Advertisement
Monolog Supir 1989 |
Oleh: Luna Vidya
Menangkap kehidupan kota lewat panggung teater, saya tangkap menjadi upaya Kala Teater yang berkelanjutan. Upaya yang ditegaskan kembali oleh Kala Teater lewat Festival Kala Monolog 2024 yang berlangsung sejak tanggal 14-20 Oktober 2024.
Seberapa jauh kita telah dan akan terpisah dari kebaikan-kebaikan yang kita kenal, menyadari bahwa kita semua adalah “seseorang” yang hadir dan merespons peristiwa-peristiwa yang besar, sangat personal, domestik, dalam hidup sebagai warga kota? Pertanyaan ini menjadi tautan antara pengalaman sebagai warga kota, perempuan, dan penonton rangkaian pertunjukan teater monolog pada ajang Festival Kala Monolog. Dari pengalaman kursi penonton pula, tanpa mengabaikan dimensi personal saya sebagai warga perempuan, saya mengamat-amati titik perjumpaan dengan gagasan, isu tentang kota yang dihadirkan lewat 15 lakon monolog, sepanjang 16-20 Oktober 2024 itu.
Kata Arthur Miller, penulis lakon panggung dan skenario Amerika, “tugas seorang seniman adalah mengingatkan orang tentang hal-hal yang mereka pilih untuk lupakan." Menelusur pengalaman menonton dengan memakai “tugas mengingatkan” dan “ingatan yang dengan sengaja ingin dilupakan” sebagai pendekatan, menjadi cara saya untuk mengurai dan menganyam kembali benang merah dari seluruh rangkaian pertunjukkan dalam Festival Kala Monolog 2024 ini.
Mengingatkan yang sengaja dilupakan
Monolog Belanja Citra |
Pertunjukan-pertunjukan tersebut dalam menjalankan “tugas mengingatkan”, menampilkan beberapa realita, mengapungkan isu-isu yang dengan sengaja ingin dilupakan. Realita yang hilangnya ruang-ruang publik ketika denyut kampung-kampung sebagai ruang hidup bersama mulai diintervensi atas nama “modern”, “pengembangan”, atau “pembangunan”. "Lakon Materi Kuliah Umum - Sejarah yang Hilang dan Prediksi Jayabaya", dan "Jalan Terakhir”, menceritakan bagian kota yang hilang, dan lokasi baru yang tercipta sebagai konsekuensi.
Lakon lain, menohok ingatan tentang kota sebagai ruang hidup bersama, tapi kemudian perbedaan-perbedaan tercipta, tergantung kedekatan pada kekuasaan, dan pada ujung yang lain menciptakan kelompok oportunis. “Demokrasi” lewat mata Miller - walau pun telah beberapa kali menonton lakon ini – menurut saya, mengapungkan realitas bahwa ruang-ruang publik yang terampas, niscaya berdampingan dengan praktik berlebih struktur kekuasaan dan akses pada sumber-sumber ekonomi. Ketiadaan akses, akan menimbulkan krisis. Lalu krisis memicu konflik.
Ini mendekatkan pengalaman "Satu Kejadian di Kota Ampenan", sebagai tautan lain dari lakon-lakon yang ditampilkan itu. Konflik horizontal bisa terjadi di kota mana saja, menjadi pengalaman siapa saja. Konflik memperlihatkan kota yang kehilangan kebaikan-kebaikannya, masyarakat yang terlibas, jadi beringas. Di tepi lain kisah-kisah yang dipanggungkan, berjejer dalam lakon-lakon Festival Kala Monolog 2024, peristiwa-peristiwa dari ruang personal, sublim tapi tetap menjadi narasi perlawanan seperti "Perempuan dan Panci Nasi", “Perempuan Etalase Mitos”, “Kisah Kirana”, “Tolong”, “Belanja Citra”, dan Sopir 1989. Perlawanan terhadap, lagi-lagi, struktur kuasa yang korup, - baik yang dengan mudah kita sepakati atau kita terima sebagai sudut pandang narator, akses-akses ekonomi, dan upaya-upaya mempertahankan hidup.
Hal yang menarik dari jalinan keterkaitan lakon, adalah jumlah narasi perlawanan perempuan yang dipanggungkan. Dan perlawanan itu, ditujukan pada raksasa peradaban: tradisi dan kebudayaan.
Di panggung, tawaran untuk mereinterpretasi tradisi, disodorkan. Menurut saya perlawanan telah dimulai. Sisi yang sebelumnya gelap, bahkan tabu, mulai diterobos opsi pikiran-pikiran baru. Terlepas setuju tidak setuju, menyalut diri dengan gagasan perlawanan ini, menjadi pilihan yang ditawarkan kepada penonton. Terutama karena naskah-naskah perlawanan yang dipanggungkan itu berasal dari penulis perempuan, karyanya saat ini tidak bisa dilepaskan dari keterhubungan dengan Kala Teater. Barangkali, karya-karya ini dapat dijadikan penanda tentang nuansa pertukaran dan pertumbuhan pemikiran dalam lingkup Kala Teater.
“Tradisi” Kala Monolog sebagai Referensi Perubahan
Monolog Kisah Kirana |
Mengikuti perjalanan Festival Kala Monolog sejak tahun-tahun pertama inisiatif ini dilaksanakan, Festival Kala Monolog 2024 ini merupakan pilihan baru untuk “tradisi” yang telah dibentuknya selama 14 tahun. Festival ini tidak bersifat lomba seperti biasanya, tetapi merupakan hasil kurasi Kala Teater terhadap kerja individu maupun kelompok teater di sekitar lembaga ini. Bukan hanya di Makassar, tapi juga dari luar Makassar. Sebuah pilihan yang dapat memperkaya kemungkinan penyelenggaraan Festival Kala Monolog, di masa depan.
Merujuk ke model lomba yang berjalan selama ini, hasil kurasi belum berhasil mengalihkan saya dari ekspektasi di sekitar “tradisi” lomba, saat menonton hasil kurasi. Sebagai penonton, saya terganjal menonton hasil kurasi. Pasalnya, ketika di satu sisi ada beberapa pertunjukkan yang dengan cermat dan seksama dipanggungkan, sebutlah “Tolong”, "Kwee Tek Hoay: Sang Pendekar Pena" dan "Belanja Citra" , beberapa penampil lain terkesan masih dalam tahap pengembangan pertunjukkan. Hal seperti hafalan naskah yang belum selesai, gagasan yang diaktingkan dan struktur pengadeganan yang terkesan masih meraba-raba, membuat pertunjukan terasa belum matang untuk dipanggungkan. Sebagai penonton saya dibebani pertanyaan: apakah (beberapa) pertunjukkan setengah jadi ini, dipanggungkan karena penonton dianggap begitu awam terhadap pertunjukkan teater, sehingga apa saja yang dijejalkan dari atas panggung, akan saya terima mentah-mentah sebagai pertunjukan teater?
Festival Kala Monolog, lewat tradisi yang dibangun selama ini, pada satu sisi telah mengedukasi bukan saja penampil, tapi juga penonton bahwa lakon monolog adalah satu paket pertunjukkan, bukan hanya soal keaktoran, ketunggalan. Bagian dari edukasi itu adalah bahwa teater adalah sebuah pekerjaan persuasif dan dapat membenihkan gagasan perubahan. Mungkin tidak secara radikal dan revolusioner, tapi Festival Kala Monolog dengan tradisi lombanya telah ikut memberi ruang bagaimana seniman dapat mengingatkan orang tentang apa yang terjadi di ranah domestik, ruang-ruang personal warga kota. Dari Festival Kala Monolog, lahir penulis naskah seperti Inayah, yang beberapa naskahnya ditampilkan dalam Festival Kala Monolog 2024 ini. Apa yang saya maksudkan sebagai “tradisi” Festival Kala Monolog, kelahiran aktor, penulis naskah bahkan sutradara, bahkan rombongan penonton teater baru, seharusnya diperkenalkan sebagai referensi penting dalam proses kurasi di masa depan.
Tantangan Keaktoran
Sejarah yang hilang dan prediksi Jaya Baya |
Festival Kala Monolog yang juga bertujuan membangun keaktoran di Makassar. Sebagai penyelenggara Festival, sudah tentu ini adalah wahana untuk melakukan showcase atas proses dan pencapaian Kala Teater. Showcase ini, diramaikan oleh beberapa penampil dari luar komunitas Kala Teater. Aktor-aktor ini bahkan datang dari komunitas di luar Makassar seperti Haris Dogol dari Jakarta, Michael Seto dari Maumere, Kadek Eky Virji dari Denpasar, Annisa Effendi dari Polewali Mandar, Kun Baehaqi dari Bojonegoro, M. Ibnu Shohib dari Yogjakarta, Bagus Prasetyo dari Mataram. Selain nama-nama itu, ada Waode Nurul Hasanah, Alghifahri Jasin, dan Ince Muhammad Alwan yang berasal dari Makassar. Kehadiran para aktor di luar komunitas Kala Teater, menjadi catatan penting tentang pertemuan ruang-ruang pertunjukan.
Di masing-masing komunitas, para aktor telah berinteraksi, membangun keunikan interpretasi dan gagasan pertunjukan. Mengelola kesempatan dan peluang mereka, sebelum tiba di Festival Kala Monolog 2024. Dengan bekal itu, lakon-lakon dipentaskan. Meskipun tidak banyak eksplorasi akting ditampilkan, kecuali pada karakter Kwee Tek Hoay rata-rata aktor memperlihatkan hasil mengagumkan dari berproses secara mandiri maupun sebagai bagian dari komunitas. Sehingga menonton Festival ini, pertanyaan yang saya sodorkan dari kursi penonton adalah, apakah sang aktor masih menemukan tantangan ketika memainkan karakter tertentu pada naskah lain? Supaya tantangan itu terus ada, maka pertemuan ruang-ruang pertunjukkan dari berbagai tempat, seperti yang (mungkin) coba dilakukan Kala Teater ini, perlu dirawat bersama.
Perlu juga dicatat, kehadiran naskah yang aktornya adalah sang sutradara. Bagi saya, ini penanda bahwa ada aktivitas-aktivitas teater yang terus dihidupkan oleh sang aktor, secara mandiri. Karena jika keaktoran berkembang dalam komunitas, maka secara alamiah garapan lakon akan memperluas ruang kerja yang dibutuhkan dalam memanggungkan lakon tersebut. Memang bisa saja tidak demikian. Kemandirian ini, di satu sisi adalah kekuatan, karena para aktor punya kendali pada ruang pertunjukkan. Tapi di pihak lain, kemandirian ini dan kendali pada ruang-ruang pertunjukkan karena keterampilan akting yang teruji, tetapi itu juga yang membuat ruang teater bersama seperti Kala Monolog menemukan cengkeramannya. Jadi penegasan kenapa Festival Kala Monolog penting dirawat. Bukan untuk jago-jagoan, tapi untuk jadi wadah memperluas cakrawala dan persentuhan dengan kemungkinan, bersama-sama. Untuk jadi bekal ke para aktor panggung-panggung berikutnya. Barangkali secara kolaboratif. Mungkin saja kan?
Terima kasih untuk terus berjalan Kala Teater. Mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru dalam perjalanan itu, sambil melibatkan orang seperti saya, warga kota. Bukan sekedar membangun tradisi teater, tapi ekosistem teater. Terima kasih, telah mengingatkan tentang apa yang hilang, apa yang perlu dipertimbangkan mengenai ruang-ruang perlawanan yang mungkin dengan sengaja saya gelapkan di salah satu sisi panggung kehidupan.
Festival Kala Monolog tahun ini didukung oleh Dana Indonesiana, Kemendikbudristek, LPDP dan Fase Rawat Pekan Kebudayaan Nasional 2024. Kita akan berjumpa di Festival Kala Monolog berikutnya, kan?
*Penulis adalah aktor, penyair, dan penulis lakon teater, terutama monolog. la juga menulis narasi pendek, esai, dan monolog sebagai bagian dari metode mengikhtisarkan gagasan yang beragam dalam pekerjaannya sebagai konsultan komunikasi dan fasilitator. Saat ini, ia mengerjakan pendokumentasian terhadap memori mobilitas warga Makassar, dalam kapasitas sebagai koordinator program asistensi dan pendampingan untuk isu mobilitas rendah karbon yang inklusif dan berkelanjutan untuk Kota Makassar.