Bertolak dari Arsip; Rekaan ‘Kuku Emas’—Memeriksa Ulang Ketaksadaran -->
close
Pojok Seni
11 December 2024, 12/11/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-12-11T01:00:00Z
KritikSeniUlasan

Bertolak dari Arsip; Rekaan ‘Kuku Emas’—Memeriksa Ulang Ketaksadaran

Advertisement
Arsip pertunjukan “rules that change the rules” dikoreograferi Damri Aprizal
Arsip pertunjukan “rules that change the rules” dikoreograferi Damri Aprizal
(Foto: AWE)

Oleh Arung Wardhana Ellhafifie


Hal yang ‘Remeh’; Memori, Bekerja, dan Memeriksa Ulang


Memotret objek yang saya bawa pulang dari pertunjukan dalam program “Tidak Sekedar Tari #89” di Pendopo Wisma Seni TBJT, Jebres, Surakarta, bersama salah satu d antara penggagasnya, Djarot Budidarsono yang bekerja sama dengan beberapa komunitas, seperti Komunitas Wisma Seni, Yayasan Ekos Dance, dan lainnya. 


Bagi saya, tentu saja menyimpan ini adalah hal yang ‘sepele’. Sepele dalam artian sesuatu yang kecil (karena saya sudah biasa melakukannya), lalu membawa saya pada sebuah memori atau lebih tepatnya ingatan dalam kumpulan arsip, ketika saya menyadari bahwa penari itu adalah seseorang yang belum lama saya kenal. Kurang lebih enam bulan yang lalu, yaitu Sekar Tri Kusuma. Padahal banyak arsip yang sudah saya kenal lima tahun sebelumnya. Nama ini menjadi cerita dari kenalan ke kenalan, mulai dari mendapat kiriman foto, kiriman link YouTube, hingga kiriman foto saat duduk di lantai kelas, saat menempuh pendidikan magister di antara foto-foto lainnya, hingga foto profil yang dikirim rekan-rekan lain, membuat saya bertanya-tanya ketika secara tidak langsung diperkenalkan untuk membantu pekerjaan saya - ternyata berhadapan dengan kenangan saya akan sebuah arsip—memunculkan untuk berkeinginan untuk berkolaborasi pada waktu yang tidak dapat dipastikan.


Ingatan akan arsip membuat saya bekerja, lagi-lagi menjadi memori bahwa saya selalu mengarsipkan tulisan-tulisan Maggie B. Gale dan Ann Featherstone, yang menyorot betapa pentingnya sebuah arsip dan sebuah kebutuhan, karena dari arsip kita juga didorong untuk berpikir kreatif. Gale adalah seorang Profesor di University of Manchester, dengan konsentrasi pada autobiografi, catatan lembaga budaya, arsip, drama, dan sketsa, serta pertunjukan. Sementara Featherstone adalah Asisten Riset di Department of Drama and Theatre, Royal Holloway, University of London dan dosen paruh waktu sejarah teater dan budaya populer di University of Manchester, Inggris. 


Connerton: Pengalaman kita tentang masa kini sangat bergantung pada pengetahuan kita tentang masa lalu. Kita mengalami dunia saat ini dalam konteks yang terhubung secara kausal dengan peristiwa dan objek masa lalu. Steedman mengatakan bahwa arsip merupakan rekaman masa lalu dan juga petunjuk ke masa depan.  1


Gale dan Featherstone mengatakan: Arsip – sebagai konsep, sebagai sumber daya, sebagai lokasi, sebagai tempat terjadinya hubungan kekuasaan, sebagai penanda pemisahan sejarah dan budaya serta kepemilikan informasi dan pengetahuan – telah menjadi subjek banyak perdebatan dalam beberapa tahun terakhir, banyak di antaranya berpusat pada pertanyaan tentang siapa yang membuat arsip, untuk siapa arsip dibuat, dan bagaimana arsip digunakan.  2


Pernyataan tersebut sebenarnya mengarah pada sebuah persepsi atau pengetahuan sebelumnya melalui informasi dari kenalan tersebut, seolah membuat saya terus menerus mengarsipkannya dalam ingatan, untuk melakukan suatu pekerjaan; khususnya bagi saya untuk menulis seperti ini. Bagaimanapun, menulis adalah hobi saya, meskipun saya merasa tulisan saya selama ini masih rumit untuk dibaca, tetapi saya juga merupakan bagian dari arsip diri sendiri, yang menciptakan rasa diri dan, dalam sebuah budaya yang didominasi oleh kebutuhan untuk mendefinisikan diri sendiri.


Tulisan ini secara tidak langsung telah menjadi alat budaya untuk mengaktifkan kembali ingatan; mungkin di sini membuat banyak orang memiliki persepsi terhadap saya atas upaya mengaktifkan kembali ingatan tersebut dalam kaitannya dengan arsip, yang ingin saya gunakan sebagai alat untuk mengakses segala macam pengetahuan di masa depan. Termasuk menyelidiki dari ‘kuku emas’ seperti di atas, entah apa namanya, dari segi konseptual dan material, melalui pemahaman arsip di atas, saya juga menggunakannya sebagai alat riset saya. 


Socrates (399 BC), filsuf Yunani Kuno, telah mengingatkan, pahamilah diri sendiri, begitu pula Hans-Georg Gadamer (1900-2002), filsuf Jerman, karena di sana kita akan menemukan koleksi, bangunan, dan konten yang telah terbentuk, serta tersimpan, yang kemudian saya putuskan untuk meriset ketaksadaran personal Dalam konteks arsip; sumber pengetahuan apakah yang Damri atau Sekar ingin terima atau berikan kepada saya? Apa yang ingin saya pahami dari arsip ini; dalam konteks sistem konektif dan operasional yang potensial antara performer/penari, koreografer, dan penonton, yang kemudian saya dilibatkan sebagai partisipan ketika disodorkan ‘kuku emas’ oleh seorang kenalan lain, yang tak lain adalah sahabat Sekar. 


