Gelaran PTR Hari Kedua: Dari Obrolan di Warung Kopi Hingga Pemakaman Anak yang Tragis -->
close
Adhyra Irianto
29 December 2024, 12/29/2024 10:02:00 PM WIB
Terbaru 2024-12-29T15:02:25Z
Ulasan

Gelaran PTR Hari Kedua: Dari Obrolan di Warung Kopi Hingga Pemakaman Anak yang Tragis

Advertisement

Oleh: Adhyra Irianto


Sejumlah pertunjukan digelar pada Pesta Teater Riau (PTR) 2024 malam kedua, Sabtu (28/12/2024) di Bandar Seni Ali Haji, Pekanbaru, Riau. Gelaran hari kedua ini menghadirkan sejumlah pertunjukan antara lain Teater Rakit Kayangan (Rengat), Teater Tuah Negeri (Rokan Hulu), Amessa Aryana (monologer Riau), Sanggar Bahu Warna (UIN Suska Riau), Teater RT 913 (Rengat), Goeboek Creative (Tapung Hilir), Sanggar Seni 412 (Fekon Unri), Sanggar Seni Seroja (Pekanbaru), dan Madah Tuah Negeri (Rokan Hilir).


Perhelatan hari kedua didominasi oleh pertunjukan aktor-aktor usia belia, mulai dari siswa SMP hingga kuliah. Aktor-aktor "senior" terlihat di pertunjukan Teater Rakit Kayangan dari Rengat, serta pertunjukan monolog oleh Amessa Aryana. Sedangkan yang lainnya rata-rata adalah performer tingkat SMA. Hal ini tentu memiliki nilai plus, sekaligus minus. Plus-nya, ini kabar baik bagi regenerasi seni yang "paling tidak populer" ini. Minusnya, pertunjukan yang dihadirkan rata-rata adalah embrio pertunjukan yang masih butuh waktu dan intensitas latihan untuk pematangan, baik dari segi teknis keaktoran maupun pengemasan pertunjukan secara keseluruhan.


Pertunjukan Sepasang Mata-mata oleh Rakit Kayangan Rengat




Rangkaian pertunjukan dibuka oleh pertunjukan dengan lakon Sepasang Mata-mata, oleh Teater Rakit Kayangan asal Rengat. Empat orang aktor memerankan peran karikatural yang stereotype (dan klise). Peran pertama adalah orang gila yang sejak awal menangis meratapi ketidakadilan hidup (?), hampir mendapat tindakan tidak senonoh dari seorang preman. Peran kedua, seorang preman yang tak lepas-lepas dari minuman keras sehingga terus berjalan dengan terhuyung-huyung. Peran ketiga dan keempat adalah sepasang lelaki dan perempuan yang tidak terindentifikasi siapa dan apa latar belakangnya. 


Di akhir cerita, peran pertama tadi (orang gila) menjadi seorang yang mengelabui preman dengan tipu daya "kecantikannya". Peran kedua menjadi seorang yang tak mampu apa-apa, mendadak hilang mabuk dan terhuyungnya ketika diikat oleh warga. Sedangkan peran ketiga dan keempat, mendadak menjadi dua superhero dalam cerita ini, dengan menangkap preman mabuk dengan tali berbahan kain berwarna merah. Mungkin sutradaranya ingin menciptakan sebuah plot-twist, namun sedikit abai membangun logika cerita. Selain itu, pertunjukan ini didesain berbentuk farce dan beberapa kali menerobos dinding ke empat.


Meski demikian, pertunjukan ini sukses memancing tawa dari penonton karena tingkah ulah para pemeran yang kocak dan karikatural tersebut. Maka, inkonsistensi peran dari empat pemeran itu juga sekaligus menjadi hal yang lucu dan membuat penonton terpingkal. Musik dari pertunjukan ini, menurut saya, bermain aman dengan memilih untuk menjadi musik ilustratif, yang tidak begitu berpengaruh pada suspensi adegan. 


Melihat bagaimana antusias penonton pada pertunjukan ini, sepertinya Teater Rakit Kayangan ini merencanakan apa yang disebut oleh Jean-baptiste du Bos sebagai "manufaktur perasaan". Pertunjukan tidak begitu menawarkan eksplorasi tertentu, atau dialektika, atau mungkin tawaran estetika. Tapi, pertunjukan ini bisa menjadi tawaran "industri" teater, untuk mendekatkan dan "memperbesar" atensi publik umum pada teater.


Pertunjukan Monolog Amessa Aryana




Pertunjukan dimulai dengan gemuruh badai di pinggir laut. Suara aktor berteriak selepas badai, meneriakkan berlalunya amukan badai. Aktor (Amessa Aryana) yang hadir "apa-adanya" menceritakan rencananya untuk mencari tujuan, dan melanjutkan perjalanan, yang terhenti karena badai. Sampai akhirnya, ia melihat sebuah pulau di kejauhan, karena kabut telah tersibak. Ia menghentikan ceritanya, lalu berlalu untuk mengejar tujuan baru, yang penuh ketidakpastian dan keraguan.


Pertunjukan Come and Go oleh Teater Tuah Negeri Rokan Hulu




Lakon pendek legendaris karya Samuel Beckett bertajuk Come and Go dibawakan oleh Teater Tuah Negeri dari Rokan Hulu. Pertunjukan yang sangat lekat dengan tiga orang perempuan di sebuah bangku sempit, dipresentasikan oleh tiga orang wanita menggunakan pakaian serba hitam berhijab. Mantel warna-warni yang biasanya khas ditemukan di setiap pertunjukan Come and Go, diganti dengan seutas pita tali dengan warna yang tak begitu jauh berbeda (biru tua, hijau tua, dan abu-abu). Pencahayaan yang temaram menjadikan tiga warna sebagai pembeda sekaligus penanda dari tiga orang perempuan ini (biasanya diberi nama Flo, Vi, dan Ru) yang hanya tergambar dari tali pita yang tipis, menjadi hilang. Apalagi, warna itu ada di topi lebar yang digunakan dalam kondisi miring ke atas.


Secara umum, pertunjukan ini masih mencari jalan aman dengan gerak yang kaku seperti boneka, dengan sedikit tambahan minor koreografi di awal. Momen dramatis yang biasanya dihadirkan pada bagian sebelum "adegan bergandengan tangan" tidak cukup menghadirkan kontras dengan mood di adegan-adegan sebelumnya yang terkesan jauh lebih lambat dan lebih "sunyi". Rangkaian gerak juga tidak begitu "luwes" dari para aktor menjadikan suasana penuh "misteri" tidak tereksekusi dengan baik. Pun, rasa saling keterhubungan yang dihadirkan lewat simpul tangan khas Come and Go, juga tidak begitu tergambar.


Meski demikian, keberanian untuk membawa naskah legendaris dengan semua beban yang ditimpakan di pundak sutradara dan aktor-aktornya, perlu diapresiasi. Pertunjukan ini mengajarkan untuk mengenali naskah-naskah yang sudah paten, untuk dipelajari dan menjadi sampel penulisan naskah-naskah berikutnya.


Pertunjukan "Berangkat jumat pagi dan tiba siang hari dengan 10 orang" oleh Teater RT 913 Rengat




Satu lagi pertunjukan asal Rengat dihadirkan oleh Teater RT 913. Grup ini menampilkan sisi kesederhanaan, kepolosan, dan kejujuran manusia lewat sebuah pertunjukan. Pertunjukan ini menghadirkan sebuah obrolan di warung kopi, tentang satu grup teater yang bersiap untuk mengikuti festival teater, dan merencanakan pra-produksi. Namun, apa yang dihadirkan benar-benar sebuah obrolan di warung kopi, seperti memindahkan atau memotret keseharian dan menampilkannya di atas panggung. Saya mengerti, keinginan untuk tampil secara "naturalistik", namun terkesan hanya seperti memotret kehidupan sehari-hari dan menampilkan apa adanya di atas panggung.


Sebagai catatan, seni akting bukan bentuk keseharian yang dipindahkan "plek" di atas panggung. Kemampuan akting juga bukan berarti kemampuan meniru (impersonate), atau mengulang suatu kejadian sehari-hari ke atas panggung. Akting adalah montase dari unsur-unsur gerak yang nampak, maupun tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari yang didesain dengan artistik.


Tafsiran terhadap tokoh, juga hal-hal tertentu dalam pertunjukan didesain agar "diperhatikan" oleh penonton. Penyutradaraan penonton berarti memberi rangsangan pada irama ketegangan (suspense) tanpa memaksakan sebuah tafsiran. Karena itu, pemaparan "kebenaran" lewat jalur seni disebut sebagai "jalan keempat" menurut Pyotr Demianovich Ouspensky, yakni memaparkan sebuah pengalaman kepenontonan untuk menghadirkan dialektika. Karena "kebenaran" dalam seni adalah cetusan manusia sebagai respon, dan dialektika yang dihadirkan diharap mampu memberi dobrakan, pencerahan, katarsis, bahkan mendekonstruksi tatanan yang sudah paten.


Pertunjukan Perempuan Obrak-Abrik oleh Sanggar Bahuwarna UIN Suska Riau




Perwakilan dari Sanggar Bahuwarna UIN Suska Riau menghadirkan jerit luka seorang perempuan yang memberontak dari penindasan gender yang berlangsung selama ini. Pertunjukan secara umum menunjukkan apa saja penindasan yang mereka terima dengan embel-embel agama dan budaya, apa yang diderita perempuan terhadap penindasan tersebut, berakhir dengan teriakan protes dari perempuan sebagai tanda perlawanan.


Pertunjukan ini tidak (berhasil) menghadirkan resistensi, tapi (malah) mengejawantahkan "kelemahan" perempuan itu sendiri. Ia menangis dan menjerit sepanjang lakon, sehingga dari perspektif penonton, alih-alih mencoba menerjang penindasan dalam bingkai kata "takdir", justru lebih terlihat seperti kepasrahan dan menjual ke-iba-an untuk mendapatkan simpati.


Satu hal yang unik adalah, naskah ini menghembuskan nafas-nafas feminisme radikal (yang diwujudkan lewat perlawanan perempuan pada penindasan atas objektifikasi gender), namun ditulis dalam perspektif laki-laki. Kemudian, ditafsirkan lagi oleh seorang perempuan. Ideologi patriarki tak sepenuhnya lepas dari perpektif seorang lelaki, sehingga sedikit menjadikan bias perspektif pada "perlawanan" perempuan (yang kemudian digeneralisasi sebagai bentuk feminisme radikal). Sedangkan pertunjukannya menjadi cenderung datar karena telah "digas pol" dengan tangisan dan teriakan sejak awal pertunjukan. Pertunjukan ini, mungkin akan lebih baik ketika dibangun struktur dramatiknya dengan lebih terencana.


Namun, seorang perempuan berusia muda yang "nekat" membawakan pertunjukan ini, secara sendirian, di antara pertunjukan "kolektif" lainnya, menurut saya, bisa menjadi tempat yang tepat untuk mempersiapkan keberanian seorang aktor.


Pertunjukan Cik Apung oleh Sanggar Seni Seroja




Pertunjukan ini membawakan hikayat Melayu lama, tentang seorang bernama Encik Apung yang merupakan gundik dari Sultah Mahmud Mangkat Dijulang. Putra dari raja dan gundik ini yang kemudian menjadi sultan, mewarisi tahta ayahnya.


Sebuah cerita menarik yang ditampilkan secara monolog oleh seorang perempuan muda sebagai aktor (berperan sebagai Encik Apung). Namun, sedikit disayangkan penceritaannya yang cukup flat dan datar. Kemampuan teknis aktor dan (mungkin) persiapan yang tidak banyak, menjadikan kedalaman narasi ini juga tidak tersampai dengan baik pada penonton. Momentum tertentu yang digunakan untuk menghadirkan klimaks tidak begitu berhasil ditunjukkan, sehingga cukup sulit untuk "mendeteksi" mana bagian eksposisi, naik, klimaks, hingga resolusi.


Sisi positifnya, grup ini membawakan sebuah kisah dari hikayat Melayu yang bisa dikembangkan lagi menjadi sebuah pertunjukan yang menarik, sekaligus memperkenalkan kisah-kisah tak terceritakan pada sejarah. Gundik atau selir, jarang mendapatkan tempat utama dari sebuah cerita lama. Selain itu, misi mengenalkan lagi tradisi dan budaya pada generasi muda, bisa tercapai dengan langkah yang diambil Sanggar Seni Seroja.


