Isu Yos Suprapto dan Suwarno: Dari Permasalahan Estetika Digoreng Jadi Isu Politik -->
close
Adhyra Irianto
29 December 2024, 12/29/2024 05:01:00 PM WIB
Terbaru 2024-12-29T10:01:33Z
SeniUlasan

Isu Yos Suprapto dan Suwarno: Dari Permasalahan Estetika Digoreng Jadi Isu Politik

Advertisement
Isu Pelukis Yos Suprapto



Sekilas Membedah Isu antara Galnas, Suwarno Wisetrotomo, dan Yos Suprapto: dari Isu Perbedaan Filsafat Estetis antara Seniman dan Kurator, Digoreng menjadi Isu Pembatasan Berekspresi yang Dilakukan Galnas dan Rezim Politik Elektoral 

Oleh: Mochamad Iqbal Maulana, S.Sn. 
 
Isu di dunia seni dapat beririsan dengan dunia lainnya (inder-welt-sein), seperti misalnya beririsan dengan dunia politik elektoral. Dan tentu saja, adanya sebuah isu tidak selalu terjadi secara organik, melainkan bisa terjadi akibat di-create (di-settting) oleh pihak-pihak tertentu, dengan tendensi-tendensi tertentu pula. Kemungkinan banyak tendensi-tendensi tertentu dibalik adanya sebuah isu, misalnya yang mengarah pada kepentingan kontestasi ekonomi, kontestasi politik identitas, kontestasi politik elektoral, dan seterusnya. 

Dengan itu, hendaknya masyarakat dapat melihat sebuah isu secara faktual, mendalam, sekaligus menyeluruh. Artinya, masyarakat tidak melulu mengehendaki budaya-tutur semata, tanpa menghendaki analisis yang mendalam sekaligus menyeluruh (tercatat masyarakat Indonesia masih terpaku oleh sekedar budaya-tutur, dari zaman lampau hingga kini sangat tertinggal dalam hal membaca/menganalisis/menulis). Hendaknya masyarakat senantiasa sebagai subjek yang berpikir secara lateral (lateral thinking) yang dapat melihat suatu isu dari banyak perspektif, agar tidak semata-mata menjadi objek piranti yang mudah dihasut atau diperalat oleh orang lain atau pihak-pihak yang memiliki tendensi-tendensi tertentu. Demikian pula dalam melihat isu yang akhir-akhir ini beredar; isu antara Galnas, Suwarno Wisetrotomo, dan Yos Suprapto yang akan—pada kesempatan kali ini—secara sekilas saya bedah dalam teks singkat ini. 
 
Perlu dicatat bahwa pada kesempatan kali ini, teks yang saya susun ini hanya sekilas—secara singkat—membedah isu ini, sebab fokus teks ini hanya menyoroti fenomena pergeseran isu dari kategori isu dalam dunia seni yang bergeser ke isu dunia politik elektoral. Artinya, teks ini hanya menguraikan data-data faktual yang saya peroleh dari beberapa sumber secara online yang terbatas tentunya; entah saya uraikan secara aposteriori maupun a priori. Dengan demikian, pada kesempatan kali ini, saya tidak membedah perihal analisis filosofikal estetis terhadap karya seni Yos, latar belakang subjek/ad-hominem (entah Yos, Suwarno, dan Galnas), ataupun dari segi alur administratif yang diterapkan oleh Galnas maupun regulasi-regulasi government. 
 

Garis Besar Kronologi Awal 


Yos memulai kesepakatan dengan Galnas dari tahun 2023 untuk menggelar pameran. Setelah proses mendekati hari H, ternyata Suwarno—sebagai salah satu kurator yang ditunjuk Galnas dan Yos untuk mengkuratori pameran Yos—tidak sepakat dengan beberapa karya yang akan dipasang, sehingga terjadi negosiasi / dialog antara Suwarno dan Yos, akan tetapi Yos tetap bersikukuh dengan karyanya yang ditolak oleh Suwarno tersebut, maka Suwarno memilih mundur dari tugasnya sebagai kurator pameran Yos. Dengan itu, pihak Galnas menunda pameran dan memberi kesempatan untuk Yos dalam bernegosiasi kepada Suwarno lagi, agar menemukan titik terang final bahwa pameran memang bisa lanjut dengan persetujuan tiga kurator dan pengelola Galnas tanpa peran Suwarno, atau pameran batal lantaran tidak ada persetujuan pula dari tiga kurator, pengelola Galnas, dan juga Suwarno. (lihat wawancara dengan staff Galnas; Zamrud bandingkan dengan wawancara dengan Yos dalam konferensi 
pers bersama LBH Jakarta). 
 
