Mendedah Hidup Ery Mefri: Resensi Buku "Salam Tubuh Pada Bumi" -->
close
Adhyra Irianto
29 November 2024, 11/29/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-11-29T01:00:00Z
SeniUlasan

Mendedah Hidup Ery Mefri: Resensi Buku "Salam Tubuh Pada Bumi"

Advertisement
Resensi buku Salam Tubuh Pada Bumi


Oleh: Selvi Agnesia*


“Ery Mefri tak kapok karena penderitaan itu. Sebagaimana para penarinya  yang bukan saja berlatih dengan keras, tetapi juga sering harus iuran untuk menutupi biaya latihan dan pementasan. Kondisi tersebut, menurut Ery, pada satu sisi membuatnya “dendam”, namun ia tak juga kapok. Pelampiasannya adalah ide baru untuk sebuah karya, berlatih hampir setiap hari dan kemudian membawanya ke panggung. Jiwa pemberontakannya makin kuat tergambar dalam koreografi demi koreografi” (hal.73)


Begitulah, sepilahan kisah hidup dalam buku “Salam Tubuh Pada Bumi” Perjalanan 40 tahun karya Ery Mefri, ditulis oleh Hendra Makmur yang berprofesi sebagai jurnalis sejak 1999. Buku setebal 165 halaman ini mengisahkan proses berkesenian Ery bersama grup tari Nan Jombang  yang tidak semulus apa yang terlihat di permukaan saat ini. Ada banyak rintangan, hasrat, perenungan, suka cita, pengetahuan dan berbagai jatuh bangun pengalaman yang membentuk dirinya sebagai penari dan koreografer yang malang melintang di dunia tari di Indonesia dan dunia. Perpaduan bakat alam dan lebih banyak ketekunan dan kerja keras.


Ery Mefri lahir di masa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang mencekam pada 23 Juni 1958 di Nagari Saniangkaba. Kampung yang terletak di bibir danau singkarak, Sumatera Barat. Ia anak tunggal dari ibunda Nurjanah dan ayahanda Jamin Manti Jo Sutan, maestro tari tradisi yang dikenal dengan sebutan Manti Menuik.  


Resensi buku Salam Tubuh Pada Bumi


Ery tumbuh dari “menyimak” pembelajaran hidup dari keduanya, tersirat pada ucapan pertama di buku ini “Untuk Abak dan Amak.” Semenjak kecil, ia selalu dibawa grup Manti Menuik pentas khususnya membawakan Tari Piriang, Tari Tan Bentan dan Randai Ilau, tiga seni tradisi yang paling sering dibawakan. Pada usia 6 tahun—bahkan tanpa pernah berlatih, Ery kecil sudah bisa menarikan tari piring. 


Sejak masuk SD, ia diantar Abak untuk mulai belajar silek. “Belajar silek di Minangkabau, bukan saja berlatih bela diri. Tapi juga mempelajari nilai-nilai dan filosofi adat Minang. Ketika masuk ke sebuah perguruan silek, berarti juga belajar tentang bagaimana bergaul dan hidup di Minangkabau. Kelak, silek menjadi basis utama dalam gerakan koreografi di Nan Jombang. Ery tak ingin ada lengak-lengok dalam tarinya, semua bertumpu di lutut sebagai silek. 


Masuk di usia remaja, ia tak lagi bersama grup Abaknya dan mencoba peruntungan merantau dimulai dari Palembang dan Jakarta sebagai tukang cuci piring rumah makan saudaranya, hingga masuk SMKI Padang Panjang. Menurut Ery, orang Minang merantau tidak hanya “membawa badan” tapi juga mengusung budaya dan tradisi. Selain, rata-rata mereka merantau bukan karena kemiskinan, tapi karena ingin menguji kecerdasan dan ketangguhan. 


Di berbagai tempat perantauan untuk mendalami tari secara akademis, ia mendapat pandangan baru khususnya seni tari kontemporer. Ia  berlatih dengan keras dan mengikuti berbagai pentas ketika masa sekolah di SMKI, membantu Gusmiati Suid dari Sanggar Tari Gumarang Sakti hingga melatih guru SD, sampai menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Taman Budaya Padang Panjang sembari mendirikan Nan Jombang, semua dilakoninya dengan satu nafas, tetap bersetia sebagai seniman tari.


Resensi buku Salam Tubuh Pada Bumi


Grup tari Nan Jombang  berdiri pada 1 November 1983, Nan Jombang berarti yang elok, cantik, tampan. Sejarah Nan Jombang adalah julukan warga Saniangbaka pada Manti Menuik, abaknya yang tampan dengan pribadi yang menyenangkan. Yang menarik adalah sistem rekruitmen Nan Jombang pada awal berdirinya dengan merekrut mereka yang tak punya dasar seni tari atau masih kosong dibanding memilih yang sudah terbentuk.


“Siapapun calon penari, tak bisa langsung ikut latihan. Mereka harus menyimak terlebih dahulu, melihat orang menari. Tahap berikutnya, baru mereka akan mengikuti proses latihan tari… sebagai koreografer, Ery kemudian akan memperhatikan bagaimana masing-masing penari menggali dan mendalami tubuh masing-masing” (hal. 63) 


Kehadiran Nan Jombang menjadi buah bibir di medan seni tari Indonesia pada masa tersebut. Sejak berdiri hingga tahun 2023, tercatat 65 karya telah dilahirkan—beberapa yang saya tonton antara lain: Rantau Berbisik (2007-2009), Sang Hawa (2010) dan Tarian Malam (2012). Sedangkan judul “Salam Tubuh Pada Bumi” merupakan judul salah satu karya Nan Jombang yang masih dalam proses sejak 2021. 


Resensi buku Salam Tubuh Pada Bumi

Mengutip Harian Singgalang pada 11 Maret 1984, Ery mengakui bahwa, permasalahan yang dituangkannya ke dalam tari adalah ketidakpuasannya sebagai manusia, terutama pada lingkungannya. Sedangkan, Syarifuddin Arifin dalam Harian Haluan 22 Mei 1988 menulis, tokoh teater Wisran Hadi mengatakan, bahwa karya Ery Mefri sudah bisa dikatakan teater. Hal itu, karena mengekspresikan cerita dan ada dialog antar penari. 


Seusai menjelajah dunia lewat tari.  Sejak tahun 2011, Ery Mefri bersama keluarga Sanggar Tari Nan Jombang menghuni Ladang tari Nan Jombang di atas tanah seluas 2500 meter persegi. Selain rumah, juga ada kantor, museum dan gedung pertunjukan Manti Menuik. 


Ladang tari Nan Jombang, bisa disebut bukti nyata dari hasil proses konsistensi yang panjang yang tidak mengkhianati hasil, namun Ery dan Nan Jombang tidak ingin menikmati sendirian. Sebagai komunitas tari yang berbasis keluarga, Angga Mefri, selain penari utama, juga turut mengelola ladang tari Nan Jombang dalam lingkup manajemen.  


Sejak 2013 hingga 2023, Festival Nan Jombang Tanggal 3 konsisten berjalan, menampilkan berbagai grup kesenian tradisi dari Sumatera Barat dan provinsi lainnya. Selain acara bulanan, pada 2014, Ery Mefri bersama sejumlah seniman menggelar KABA Festival. Setelah 10 tahun berjalan, sudah ratusan grup tampil. 


“Apabila seni tradisi Minangkabau musnah, maka nagari tidak teraga. Tak ada lagi ciri khas nagari. Seni tradisi merupakan bahan dan sumber inspirasi bagi berkembangnya seni kontemporer” ungkap Ery Mefri. 


Setelah 40 tahun berkarya, selanjutnya apa? Seperti masa depan yang sulit diterawang, buku ini juga tidak memberi jawaban pasti. Tetapi, buku autobiografi Ery Mefri ini tidak hanya berbicara karya dari berbagai sumber dan arsip, tapi juga dengan gamblang berbicara tentang pengalaman kehidupannya. Melalui tari ia berbicara kehidupan, bahwa, mendedah karya Ery Mefri adalah mendedah hidupnya. 


*Selvi Agnesia adalah seorang Penulis Seni Budaya dan Pekerja Seni Lepas, bermukim di Yogyakarta

Ads