Advertisement
Ilustrasi kritikus |
Oleh: Adhyra Irianto
Kesimpulan dan hasil pengamatan dari Kelas Virtual DAAL
Obrolan yang digelar Dian Arza Arts Laboratory bertajuk Menuju Lapah #8 Kelas Virtual, mengangkat tema yang "dekat tapi jauh" dari pegiat seni pertunjukan. Temanya adalah publikasi dan produserial. Saya berbicara mewakili Pojok Seni, membahas tentang tulisan pra dan pasca pertunjukan, sedangkan Ratri Anindyajati yang merupakan Direktur Indonesian Dance Festival membicarakan tentang produserial event kesenian, khususnya seni pertunjukan.
Saya sebagai pegiat teater, tidak berbicara sebagai "seniman teater" tapi berbicara sebagai seorang yang menulis sebuah pertunjukan teater. Seperti itu pula kiranya saudari Ratri Anindyajati yang disebut di CV-nya sebagai pegiat tari (dari SD) tidak berbicara sebagai penari, tapi berbicara sebagai seorang produser.
Yah, Ratri Anindyajati menurut saya lebih tepat, ketimbang saya. Beliau adalah produser seni di Amerika, dan ketika pulang ke Indonesia menjadi direktur sebuah event yang besar. Lah, saya kebetulan bukan seorang kritikus, reviewer, atau penulis pertunjukan. Saya lebih tertarik untuk menulis naskah, menggarap sebuah pertunjukan teater. Tapi, yah karena Pojok Seni, mungkin Bung Agung Putra dari DAAL akhirnya menunjuk saya yang membicarakan tentang penulis sebuah pertunjukan.
Poster Kelas Virtual DAAL |
Sedikit mengutip tulisan Sulaiman Juned, seorang akademisi dan seniman teater di ISI Padangpanjang dalam artikelnya berjudul "Apakah Mungkin Kritikus Teater Akan Lahir?", ia menyebut bahwa akhir-akhir ini pelaku kritik teater sangat terasa benar "ketiadaannya". Padahal, kritikus adalah jembatan antara penonton dengan sutradara, sehingga sebuah karya menjadi terbuka, begitu juga pertanyaan-pertanyaan penonton juga terjawab dengan adanya kritikus.
Ternyata tidak hanya kritikus atau setidaknya seseorang yang menuliskan persepsi estetisnya pada sebuah pertunjukan, keberadaan produser seni pertunjukan juga bisa dikatakan minim. Tidak banyak orang yang mengabdikan dirinya sebagai seseorang yang khusus menjadi "pimpro" sebuah pertunjukan teater, dibekali dengan berbagai modal keilmuan, relasi, kemampuan manajemen, publik speaking, dan sebagainya.
Pada wilayah produserial, setidaknya Indonesia masih mengenal nama-nama seperti Ratna Riantiarno sampai Happy Salma yang secara khusus bekerja sebagai produser seni pertunjukan. Untuk wilayah produserial, yah jumlah pelaku kritik teater bisa dibilang sangat minim (kalau tidak mau dikatakan tidak ada).
Dalam pengantar yang saya paparkan sebagai pemantik diskusi, saya menyebut ada empat jenis tulisan terkait pertunjukan. Ada proposisi, review, perspesi, dan kritik. Proposisi ditawarkan di pra-pertunjukan, sedangkan tiga yang disebut belakangan akan muncul pasca pertunjukan.
Secara simpel, proposisi adalah karya apa yang akan ditampilkan, serta mengapa karya tersebut dibuat, dan juga menjawab pertanyaan mengapa karya tersebut harus ditonton. Jenis tulisan yang ini, meski tidak banyak, tapi setidaknya masih cukup sering ditemukan.
Sedangkan untuk tiga jenis tulisan lainnya, yakni review, persepsi dan kritik, ditulis setelah pertunjukan berakhir. Dua jenis tulisan paling pertama bisa dikatakan masih sering ditemukan, meski (lagi-lagi) tidak banyak. Review adalah jenis tulisan deskripsi karya dan (terkadang) juga menyematkan evaluasi artistik di dalamnya. Tulisan seperti ini sering ditemukan di media mainstream pasca pertunjukan digelar.
Persepsi adalah jenis tulisan yang memuat persepsi estetis, entah itu dari penonton, atau bisa juga dari performer (penari, aktor, musisi dan performer lainnya). Tulisan ini lebih subjektif, berisi apa perasaan dan pengalaman estetis yang didapatkan seseorang setelah menyelami suatu karya. Tulisan satu ini juga sering ditemukan, setidaknya di Pojok Seni, jenis tulisan seperti ini sangat sering dimuat.
Tapi jenis tulisan yang terakhir, yakni kritik, ini yang paling jarang ditemukan. Sebuah karya dibedah menggunakan dramaturgi, dan disiplin ilmu lainnya (biasanya untuk membedah premis), serta dengan teliti dan detail mendedah setiap tanda yang hadir di pertunjukan. Setelah interpretasi dipaparkan, tidak lupa ada "penilaian" di akhir tulisan. Yah, kritikus akan memberikan pendapatnya pada suatu karya secara adil.
Karya kritik sebagai evaluasi artistik bisa dipaparkan dalam media massa (sebagai kritik populer atau kritik jurnalistik) maupun dalam jurnal ilmiah (sebagai kritik keilmuan dan kritik pendidikan). Metode yang paling terkenal dalam menulis kritik adalah metode Feldman, yang memberi syarat minimal untuk karya kritik seni, yakni ada deskripsi, analisis (ilmiah), interpretasi, dan evaluasi.
Produser dan kritikus, meski memiliki tupoksi yang jauh berbeda, tapi merujuk ke tipe orang yang hampir mirip, yakni "seseorang yang memiliki passion di seni tapi tidak membuat seni." Sedikit mengutip pernyataan seorang kritikus seni pertunjukan asal Amerika, Kenneth Tynan, kritikus adalah "seseorang yang tahu jalan, bisa membaca rambu, tapi tidak bisa mengendarai mobil."
Dalam seni-seni lain, khususnya yang sudah menjadi industri, kedua posisi ini sudah cukup banyak ditemukan. Produser bermula dari seorang yang belajar seni, tapi kemudian mempelajari manajerial dan ke-produseran. Kritikus juga bermula dari seorang yang belajar seni, tapi kemudian mempelajari pengkajian seni dan menulis kritik.
Nah, saya ketemu lagi penguat kenapa Ratri Anindya lebih tepat berbicara produserial, ketimbang saya bicara tentang penulis pertunjukan. Yah, Ratri menamatkan pendidikan S2 di Amerika jurusan produser seni, sedangkan saya pendidikan terakhir adalah S2 penciptaan seni. Dengan kata lain, baik secara pengalaman maupun latar belakang akademik, saya adalah seorang pengkarya, yang harus rela karyanya dikritik. Dalam kampus seni, ada tiga jenis lulusan yang diciptakan; pencipta, penyaji, dan pengkaji. Pengkaji ini yang ditujukan untuk menjadi peneliti, kritikus, dramaturg, dan setipenya.
Harusnya Lahir Setiap Tahun
Jurusan produserial seni masih bisa ditemukan di Indonesia, meski ada beberapa kampus seni seperti ISI Yogyakarta, IKJ Jakarta, dan ISI Surakarta yang menyediakan jurusan Tata Kelola Seni. Di ISI Denpasar juga menyediakan jurusan Tata Kelola Seni untuk level magister. Itu berarti, semestinya setiap tahunnya calon-calon produser (atau katakanlah Pimpinan Produksi, ini hanya masalah terminologi) harusnya lahir di Indonesia.
Begitu juga jurusan pengkajian seni, itu bisa ditemukan di setiap kampus seni di Indonesia. Setiap tahunnya, ada banyak pengkaji seni yang dicetak di Indonesia. Lagi-lagi, semestinya ada kritikus teater yang lahir setiap tahunnya di Indonesia.
Untuk masalah "ruang", yah "calon produser" bisa mengakses dana yang sekarang disediakan pemerintah melalui Dana Indonesiana, seandainya berada di daerah yang tidak didukung pemerintah dan swasta. Pemerintah Daerah juga memiliki dana khusus untuk kegiatan kebudayaan, termasuk di dalamnya seni. Tinggal bagaimana "calon produser" ini membuat proposal yang paling baik dan mempresentasikannya dengan baik pula. Biarkan "calon sutradara" membuat karya yang paling baik dan mempresentasikannya dengan baik juga.
Bagaimana dengan kritikus? Sang jembatan antara karya-seniman-penonton ini? Yah, Pojok Seni sudah sejak lama menyediakan ruang itu. Bila ada pertunjukan yang ingin Anda tulis kritik karyanya, silahkan kirimkan ke kami. Atau, mungkin Anda bisa menjadikannya artikel ilmiah untuk dimuat di jurnal. Atau mungkin punya media lain, atau malah media sendiri. Saya kira tidak ada yang masalah, silahkan saja.
Terpenting, harusnya lebih banyak produser dan kritikus (minimal reviewer atau orang yang menulis persepsi estetisnya) yang lahir di Indonesia. Maka, "ekosistem" yang diharapkan itu bisa benar-benar hidup, dan berkelanjutan.