Apa yang akan dikembangkan berdasarkan kesadaran akan apa yang disebut ‘kuku emas’, seperti apa nilai-nilai dan tujuan yang tersembunyi di dalamnya, jika mengacu pada judul yang diajukan. Sebut saja jika saya menerjemahkan aturan-aturan yang mengubah aturan-aturan; yang kini saya ingin coba mengabur-abukan aturan-aturan bermain dengan arsip dan ingatan saya.


Pengetahuan apakah yang tersimpan dalam ‘kuku emas’ itu, yang kemudian menjadi arsip; untuk mendefinisikan, menggunakan, memfungsikan, dan terutama bagaimana arsip itu memberi kewenangan dan lapisan-lapisan pada praktik antara Sekar dan Damri yang membuatnya - seperti penjelasan makna arsip, menurut Steedman dan Derrida dalam tulisan Gale dan Featherstone. 


Lalu jika ingin bertanya tentang hubungan antara arsip dengan kekuasaan, ingatan, dan cara-cara pengetahuan didefinisikan dan dibagikan, apakah Sekar dan Damri sudah memikirkannya? Saya yakin bagi yang menonton; pasti jika membaca tulisan ini di kepala, di mana gambaran performanya? Saya ingin mengubah aturan itu untuk sementara, yang biasanya dilakukan banyak orang meninjau harus detail dari tindakan ke tindakan, tetapi saya membuat dari arsip yang dibawa. Jika saya menggunakan arsip ini untuk ‘menyakiti’ seseorang, arsip ini kemudian menjadi saksi, yang kemudian apa yang seharusnya digunakan sebagai kemungkinan untuk berpikir kreatif, sehingga menciptakan sesuatu yang tidak diinginkan. 


Steedman berpendapat demikian, bahwa arsip yang dibawa ke sini membawa saya untuk menguraikan sesuatu yang lebih luas dari sekadar menguraikan detail alur pertunjukan, yang seperti halnya komunitas pertunjukan di Surakarta, lebih mengutamakan visualnya ketimbang basis risetnya; tidak lagi memperbincangkan asal usul penciptaannya, lagi-lagi ketika dibahas, jarang sekali ditemukan perdebatan ketat - kemudian tak jarang menimbulkan baper; kemudian terjadi ketegangan antarkomunitas, tampak saling bertolak belakang, akhirnya tulisan-tulisan akademisi dipandang hanya untuk kepentingan tugas akhir atau jurnal ilmiah, cukup miris dan dilematis. 


Memasukkan berbagai program juga secara tak langsung menjadi arsip; punya jebakan tersendiri, bias dari sebuah kumpulan sebuah program yang berlanjut lewat pengumpulan banyak poster tiap dua bulan, pengakuan akan signifikansi dari apa yang selalu diikutsertakan, dan seterusnya, sering akhir-akhir ini saya temukan di Surakarta, tak berbeda dengan peristiwa yang saya saksikan di Surabaya, Malang, Jember, Bangkalan, Banyuwangi, Gresik, dan banyak kota lainnya khususnya di Jawa Timur (Jatim). 


Arsip yang saya bawa ini dianggap bisa membawa, membentuk, mengakses, dan menciptakan apa yang berkaitan dengan kebudayaan. Kalau memang kemungkinan itu tidak dipikirkan, kenapa tidak diminta lagi; kalau hanya soal membunyikan seng; di pendopo, sebagian partsipan ‘membunyikan’ seng, kenapa tidak ‘membunyikan’ dari tubuh performer, kenapa tidak ada yang berani ‘membunyikan’ tubuh Sekar dengan ‘kuku emas’? 


Yang nantinya mungkin punya sejarah yang lebih berharga sebagai wacana justifikasi tentang arsip dalam konteks terbuka, khususnya terkait dengan dramaturgi tubuh dan bunyi, yang sepertinya punya peluang ke sana.

 

Sejumlah partisipan ‘membunyikan kuku emas’ ke seng, sebagai tubuh pertunjukan
Sejumlah partisipan ‘membunyikan kuku emas’ ke seng, sebagai tubuh pertunjukan
(Foto: AWE)

Pertanyaan mendasar saya adalah; mengapa mereka memilih seng untuk ‘dibunyikan’? Mengapa bukan lantai, atau tubuh Sekar? Misalnya, jika saya ingin memikirkan sesuatu yang ekstrem; sebagai perubahan dari aturan itu sendiri, jika saya kaitkan dengan konsep arsip; yang mana kemudian tubuh dilihat sebagai penyedia tampilan informasi, yang mana bukan pengetahuan yang utuh jika tidak menghasilkan apa pun; saya terus mengaitkan pertanyaan ini dengan arsip, sebagaimana Sekar memainkan ‘kuku emas’, pada tangannya, yang merupakan perkakas tubuhnya.


Robert Pritchard, Profesor Emeritus di School of Music dan peneliti di Media and Graphics Interdisciplinary Centre (MAGIC) dan Institute for Computing, Information and Cognitive Systems (ICICS) di University of British Columbia, Vancouver, Kanada, mengatakan; Penggunaan tubuh atau citra tubuh dalam konteks artistik memberikan tingkat dukungan atau pertentangan yang berbeda-beda terhadap pesan-pesan artistik, terutama ketika disajikan dalam konteks kesadaran spasial, 3 yang menurut saya juga memerlukan pertimbangan filosofis, teknis, dan spasial yang terinformasi, tentu saja bagi saya sebagai audiens. 


