Seniman dan Politik: Dari Agen Perubahan ke "Gula-Gula" Kampanye (Bagian II- Habis) -->
close
Pojok Seni
04 October 2024, 10/04/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-10-04T01:00:00Z
Artikel

Seniman dan Politik: Dari Agen Perubahan ke "Gula-Gula" Kampanye (Bagian II- Habis)

Advertisement


Oleh:  Zackir L Makmur*


Bagaimanapun juga peran seniman dalam politik selalu ditandai oleh kompleksitas dan ambiguitas. Dalam konteks Pilkada Serentak 2024 di Indonesia, banyak seniman terlihat ragu untuk mengambil langkah aktif dalam arena politik. Ketidakpastian ini sering kali muncul dari ketakutan akan kompromi politik yang dapat mengorbankan nilai-nilai dan integritas seni mereka. Selain itu, tekanan dari dinamika komersial yang dangkal sering kali membuat seniman terjebak dalam peran yang tidak lebih dari sekadar alat pemasaran untuk kampanye politik. 


Maka masa depan keterlibatan seniman dalam politik, akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk menavigasi batasan antara seni dan politik, serta antara idealisme dan realitas. Dalam menghadapi tantangan ini, seniman harus siap untuk berinteraksi dengan dunia politik, tetapi di sisi lain, mereka harus mampu menjaga jarak yang sehat agar karya seni mereka tidak kehilangan makna dan integritasnya. Dengan memanfaatkan kekuatan seni sebagai alat untuk mengkritik dan mengadvokasi perubahan sosial, seniman bisa menjadi penggerak penting dalam masyarakat yang lebih demokratis dan inklusif.


Dalam dunia yang semakin terkomodifikasi, tanggung jawab seniman tidak hanya untuk berfungsi sebagai "gula-gula" politik, tetapi juga untuk tampil sebagai agen perubahan yang kritis terhadap kekuasaan. Dengan potensi dan pengaruh yang mereka miliki, seniman dapat berperan aktif dalam membentuk wacana publik, mendukung keadilan sosial, dan mendorong partisipasi politik masyarakat. Jika seniman berhasil menyeimbangkan antara keterlibatan politik dan kemandirian kreatif, mereka tidak hanya akan memperkaya seni itu sendiri, tetapi juga memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat dan sistem politik yang ada.


Ketegangan Kebebasan Kreatif dan Realitas Politik


Ketegangan antara kebebasan kreatif dan realitas politik merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh seniman saat ini. Seni sering kali dipandang sebagai ruang di mana individu dapat mengekspresikan ide, emosi, dan pandangan dunia tanpa batasan. Dalam konteks ini, seni menjadi representasi dari kebebasan kreatif yang murni, di mana seniman memiliki kebebasan untuk berinovasi dan bereksplorasi. 


Sementara itu dunia politik, di sisi lain, kerap kali diwarnai oleh pragmatisme, kompromi, dan kepentingan yang dapat membatasi ruang gerak individu. Oleh karena itu, keterlibatan seniman dalam politik dapat dianggap sebagai pengorbanan terhadap prinsip-prinsip yang mereka anut dalam berkarya. Jadinya keterlibatan seniman dalam politik berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan, karena mereka harus berhadapan dengan berbagai tuntutan dan ekspektasi dari masyarakat dan pemangku kepentingan politik. 


Dalam banyak kasus, seniman merasa terjebak antara keinginan untuk menyuarakan kritik sosial dan kebutuhan untuk menjaga integritas karya mereka. Ketakutan akan konsekuensi dari keterlibatan tersebut sering kali membuat seniman memilih untuk tetap berada dalam zona nyaman seni, daripada menjelajah ke ranah politik yang dinilai rumit dan penuh risiko. Dengan demikian, ketakutan bahwa keterlibatan dalam politik akan membatasi kreativitas dan mengurangi orisinalitas karya –menjadi alasan utama bagi seniman untuk menjaga jarak dari dunia politik.


Ketegangan ini juga membuka peluang bagi seniman untuk menciptakan bentuk seni yang lebih kritis dan reflektif. Dengan tetap berada di luar dunia politik formal, seniman dapat berfungsi sebagai pengamat yang independen, menggunakan karya mereka untuk mengangkat isu-isu sosial tanpa terikat pada kepentingan politik tertentu. Melalui seni, mereka dapat mengekspresikan pandangan dan kritik terhadap kondisi sosial dan politik tanpa harus terlibat langsung dalam dinamika politik yang pragmatis. Dalam hal ini, seni menjadi sarana yang efektif untuk menggugah kesadaran dan menginspirasi tindakan tanpa mengorbankan integritas kreatif.


