Advertisement
Pertemuan daring untuk pengajuan kolintang ke Unesco |
PojokSeni/Manado - Tulisan ini akan menguraikan tentang prosedur baku yang telah dilewati Kolintang dalam proses pengajuan sampai diakui oleh UNESCO, berdasarkan penuturan salah satu anggota Tim 5 penyusun naskah akademik Kolintang ke UNESCO, Lidya Katuuk.
Sebagaimana diketahui, Kolintang telah terdaftar sebagai WBTb Nasional melalui Pengajuan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara, melalui Dinas Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara pada Tanggal 16 Desember 2013. Maka sejak 2013 itu, Kolintang melalui Organisasi PINKAN Indonesia mencanangkan jargon Kolintang Goes To UNESCO yang adalah cita-cita bersama untuk dapat mendaftarkan Kolintang pada daftar Representative List ICH UNESCO. Namun segala upaya yang dilakukan itu, tampak jelas mengabaikan dasar dasar utamanya yaitu, strategi perjuangan. Kolintang saat itu dibuai oleh romantisme intrinsiknya. Saat bergiat waktu itu seolah tanpa arah, melakukan berbagai ekspedisi dalam dan bahkan luar negeri, termasuk menciptakan sangat banyak proyek yang mengatasnamakan Kolintang Goes to UNESCO, namun semua hambar dan tidak ada arti. Semua karena fondasi yang tidak kuat.
Namun demikian, seiring perkembangan dan perjalanan waktu, lahirlah beberapa tim pengajuan yang datang dari Jakarta ke Manado, bahkan waktu itu, mereka telah mengantongi surat keputusan dari pimpinan tertinggi Provinsi Sulawesi Utara yakni gubernur. Audiensi dengan gubernur dan jajarannya pun dilakukan, dengan melupakan strategi perjuangan yang harus berlandaskan pada pemahaman yang kuat tentang operational directive yang disediakan oleh UNESCO. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, maka Pemerintah Daerah Sulawesi Utara pun bingung dan memilih pasif waktu itu.
Kendati demikian, di era Kepala Dinas Kebudayaan Ferry Sangian dan kemudian berlanjut di era Janny Lukas, PINKAN Indonesia dan Sanggar Limeka, pimpinan Mayor Jenderal TNI (Purn) Lodewyk Pusung, sebagai Komunitas/sanggar pendamping PINKAN, memberikan masukan untuk membentuk tim baru yang akan menyiapkan pemberkasan sebagai prasyarat pengajuan ke UNESCO, berangkat dari fakta sebelumnya bahwa tim yang dibentuk waktu itu belum sangat efektif. Maka terbentuklah Tim 5 atas usulan PINKAN Indonesia dan Sanggar Limeka, kepada Pemerintah Provinsi dalam hal ini Dinas Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara.
Ketika Tim 5 ini dibentuk, usulan utama dari Sanggar Limeka yang tentu saja dalam konfirmasi dengan PINKAN Indonesia, menyasar kepada tugas utama yakni untuk melakukan sebuah riset yang mendalam tentang prosedur pengajuan. Usulan ini pun akhirnya menjadi pemantik utama sehingga tim 5 ini diperkuat. Adapun Tim 5 ini berisi: Dr. Jultje A. Rattu dari Universitas Sam Ratulangi Manado, Dr. Glenie Latuni dari Universitas Negeri Manado, Ambrosius M. Loho, M. Fil., dari Universitas Katolik De La Salle Manado sekaligus penulis, pegiat dan pelaku Kolintang, kemudian, Ir. Ludovicus Ibrahim Wullur, selaku Pengajar/Praktisi/Guru Kolintang di Manado Independen School (MIS), sekaligus salah satu sekolah yang menerapkan kurikulum Kolintang di Departemen of Music -nya & Lidya Katuuk, BS.Psy, yang adalah pengurus organisasi budaya, penulis dan pewaris Kolintang dari desa asal Kolintang, Lembean kabupaten Minahasa Utara.
Setelah itu, dengan tim yang baru, semua pimpinan baik sanggar, maupun komunitas bahkan Dinas Kebudayaan Daerah bersatu padu mengawal jalannya proses penyiapan berkas. Pembina PINKAN Indonesia turun gunung dengan melakukan rapat-rapat koordinasi baik online maupun offline, sehingga proses pemberkasan yang dilakukan oleh tim yang baru itu, berjalan dengan tidak melupakan substansi pentingnya.
Tim 5 bekerja sesuai timeline dan penguasaan penuh pada Operational Directives. Tim ini diketuai oleh Lidya Katuuk yang juga bertindak sebagai mediator antar pihak pendukung jalannya proses. Ketua tim ini pun selalu dalam koordinasi dengan anggota tim lainnya.
Alhasil, proses dilakukan selama 2 tahun, dan sampai saat ini, lahirlah begitu banyak pihak pendukung, tentu dengan niat yang sangat murni. Bahkan Kemendikbudristek melalui Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid beberapa kali datang mengunjungi Sulawesi Utara untuk memastikan bahwa Kolintang adalah budaya yang masih hidup di tanah Minahasa. Demikian kontribusi Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Pemerintah Daerah terhadap kelancaran proses.
Demikian juga, PINKAN Indonesia yang adalah leader dalam pengusungan Kolintang untuk diinskrispsi di UNESCO, berjuang sepenuhnya dengan memfasilitasi kebutuhan kebutuhan tim 5. Termasuk didalamnya, Sanggar Limeka melalui pimpinannya, selalu mengawal dan memastikan bahwa tim 5 bekerja 'on the track', kemudian mengawal dari segala kemungkinan penyimpangan. Maka, semua terlaksana oleh berbagai dukungan yang luar biasa.
Dari cerita yang terkesan serba sepintas ini, tampak sebetulnya sejarah lahirnya pengakuan oleh UNESCO terhadap Kolintang ini, berawal dari inisiatif orang-orang yang sangat murni mendukung pengajuan Kolintang, sampai mendapatkan pengakuan sebagai ICH UNESCO. Maka dari itu, perlu dipertegas lagi melalui tulisan tentang kisah perjalanan ini adalah orang-orang yang telah memberi sumbangsih besar bagi perjalanan sampai Kolintang ini diakui UNESCO saat ini. Tokoh tokoh itu adalah:
- Prof. Marsetio (Design(er)/ Maker/Strategy Creator)
- Prof. Purnomo Yusgiantoro (Founder)
- Prof. Ismunandar (Soko guru)
- Penny Iriana Marsetio (Philanthropist)
- Mayor Jenderal TNI Purnawirawan Lodewyk Pusung (Guardian)
- Franki Raden, PhD. (Etnomusicolog)
- Dwiki Dharmawan (Musician)
- Nanny Suryo. (The Secretary)
- Para Pelatih dan Para Pewaris & Perpanjangan tangan Kolintang di Minahasa
- Masyarakat Budaya di Minahasa yang terus menginginkan Kolintang untuk mendapatkan perhatian dunia melalui UNESCO.
Akhirnya, kisah perjalanan ini menyempurkan tulisan sebelumnya yang mengetengahkan perkenalan tim 5 dan tokoh kunci dalam artikel Mengenal Tim 5 & Tokoh Kunci Penyusunan Form ICH UNESCO untuk Kolintang. ***