Tubuh memengaruhi seni kita, tubuh memengaruhi cara kita berpikir, dan tubuh memengaruhi cara dramaturgis. Jika kita melihatnya sebagai seseorang yang tidak menanggapi secara langsung, atau kurang tanggap dalam membaca makna, tubuh yang tergambar dalam bentuk konkret dan abstrak pada instalasi seng, maka fokus tubuh nyata yang terlihat dalam diri saya; bagaimana ia berhubungan dengan ‘bunyi’ yang dihasilkan oleh seng; dan tubuh bergerak dengan cara yang secara umum diperlakukan; sebagai hubungan sintetis yang dikendalikan oleh gerakan fisik. 


Eksplorasi tubuh telah memengaruhi persepsi tentang apa yang ada dalam pikiran kita, untuk menghasilkan citra tubuh nyata secara fisik, ketika ditransfer ke dalam gambar atau video, secara tidak langsung telah menghasilkan citra lain, atau dapat disebut meta-tubuh.


Pritchard bilang: Tubuh ‘di luar’ wujud manusia saat ini yang memiliki kemampuan di luar kemampuan tubuh fisik kita saat ini. 4   Saya melihat dalam kasus ini, jika reproduksi pengetahuan yang ingin saya bawa mencakup pertunjukan suara responsif dalam kaitannya dengan tubuh itu sendiri melalui pernafasan, suara tubuh umum, atau suara seng, atau suara apa yang dimiliki pertunjukan itu; dalam setiap gerakan yang dilakukan Sekar. Tepatnya apa yang dikoreografi Damri; untuk mengendalikan ruang. 


Semakin lama saya mempertanyakan ini, tampaknya yang paling dapat saya bawa pulang sebagai pengetahuan, tidak lain adalah pengalaman sonik yang muncul dari ‘kuku emas’ itu dengan suara. Perlu saya garis bawahi untuk mengambil pendekatan praktis, karena seperti yang dikatakan sebelumnya, tidak mudah bagi saya untuk segera menangkap makna dengan cepat, dan hanya dapat mengendalikan respons emosional saya sepanjang pertunjukan, untuk terus memeriksa ulang bahwa ini juga sangat mungkin dikombinasikan dengan dramaturgi suara, seperti yang diusulkan oleh Mladen Ovadija (1947-2019) adalah seorang dramaturg, dosen universitas, dan peneliti yang tinggal di Toronto, 5 dalam hal ini saya lebih menyukai dramaturgi bunyi; yang berkaitan dengan banyak disiplin ilmu.


Kita juga sudah tahu bahwa suara adalah bunyi yang dihasilkan oleh objek-objek material, termasuk diri kita sendiri, yang sudah teridentifikasi dengan jelas; di mana sumbernya, di mana tekanannya, dan di mana alirannya; sedangkan bunyi memiliki makna dari disiplin ilmu seperti fisika, fisiologi, psikologi, dan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal ini saya menggunakan disiplin ilmu dramaturgi yang juga terhubung dengan banyak disiplin ilmu; dalam konteks seng, bunyi memiliki getaran yang ditangkap oleh saya melalui telinga berdasarkan persepsi gelombang oleh otak; identifikasi bunyi seng tentu saja mencerminkan tekanan dari objek-objek lain, melalui ‘kuku-kuku emas’, atau juga berhubungan dengan tubuh Sekar yang menekannya; karena menghasilkan pertunjukan ‘bunyi’ yang khas.


Ovadija bilang: Terobosan dramaturgi suara bukanlah masalah teknik artistik atau keahlian; ini adalah konsekuensi dari pengakuan kaum avant-garde terhadap materialitas suara, revisinya terhadap referensialitas konvensional sarana artistik, dan pembentukan estetika baru yang membahas suara sebagai materi, sebagai bentuk, dan sebagai konstituen independen dari karya seni. Ini bukan lagi pertanyaan tentang bagaimana menghasilkan, melalui suara, sebuah karya seni yang akan mewakili sebuah objek, menandakan sesuatu, atau mengekspresikan ide estetika yang dirumuskan di tempat lain dalam budaya, bahasa, atau teori. 6

 

Tindakan sekar dalam menghasilkan performativitas suara antara tubuh dan seng
Tindakan sekar dalam menghasilkan performativitas suara antara tubuh dan seng
(Dok. Sekar Tri Kusuma)

Di kepala saya mungkin itu ketidaksadaran yang tidak tahu; bagaimana Sekar menangani ‘bunyi’ itu sendiri sebagai performer atau penari, dan seng sebagai objek material di sekelilingnya, bagi saya itu adalah material ‘erotis’ pertunjukan fisik atau ‘bunyi’ yang dihasilkan antara tubuh dan seng. 


Seng sebagai tubuh pertunjukan, atau tubuh Sekar sebagai tubuh pertunjukan, elemen teatrikal lain untuk berinteraksi dengan saya, melalui cahaya, gerakan, ‘kuku emas’, dan desain seng di pendopo. Saya mencoba untuk mendobrak aturan-aturan yang dibuat oleh Damri atau Sekar, ketika material ‘erotis’ ini menjadi semacam arsitektur audiovisual pendopo ketimbang alur yang dibuat, atau sinopsis yang dibuat, yang juga tidak terlalu urgen kalau misalnya tidak disertai sinopsis, kalau saya buat tulisan pengantar pertunjukan sebagai aturan kenapa tidak? 