Di sisi lain, penting bagi seniman untuk menemukan cara untuk menyeimbangkan kebebasan kreatif mereka dengan tanggung jawab sosial. Mereka perlu menyadari bahwa seni dan politik tidak selalu harus berada di jalur yang berbeda. Sebaliknya, seni dapat berfungsi sebagai alat yang efektif untuk mendorong perubahan sosial dan politik tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi. 


Dengan menciptakan karya yang dapat menginspirasi dan menggugah kesadaran masyarakat, seniman dapat berkontribusi pada wacana politik tanpa kehilangan identitas kreatif mereka. Dalam konteks ini, seniman harus belajar untuk melihat politik bukan hanya sebagai medan yang penuh dengan kompromi, tetapi juga sebagai arena di mana mereka dapat menggunakan suara dan bakat mereka untuk memengaruhi perubahan positif.


Dengan demikian, ketegangan antara kebebasan kreatif dan realitas politik bukanlah halangan bagi seniman untuk terlibat dalam perubahan sosial. Sebaliknya, itu merupakan tantangan yang dapat mendorong mereka untuk lebih inovatif dan kritis dalam berkarya. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh dinamika, peran seniman sebagai agen perubahan sangatlah penting. 


Mereka memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya menciptakan karya yang estetis, tetapi juga untuk menyuarakan keadilan, kebenaran, dan perubahan sosial melalui seni. Dengan cara semacam ini, seniman dapat tetap mempertahankan kebebasan kreatif mereka, sekaligus berkontribusi pada perubahan yang nyata dalam masyarakat.


Seniman sebagai "Gula-Gula" Politik


Seniman sebagai "gula-gula" politik dalam konteks Pilkada Serentak 2024: menggambarkan fenomena di mana keterlibatan mereka dalam kampanye sering kali tidak lebih dari sekadar hiasan tanpa makna yang substansial. Dalam banyak kasus, seniman diundang untuk berpartisipasi dalam acara kampanye, menampilkan karya seni, atau tampil dalam iklan politik dengan harapan bahwa kehadiran mereka akan mempercantik citra kandidat. Namun, partisipasi mereka sering kali tidak didukung dengan kesempatan untuk terlibat dalam diskusi yang lebih mendalam mengenai isu-isu kebijakan. 


Alih-alih menjadi agen perubahan yang mampu memengaruhi keputusan politik, seniman sering kali terjebak dalam peran kosmetik yang tidak membawa dampak signifikan bagi masyarakat. Kondisi ini menimbulkan kritik yang cukup tajam terhadap cara seniman diperlakukan dalam arena politik. Banyak orang berpendapat bahwa peran seniman seharusnya tidak hanya sekadar untuk menarik perhatian, atau memperkuat daya tarik visual kampanye. 


Sebaliknya, mereka seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan yang relevan dengan isu-isu sosial yang dihadapi masyarakat. Ketidakpuasan ini mencerminkan kekhawatiran bahwa politik telah menjadi arena yang semakin terpusat pada pencitraan dan manipulasi media, di mana seniman hanya diposisikan sebagai alat pemasaran. Dalam konteks ini, keberadaan seniman di dunia politik menjadi semakin dipertanyakan, terutama terkait dengan integritas dan dampak karya mereka dalam mempengaruhi masyarakat.


Lebih jauh lagi, peran seniman yang terjebak dalam dinamika "gula-gula" politik menunjukkan tantangan yang lebih besar bagi mereka dalam menavigasi dunia politik yang pragmatis. Dalam situasi di mana kreativitas dan orisinalitas sering kali dikorbankan demi kepentingan politik, seniman harus menemukan cara untuk tetap menjaga suara mereka. Keterlibatan mereka seharusnya tidak hanya menjadi sarana untuk mempercantik citra kandidat, tetapi juga menjadi kesempatan untuk menyuarakan kritik dan harapan masyarakat. 