Mengapa Suwarno menolak beberapa karya Yos?. Suwarno menolak lantaran pertimbangan filsafat seni yang ia yakini menyatakan bahwa secara objektif; beberapa karya Yos tidak sesuai dengan tema, sebab tema besarnya adalah Kebangkitan: Tanah dan Kedaulatan Pangan. Mungkin bagi Suwarno, seharusnya karya Yos tidak mengerucut pada visualisasi makian sosok penguasa bernama Jokowi (bila kita lihat visual tersebut secara denotasi), lantaran tema nya hanya sebatas Kebangkitan: Tanah dan Kedaulatan Pangan. Sedangkan mungkin bagi Yos—pertimbangan filsafat seni secara objektif pula—tema tersebut harusnya juga mengerucut pada sosok penguasa bernama Jokowi (bila kita lihat secara denotasi pula), 
lantaran masih relevan dengan tema Kebangkitan: Tanah dan Kedaulatan Pangan. (lihat berbagai wawancara dengan Yos dan Suwarno). Itulah mengapa Suwarno merasa dirinya tidak cocok menjalankan tugas sebagai kurator pamerannya Yos, sehingga Suwarno memilih mengundurkan diri dari proyek mengkuratori pamerannya Yos tersebut. 
 
Disamping itu, Yos ingin pamerannya segera digelar walau masih dalam proses negosiasi lagi dengan Suwarno. Dengan kata lain, Yos menginginkan pamerannya segera digelar dengan tetap menampilkan karya yang ditolak oleh Suwarno. Namun, pihak Galnas belum (bukan menolak atau membredel) mengijinkan pamerannya tersebut segera digelar, lantaran Yos belum menyelesaikan negosiasinya dengan Suwarno terlebih dahulu. Itulah mengapa Galnas menunda (bukan membredel atau memberangus) pameran Yos, agar Yos menyelesaikan dulu negosiasinya dengan Suwarno. (lihat wawancara dengan staff Galnas; Zamrud). 
 
Penundaan  tersebut tentu merupakan sikap Galnas yang netral dalam memediasi Yos dan Suwarno. Bila Yos masih dalam proses bernegosiasi dengan Suwarno, maka Galnas memutuskan bahwa pameran tersebut harus ditunda lantaran pameran tersebut harus ada kesepakatan dengan semua kurator termasuk Suwarno. Itu artinya, Galnas masih memberi kesempatan kepada Yos untuk menegosiasikan pamerannya dengan Suwarno. Inilah sikap Galnas yang netral dalam memediasi kedua belah pihak antara Yos dan Suwarno. 
 
Penggorengan Isu: Dari Isu Perbedaan Filsafat Estetika antara Seniman dan Kurator, 
Bergeser Menjadi Isu Pembatasan Kebebasan Berekspresi

Berdasarkan uraian di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa isu ini adalah isu perbedaan filsafat estetika (diskursus filsafat seni secara umum; entah Semiotik, Hermeneutik, Platon, Bordiean, Deriddean, Situationist International, Bishop, dst.) antara seniman dan kurator. Suwarno melihat bahwa—mungkin secara denotasi—karya Yos tidak sesuai dengan tema lantaran beberapa karya Yos terlalu mengkerucut pada makiannya terhadap sosok penguasa bernama Jokowi. Sedangkan Yos berikukuh bahwa harusnya tema tersebut masih selaras dengan karyanya yang mengerucut pada penguasa bernama Jokowi—mungkin secara denotasi maupun konotasi—yang patut untuk dimaki lantaran Jokowi telah menindas rakyat. 
 
