Advertisement
Rifqi Haeqal Amanulalh sedang memperhatikan candi Surawana dengan seksama (Foto: AWE) |
Oleh Arung Wardhana Ellhafifie
Pertunjukan Bertolak dari Gagasan dan Pengetahuan Kolaborator
Berdasarkan rekaman video progresnya, sudah lebih dari sebulan, apa yang dilakukan oleh Rifqi Haekal Amanullah, aktor/kreator, atau disebut aktor intelektual oleh fasilitatornya, Bambang Prihadi, dalam “Install Ulang: Surawana Lewat Jalan Memutar” dalam sebuah lokakarya, pada 3 November 2024, yang (kemungkinan) dipresentasikan pada 24 November 2024, di Desa wisata Canggu, Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur, sebagai program Dapur LTC (Lab Teater Ciputat), Manajemen Talenta Nasional (MTN) 2024, yang difasilitasi oleh Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan (PTLK) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang sekarang menjadi Kementerian Kebudayaan, jika ingin memahami lokakarya sebagai ruang untuk membahas suatu permasalahan tertentu dengan melibatkan beberapa orang yang berkompeten dalam menyelesaikannya, secara intensif dengan melibatkan seseorang yang paham—di mana kali ini melibatkan para pemilik kursus Bahasa di kampung Inggris Pare, bagaimana mereka melihat Surawana
Bagaimana mereka membaca generasi di masa lalu dan masa kini, di mana kini terlihat mencolok perbedaanya. Sebagian masyarakat Kampung Inggris Pare di era 1990-an, Surawana dan Tegowangi, sudah menjadi pilihan wisata, dengan memilih ke candi terlebih dahulu, baru ke goa, atau ke mata air, yang mana tarif masuknya kini tidak membuat orang datang ke Surawana, tepatnya dimulai sejak sebelum era pandemi.
Satu goa dengan goa yang lain, ada tarif yang membuat masyarakat di Surawana, kampung wisata atau desa satelit yang menjadi penyangga, yang mengelilingi Kampung Inggris Pare—Surawana seharusnya mendapat perhatian tambahan untuk menggelar pertunjukan (sangat mungkin) sebagai bentuk protes; sebagai ikon awal yang kini dipandang sebagai ‘ketidakpedulian’, menjadi drama di masa lalu, menciptakan situasi di mana konsep pendidikan juga disertakan dalam relief, mencari ilmu, dan nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan di Surawana.
Lokakarya yang lebih banyak membaca tentang masa lalu, membawa saya mendengar romantisme sebagai semacam ‘gangguan’ atas ‘ketidakpedulian’ hari ini, untuk tertarik menanggapi realitas yang sudah banyak berubah. Cerita-cerita itu dalam banyak hal beroperasi, seperti aksi protes layaknya seorang pendongeng, di mana lokakarya dijadikan panggung, medium yang dijadikan informasi; bahwa tidak sah sebagai mahasiswa Kampung Inggris Pare kalau tidak ke Surawana, di tahun 1990-an, lalu apakah anggapan itu berlaku di masa sekarang?
Cerita tiga orang tentang hubungan masa lalu antara Kampung Inggris Pare dan Surawana, dalam banyak hal berujung pada kompleksitas dan hibriditas. Tampil di persimpangan wacana, aktivisme, budaya, dan pertunjukan, juga objek-objek di masa lalu seperti obor, jagung bakar, sistem jongkok, pertanyaan-pertanyaan; bisa berenang atau tidak, bilik telepon umum, dan telepon umum, sebagai pengantar teks untuk menghubungkan disiplin ilmu seni, ilmu sosial, sejarah, warisan budaya, dan humaniora, seperti studi pertunjukan yang menawarkan antarmuka berbeda tergantung pada status setiap peserta dalam lawatan.
Air adalah kata kunci yang didorong oleh salah satu dari tiga pembicara, untuk menghubungkannya dengan Surawana. Tentu saja, sebagai sebuah studi, semuanya masih belum pasti, terbuka, dan beragam dalam metode—seperti saat penciptaan dengan berputar melalui Kampung Inggris Pare, yang mengarah pada metodologi yang berbeda dalam studi pertunjukan. Surawana secara tidak langsung digunakan sebagai studi sebagai pertunjukan, sebagai metode analisis, cara untuk memahami perilaku masyarakat dalam perkembangannya yang tak berujung, dan alat yang dibutuhkan untuk terus membaca Surawana.
Jalan memutar yang dijadikan metode penciptaan dengan melihat Tegowangi (menggambarkan pertanian, di mana Surawana menggambarkan ikan—Kusuma Puri, yang dulunya merupakan tempat Hayam Wuruk), juga diutarakan oleh salah seorang mahasiswa kursus bahasa Inggris asal Tasikmalaya yang berlatar belakang fotografi, yang kini tengah menjajaki keinginan untuk menulis guna meninjau kembali Surawana, menegaskan bahwa Surawana membutuhkan jalan memutar melalui Tegowangi; untuk menata, mendesain, menciptakan, dan menginformasikan, yang kemudian dibalik oleh narasumber lain, bahwa Surawana menjadi ruang legitimasi untuk menjadi siswa kursus Bahasa di perkampungan Inggris Pare, yang masih bertahan hingga sebelum era pandemi—di mana goa lebih merupakan jalan memutar, sebagai tempat pelarian di masa lalu; relief yang belum rampung, yang dibacakan oleh seorang mantan mahasiswa arsitektur, semakin melengkapi cerita-cerita sebelumnya.
Surawana di masa lalu menjadi cerita sebagian besar siswa kursus perkampungan Inggris Pare, untuk mendapatkan informasi sejarah, tentang perubahan pemahaman selama ini, yang belum banyak diketahui oleh masyarakat. Sebagaimana disampaikan oleh narasumber lain, terkait dengan nama daerah yang berakhiran rejo—berkaitan dengan air sebagai kajian performans yang berkesinambungan. Bagaimana sejarah Surawana dilakukan dengan cara di persimpangan tempat jalur personal (mengetahui dan memahami), artistik, arkeologis, dan intelektual bertemu satu sama lain.
Artefak-artefak kuno yang dijelaskan, bagaimana informasi semacam ini tidak lagi menjadi kelanjutan dari guru lawatan sejarah pada umumnya; begitu banyak informasi, untuknya menarik, kemudian untuk saya yang ‘tidak menarik’, sehingga menjadi ‘menarik’ karena direproduksi? Menurut saya, ini bukan kajian literasi ilmiah, bagaimana Haekal merealisasikannya? Termasuk pertanyaan menarik dari Browenker (menurutnya), yang berbicara tentang jarak antara Ponorogo dan Kediri, kalau bagi saya ‘tidak menarik’, bagaimana jika merealisasikannya? Saya yang mewakili sebagai orang yang ‘tidak tertarik’ dengan candi, bagaimana masyarakat sekitar menyikapi ‘ketidakpedulian’ itu, agar materi sejarah ini dapat dipahami oleh banyak masyarakat setempat melalui apa?
Kuda sembrani, kelinci yang menyemburkan api, burung garuda yang patah, yang diinformasikan melalui gambar-gambar dari candi, diulang-ulang karena ada semacam realitas, yang berkaitan dengan dharma, atau bangunan suci, kemudian dipahami sebagai teka-teki, puzzle panjang dari semua pertanyaan yang belum terpecahkan—jika mau membandingkannya dengan Borobudur dan Prambanan, yang selalu dibandingkan oleh masyarakat umum di sana.
Perlu diingat bahwa pada kenyataannya, ini hanya dimiliki oleh para pemerhati dan peneliti warisan budaya, kemudian dibawa ke orang-orang yang tidak seperti itu, tetapi kemudian merasa memilikinya. Mungkin mereka sibuk dengan pemahaman mereka sendiri, pertunjukan perlu mengurai hal-hal yang tidak sampai pada kajian semacam ini.
Istilah-istilah menarik kerap dilontarkan oleh seorang narasumber, tetapi bagi saya tetap saja ‘tidak menarik’ semacam merepresentasikan masyarakat atas ‘ketidakpedulian’ terhadap Surawana, lalu bagaimana Haekal memanifestasikannya sehingga hal itu dapat dibagikan untuk dimengerti. Tampaknya ahli mitologi—yang berbicara banyak, jika dibiarkan terus menerus ke dalam pertunjukan, tentu saja bagi saya cukup membosankan, yang barangkali dapat disediakan oleh video mapping, sambil melakukan peragaan ulang dengan adegan atau tindakan; yang mungkin melibatkan para peserta lawatan (penonton) bersama-sama untuk mengeja sejarah, menjadi serangkaian hyperlink, yang mengarah pada informasi lebih lanjut tentang semua tokoh dan konsep utama dalam penciptaan Candi Surawana.
Pertunjukan ini digunakan sebagai sebuah kajian; tidak ada finalitas, baik secara teoretis maupun operasional. Ada banyak suara, tema, pendapat, metode, dan subjek, dan semuanya dapat dipelajari “sebagai” sebuah pertunjukan. Bagaimana masyarakat memiliki keinginan, kebutuhan, dan standar bersama untuk ‘peduli’, berpikir, dan bertindak terhadap Surawana, untuk mendapatkan nilai. Menurut Richard Schechner (Guru Besar Emeritus Universitas New York), nilai-nilai merupakan bagian dari ideologi, ilmu pengetahuan, seni, agama, politik, dan bidang-bidang dan penyelidikan manusia lainnya—yang ditekankan sebagai orang-orang terdidik (terpelajar) merupakan fungsi dari budaya, kelompok, dan individu yang termasuk dalam masyarakat yang lebih luas.
Informasi yang disampaikan oleh narasumber lain (menolak Gen Z, ia sendiri juga berasal dari gen yang sama) dalam melihat Gen Z, membaca Kawah Ijen, Gunung Kelud, Bromo, dan lainnya, yang berangkat dari Sabtu hingga Minggu sore, yang tidak melihat Surawana dengan gua-guanya, saya kira ini juga merupakan protes yang dapat digunakan sebagai soundscape yang berulang, untuk menjalin tindakan-tindakan lain—yang melibatkan partisipasi Gen Z.
Bagaimana karya ini juga merupakan sebuah perjalanan untuk membimbing kita semua, termasuk banyak generasi di dalamnya, menuju kemungkinan-kemungkinan baru, tidak seorang pun dapat benar-benar memahami totalitasnya atau menuangkan semua keluasan dan keragamannya ke dalam satu pertunjukan. Hal yang paling digarisbawahi lagi adalah ketegangan antar generasi di kelas terpelajar menjadi semacam sistem pembelajaran, penelitian, praktik seni, dan pengalaman hidup setiap orang dan setiap kolaborator yang terlibat.
Bagaimana karya ini adalah kumulan gagasan yang akan menyatukan banyak pemahaman antara orang-orang, baik yang terpelajar maupun yang tidak terpelajar; adalah hyperlink yang memaksakan beberapa keberagaman untuk membawa pertunjukan lebih dekat sebagai literasi dan studi. Efeknya adalah bagaimana hal itu seperti lawatan yang melibatkan banyak orang dan tangan terangkat atau desktop komputer dengan banyak jendela terbuka.
Saya mulai memahami secara perlahan, dari apa yang dilakukan Haekal, muncul pemikiran tentang pertunjukan literasi seperti studi pertunjukan, di mana kata Schechner pertunjukan adalah sebuah tindakan. Sebagai sebuah disiplin, apa yang dilakukan Haekal adalah bagaimana perilaku bukan menjadi “objek kajian” studi pertunjukan, dengan menggunakan arsip video lokakarya yang digunakan sebagai video mapping atau soundscape, yang sudah saya sebutkan di atas atau catatan sebelumnya; praktik artistik sebagian besar dari pencapaian bahwa pertunjukan ini berfungsi sebagai kajian berkelanjutan yang berbasis pada komunitas seni dan non-seni untuk saling terintegrasi; pertunjukan secara tidak langsung menjadi ruang keterlibatan penonton yang menjadi metode yang sangat berharga bagi masuknya pengetahuan ke dalam ‘ketidakpedulian’ ini; dapat disimpulkan bahwa studi pertunjukan sangat terlibat dalam pengaktifan literasi seluas-luasnya dalam praktik sosial budaya dan advokasi Surawana.
Saya kira dalam hal ini, semuanya akan bias dan sudah pasti tidak ada yang namanya tidak bias. Tantangannya adalah untuk menyadari sebisa mungkin posisi diri sendiri dalam kaitannya dengan posisi orang lain - dan kemudian mengambil langkah-langkah untuk mempertahankan atau mengubah setiap posisi setiap peserta dalam kunjungan yang hadir.
Pertunjukan sebagai Studi: Merujuk pada Performance Studies
Relief-relief Surawana, dipahami berbeda dengan kebanyakan relief dengan candi lainnya di Jawa, sebagai awal pembacaan Haekal menunjuk ini sebagai gagasan (Foto: AWE) |
Catatan utama adalah dari rekaman video dalam menggambarkan percakapan teks pertunjukan yang dibahas bersama dengan kolaborator; informasi yang jelas diperlukan bagi pendengar seperti saya, yang berkepentingan untuk melakukan pembacaan percakapan, sehingga diperlukan gerakan kamera yang mendekati subjek yang memberikan informasi. Namun, jika saya memahami ini sebagai pertunjukan yang ditafsirkan sebagai “spektrum luas” atau “kontinum”; tindakan kita semua yang terhubung dari ritual, permainan, informasi warisan budaya, seni pertunjukan (teater, tari, musik), dan pertunjukan kehidupan sehari-hari hingga peragaan ulang, video dokumenter, pemetaan, mitologi, dan kelas, serta sebagainya, maka apa yang terjadi dalam proses ini juga merupakan budaya, termasuk perilaku kita terhadap apa yang dilakukan dan pertunjukan itu sendiri nantinya.
Apa yang harus dipahami bersama; penjelasan/penegasa tentang pertunjukan eksperimen itu, untuk menjawab setiap individu yang sedikit mengerti sebuah pertunjukan tentang drama, yang perlu ditegaskan bahwa ini bukanlah teater (secara umum, tetapi teater berada di dalamnya), di mana dibutuhkan edukasi bahwa pertunjukan ini berpijak pada gagasan pembacaan ulang Surawana, kalau misalnya penyebutan tentang pertunjukan kolaboratif-kolektif rasanya sulit dipahami.
Yang mudahnya adalah; mengapa perlu berlatih secara individual (atau bersama individu lainnya)? Hal yang mendasarinya adalah bahwa setiap tindakan dari masing-masing individu yang dibingkai, dipertunjukkan, dipresentasikan, ditonjolkan, atau ditampilkan merupakan sebuah pertunjukan yang berasal dari para kolaborator untuk menyampaikan gagasannya masing-masing. Namun, setiap kolaborator adalah sutradaranya sendiri, kemudian Haekal berfungsi sebagai penjalin gagasan yang dimaksud—inilah yang membedakan pertunjukan eksperimental secara umum, di mana teater, drama, menjadi bagiannya dari berbagai kategori di sepanjang kontinum.
Istilah adegan yang perlu diinformasikan; sebagai catatan mudah, tetapi lebih umum digunakan adalah peristiwa, sebagai sebuah pertunjukan. Namun, secara luas, yang dipahami setiap orang sebagai adegan adalah panggung, seperti drama. Mengapa kita masih menggunakan istilah-istilah yang dekat dengan drama, sehingga banyak yang mempertanyakan sesuatu yang hanya terkait erat dengan drama.
Edukasi tentang istilah pertunjukan eksperimental, misalnya, kita semua harus menjadi pemain, mengapa tidak menggunakan istilah aktor, karena kemungkinan besar kita tidak memerankan karakter seperti drama atau acara populer di televisi; tetapi lebih pada tindakan yang didasarkan pada interpretasi bersama sebagai metode dalam mempelajari pertunjukan itu sendiri.
Hal-hal lain yang berkaitan dengan sejarah dapat disampaikan dengan video-video terkait bagaimana memberikan pemahaman yang berbeda; agar kita semua tidak bosan dengan Surawana, Haekal tampaknya tidak terlalu berani untuk menggapai catatan-catatan kritis atas pembacaan ulang, yang diambil dari pengamatan selama ini untuk memanfaatkan dan mensintesiskan pendekatan literasi ini dari berbagai disiplin ilmu seperti ekologi, sosial, sejarah candi itu sendiri, atau mitologi, untuk menyusun estetika yang berbeda; meliputi kajian regional, teori media dan budaya populer, serta kajian budaya.
Pertunjukan ini sebagai sebuah kajian lebih dari sekadar penjumlahan inklusi, tempat sebagian besar disiplin ilmu dengan domain terbatas berakhir—karena batasannya begitu lebar dengan kajian ini yang mengkaji teks, arsitektur, seni rupa, atau benda-benda seni atau budaya atau artefak lainnya bukan sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai performer atau pemain dalam hubungan yang berkelanjutan, yakni, “sebagai” sebuah pertunjukan.
Gagasan dalam hal ini menjadi inti dari keterlibatan bersama, kalau mau dipahami ini adalah sebuah pertunjukan gagasan—yang mengembangkan gagasan dari masing-masing individu berdasarkan pengetahuannya masing-masing, kemudian bisa berkembang, dialog juga tercipta oleh para pemain yang terlibat nantinya, yang bisa dikunci sebelum pertunjukan sebagai finalisasi.
Haekal tampaknya masih dilihat sebagai sutradara tunggal, bukan sebagai penjalin, inilah yang memungkinkannya bergeser menjadi pertunjukan kolektif-kolaboratif, sebagaimana pada umumnya. Padahal apa pun yang telah terjadi dan sedang dikaji, telah menjadi kesadaran akan praktik, peristiwa, dan perilaku. Bahkan ketika berhadapan dengan media (video) atau bahan arsip - yang merupakan inti dari studi pertunjukan - ini tidak lain adalah performance studies, karena kita tidak terbebani dengan “membaca” sebuah tindakan atau menanyakan “teks” apa yang sedang ditampilkan.
Istilah naskah sendiri juga merupakan jebakan Batman, dari pengertian pertunjukan eksperimental - yang ditunjuk dari pertunjukan kolaboratif-kolektif, yang dapat lebih mudah daripada ini adalah performance studies, dengan istilah asing sekaligus, karena yang dituntut bukan lagi tindakan, tetapi perilaku kita terhadap peristiwa; siapa yang melakukannya, oleh siapa, dan bagaimana melakukannya, lalu bagaimana pemain berinteraksi dengan mereka yang melihatnya, atau dengan pemain lain yang telah bekerja sama.
Ratusan bongkahan batu candi yang dikumpulkan dari lingkungan Canggu, yang kemudian ditata semacam menjadi instalasi atau objek (kolaborator) dalam karya ini (Foto: AWE) |
Kalau yang saya uraikan di atas itu sudah jelas atau konkret, dibawa ke ranah asing sekaligus, dan keteguhan pemahaman seni itu setengah hati, karena perilaku juga bisa labil dan berubah-ubah seiring waktu. Artefaknya boleh jadi relatif stabil, tetapi pertunjukan yang diciptakannya atau yang diikutinya bisa berubah drastis—tergantung banyak hal. Maka seremoni dalam perilaku yang cenderung dianggap sacral, seperi sambutan oleh kepala desa yang didorong sebelum pertunjukan, itu menjadi bagian dari pertunjukan, untuk mendobrak pemahaman kebiasaan lama dalam melihat sebuah pertunjukan, yang pastinya pertunjukan seni (untuk memahami, mendukasi wisata bersama, edukasi tentang pertunjukan, dan lainnya).
Ini pertunjukan seni, bagaimana seni dijadikan kajian bersama untuk diteliti di mana Surawana dirawat dan dibangun di masa lampau. Pimpinan lawatan, dalam hal ini diperankan oleh Haekal, mengajak rombongan peserta tur dari depan pagar candi, kalaupun misalnya sudah ada yang di dalam, silakan melihat berbagai instalasi yang sudah dibuat; tetapi sebagai pertunjukan yang utuh, jangan pernah mulai dari seremonial, lebih baik dibuka oleh Haekal untuk memastikan bahwa ini adalah wisata sejarah, wisata malam, ke Surawana, bagaimana kita melihat bersama dalam cara lawatan yang berbeda yang kemudian dapat dibawa oleh Haekal ke dalam dengan segala tindakannya, yang kemudian dapat diundang dalam hal ini, seperti pemandu wisata, bagaimana kepala desa menanggapi dengan memberikan sambutan atas lawatan yang sedang berlangsung.
Jadi agar seolah-olah juga berada di antara kenyataan dan pertunjukan, perilaku Haekal dalam mendengarkan pidato itu bisa juga diam, atau berwudu di pipa paralon yang sudah dipersiapkan, sebagai bangunan pertunjukan yang dirancang atas dasar gagasan bersama. Pemahaman tentang yang sakral itu juga naif, ada kecenderungan karena itu tidak diberikan pemahaman tentang pertunjukan gagasan ini untuk berfungsi sebagai performance studies, yang diserahkan kepada perilaku, peristiwa, atau objek material apa pun.
Tentu saja, ketika performance studies berurusan dengan perilaku - artistik, sehari-hari, ritual, main-main, dan sebagainya - pertanyaan yang diajukan lebih dekat dengan bagaimana para ahli teori pertunjukan secara tradisional mendekati teater dan seni pertunjukan lainnya. Secara tidak langsung, literasi performans dapat berlangsung, bahwa performans secara global dalam hal ini, sesuatu yang diwujudkan sebagai tonomen yang melandasi performans dan performing, bahkan realitas sehari-hari yang dipersiapkan - side line jika mau disebut pertunjukan eksperimen, pertunjukan gagasan, performance studies, bagaimana performans dijadikan sebagai kajian untuk membahas dan mengaplikasikan analisis dari berbagai hal yang kemungkinan besar belum pernah terjadi di Kediri. Di Jawa Timur pun, hal ini jarang dilakukan, karena basisnya adalah eksperimen.
Keberanian dalam mengklarifikasi sikap dan perilaku Haekal di masa mendatang ini diperlukan, untuk menjawab segala macam pertanyaan tentang manifestasi, tindakan, perilaku, dan agensi yang ditangani secara lintas disiplin dan lintas budaya. Pendekatan ini mengakui dua hal. Pertama, kita memahami bersama bahwa kebudayaan selalu berinteraksi, terbukti dari lokakarya-lokakarya yang menghasilkan informasi timbal balik - tidak ada kelompok yang benar-benar terisolasi di antara lokakarya tersebut. Kedua, perbedaan antarbudaya dan antargenerasi begitu mencolok bagi saya, sehingga tidak ada teori pertunjukan yang universal: tidak ada ukuran yang sama untuk semua.
Sah-sah saja dalam hal ini, pertunjukan tidak dapat serta merta dipahami sebagai tidak tepat, karena pemahamannya berbeda dengan pertunjukan sebelumnya, pertunjukan yang dilakukan banyak orang, yang sering kali kita membawa pemahaman atas pertunjukan yang sedang ditonton langsung diartikan kepada pertunjukan pengertian sebelumnya. Pengertian pertunjukan tidak dapat universal, tidak bisa sama. Bukan saya yang bilang. Schechner mengatakan demikian. Bahkan seremoni dalam kehidupan sehari-hari dalam hal ini (yang bisa dilakukan oleh kepala desa), tidak penting soal sakral, maupun profan, berfungsi sebagai pertunjukan, sebagai sarana interaksi budaya melalui jalan memutar.
Demokratisasi Suara dalam Merancang, Menggagas, dan Menulis
Salah satu tempat kursus Bahasa Inggris di Perkampungan Inggris, Pare, di mana menjadi tatapan untuk jalan memutar sebelum ke Surawana selain ke Tegowangi (Foto: AWE) |
Diskusi kolaboratif antar kolaborator dalam mengusulkan gagasan tentang sejarah Surawana berdasarkan sudut pandang ahli mitologi, yang diperbandingkan dengan peristiwa di Kampung Inggris Pare pada kejadian yang mirip kepada peserta kursus Bahasa, di mana perbandingan ini (secara spekulatif) seperti menegakkan kesamaan masa lalu dan masa kini. Tokoh yang diceritakan seperti Arjunawiwaha pada sejarah berdasarkan relief yang ada, sedangkan pada masa kini kejadian seperti itu dilakukan oleh siswa kursus Bahasa, saya sebagai cara pendekatan wisata sejarah yang berbeda, yang kemudian dibarengi dengan lapisan-lapisan lain di mana masyarakat atau peserta bersepeda mengelilingi Surawana yang dinavigasi oleh tour guide lawatan, untuk ikut terlibat dalam mendapatkan suara kolaboratifnya masing-masing.
Saya kira posisi kita semua, para penonton, termasuk saya yang nantinya akan menjadi peserta lawatan, wisata malam, yang seharusnya menjadi kenyataan, terus bergerak dengan banyak lintasan yang lain. Performance studies tidak disusun menjadi suatu sistem yang terpadu. Kini, banyak seniman dan intelektual yang tahu bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh dengan mudah, kalaupun dapat, direduksi menjadi satu koherensi tunggal—yang sering kali bermasalah karena, sebagaimana mestinya, hal itu tidak dapat dilakukan.
Yang mesti diingat, ciri peluang untuk muncul dalam performance studies dalam karya ini, adalah ketegangan dan kontradiksi yang menggerakkan pembahasan tentang Surawana. Klaim yang dimaksud dapat berupa auralitas masing-masing kolaborator terhadap pengetahuannya masing-masing, yang dipandu oleh seorang tour guide, untuk masuk ke dalam sejarah Surawana. Lapisan dengan tindakan bersepeda itu berfungsi penuh karena performance studies memiliki hasrat besar untuk menemukan dan mencari pengetahuan tentang Surawana dengan cara ini. Di mana premis setiap klaim itu spesifik untuk bidangnya sendiri. Secara otomatis informasi tentang kursus bahasa demi siswa kursus bahasa, juga sejarah Surawana demi sejarahnya, juga lapisan tindakan bersepeda, itu semata-mata demi pelaku seni pertunjukan, yang dapat diperkuat dengan eksplorasi tubuh koreografer—dalam gerakan menunjuk diri sendiri pada pembahasan, seperti menceritakan reaksi tubuh terhadap narasi.
Pernyataan-pernyataan yang muncul tentang narator dan gerakan yang muncul dari kolaborator, pada sedikit pemahaman tentang pertunjukan, terbawa ke dalam drama, harus diperkuat bahwa kita, sebagai bersama dengan dramaturgi lawatan, harus menggunakannya sebagai lawatan untuk mempelajari sejarah Surawana melalui pertunjukan, sebagai bentuk tekad terhadap seni yang tidak memiliki media yang khas (dan karenanya menggunakan semua media).
Perhatian diperlukan untuk semua modalitas yang dimainkan; karena pengetahuan tentang pertunjukan secara tidak langsung akan dimasukkan ke dalam pengetahuan masing-masing. Performance studies, lebih siap untuk menangani sebagian besar ekspresi artistik dari “Install Ulang: Surawana Lewat Jalan Memutar”, yang selalu mensintesis atau mengintegrasikan gerakan, suara, sejarah, cerita masa kini, tuturan, narasi, dan objek, sebagai kombinasi sementara yang berkelanjutan, performance studies lebih dari sekadar jumlah inklusi-inklusinya.
Hal penting yang harus disadari adalah bahwa kehadiran, keaktifan, agensi, dan peristiwa, bukanlah ciri-ciri yang menentukan objek studi kita, melainkan isu-isu inti dari subjek disiplin kita masing-masing. Termasuk isu-isu di dalamnya, istilah pertunjukan eksperimental, pertunjukan gagasan dan dalam hal ini merujuk pada performance studies—yang dipayungi secara keseluruhan pada pertunjukan kolaboratif-kolektif.
Peristiwa, menurut saya, adalah istilah untuk mempertanyakan batas-batas antara modalitas dan mencoba mengaburkannya, apakah batas-batas itu menandai media, genre, atau tradisi budaya. Apa yang diceritakan melalui sejarah, dicocokkan dengan cerita di Kampung Inggris Pare, sebagai upaya untuk memperluas jangkauan pengetahuan, di mana ini memunculkan pertunjukan yang secara eksplisit bukan teater; dan pertunjukan seni yang mendematerialisasikan objek seni dan mendekati kondisi pertunjukan, di mana seni yang ditatap adalah semacam laporan pengetahuan tentang membangkitkan ‘ketidakpedulian’ terhadap Surawana itu; dan rekaman ini secara tidak langsung menjadi arsip atau teks yang lebih konkret.
Menurut saya, jika kolaborator dari berbagai disiplin ilmu dituntut untuk memasuki suatu peristiwa seperti lawatan, ketika diberikan informasi - dapat diakhiri dengan perilaku berikutnya seperti lawatan, tanpa harus memikirkan pergeseran tindakan, yang diperjelas seperti lawatan pada umumnya untuk mengelilingi relief lainnya, di mana lapisan tindakan bersepeda mengaburkan suatu realitas dari penjelasan. Termasuk tubuh koreografer yang diposisikan sebagai objek penceritaan mereka (tepat di bawah relief candi), menjadi pengaburan yang makin jelas, sekaligus menunjukkan keterampilan mereka masing-masing.
Catatan akhir dalam menyediakan pembacaan peluang bagi performance studies pada karya ini; kesadaran bahwa ini diarahkan bersama, yang menegaskan bahwa Haekal hanya penjalin karya, memberi mereka kebebasan untuk meyakini pengetahuan semacam ini yang sebelumnya tidak ditemukan. Demokratisasi suara yang dimaksudkan dalam pertunjukan kolaboratif-kolektif, adalah memahami apa yang dipikirkan dan dipelajari secara intens untuk dikeluarkan sebagai literasi. Sehingga kita semua semakin “melek tubuh”, “melek pendengaran”, “melek objek”, “melek visual”, dan seterusnya. Ragam media ini menjadi komunikasi hipertekstual untuk terus beroperasi pada berbagai tingkat pemahaman latar belakang dan arahan secara bersamaan untuk menuntut berbagai literasi—dalam merujuk pada Surawana.
Berputar dapat diartikan dari hamburan literasi ini sebagai “performatif”, dalam ranah berbuat, dan mengejar alur peristiwa. Realitas bahwa lawatan ini diperlukan secara berulang, untuk mengganggu kesadaran akan pertunjukan yang sedang berlangsung nanti; literasi tentang pertunjukan ini juga perlu didorong sekuat tenaga.