang dalam, membiarkan penonton membawa pulang pertanyaan-pertanyaan moral dan emosional yang masih menggantung. Tepuk tangan panjang yang mengiringi akhir pertunjukan menjadi bukti bahwa "Malin Kundang Lirih" berhasil menyentuh hati dan pikiran penontonnya.
 
“Malin Kundang Lirih” bukan hanya sebuah pertunjukan teater, tetapi juga sebuah ajakan untuk merefleksikan ulang nilai-nilai budaya yang telah mendarah daging dalam masyarakat. Dekonstruksi kisah Malin Kundang ini memperlihatkan bahwa mitos bukanlah sesuatu yang harus diterima mentah-mentah, tetapi dapat terus dievaluasi dan disesuaikan dengan konteks zaman. Melalui aktor yang kuat dan narasi yang menggugah, pertunjukan ini membuktikan bahwa seni teater tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai medium refleksi sosial yang kuat. Penonton yang hadir meninggalkan gedung dengan pandangan baru tentang bagaimana seni dapat menggugat dan merekonstruksi narasi budaya yang telah lama mengakar. Dengan pendekatan yang segar dan penuh keberanian, Malin Kundang Lirih telah menciptakan pertunjukan yang tidak hanya menggugah emosi tetapi juga membuka wawasan baru tentang kisah Malin Kundang. Pertanyaannya kini, siapkah kita menerima versi lain dari cerita yang telah lama kita yakini?
 
*Penulis adalah penikmat seni teater

Ads