Advertisement
Wanda (di tengah) sebagai pemeran tokoh Pria Berpayung dalam lakon "Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen" |
Oleh: Wanda Rahmad Putra
“Seseorang yang tidak pernah hidup di saat yang tepat, bagaimana mungkin bisa mati di saat yang tepat”
---------Friedrich Nietzsche, dalam Sabda Zarathustra
Senin (7 Oktober 2024) pertunjukan bertajuk Ruang Tunggu Dalam Tujuh Fragmen karya/sutradara Adhyra Irianto dipentaskan di Gedung Pertunjukan Rumentang Siang, Bandung. Kurang lebih pertunjukan berlangsung selama satu 1 jam, dimulai pada pukul 16.00 WIB, dan berakhir pukul 17.00 WIB. Pertunjukan ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir Adhyra di Pascasarjana Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, namun sepertinya maksud Adhyra lebih dari itu. Ia ingin membenamkan kepala aktornya dalam jurang ketidakmengertian.
Bagi banyak orang pertunjukan mungkin memang sudah berakhir, tapi bagi saya belum. Karena masa tunggu dan kebingungannya masih berlangsung sampai detik ini. Saya kebetulan ikut bermain sebagai aktor dalam pertunjukan ini, maka tulisan ini adalah pikiran-pikiran reflektif saya tentang pertunjukan, dan tentu saja terhadap peran yang saya mainkan.
Menjadi Pria Berpayung, saya bertindak sebagai pria yang ingin segera menjemput kematian. Menjadi sosok dari perwakilan manusia kelas menengah yang depresi karena kerjanya barangkali? Pria Berpayung ini menggunakan kemeja putih, celana hitam, dasi, sepatu pentofel, dan selalu membawa payung berwarna putih kemana-kemana. Pertunjukan dimulai! Pria Berpayung berdiri di atas ketinggian, di saat malam, dan di saat hujan jatuh dari langit menggantikan air matanya yang sudah lama kering.
“Setiap detik, aku hanya melewati tonggak-tonggak waktu tanpa harapan, dan aku muak dengan semuanya. Aku muak dengan alam, aku muak dengan hujan. Setiap hari, aku hanya duduk sendirian, tangan terikat di belakang, dan memandangi luka-luka di sekujur tubuhku. Aku berbeda.”
Apakah Pria Berpayung takut menjadi berbeda? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Bagi sebagian orang menjadi berbeda memang menakutkan, seseorang akan selalu berusaha dan ingin terlihat sama dan familiar. Sebab perbedaan menciptakan ketidakpastian, suatu keadaan yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, merasa asing dan kesepian dalam kehidupan sosialnya. Apalagi di hadapan budaya, ada semacam tekanan untuk terus mematuhi norma mayoritas, jika tidak ingin dianggap musuh atau pengacau hanya karna menjadi berbeda. Bahkan seseorang bisa meregang nyawa akibat perundungan hanya karna dianggap berbeda.
“Inilah penyebab semua hinaan dan perlakuan ini. Mereka mengatakan karna aku berbeda, dan aku tidak pernah berharap terlahir berbeda. Aku bertanya, bagaimana jika aku mati dan menghilang setelah apa yang kalian lakukan kepadaku? Mereka menjawab, bahkan barang-barang milik mereka yang harganya murah jauh lebih penting dari keberadaanku. Mereka hanya ingin semuanya seragam, satu barisan yang sama. Tak penting meyakini bahwa ada hal yang berbeda.”
Pria Berpayung takut menjadi berbeda, dan oleh karenanya menjadi kehilangan harapan akan hidup. Baginya kehidupan telah menjadi begitu gelap dan tidak bewarna.
Merasa berbeda membuat penderitaan datang secara bertubi-tubi, maka yang paling masuk akal adalah meninggalkan dunia ini dengan segala omong-kosongnya. Apakah ini yang dipikirkan Pria Berpayung, atau setiap orang yang ingin segera menjemput kematiannya? Saya bertanya-tanya cukup keras soal ini. Di Kerawang, seorang ibu memaksa anaknya untuk bunuh diri dan setelahnya juga ikutan bunuh diri. Di Malang seorang mahasiwa menceburkan dirinya di Sungai Brantas yang penuh limbah industri dan mikroplastik itu. Belakangan diketahui mahasiswa ini depresi diduga karena skripsi.