Dari perbedaan filsafat estetika tersebut, maka pihak Galnas memberi kesempatan pada Yos dan Suwarno untuk bernegosiasi lagi, agar kedua belah pihak tetap dapat berjalan bersama. Sehingga pihak Galnas menunda dulu (bukan menolak atau membredel) digelarnya pameran tersebut sampai kedua belah pihak selesai bernegosiasi dan memperoleh hasil akhir bahwa pameran bisa dilanjutkan atau dibatalkan. 

Namun, dalam proses penundaan pameran tersebut, Yos menggelar konferensi pers di depan Gedung Galnas. Yos mengatakan bahwa pamerannya disensor oleh Galnas (Yos memakai diksi Disensor, bukan Ditunda atau Dibatalkan). Sehingga media dan masyarakat menyimpulkan bahwa pameran Yos ditutup, dihentikan, dibatalkan, atau dibredel oleh Galnas (selanjutnya Yos juga memakai diksi Bredel dalam konferensi pers dengan LBH Jakarta). 

Dari diksi dihentikan, dibatalkan, atau dibredel tersebut, maka isu ini bergeser dari awalnya isu perbedaan filsafat estetika antara seniman dan kurator, menjadi isu penutupan, penghentian, pembatalan, atau pembredelan (isu pembatasan kebebasan berekspresi) oleh Galnas. Padahal bila kita mengacu pada kronologi awal—sebelum ada konferensi pers bersama LBH Jakarta dan narasi media—maka kita bisa melihat isu ini sebagai isu perbedaan filsafat estetika, bukan sebagai isu pembatasan kebebasan berekspresi yang dilakukan oleh Galnas. 
 
Galnas sebagai Lembaga yang Memiliki Standar Tertentu, Seperti Lembaga Lainnya Galnas sebagai lembaga, tentu memiliki standar tertentu seperti lembaga-lembaga lainnya. Sebagai lembaga, Galnas tentu saja memiliki do and don’t nya sendiri. Hal ini tidak hanya kita temukan pada lembaga macam Galnas. Lembaga lainnya juga memiliki do and don’t nya sendiri, misalnya seperti Lembaga Pendidikan, Museum, X-Factor Indonesia, Indonesian Idol, dan seterusnya. 

Contoh do and don’t pada Pendidikan; bila siswa tidak memenuhi standar universitas, maka siswa tersebut tidak bisa masuk universitas tersebut, atau lulus dari ujian tugas akhir universitas tersebut. Atau pada Indonesian Idol, bila peserta tidak memenuhi standart tertentu, maka peserta tersebut tidak dapat masuk Indonesian Idol

Jadi, kenapa Galnas memiliki kurator? Tentu salah satu fungsinya untuk menyeleksi seniman yang hendak masuk/tampil di Galnas tersebut. Itu artinya—sebagai lembaga—Galnas juga berhak menolak atau menerima seorang seniman yang akan masuk ke Galnas. Dengan pengertian tersebut, secara matematis, maka kita tidak bisa melihat Galnas sebagai lembaga yang anti terhadap kebebasan berekspresi. Sebab Galnas tetap punya sebuah standart dalam menentukan seniman ini layak/tidak layak untuk berpameran di Galnas. Dan dalam konteks pameran Yos, Galnas masih dilema antara melanjutkan pameran Yos atau membatalkannya, lantaran belum menemukan kesepakatan antara Yos dan Suwarno sebagai kurator (sekaligus juri tentunya). Tentu saja kesepakatan yang dimaksud ialah kesepakatan antara pandangan filsafat estetika antara Yos dengan Suwarno. 
 

Framing terhadap Galnas sebagai Representasi Rezim: Dari Isu Dunia Seni Antara 
Seniman, Kurator dan Galnas, Digoreng Menjadi Isu Politik Elektoral 


Galnas sebagai lembaga yang berafiliasi dengan pemerintah, di-framing oleh media (selanjutya juga di-framing oleh Yos dalam wawancara bersama LBH Jakarta) sebagai lembaga yang juga merepresentasikan rezim. Jadi, bila Galnas di-framing sebagai anti kebebasan berekspresi, maka rezim juga anti kebebasan berekspresi. Dari upaya framing inilah isu yang awalnya sebagai isu di ranah dunia seni antara seniman, kurator, dan Galnas, yang masih dapat didialogkan di ranah filsafat estetika, kini menjadi isu anti kebebasan berekspresi di ranah politik elektoral (state and goverment issue). 
 
Selain digoreng oleh media (dan selanjutya juga di-framing oleh Yos dalam wawancara bersama LBH Jakarta) , isu politik elektoral ini dipertebal lagi oleh beberapa aktor politik yang turut menggorengnya. Seperti yang dilakukan oleh Fadli Zon, LBH Jakarta, hingga aktor pergerakan sosial-politik macam Dandy Laksono, dan seterusnya. Aktor-aktor tersebut turut membuka suara terhadap isu ini; Fadli Zon yang berbicara kepada media dengan menerangkan sekilas pokok persoalan isu dunia seni tersebut (lihat wawancara dengan Fadli Zon), LBH Jakarta yang melihat isu tersebut dari kacamata hukum bernegara/menurut instrumen HAM Internasional sebagai represi atas kebebasan berekspresi (lihat lengkapnya dalam konferensi pers LBH Jakarta), hingga Dandy Laksono yang membuat cuitan yang hendak menghubung-hubungkan isu dunia seni dengan isu dunia politik elektoral (lihat cuitan pada akun X-nya yang menghadirkan diksi Suwarno, Lekra, Galnas [diksi seni] dengan Fadli Zon [diksi politik elektoral]).  

Dengan demikian, isu yang sesungguhnya bisa kita lihat sebagai isu perbedaan filsafat estetika/seni, kini bergeser sangat jauh menjadi isu politik elektoral. Bahkan sesungguhnya bisa kita lihat sebagai isu yang masih belum ada kepastiannya (masih abu-abu) lantaran masih berupa isu yang masih dilematis; yakni sikap Galnas yang masih menunda (belum membatalkan/menerima) digelarnya pameran Yos, bergeser jauh menjadi isu yang sudah pasti; yakni Galnas menyetop, membatalkan, membredel pameran Yos, sehingga Galnas juga dicap sebagai lembaga representasi rezim yang anti kebebasan berekspresi. 

Inilah yang saya maksud penggorengan isu. Apakah isu ini terjadi secara organik, atau memang sudah di-setting oleh salah satu pihak maupun semua pihak demi tendensi-tendensi tertentu?. Entahlah, saya hanya bisa membedah isu ini dari kacamata saya yang terbatas dalam mengakses data-data faktual seputar isu tersebut secara aposteriori maupun secara a-priori. 

Opsi Penyelesaian Isu: Memilih Jalan Dialog Filsafat Estetika, Jalan Hukum, Jalan 
Populis, atau Jalan Ilegalis 


Tentu kita bisa membayangkan beberapa opsi dalam menyelesaikan isu tersebut. Di antaranya sebagai berikut: 1). Sebagai lembaga yang memiliki standar tertentu dan memiliki hak selektif, maka Galnas berhak menunda, menolak, atau menerima seniman. Jadi, bila telah melakukan dailog filsafat estetika serta negosiasi-negosiasi tapi seandainya memang Galnas menolak, maka secara otomatis seniman tidak bisa berpameran di Galnas/menghadirkan beberapa karya yang telah ditolak oleh Galnas.2). Bila seandainya ditolak tapi seniman hendak memaksakan standarnya kepada Galnas, maka seniman butuh power dalam mengupayakan perubahan standar pada Galnas, entah dengan cara mengajukan permohonan kepada lembaga-lembaga lain di pemerintahan yang menaungi Galnas, menuntut secara 
hukum (bila memang ada delik yang bisa dituntut secara KUHAP), atau dengan cara populis; yakni mempopulerkan isu tersebut, mencari suara masyarakat sehingga masyarakat terdorong untuk melakukan demonstrasi menuntut perubahan standar Galnas. 3). Atau Yos menggandeng lembaga lain yang sepandangan filsafat estetika dengannya, sehingga Yos dapat memamerkan karyanya. Bila pamerannya dengan lembaga lain tersebut dibredel oleh pihak lain; oleh Pemerintah, TNI, Ormas. Maka ia bisa melakukan tuntutan hukum (tentunya bila ada delik KUHAP), dan seterusnya. Hal ini bisa mirip dengan isu Majalah Tempo yang menggunakan sampul dengan desain potret Jokowi di atas bayangan Pinokio yang tidak dibredel oleh siapapun, hanya saja dituntut secara hukum oleh salah satu relawan Jokowi. 4). Memilih hengkang dari dunia seni konvensional/legal, dan memilih jalan ilegalis. Yakni berpameran secara ilegal dengan cara melakukan vandalisme; menggambar di dinding rumah Fadli Zon, di dinding Bandara NYIA, maupun menggambar di dinding rakyat yang tertindas. 

Kesimpulan 


Isu di dunia seni tentu dapat beririsan dengan dunia lainnya seperti dunia politik elektoral. Dari yang awalnya hanya sebagai isu perbedaan filsafat estetika antara seniman, kurator, dan lembaga seni, dapat bergeser jauh menjadi isu politik elektoral. Tentu hal ini dapat terjadi entah secara organik atau sebelumnya sudah di-setting oleh salah satu pihak atau semua pihak. Dan tentu pula dapat dimungkinkan bahwa banyak tendensi-tendensi tertentu di balik adanya sebuah isu (tendensi yang mengarah pada kepentingan kontestasi ekonomi, kontestasi politik identitas, kontestasi politik elektoral, dan seterusnya). Dengan demikian, kita sebagai masyarakat hendaknya dapat selalu berpikir secara lateral (lateral thinking) agar dapat mempunyai banyak perspektif dalam melihat adanya sebuah isu. 

Artinya, kita hendaknya selalu dapat menganalisis secara faktual, mendalam, sekaligus komprehensif. Sebab kita semua adalah individu-individu sebagai subjek yang dapat mempertimbangkan segala hal sesuai dengan pertimbangan personal kita masing-masing dengan barbagai varian perspektif, bukan sekedar sebagai objek yang digunakan sebagai piranti oleh pihak-pihak lain dari luar pertimbangan personal kita sendiri, sehingga mudah untuk dihasut dan diperalat oleh orang lain. Semoga kita semua senantiasa menjadi subjek yang senantiasa mawas-diri. 


BIODATA SINGKAT 
 
   

Mochamad Iqbal Maulana, S.Sn. adalah Alumnus Institut Seni Indonesia Surakarta yang kini 
sedang melanjutkan studi Magister di Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta, kerap 
menulis esai seputar filsafat, sastra, seni, dan menulis pengantar kuratorial dalam berbagai 
pameran diantaranya pameran ExploreARTion: International Conference for Asia Pacific 
Arts Studies (Galeri Prof. But Mochtar, 2024), pameran Nusantara Dwipantara (Galeri 
Sangkring Art Space, 2024) dan seterusnya. Aktif menciptakan karya seni rupa, performance 
art, mengorganisir acara-acara kesenian, serta mengajar seni rupa di beberapa sekolah dan 
sanggar seni. Tulisannya dimuat di berbagai media cetak maupun online, termasuk di media 
zine-alternatif bersama dengan penulis lain (terkadang memakai nama samaran). Beberapa 
karya tulisnya dimuat dalam Distopia (Malaysia, 2023), Artist for Just Peace (Filipina, 2023), 
Southeast Asian Anarchist Library (Internasional, 2023), Der-Einzige: Political Discourse 
(Indonesia, 2023), hingga buku terbarunya berupa antologi esai Institut Sejarah Seni 
Indonesia (Indonesia, 2024) bersama penulis Jim Supangkat, Mikke Susanto, Aminudin T.H 
Siregar, dan penulis lainnya. Dapat dihubungi melalui surel: mochamadiqbal909@gmail.com. 

Ads