Ratu Tuli oleh Sanggar Seni 412 Pekanbaru




Secara umum, pertunjukan ini menyiratkan sebuah protes dan (mungkin) perlawanan pada penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, dan korupsi yang dilakukan oleh seseorang yang diberi kuasa. Ratu tuli pun menjadi metafora bahwa seorang ratu (pemimpin desa/daerah dalam cerita ini),  digambarkan "tuli" karena menutup telinga pada penderitaan rakyatnya. Rakyatnya yang menyampaikan aspirasi dan penderitaan, justru menjadikan masalahnya tambah "ruwet" ketika berhadapan dengan si Ratu Tuli.


Sayangnya, kualitas keaktoran masih perlu diperbaiki lewat latihan yang intens. Cerita yang relate dengan masyarakatnya (yang saat ini sangat berkurang rasa percaya pada pemerintah) tidak bisa tersampai dengan baik. Permasalahan yang ditemukan di pertunjukan sebelumnya (membangun alur) juga masih ditemukan di pertunjukan ini, sehingga pertunjukan terkesan datar. 


Rais Domam oleh Madah Tuah Negeri Rokan Hilir




Pertunjukan ini dibawakan dengan bahasa Rokan Hilir, yang (di telinga saya) semacam mixed antara bahasa Melayu Riau dengan Minang. Ceritanya sederhana, serta dibawakan dengan apa adanya, di awali dengan keberanian untuk menghadirkan film melalui proyektor sebelum masuk ke pertunjukan. Strategi bukannya tidak beresiko, buktinya jeda yang hanya beberapa detik dari video (film) ke pertunjukan justru membuat penonton berjarak ke pertunjukan tersebut. 


Rais Domam bercerita tentang Rais yang "kemasukan" setelah terjadi suatu hal padanya. Hal itu membuat emaknya menjadi sedih, lantaran Rais adalah orang yang pekerja keras dan menjadi tulang punggung keluarga. Setidaknya ada dua laki-laki, (diakhiri dengan seorang ustad) yang mencoba mengobati Rais dengan "jampi-jampi".


Beberapa dialog dilakukan bertabrakan, menjadikan cerita yang hendak disampaikan, serta alur yang sedang dibangun menjadi cukup berantakan. Fokus aktor, serta desain pertunjukan yang tidak ditujukan untuk panggung arena juga menjadikan pertunjukan ini menjadi kurang mampu mencengkeram penontonnya hingga akhir.


Sisi baiknya, penonton seakan diperkenalkan dengan kebudayaan dan bentang alam Rokan Hilir lewat pertunjukan yang menampilkan keseharian warga setempat secara polos dan apa adanya.


Bertahan atau Kembali oleh Goeboek Creative Kampar




Pertunjukan ini menceritakan peristiwa meninggalnya anak dari seorang warga transmigran di daerah Kampar, tepatnya dari sebuah desa bernama Cinta Damai. Situasinya dilematis, membuat warga setempat bingung antara tetap bertahan di Kampar, atau lebih baik pulang ke kampung halaman.


Seorang perempuan muda menangis tanpa henti di tengah lingkaran tokoh-tokoh sureal yang berpakaian serba putih-putih. Jalinan antar adegan cukup renggang, serta aktor sentral tak henti meratap dan menangis sejak awal hingga akhir pertunjukan, menjadikan pertunjukan terkesan cukup flat.


Namun, pertunjukan ini bisa menjadi sebuah embrio yang dikembangkan menjadi pertunjukan yang baik ke depannya. Tentu, dengan pematangan konsep pertunjukan dan intensitas latihan yang ditingkatkan.


Kesimpulan


Mayoritas pertunjukan hari kedua memang ditampilkan oleh generasi muda, memberi angin segar bagi pecinta teater khususnya yang sudah berumur. Namun, waktu persiapan yang kurang (terlihat benar di pertunjukan), ditambah dengan latihan yang kurang intens baik latihan dasar maupun rehearsal, menjadikan deretan pertunjukan menjadi kurang mampu menghadirkan "sesuatu" untuk dibawa pulang oleh penontonnya.


Mungkin, bila grup-grup ini sudah menyadari bahwa PTR akan dilakukan secara rutin, maka persiapan karya mereka sudah bisa disiapkan sejak awal tahun, sehingga menjadi karya yang setidaknya sudah melewati "status embrio" ketika dipertunjukkan di depan khalayak banyak.

Ads