Pengantar pertunjukan untuk berpikir kritis tentang aturan-aturan yang telah dibuat, tentang sistem yang dibuat, tentang ‘bunyi’ yang dibuat; ini jauh lebih diperlukan sebagai gerakan ‘bunyi’; bukan karena latar belakang penarinya, mesti menari, mengharuskan untuk menari, sama seperti kenalan lain, komposer yang mesti membuat musik di kepalanya, dengan memikirkan akustik, kelas doktoral studi seni, yang tidak lagi berbasis riset dengan mencari apa, akademisi seni; yang tampaknya banyak ditemukan bunyi-bunyian disonan yang tidak layak seperti ini; mesti dibahas, sebagai dramaturgi, yang kritis, tanpa harus dibebani dengan teks-teks ilmiah kontemporer.


Ovadija bilang: Filsuf dan teoretisi seperti Adriana Cavarero, Martin Jay, dan Steven Connor telah membahas paradigma auralitas yang akhir-akhir ini populer dalam wacana budaya postmodern, tetapi belum mengeksplorasi aspek teatrikalnya. Begitu pula dengan kajian-kajian yang baru ini diterbitkan yang dikhususkan untuk analisis mendalam tentang ‘bunyi’ dan filosofi serta estetika aslinya, seperti yang dilakukan Casey O’Callaghan, Brandon LaBelle, dan Salomé Voegelin. 7


Hal ini sudah lama dikatakannya; yang seharusnya digunakan untuk memancing respons emosional atau menciptakan suasana hati secara ketaksadaran daripada secara terang-terangan, memahami “materialitas performatif” yang keduanya memiliki auditori performa yang memungkinkan, daripada tidak sama sekali, membuat saya menebak-nebak maknanya.


Dramaturgi ‘bunyi’ yang saya tekankan pada hubungan antara tubuh, ‘kuku emas’, dan seng; sebagai ‘bunyi’ yang merepresentasikan unsur nonfiguratif, cukuplah ikut serta dalam bentuk sinestetika—yang dapat didengar pada tegangan setiap objek material; dan bunyi di atas pendopo melalui tindakan para partisipan merasakannya sebagai daya tarik indrawi yang ditimbulkan oleh gerakan udara yang berasal dari berbagai sumber; tidak hanya tubuh kita, melalui seng atau ‘kuku emas’ yang digunakan.


Mungkin dalam hal ini saya berbeda dengan Ovadija, yang melihat suara secara lebih luas, tetapi bagi saya, ‘bunyi’ yang didengar menghasilkan pengetahuan yang beragam tentang kedalaman sistem yang dipertanyakan, kedalaman aturan yang diragukan, sebagai ‘bunyi’ yang kabur; dan setiap partisipan membuat aturannya sendiri; jika saya tahu bahwa penari itu adalah Sekar, saya akan membuat aturan saya sendiri dengannya, dengan melakukan tindakan ekstrem, saya ‘membunyikan’ tubuh saya dengan ‘kuku’ emas di depannya; sebagai tujuan penanda menuju cakrawala makna yang lebih luas di masa depan.


Sayangnya, saya memasukkan aturan yang disepakati oleh sekelompok partisipan; dengan suara seng. Jika saya berdamai dengan tubuh, sebagaimana suara secara otomatis mengasumsikan keterlibatan emosional dan kognitif yang lebih besar dari para pertisipan yang terlibat di pendopo, pencelupan sensual masing-masing ke dalam tubuh yang ‘dibunyikan’ untuk masuk ke dalam peristiwa dan refleksi masing-masing. 


Kita harus membuat aturan sebagai kesatuan dialektis yang berlawanan, dibatalkan oleh serangkaian dikotomi yang terus diperbarui, suara/makna, ucapan/bahasa, waktu/ruang, tubuh/indra, pertunjukan/teks, yang harus diperiksa; dengan lapisan-lapisan masalah saat ini, ketika kita mengatakan kontemporer dengan munculnya masyarakat yang progresif, tetapi banyak yang mengutamakan suara masyarakat, tetapi tidak benar-benar representasi. 


Saat ini kita memiliki cukup banyak masalah dengan aprioritisasi dan representasi masyarakat tertentu, meskipun kita hidup dengan masyarakat; karena suara mereka tidak benar-benar terdengar, suara pertunjukan jarang ditemukan “di sini dan saat ini” atau kini, subjek diskusi yang intens dalam sejarah avant-garde, atau jika Anda menyebutnya masyarakat kontemporer, atau saya katakan itu tampak urban. Seringkali yang disuarakan adalah bentuk pertunjukan dan maknanya, yang kadang kala pencarian maknanya juga tidak jelas bagi masyarakat di luar kita.


Kita lebih banyak bicara omong kosong, melamun, bicara seni dan masyarakat, kita punya masalah dengan dua hal ini; representasi dan aprioritisasi, ‘membunyikan’ tubuh sebagai puisi, ‘membunyikan’ seng sebagai puisi, ‘membunyikan kuku emas’ sebagai puisi, untuk mengikat dramaturgi; menurut saya perluasan perspektif memberikan dasar konseptual bagi pengembangan apa yang hendak ‘dibunyikan’, jika dramaturgi hendak dipahami sebagai sebuah kerangka, sebuah sistem berpikir dari mana ke apa, dan ke mana, lalu untuk apa, lalu bagaimana, yang sebenarnya mudah dikatakan; hanya untuk kepentingan artistik.


Jika saya mengubah artistik, itu bukan lagi sesuatu yang berharga untuk dibicarakan dalam sebuah pertunjukan lalu melaporkan hasilnya; apakah kita masih peduli dengan material atau objek material yang dihadirkan, suara, tubuh dalam konteks pertunjukan ini, daripada artistik yang selalu berurusan dengan makna. 


Patrice Pavis dalam Ovadija berpendapat bahwa materialitas tanda-tanda pertunjukan muncul ketika kita merasakan berbagai daya tarik indrawi yang bekerja sama dengan penanda tanpa ada upaya untuk mencapai apa yang ditandakan. Sebagai penonton, saya lebih menikmati fisik penarinya (sebelum saya tahu itu Sekar, kalau saya dari awal kenal Sekar, mungkin saya tidak akan kepikiran, daripada sulit menerima ilmu yang saya masukkan ke pikiran), tekstur ‘bunyi’ seng, ‘kuku emas’, musik, dan warna kostum, juga irama yang keluar dari pendopo, saya coba nyatakan bahwa saya lebih menikmati ‘erotisme dalam aksi teatrikal’ sebagai wacana kritis saya tanpa berusaha mereduksi pertunjukan menjadi serangkaian tanda.

 

Tubuh yang memiliki potensi ‘bunyi’ ketimbang alur pertunjukan yang diciptakan
Tubuh yang memiliki potensi ‘bunyi’ ketimbang alur pertunjukan yang diciptakan
(Dok. Sekar Tri Kusuma)

Nah, perhatikan gambar di atas, persepsi ‘bunyi’, dan ‘bunyi’ (yang tidak lagi mesti vokal) menurut saya telah mendapatkan kembali nilai strukturalnya melalui aturan-aturan yang mesti diubah dari aturannya sendiri; dalam hubungan yang sinergis dengan gerakan, cahaya, dan elemen-elemen panggung lain dari sebuah pertunjukan. 


Menurut saya daripada mencari muatan makna yang cukup rumit, yang lebih mengesankan bagi saya; bagaimana memadukan metode-metode kerja dalam menyilangkan sensasi pendengaran dan penglihatan, sebagaimana Sergei Eisenstein juga memahami metodenya tentang “attraction montage,” di mana ‘bunyi’, gerakan, ruang, dan suara tidak saling mengiringi tetapi berfungsi sebagai elemen-elemen yang sama pentingnya.


Dalam pengalaman teater Kabuki yang digambarkannya, Eisenstein mengibaratkan penonton sebagai seseorang yang merasakan getaran cahaya sebagai suara, dan getaran udara sebagai warna; yakni, ia mendengar cahaya dan melihat suara. 


Robert Wilson dalam Ovadija, membebaskan kita dari mendengarkan kata-kata, yang dalam hal apa pun tidak bermakna, dan mendorong kita: “Nikmati saja pemandangannya, tatanan arsitektur dalam ruang dan waktu, musiknya, perasaan yang ditimbulkannya.” 


Saya mau bilang: Dengarkan gambar-gambarnya! Tatanan ini membuat saya mendengarkan suara tubuh penari; yang sebelumnya tidak pernah diduga adalah Sekar, sebagai pengalaman melihat tubuh yang memiliki suara yang kuat, seolah-olah diatur terus-menerus, melalui telinga bagian dalam saya, volumenya berangsur-angsur meningkat ketika disilangkan dengan suara seng; menurut saya di sana kita harus melihat sensori tubuh, langkah kaki, atau punggung yang diseret oleh tubuhnya sendiri di permukaan lantai; suara inilah yang memberi peluang untuk menyatukan disiplin ilmu lain, jika dipahami sebagai dramaturgi, jika ingin membuat aturan yang berbeda; sistem praktisi dan akademisi di Surakarta tampaknya bekerja sebelas dua belas, karena konektivitas hanya untuk merayakan dan terus memelihara eksis, hanya pada level itu.


Dramaturgi bunyi sesungguhnya; tepatnya menggunakan keajaiban ‘bunyi’ apa pun yang kita lihat sebagai melodi instrumen, pemahaman intelektual yang benar-benar dipahami, dan kenikmatan respons emosional yang disebabkan oleh hubungan formal sebuah karya. Saya kira inilah yang terlewat untuk ditingkatkan dalam memiliki sifat ekspresif, perluasan seni sonik kita untuk mencakup tubuh fisik atau yang digambarkan memperkenalkan berbagai elemen ke dalam pertunjukan di ruang mana pun.


Elemen-elemen baru ini terkait dengan bagaimana pengalaman sonik dan visual disajikan tanpa masalah dengan representasi dan aprioriasi, dan bagaimana pengalaman tubuh; selama ini cenderung semacam itu, tujuan kuliah seni kita kadang-kadang hanya dibayangi dengan menjadi akademisi (pengajar), yang sempat terlintas di benak saya; meskipun jelas, saya nyatakan bahwa lembaga seni memiliki banyak masalah jika ingin diperiksa ulang, jika ingin dibuka secara gamblang, jika ingin diperdebatkan secara logis. 


Pasalnya, dramaturgi ‘bunyi’ ini terkait dengan presentasi pengalaman tubuh sebagai sumber ‘bunyi’ tunggal atau jamak, perubahan sistem, perubahan aturan juga ditentukan oleh diri kita sendiri, jika kita terus mempertanyakannya lagi. Ekspektasi dan pengalaman audiens sebelumnya sangat sulit untuk dipengaruhi atau dilawan, inilah yang penting untuk digaris bawahi bersama, itulah mengapa saya menulis asal-asalan; saya hanya ingin bergerak pada level respons empatik terhadap apa yang dihadirkan dan direpresentasikan oleh tubuh fisik, tubuh pertunjukan, dan tubuh ‘bunyi’. 


Bagi saya, penggunaan tubuh nyata ini, karena yang paling menarik pada dirinya sendiri, tidaklah menarik bagi yang lain, istilah menarik bagi saya tetap bias. Apa yang saya katakan menarik, belum tentu menarik bagi yang lain, karena terkadang saya abaikan istilah ini, yang mungkin kita butuhkan sebagai pengetahuan; jika tidak membutuhkan, saya tidak memaksakan diri, untuk mendukung ide-ide artistik yang ingin saya gali dan ekspresikan. 


Interaktivitas melalui ‘kuku’ emas dan seng, hanya menghasilkan ‘bunyi’, yang kemudian saya ikut memukul-mukul seng tersebut, lalu setelah itu, saya tuliskan semacam ini; Bagi saya berdiskusi dengan diri saya sendiri, bagaimana tubuh dengan ‘bunyi’, ‘kuku emas’ dan seng dengan ‘bunyi’, atau sistem, atau aturan dengan ‘bunyi’, tak lain adalah kesadaran saya akan ruang ini untuk berdiskusi, ini juga kelanjutan dari citra tubuh teks yang menggugah pikiran tidak nyaman saya.


Saya merayakan ketidaknyamanan ini dengan menulis; efek dari pencarian berbagai konten yang jauh melampaui arsip yang saya miliki. Meskipun saya cukup memahami bahwa semua arsip tunduk pada keterbatasan dalam hal bias ideologis, ekonomi, kualitas, dan geografi, dan keterbatasan ini membuat saya mendefinisikan ulang studi arsip; ini tidak lain adalah bentuk budaya menulis saya dalam kaitannya dengan ketidaksadaran personal; banyak kemungkinan, masalah, dan praktik yang tersedia selalu memberi kesan ‘serangan’, ‘godaan’, ‘kekaguman’, atau semua itu bisa berbalik ketika dipertanyakan lagi, bukan? 


Pertunjukan ini melalui arsip yang saya bawa; tidak lebih dari sekadar dramaturgi ‘bunyi’ untuk mendokumentasikan pertunjukan tubuh, seng, ‘kuku emas’, dan pengalaman koreografer tentang sistem, atau aturan yang dihadapinya. Bagaimana “di sini dan saat ini”, di Surakarta, dengan cara saya memperlakukan, bagaimana saya menggunakan arsip ini, baik sebagai catatan yang tidak berharga, karena mungkin juga tidak diperlukan, karena akademisi/pengajar hanya untuk mereka yang sudah ada di sana, seolah-olah kerja keras hubungan kekuasaan; Keadaan ini menjadi bukti sahih tentang kondisi budaya yang sesungguhnya ‘tidak sehat’, hierarkis, hanya memikirkan circle, yang dapat disosialisasikan dalam hitungan jam.


Wajah pelaku budaya masa kini dapat dilihat dari pertunjukan ini, tentang bagaimana bahan-bahan arsip dilepaskan begitu saja, tanpa harus merisetnya ulang dengan mengidentifikasi dan menegosiasikan lapisan-lapisan arsip tersebut. Hubungan antara lapisan ini - strata pengetahuan - dan transaksi antara lapisan dengan fondasi pengetahuan baru yang tercipta dari proses riset saya, tentang ketaksadaran personal, yang kemudian dikaitkan dengan arsip-arsip yang telah lama saya simpan untuk dibuka ulang dan akan diuraikan dalam subbab berikutnya, yang mungkin tidak ada kaitannya dengan pertunjukan di atas; tetapi masih dapat dikaitkan dengan aturan.


Aturan yang terpenting bagi saya saat ini adalah mendekati arsip sebagai fenomena budaya. Arsip bisa bersifat inklusif dan eksklusif, juga personal, karena dalam hal ini saya ingin mengkritik diri sendiri atas cara mengidentifikasi asal-usul, akar kata arsip sebagai tempat atau domisili penyimpanan dokumen atau teks resmi oleh mereka yang berkuasa secara sosial dan politik, kata Derrida, seperti itu. 


Saya juga memaknai ‘kuku emas’ ini sebagai tanda kekhasan performer ataupun koreografer, yang telah diberi kesempatan untuk memanifestasikannya dalam teks yang tidak jelas ini, juga sebagai dramaturgi ‘bunyi’; apa sebenarnya yang ingin ‘dibunyikan’ dalam tubuh saya melalui arsip yang berkelindan dengan arsip sebelumnya ini?


Sekar X Sinker: Fatamorgana—Menghubungkan dengan Ketaksadaran Personal

 

Tangkapan layar yang disimpan dalam memori hape;  tanpa tahu menulis apa nantinya
Tangkapan layar yang disimpan dalam memori hape;  tanpa tahu menulis apa nantinya
(Sumber: YouTube Sekar Tri Kusuma)

Ini sebagian merupakan arsip berbasis teks yang direalisasikan, dari tangkapan layar yang tersimpan, pengalaman penonton, dan jejak pertunjukan yang membuat saya menyediakan akses ke banyak hal. Saya sangat yakin demikian, karena sejak awal saya sudah memiliki strategi interpretatif. Bagaimana saya memaknai arsip video yang terdapat di kanal YouTube tersebut, juga merupakan bagian dari konstruksi sejarah yang telah dilakukan Sekar melalui “Fatamorgana” yang dipublikasikan setahun lalu; juga terkait dengan bagaimana menelusuri sejarah kerajaan di Nusantara. 


Yang kemudian memunculkan gagasan feodalisme dan hierarki - yang telah saya sebutkan di atas, bahwa “di sini dan saat ini”, di Surakarta, relasi kuasa begitu rumit. Keterlibatan sosial membentuk bagian personal, secara tidak langsung dari ketaksadaran, yang terus masuk ke dalam circle; siapa saja yang mungkin bisa menemani ngopi, makan siang, makan malam bersama, hingga nongkrong bersama, hingga traveling bersama, di situlah hierarki itu terjadi; telah menunjuk pada potensi arsip untuk memikat dan menwarkan kita, dengan ‘daya tariknya’, serta merekam posisi masing-masing. 


Tubuh juga tidak bisa berbuat banyak dengan cara kita memahami masa kini dan mengonseptualisasikan lewat ruang sosial, bagaimana hubungan antara praktisi dan akademisi, yang lagi sama ‘bekunya’ dengan situasi sosial, turut berpartisipasi dan ini berkontribusi pada proses pembuatan makna kultural, yang makin pelik.


Tokoh juga ibarat raja dan ratu yang menjadi arsip dari ‘tubuh beku’ mereka sendiri; atas keistimewaan masing-masing, seolah saling membenarkan tanpa katalis di antara mereka, sehingga tidak ada katalis yang berfungsi sebagai dokumen; menjadi akses untuk mengidentifikasi secara relevan. Siapa yang akan berfungsi mendokumentasikan atau menggerakkan ‘kebekuan’ ini; dari sikap intelektual dan metodologis terhadap materi tubuh yang ditanggapi Sekar?


Arsip Sekar; juga tidak memiliki pengaruh apa pun, termasuk ini nanti, hanya obsesi menulis yang tersembunyi di balik ketaksadaran personal. Sering terjadi, di balik tubuh, narasi kita, selalu terdengar di telinga kita tentang kata-kata; termasuk apa yang dikatakan, ini adalah serangkaian kalimat, ini adalah fakta, tanpa harus menelusuri dari mana datangnya segala macam pernyataan itu (sebagai modal eksistensi) atau eksistensi kita dalam sebuah ruang yang punya nilai khusus - yang senantiasa terjalin di dalamnya jiwa kita seutuhnya - tempat kita bertahan hidup, perlahan menelusuri jiwa kita sendiri.


Yang dibutuhkan dalam survive penjelajahan jiwa kita sendiri; hari ini kita mesti memberi tanda, titik atau koma, kalau titik apa yang harus dilakukan, kalau koma ya apa yang harus dilakukan. Misalnya, kalau titik, tentu dibutuhkan untuk menyela fakta-fakta lewat ketaksadaran kita. Kalau misalnya kenyataan hari ini bekeliling antarbenua; kita punya survival yang lebih baik melalui tubuh, sebagai diri yang ada - di mana ide tentang pekerjaan itu (sejarah manusia dan tubuh kita), tidak bisa dikendalikan, malah kita jadi ‘budak’ gangguan-gangguan dari tubuh kita sendiri. 8


Lingkungan sosial yang terbentuk juga menjadi penanda yang jelas, siapa tentang diri kita; jika kita bertindak dalam tulisan tanpa menggunakan telinga kita secara terbuka; yang ada hanyalah perasaan yang berbeda yang dibawa dari ketaksadasaran, membuat kejiwaan kita makin krisis. Menurut saya respons tubuh Sekar; membawa pada kesadaran akan kelemahan tubuh terhadap penandaan, objektifikasi, dan dehumanisasi tubuh; jika saya belum siap untuk mengambil keterlibatan sosial yang mana, atau peristiwa yang mengikat setiap momen dan mengobjektifikasi tubuh lebih jauh. 


Saya sampai detik ini, melihat lingkungan lembaga seni, yang selama ini dianggap terlibat erat dari beberapa personal, hanya terletak pada penciptaan empati dan pemahaman atas apa yang dialami tubuh dan pikiran. Kita tidak berada dalam lingkaran mereka yang harus makan siang dan makan malam bersama, tubuh melalui citra lain di hadapan Sekar dengan pajangan komentar - yang juga sekadar, bukan komentar kritis, hanya semacam ‘uji coba’ hore-hore (untuk berkomentar agar terlibat eksis dalam karya Sekar), tanpa melihat bahwa yang utama sebenarnya adalah krisis.


Krisis ini dipertahankan dalam ketaksadaran personal; tetapi melihat gambar tanpa ‘suara’, atau yang lebih spesifik ‘bunyi’ menghilangkan sebagian besar dampak emosionalnya. Karena tidak ada ‘suara’ (padahal ada suaranya), karya seni yang murni visual menjadi klinis atau ‘sakit’, tidak emosional, dan gagal menggerakkan kita dengan kuat pada sebuah lingkungan tertentu—bukan mengacu pada karya (tak punya hal saya untuk menilai gagal dan berhasil, itu juga tidak berarti bagi saya). Setiap individu juga tidak dapat menolak untuk menerima keterlibatan sosial semacam ini, yang tentu saja tidak ingin mengalami pergeseran dalam menyusun fakta dan membangun ‘kebenaran’ dari fakta sosial yang kompleks ini.


Dalam penamaan arsip sebagai tempat kekuatan kita, sebagaimana setiap tokoh atau katakanlah orang yang ada di lingkungan kita; juga menunjuknya sebagai penanda hasrat ‘gairah’ sang sejarawan untuk mencari asal muasal, dan kita menjadi arsip lingkungan yang telah menjadi demikian; maka apa yang mesti dilakukan di masa depan, kecuali tidak sekadar menyambut apa yang ada di masa kini; sebab juga tidak tahu makna masa depan, sebab krisis dalam lingkungan sosial itulah daya tariknya. 


Bagi saya, tubuh Sekar dalam karya Damri dan tubuh dalam karyanya sendiri; dalam “Fatamorgana”; pada dasarnya adalah kritik yang mempertanyakan lingkungan sosial, keterlibatan sosial, mempertanyakan ulang keterlibatan lingkungan terdekat? Apakah riset ini yang dapat ditarik adalah bahwa riset berbasis arsip menuntut kesadaran akan tugasnya dan ketaksadaran personal?


Sama saja dengan saya yang masuk ke dalam arsip ini, lalu suatu hari saya ceritakan kepada Sekar kesan-kesan orang lain terhadap saya, itu juga bagian dari arsip yang ada jebakannya, karena saya memaknai arsip secara radikal, sudah tahu konsekuensinya bahwa tidak ada arsip yang terbebas dari ideologi atau gejolak ekonomi, sosial, dan budaya dalam pembentukan dan pengoperasiannya, begitu pula isinya yang tidak stabil. 


Apalagi isinya hanya bersifat remeh dan personal, apa yang disimpan dan apa yang ditambahkan oleh saya, tetapi juga ditentukan oleh proses pemaknaan oleh saya. Rata-rata, sebagian besar apa yang ada di dalam arsip tidak pernah dibaca atau diriset; baru diberi makna melalui pemeriksaan dan pendefinisian.


Dengan kata lain, arsip dalam hal ini terkait dengan tubuh, tergantung siapa yang memilih untuk memanfaatkannya dan dengan cara apa, serta konteks apa ia dimanfaatkan. Saya bekerja bukan berdasarkan tubuh, bisa juga dikatakan dari arsip, melalui proses penyusunan dalam cara bahan-bahannya bersumber, dikumpulkan, dinilai, dianalisis, dan diarsipkan ulang. Bagi saya, realitas dari kedua jenis pertunjukan ini, bagian yang menuntut pemahaman tentang bagaimana arsip itu sendiri bekerja dan apa fungsi budayanya.


Relasi kuasa, lingkungan praktisi, dan lembaga seni “di sini dan saat ini”, semacam pengetahuan atau pengumpulan bukti untuk tujuan mendestabilisasi, mengatur ulang, atau mengkonfigurasi ulang posisi atau perspektif historis sering kali menjadi akar dari pekerjaan periset dalam arsip. Saya telah menyatakan ketaksadaran personal ini, pada kenyataannya kita berada dalam lingkungan sosial yang ‘berbahaya’, di antara para praktisi dan akademisi, tidak lagi sepenuhnya memahami posisi ideologis mereka sendiri dan mengenali bias ideologis yang beroperasi dalam arsip yang mereka gunakan.


Dengan cara ini saya juga menggunakan tubuh untuk melihat, kemudian saya membekukannya sebagai arsip, Sekar juga menggunakan tubuhnya yang kemudian dibekukannya di media sosial; pertunjukan dengan demikian, arsip menciptakan kemungkinan untuk mendefinisikan budaya, seperti apa budaya itu dan bagaimana ia dapat dibaca dan dipahami. 


Dia menunjukkan bahwa informasi dalam arsip bukanlah ‘massa tak berbentuk’ yang bisa ‘menghilang karena kecelakaan eksternal’, tetapi bahan arsip disusun berdasarkan berbagai hubungan, dipelihara atau ‘dikaburkan’ menurut keteraturan tertentu. Jadi aturan mana yang tidak mengatur, Damri? Serasa saya bertanya pada sebuah bus transportasi yang sering ditumpangi, padahal Damri Aprizal; apa yang membedakan wacana dalam berbagai keberadaannya dan menentukannya dalam durasinya sendiri?


Terakhir, dalam konteks arsip, dalam kaitannya dengan titik tolak; menurut saya keterlibatan sosial membentuk personal sebagai cara melihat paradigma untuk mendefinisikan wacana lingkungan sosial, menurut saya bisa melalui sejarah dan arsip itu sendiri, serta mengidentifikasi ‘wacana-wacana tersebut sebagai praktik yang mematuhi aturan-aturan tertentu’ dan ‘mendefinisikan wacana-wacana di kotanya masing-masing’, tepatnya saya di Surakarta atau di kota-kota pelabuhan saya berikutnya.


Pernyataan tentang non-objektivitas arsip bisa didukung oleh keterlibatan kita sebagai kekuatan sosial dan historis yang terkait dengan ion-ion yang terkandung dalam paradigma kita masing-masing; sejauh mana tubuh dan arsip kita menghasilkan kritik terhadap bias relasi kuasa, yang telah lama terbuai (ninabobo), seakan-akan jika hanya datang dari seorang yang bukan siapa-siapa; sebuah keniscayaan, kecuali jika energi muncul secara masif dari kolektivitas akar rumput, tetapi pada kenyataannya masyarakat institusi seni sebagaimana “di sini dan saat ini”, serumit orang-orang yang sedang mengalami krisis dengan dirinya sendiri, khususnya saya sendiri; yang terkesan acak dan ‘semena-mena’, juga kurang rentan terhadap bias. Bias ideologis, sosiologis, dan politis terhadap sistem aturan yang berlaku memengaruhi pilihan yang tampaknya sederhana sekalipun; lebih memilih untuk mundur ke tempat ‘yang jauh dan gelap’, sebuah rute yang paling dapat dipahami oleh tubuh kita sendiri, karena tubuh Sekar bergerak dengan gerakannya yang menciptakan kekuatan lain. Hmmm!


Referensi:

(Tekan ↩ untuk kembali ke teks di atas.)

[1]Baz Kershaw and Helen Nicholson (ed.). 2011. Research Methods in Theatre and Performance. Edinburgh: Edinburgh University Press. 
Baz Kershaw seorang Profesor di Warwick University, UK. Konsentrasinya tidak lain banyak membicarakan teater ekologi atau pertunjukan ekologi. Sedangkan Nicholson seorang Profesor di University of Cambridge, UK. 
[2]Ibid 
[3] Markus Hallensleben (ed.). 2010. Performative Body Spaces Corporeal Topographies in Literature, Theatre, Dance, and the Visual Arts. Amsterdam - New York: Rodopi B.V.⁠ 
[4] Ibid. 
[5] Mladen Ovadija. 2011. Dramaturgy of Sound in the Avant-Garde and Postdramatic Theatre. Toronto: McGill-Queen’s University Press. 
[6] Ibid. 
[7] Ibid. 
[8] Jacques Lacan. Seminar 12: Wednesday 21 June 1972.

Ads