Adegan awal Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen |
Kasus pertama mungkin saja disebabkan oleh kondisi keluarga atau ekonomi, dan kasus ke dua tentu saja karna bobroknya dunia pendidikan tinggi. Namun, yang membuat keduanya mirip adalah perasaan bahwa hidup bagi mereka tidak lagi layak dan menarik untuk dijalani. Pria Berpayung pun berpikiran sama:
“Aku harus meninggalkan dunia tanpa cinta dan harapan ini, menjadi kupu-kupu yang datang dan pergi. Aku berharap, aku bisa terlahir di alam mana pun, entah berbentuk apapun, yang terpenting bukan orang yang berbeda. Entah jadi Anjing, ataupun jadi Tikus, tetapi bukan Anjing dan Tikus yang berbeda. Aku harus menghilang.”
Pria Berpayung serius dengan kalimat ini, ia ingin segera mati. Lagi-lagi persoalan ini membawa saya pada Albert Camus, salah satu filsuf yang cukup serius memikirkan tema-tema kematian dan bunuh diri dalam bukunya Mite Sisifus. Camus mengatakan bahwa bunuh diri dimaknai sebagai bentuk pengakuan si pelaku, bahwa ia telah terkalahkan oleh kehidupan, bahwa sebenarnya dia tidak mengerti dengan kehidupan. Pria Berpayung berangkali punya perasaan yang sama, ia merasa dunia tiba-tiba begitu gelap dan kehilangan cahayanya, lalu menjadi asing.
Apakah keterasingan ini sumber penderitaan Pria Berpayung? Berbeda dan terasing memang dua hal yang berkorelasi satu-sama lain. Orang yang terasing merasa dirinya berbeda, dan orang yang merasa berbeda akan membuatnya terasing. Dua hal yang sama mematikannya.
Lalu kenapa Pria Berpayung merasa terasing? Dalam diskursus ekonomi, sosial dan politik, ada satu konsep yang disebut Alienasi (keterasingan). Konsep ini dikenal melalui pikiran Karl Marx, seorang filsuf asal Jerman. Marx menggunakan konsep ini untuk menganalisis keterasingan manusia berdasarkan konteks kelas pekerja dalam sistem kapitalisme. Menurut saya, ini kondisi yang masuk akal untuk menempatkan Pria Berpayung untuk melihat keterasingannya. Sebagai aktor, saya membayangkan Pria Berpayung adalah kelas pekerja yang kehilangan kontrol dan produktivitasnya. Marx menjelaskan keterasingan kelas pekerja ini melewati beberapa tahap, yang pertama adalah Pria Berpayung terasing dari produk yang dia buat.
Apa yang Pria Berpayung hasilkan dalam dunia kerja bukanlah milik dia, melainkan milik dari pemilik modal, atau tuannya. Lalu yang kedua Pria Berpayung kemudian terasing dari proses kerjanya, artinya ia tidak memiliki kendali atas cara bekerja dan keputusan dalam proses produksi. Pria Berpayung hanya menjual tenaga untuk tuannya. Ini yang membuat dia kehilangan kebebasan dan otonomi dalam bekerja. Akibatnya, Pria Berpayung akhirnya juga terasing dari sesama manusia, dan ini yang ketiga. Kapitalisme menciptakan hubungan yang kompetitif antar manusia.
Manusia hanya dilihat secara oportunistik, dan sarana untuk mencapai tujuan. Situasi ini membuat relasi sosial antar manusia menjadi relasi yang penuh persaingan. Manusia rentan saling berkonflik dalam konteks ini, dan kondisi ini yang membawa manusia pada keterasingan yang terakhir, yaitu terhadap dirinya sendiri. Pria Berpayung akhirnya kehilangan hakikat dan potensi dari kreativitasnya sendiri, lalu merasa berbeda, asing dan kehilangan semangat akan hidup.
