Tentang Rindu: Sebuah Tulisan Pendek dari Event Bubabah -->
close
Pojok Seni
04 November 2024, 11/04/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-11-04T01:00:00Z
eventUlasan

Tentang Rindu: Sebuah Tulisan Pendek dari Event Bubabah

Advertisement


Oleh: Putra Agung*


Musik merupakan alam yang luas nyaris tanpa tepi dan batas. Keluasannya ini membuat imajinasi, inspirasi serta kreasi musik menjadi begitu beragam, penuh lompatan bahkan terkadang sukar diterima telinga.


Masyarakat awam (termasuk saya, barangkali) lazim dan terbiasa mendengarkan lagu yang hasil produksi kapitalistik yang bersifat easy listening dan simple chord. Produk musik yang seperti ini dipastikan diterima secara masif oleh masyarakat meskipun kebanyakan tidak memiliki kedalaman ideologi dan spiritualisme musik dikarenakan orientasinya bersifat industrialistic, fame and money.


Selain itu, secara musikologi biasanya lagu yang lahir dari rahim kapitalistik cenderung memiliki pattern melodi yang sama atau chorus yang mirip, rhyme yang berulang serta tema yang klasik; tentang kisah-kasih cinta.


Keberadaan musik produk kapitalistik adalah sebuah kewajaran, tak perlu diperdebatkan dan memang harus diterima sebagai elemen normalitas aktifitas kehidupan manusia. Disisi lain, saudaranya yaitu musik non kapistalistik -idealnya- juga mesti kita dengar, nikmati dan apresiasi.


Dan saya adalah salah seorang manusia beruntung yang kerap bisa menikmati produksi non kapitalistik dari berbagai platform, karya kolega atau kerabat hingga master pieces Guido D’Arezzo.


Termasuk Sabtu sore ini (2/11/2024), saya diberikan keberuntungan dan keberkahan dari Allah SWT dapat menikmati dua sajian musik yang bersifat non industrial yang disajikan dua komposer muda Lampung, Rayen Putra dan M. Taufiq, dalam event independen bertajuk Bubabah: Forum Komposer.


Ditemani satu setengah gelas kopi dan dua pisang rebus beriring senyum istri dan anak tercinta, dahaga batin diobati dengan syahdu lewat petikan gambus, gesekan biola dan hembusan akordion yang mengalun menghangatkan silahturahmi para pekerja seni yang didominasi oleh masyarakat Polim dan sekitarnya.

 

M. Taufiq bersama kompatriotnya Rio memulai kesyahduan senja dengan lagu berjudul Open Source. Sebuah lagu yang dalam interpretasi saya sebagai bentuk teriakan lembut Taufiq terhadap pengaruh buruk teknologi dan AI dalam seluruh bidang kehidupan manusia, termasuk dunia musik.


Hari ini, orang segoblok saya sekalipun dengan bantuan AI bisa menciptakan lagu, membuat lirik, menggambar notasi, memproduksi album, mendirikan label hingga mengkopi dan merevisi ulang musik tradisi yang ironisnya luber dengan code of conduct.


Karakter petikan gambus Taufiq yang lembut dengan struktur melodi yang terdengar antesenden-konsekuen seakan ingin menyampaikan kerinduannya untuk bermusik dengan rasa, bercengkrama dengan matahati dan berproses secara manusiawi tanpa takut dibayangi kecanggihan teknologi.


Melalui lagu yang berdurasi sekitar empat menit ini, Taufiq seakan mengingatkan tentang sisi gelap teknologi yang bisa membuat kreatifitas manusia menjadi tumpul, enggan untuk berinteraksi, pemalas berburu ke puak-puak tradisi dan angkuh melakukan kalibrasi penciptaan. Semuanya secara pragmatis kita selesaikan melalui teknologi AI yang bersifat open source: sebuah pasar bebas untuk manusia tolol menjadi jenius dadakan.


Jelaga rindu dipertebal dengan sajian kedua yang ditampilkan Rayen Putra yang diiringi dua karibnya M. Rizki dan Pedro. Lewat lagu yang bertajuk Sampai, Rayen dengan tulus mendedahkan rasa cinta, rindu sekaligus permohonan maafnya kepada ibu yang kerap kami sapa dengan panggilan Eyang.


Pergulatan peristiwa, konflik dan ungkapan perasaan ia tumpahkan melalui pilihan modulasi yang terasa haru dengan metrik yang bersifat repetitif. Rayen secara sederhana namun tak biasa berusaha jujur menyuarakan permohonan maaf sekaligus mimpinya untuk bisa membahagiakan Eyang.


Suara biola dan akordion mampu saling menimpali sekaligus mengisi secara padat ritme musik yang dihadirkan dan seakan-akan menggambarkan celah hati Rayen yang selalu rindu dengan nasehat pun petuah Eyang.


Dalam pertunjukan singkat itu, ia diberkati karena Eyang hadir langsung mengapresiasi lagu yang diciptakannya sehingga musik yang dihasilkan terdengar indah tanpa harus diindah- indahkan; sampai ke tujuan tanpa ada dipaksakan.

 

Saya pun terpaksa pulang karena ada tamu yang datang sehingga tak bisa mengikuti diskusi paska pertunjukan. Sebagai tamu yang telah diundang, sepuluh jari disusun seiring satu kepala saya tundukan memohon maaf karena tak bisa membersamai hingga tuntas.


Terima kasih kepada event Bubabah yang digawangi Risendy Nopriza, Bian Pamungkas dan Agung Hero Hernanda telah memberi ruang seni, berbagi inspirasi dan mendengarkan.

Sebagai penikmat, saya berharap Bubabah konsisten hadir menjadi salah kantong kreatifitas yang bisa saling pandai-memandaikan.


Selain itu, saya secara pribadi, saya memiliki pengalaman batin yang baik dan hangat dengan kedua komposer muda Lampung ini. Mereka pernah membantu saya secara terpisah dalam sejumlah karya danceteater yang diproduksi oleh DAAL dengan totalitas bantuan yang luar biasa. Rayen maupun Taufiq adalah secuil potret anak muda yang hebat sekaligus layak mendapatkan rasa hormat secara profisiat.


Terima kasih adik-adikku sudah membahagiakan hati saya dan masyarakat Polim. Jadilah legenda, bukan sekedar cerita. //salamngopi/ (***)


*Putra Agung merupakan sutradara, dramaturg dan juri seni pertunjukan bersertifikasi resmi dari Badan Sertifikasi Profesi Kebudayaan Kemdikbudristek RI. Saat ini menjabat sebagai direktur program di kelompok seni DianArza Arts Laboratory (DAAL), brand ambassador Art Calls Indonesia (ACI) serta pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Prov. Jambi.

Ads