Dengan memanfaatkan seni sebagai medium untuk menyampaikan pesan yang kuat, seniman dapat berkontribusi pada wacana politik yang lebih berarti dan berpengaruh. Sebagai agen perubahan yang sejati, seniman harus dapat membedakan antara peran mereka sebagai seniman yang kreatif dan peran mereka dalam dunia politik. Mereka perlu mengeksplorasi bagaimana karya seni mereka dapat digunakan untuk menciptakan kesadaran, memicu diskusi, dan mendorong perubahan positif dalam masyarakat. Jika seniman terus terjebak dalam posisi sebagai "gula-gula" politik, mereka berisiko kehilangan kesempatan untuk berkontribusi secara nyata dalam proses perubahan sosial. 


Oleh karena itu, penting bagi seniman untuk berani mengambil posisi yang lebih aktif dan substansial dalam politik. Bukan hanya sebagai alat kosmetik, tetapi sebagai suara yang berdaya guna dalam mewujudkan keadilan dan perubahan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh seniman dalam konteks Pilkada Serentak 2024 menuntut mereka untuk tidak hanya menjadi elemen pendukung dalam kampanye, tetapi juga menjadi penggerak perubahan yang berani. 


Seniman harus memanfaatkan kesempatan yang ada untuk menginspirasi, mendidik, dan mendorong masyarakat agar lebih terlibat dalam proses politik. Dalam dunia yang semakin kompleks, di mana isu-isu sosial semakin mendesak, peran seniman sebagai agen perubahan menjadi sangat penting. Jika mereka dapat menembus batasan yang ada dan berkontribusi secara substansial, seni dapat kembali menjadi alat yang ampuh untuk mempengaruhi kebijakan dan menciptakan dampak positif bagi masyarakat.


Komodifikasi Seni Dalam Dunia Politik


Komodifikasi seni dalam dunia politik merupakan fenomena yang semakin mencolok dalam beberapa tahun terakhir, terutama ketika seniman sering kali terjebak dalam peran pasif yang lebih menguntungkan kepentingan politik daripada mengekspresikan pandangan kreatif mereka. Dalam konteks ini, seni dan seniman sering kali dipandang sebagai aset strategis yang dapat digunakan untuk memperindah citra kandidat dan menarik perhatian publik. 


Dalam sistem politik yang berorientasi pada pencitraan demikian, karya seni diperlakukan bukan sebagai medium ekspresi artistik, melainkan sebagai komoditas yang memiliki nilai tukar yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung agenda politik tertentu. Akibatnya, keterlibatan seniman dalam arena politik menjadi sekadar alat untuk mencapai tujuan pragmatis –bukan sebagai upaya untuk menyuarakan suara dan kepentingan mereka. Jelaslah ini menciptakan ketegangan antara seniman dan nilai-nilai yang mereka anut. 


Ketika seni dikomodifikasi untuk mendukung kepentingan politik yang tidak selalu sejalan dengan pandangan pribadi seniman, mereka sering kali dihadapkan pada dilema etika. Apakah mereka harus mengorbankan nilai-nilai artistik dan integritas kreatif mereka demi mendukung kandidat yang tidak sejalan dengan keyakinan mereka? Dalam situasi ini, seniman sering kali terjebak dalam posisi yang tidak nyaman, di mana mereka dipaksa untuk berpartisipasi dalam proses politik yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip yang mereka junjung tinggi. 


Di sisi lain, komodifikasi seni dalam politik juga mencerminkan perubahan dalam cara masyarakat memandang peran seni dan seniman. Ketika seni menjadi alat untuk mencapai tujuan politik, hal ini menunjukkan bahwa nilai estetika sering kali dikorbankan demi kepentingan pragmatis. Dalam konteks ini, seni kehilangan esensi dan kedalaman yang sering kali menjadi kekuatan pendorong bagi perubahan sosial. 


Ketika seniman hanya diposisikan sebagai pendukung visual bagi politikus, mereka kehilangan peluang untuk menyampaikan kritik dan menggugah pemikiran masyarakat. Dalam hal ini, seni seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga sebagai medium yang dapat menggugah kesadaran dan mendorong tindakan kolektif. Untuk mengatasi tantangan ini, penting bagi seniman untuk kembali menegaskan posisi mereka sebagai agen perubahan yang independen. 