Sampai di sini terlihat bahwa keterasingan Pria Berpayung ternyata bukan hanya masalah pribadi atau personal, tetapi kondisi struktural yang dihasilkan dari sistem ekonomi, sosial dan bahkan politik. Bagi Marx, menghapus keterasingan ini hanya mungkin dilakukan jika manusia bisa meraih kembali kebebasannya. Hanya dengan begitu manusia bisa kembali terhubung satu sama lain, dan melakukan kerja dengan hubungan sosial yang lebih manusiawi. Tapi mungkinkah Pria Berpayung meraih kebebasannya kembali? Saya tidak punya jawaban pasti soal ini. Adhyra pun selaku penulis naskah juga tidak memberikan jawaban khusus untuk soal ini, dan memang bukan itu tujuannya.
Adhyra bisa saja punya bayangan lain soal Pria Berpayung, dan tidak sama dengan apa yang saya bayangkan. Tapi yang jelas, tampaknya teks pertunjukan Ruang Tunggu Dalam Tujuh Fragmen ini ia tulis dengan maksud untuk menghindar dari kemungkinan pemaknaan tunggal. Aktor maupun penonton diberi kebebasan untuk menafsir teks dalam konteks apapun. Namun ada tema besar yang cukup kentara muncul di permukaan, yang membuat penonton tidak bisa menghindar dari pemaknaan bahwa pertunjukan ini berkisah tentang bunuh diri dan kematian. Bahwa pertunjukan ini adalah kumpulan dari manusia-manusia yang menggangap hidup tidak lagi menarik dan layak untuk dijalani.
Ruang Tunggu hanyalah metafora dari apa yang sebenarnya manusia tunggu, yaitu kesiapannya untuk mengatakan ‘tidak’ pada kehidupan. Semua ini hanyalah persoal waktu, Pria Berpayung barangkali sudah siap, namun ada yang belum dan sampai sekarang masih menunggu kesiapannya di Ruang Tunggu. Sampai di sini, saya merasa Adhyra yang selalu bersembunyi di balik optimisme Michael W. Bennett itu nampaknya lebih mirip Eugene Ionesco dan Samuel Beckett yang dalam dramanya dianggap mengarahkan penonton pada pesimisme radikal ala Schopenhauer seperti kata Martin Esslin. Persis, inilah yang menjadi inti kritik Bennett terhadap penafsiran Esslin terhadap Teater Absurd. Bennett ingin memaknai Teater Absurd jauh lebih optimistik melalui pembacaan ulang atas Albert Camus.
Adhyra dalam artikelnya yang berjudul Parabolic Drama: Membaca Teater Bergaya Absurd Dengan Kaca Mata Post-Modern mengatakan bahwa Bennett meyakini Ionesco, Beckett, dan nama-nama lain dalam bukunya Esslin ingin menggambarkan penerimaan penuh atas realitas tanpa harus melarikan diri dari kenyataan, apalagi menyangkalnya. Pertunjukan Ruang Tunggu Dalam Tujuh Fragmen memang diakui Adhyra berada dalam perspektif konsep ini. Namun jujur saja, saya hampir tidak melihat optimisme ala Bennett dalam pertunjukan ini. Semua peran dan adegan tampak bagi saya sebagai ironi dari orang-orang yang hanya menunggu kesiapannya masing- masing.
Camus sendiri memang menulis dalam bukunya, bahwa bunuh diri bukanlah solusi atas kondisi hidup yang tidak bermakna ini. Respon atas ‘yang absurd’ harus dimaknai dengan pemberontakan bahwa manusia harus bertahan di situ, selama mungkin, dan tetap cermat untuk mengamati keadaan-keadaan yang aneh ini. Camus menawarkan bahwa manusia harus punya ketabahan hati dan ketajaman pikiran untuk melakoni permainan maut yang tidak manusiawi, di mana ‘yang absurd’, harapan dan kematian saling berdialog tanpa ampun. Jika memang begitu, saya tidak ingin berlama- lama dan akan segera mengakhiri pertunjukan ini. Bagi saya, ini bukan optimisme, tapi hanya situasi ilusif di Ruang Tunggu di mana orang-orang di dalamnya sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan, ‘Inilah saatnya!’.’’
Trigger Warning: Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menginspirasi siapa pun melakukan tindakan bunuh diri. Jika Anda merasa depresi dan mulai berpikir untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda kepada tenaga profesional seperti psikolog ataupun psikiater. Meminta pertolongan bukan berarti anda lemah.
Anda bisa menyaksikan dokumentasi pementasan Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen di video berikut ini: