Advertisement
Oleh Fitri Atul Aini*
Kisah
Malin Kundang sebagai simbol anak durhaka yang dikutuk menjadi batu oleh ibunya
telah lama menjadi cerita moral yang hidup di tengah masyarakat Indonesia, khususnya di masyarakat
Minangkabau. Namun, legenda anak
durhaka itu digugat kembali oleh pertunjukan monolog "Malin Kundang
Lirih" karya Pandu Birowo.
Pertunjukan yang digelar pada Selasa (03/12/2024) di Gedung Teater Arena Mursal
Estan,
ISI Padang Panjang ini
berhasil menghidupkan dimensi baru dari kisah ini. Karya teater yang berdurasi hampir dua jam ini menyajikan interpretasi baru atas mitos Malin Kundang
melalui narasi kritis dan reflektif.
Meskipun demikian, karya yang dipentaskan dalam konsep
monolog oleh Fajar Eka Putra ini tidak hanya mengundang diskusi, tetapi juga menggugah secara emosi. Pertunjukan yang diproduksi oleh Actoridea Padangpanjang ini
didukung oleh Lab Indonesiana dan Dapur LTC 2024. Karya ini dibimbing oleh Ari Pahala
Hutabarat yang dibantu oleh Akbar Munazif sebagai Pengarah Laku, Iwan Kuncup
sebagai Skenografer dan Wanda Rahmad Putra sebagai Dramaturg.
Sebuah adegan teatrikal dari gerak silat yang diiringi
musik dan dendang khas Minangkabau menjadi adegan pembuka pertunjukan.
Pertunjukan ini menggabungkan elemen tradisi Minangkabau
dengan sentuhan artistik kontemporer. Tidak sekadar menceritakan ulang kisah
klasik, monolog ini menantang pemaknaan lama dengan menyodorkan perspektif baru
yang lebih kompleks dan manusiawi melalui ekspresi tubuh, intonasi suara, serta
penggunaan ruang panggung yang dinamis.
Awal
pertunjukan dibuka dengan suara musik rabab dan dendang, serta alunan
suara ombak yang membawa penonton masuk ke dalam dunia Malin Kundang yang penuh
luka dan penyesalan. Kehadiran janang dan pendendang di atas panggung, serta
dukungan dari tiga penari, memperkuat suasana emosional dan menghadirkan latar
cerita yang dinamis. yang memberikan pengantar tentang kisah yang akan
disajikan. Pertunjukan ini menawarkan
perspektif baru yang jarang diangkat: bagaimana jika Malin Kundang bukanlah
anak durhaka seperti yang selalu diceritakan?
Cerita
dimulai dari masa kecil Malin yang penuh kasih, menggambarkan hubungan kompleks
antara ibu dan anak dalam keluarga yang
harmonis.
Setiap perpindahan adegan diiringi dengan komunikasi antara Malin dan janang,
menciptakan ritme yang mengalir dan tidak membosankan. Setiap perpindahan
adegan ditandai dengan dialog reflektif antara Janang dan penonton. Salah satu
momen paling menggugah adalah
dialog tokoh Malin, yaitu: “kalian yang selalu menyebutku anak durhaka,
aku tidak sedurhaka yang
kalian katakan!” Dialog ini mengguncang persepsi lama dan
membuka ruang bagi penonton untuk melihat sisi lain dari Malin. Bukan sebagai
anak yang durhaka, tetapi sebagai individu yang berjuang melawan stigma sosial
dan ekspektasi keluarga.
|
Malin Kundang Lirih |
Adegan
perjalanan Malin ke perantauan menjadi momen transformatif yang penuh dengan
dinamika emosi. Perpindahan latar dari kampung halaman ke perantauan diperkuat
oleh musik tradisional yang mengiringi setiap perubahan suasana. Fajar Eka
Putra dengan piawai membawa penonton masuk ke dalam konflik batin Malin.
Melalui gestur tubuh yang ekspresif dan pengolahan vokal yang intens, ia
berhasil menyampaikan dilema identitas Malin saat berada di perantauan. Puncak
emosional tercapai ketika Malin mempertanyakan nasibnya yang dikutuk oleh sang
ibu: “ibu macam apa yang mengutuk anaknya menjadi batu?” Pertanyaan ini
menantang penonton untuk mempertimbangkan peran ibu dalam cerita ini, bukan
sebagai sosok yang sepenuhnya benar, tetapi sebagai manusia yang juga bisa
keliru dalam mengambil keputusan.
Malin
menolak stigma anak durhaka yang selama ini melekat dan mempertanyakan apakah
kisahnya harus selalu berakhir tragis. “Tidakkah ada kisah lain? Haruskah
Malin Kundang selamanya menjadi simbol anak durhaka?” Dialog ini tidak
hanya menyuarakan keresahan tokoh Malin, tetapi juga merefleksikan
ketidakadilan yang sering terjadi dalam masyarakat yang cenderung
menyederhanakan kompleksitas manusia menjadi narasi moralistik hitam putih.
Dengan narasi yang berlapis, pertunjukan ini mengajak penonton untuk
merenungkan kembali mitos yang diwariskan secara turun-temurun dan mempertanyakan
relevansinya di masa kini.
Pertunjukan
ditutup dengan adegan yang penuh haru ketika Malin mengingat kembali pesan
terakhir dari ibunya. Dengan suara yang lirih dan penuh emosi, tokoh Malin menyampaikan bahwa kasih
sayang ibunya tetap abadi meskipun dibalut dalam tragedi. Penonton diajak untuk
menyadari bahwa hubungan ibu dan anak tidak selalu bisa dinilai dari satu
perspektif saja. Kasih ibu yang disebut “sepanjang jalan” ternyata juga bisa
diwarnai dengan konflik, kesalahan, dan pengampunan. Adegan penutup ini memberikan ruang
refleksi yang dalam, membiarkan penonton membawa pulang pertanyaan-pertanyaan
moral dan emosional yang masih menggantung. Tepuk tangan panjang yang
mengiringi akhir pertunjukan menjadi bukti bahwa "Malin Kundang Lirih"
berhasil menyentuh hati dan pikiran penontonnya.
“Malin
Kundang Lirih” bukan hanya sebuah pertunjukan teater,
tetapi juga sebuah ajakan untuk merefleksikan ulang nilai-nilai budaya yang
telah mendarah daging dalam masyarakat. Dekonstruksi kisah Malin Kundang ini
memperlihatkan bahwa mitos bukanlah sesuatu yang harus diterima mentah-mentah,
tetapi dapat terus dievaluasi dan disesuaikan dengan konteks zaman. Melalui aktor yang kuat dan narasi yang menggugah,
pertunjukan ini membuktikan bahwa seni teater tidak hanya berfungsi sebagai
hiburan, tetapi juga sebagai medium refleksi sosial yang kuat. Penonton yang
hadir meninggalkan gedung dengan pandangan baru tentang bagaimana seni dapat
menggugat dan merekonstruksi narasi budaya yang telah lama mengakar. Dengan
pendekatan yang segar dan penuh keberanian, Malin Kundang Lirih telah menciptakan
pertunjukan yang tidak hanya menggugah emosi tetapi juga membuka wawasan baru
tentang kisah Malin Kundang. Pertanyaannya kini, siapkah kita menerima versi
lain dari cerita yang telah lama kita yakini?
*Penulis adalah penikmat seni teater