Mereka harus berupaya untuk mempertahankan otonomi kreatif mereka dan menggunakan karya seni sebagai sarana untuk menyuarakan pandangan kritis terhadap keadaan sosial dan politik. Dengan cara ini, seni dapat berfungsi sebagai alat untuk memicu perubahan, bukan sekadar alat pemasaran bagi kepentingan politik yang lebih besar. Seniman perlu menemukan cara untuk menjembatani dunia seni dan politik tanpa mengorbankan integritas kreatif mereka, sehingga mereka dapat berkontribusi secara signifikan dalam menciptakan kesadaran dan perubahan sosial yang berarti.


Seniman Dalam Aktivisme Terselubung


Seniman dan aktivisme terselubung sering kali menjadi dinamika yang menarik dalam konteks politik kontemporer, termasuk dalam Pilkada Serentak 2024. Meskipun banyak seniman terjebak dalam peran sekunder sebagai "gula-gula" politik, masih ada sejumlah seniman yang memilih untuk berpolitik dengan cara yang lebih halus dan tidak langsung.

 

Mereka memanfaatkan karya seni sebagai alat untuk menyampaikan kritik sosial, dan menyoroti ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat. Melalui pentas teater, lukisan, puisi, musik, dan berbagai bentuk ekspresi seni lainnya, mereka mampu menggugah kesadaran masyarakat dan menginspirasi perubahan tanpa harus terlibat langsung dalam arena politik formal. Karya seni yang dihasilkan oleh seniman-seniman ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai medium yang mampu menyampaikan pesan mendalam tentang isu-isu sosial dan politik. 


Dari itu masih banyak seniman menggunakan simbol-simbol kuat dalam lukisan, pentas teater, ataupun puisi-puisi mereka untuk merefleksikan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah demi menyuarakan aspirasi masyarakat yang terpinggirkan. Dengan cara ini, seni menjadi alat yang efektif dalam membentuk opini publik dan merangsang dialog tentang perubahan yang diperlukan dalam masyarakat. Aktivisme terselubung ini memungkinkan seniman untuk tetap menjaga otonomi kreatif mereka sekaligus berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih luas.


Dampak dari aktivisme terselubung ini sering kali lebih dalam. Dan berkelanjutan dibandingkan dengan keterlibatan langsung dalam politik. Karya seni yang mengandung pesan sosial dapat menginspirasi generasi muda dan menciptakan kesadaran yang lebih luas tentang isu-isu penting. Sebutlah sebuah pentas teater atau film yang mengangkat tema ketidakadilan sosial, dapat mencapai ribuan orang dan memicu diskusi di antara masyarakat. 


Dengan cara ini, seniman dapat berfungsi sebagai penggerak perubahan yang mempengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat tanpa harus terlibat dalam politik secara langsung.  Aktivisme seni ini, meskipun terlihat lebih halus, dapat menciptakan gelombang perubahan yang signifikan dan tahan lama di masyarakat. Tapi, tantangan yang dihadapi oleh seniman dalam bentuk aktivisme ini adalah risiko mendapatkan reaksi negatif dari pihak-pihak yang berkuasa. Seniman yang menyuarakan kritik terhadap pemerintah, atau kebijakan publik, sering kali berhadapan dengan risiko penurunan popularitas, ancaman terhadap keamanan, bahkan sanksi hukum. 


Dalam situasi semacam itu, maka keberanian untuk berbicara melalui seni menjadi hal yang sangat penting. Meskipun risiko tersebut ada, banyak seniman yang tetap memilih untuk menyuarakan pandangan mereka melalui karya seni, menunjukkan bahwa seni tetap menjadi sarana yang kuat untuk menciptakan perubahan meskipun dalam keadaan yang sulit. Ini juga sekaligus menandakan bahwa meskipun banyak seniman terjebak dalam dinamika politik kontemporer yang kompleks, ada juga yang berusaha untuk menggunakan seni sebagai medium untuk aktivisme terselubung. 


Karya seni yang dihasilkan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat untuk menyampaikan pesan kritik sosial dan menginspirasi perubahan. Dengan cara ini, seniman dapat berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih luas, meskipun tidak terlibat langsung dalam politik. Aktivisme terselubung ini menunjukkan bahwa seni memiliki potensi yang besar untuk menggugah kesadaran dan membentuk opini publik. Dan ini menjadikannya sebagai kekuatan yang tidak boleh diabaikan dalam konteks politik dan sosial saat ini. ***


* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads