Seniman dan Politik: Dari Agen Perubahan ke "Gula-Gula" Kampanye (Bagian I) -->
close
Pojok Seni
03 October 2024, 10/03/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-10-03T01:00:00Z
Artikel

Seniman dan Politik: Dari Agen Perubahan ke "Gula-Gula" Kampanye (Bagian I)

Advertisement


Oleh:  Zackir L Makmur*


Dalam sejarah, seniman sering kali memegang peran penting dalam perubahan sosial dan politik. Di masa Renaissance, tokoh-tokoh seperti Leonardo da Vinci dan Michelangelo menggunakan seni mereka untuk memperjuangkan kebebasan berpikir dan melawan kekuasaan yang mengekang. Karya-karya mereka tidak hanya membawa revolusi estetika, tetapi juga mempromosikan gagasan-gagasan humanis yang kemudian mempengaruhi politik Eropa. 


Di Indonesia, seniman seperti Raden Saleh dan Chairil Anwar menggunakan seni sebagai alat perjuangan kemerdekaan, menginspirasi rakyat untuk melawan penjajahan. Seni pada masa itu bukan sekadar karya estetis, melainkan alat transformasi sosial yang sangat kuat. Namun, dalam politik kontemporer, khususnya dalam konteks Pilkada Serentak 2024 di Indonesia, seniman tampaknya semakin ragu untuk terlibat aktif dalam dunia politik. 


Keterlibatan mereka yang dulu sangat dinamis, kini terlihat jauh lebih pasif. Pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa hal ini terjadi. Apakah seniman merasa bahwa dunia politik yang penuh kompromi dan kepentingan tidak sesuai dengan idealisme mereka? Ataukah, mereka merasa canggung untuk berpolitik karena khawatir kehilangan kebebasan kreatif yang menjadi esensi karya seni mereka?


Salah satu kemungkinan penyebab seniman terlihat malu-malu berpolitik, adalah komersialisasi politik yang semakin mendominasi arena kampanye. Dalam banyak kasus, seniman dijadikan alat pemasaran oleh para politisi untuk menarik perhatian massa tanpa diberikan ruang untuk benar-benar memengaruhi kebijakan. Di Pilkada Serentak 2024, banyak seniman hanya berperan sebagai "gula-gula" politik—diperlukan hanya untuk memperindah kampanye visual kandidat, tanpa diberikan peran substantif dalam proses pengambilan keputusan. Dalam situasi seperti ini, seniman lebih sering digunakan untuk kepentingan estetika politik daripada untuk mendorong wacana sosial yang berarti.


Ketika politik berubah menjadi ajang pencitraan dan iklan, seniman yang mencoba berperan aktif dalam dunia politik sering kali kehilangan makna dari karya mereka. Mereka yang seharusnya bisa menjadi agen perubahan akhirnya hanya menjadi alat untuk mempercantik citra kandidat tanpa mampu menyuarakan kritik sosial yang mendalam. Ini menciptakan situasi yang memalukan, di mana keterlibatan seniman dalam politik tidak lagi dihormati sebagai kontribusi yang substansial, melainkan hanya sebagai elemen kosmetik yang mempermanis strategi kampanye.


Sejarah Seniman Sebagai Agen Perubahan


Sejarah mencatat seniman sebagai agen perubahan sosial dan politik yang berpengaruh. Dalam era Renaissance di Eropa, peran seniman begitu signifikan dalam memicu perubahan budaya dan sosial yang menantang tatanan lama. Karya-karya mereka tidak hanya memikat secara estetis, tetapi juga menyentuh isu-isu etis dan filosofis yang mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan manusia itu sendiri. 


Seni pada masa itu berfungsi sebagai alat perlawanan yang halus namun kuat, demi menyampaikan pesan kebebasan berpikir di tengah pengekangan otoritas religius dan monarki. Humanisme yang diusung oleh seniman Renaissance mengarah pada reformasi besar di bidang pendidikan, politik, dan agama. Karya seni tidak lagi sekadar hiasan istana atau gereja, tetapi menjadi medium yang menggugah kesadaran publik. 


Misalnya, patung-patung dan lukisan Renaissance seringkali menyembunyikan simbolisme yang menentang kekuasaan yang berlebihan, mempromosikan martabat manusia, dan menghormati individualitas.  Di sinilah seniman memainkan peran mereka sebagai pemberi cahaya, menggali isu-isu filosofis yang dalam dan menciptakan ruang untuk perubahan sosial yang lebih luas. Pada akhirnya, gerakan seni Renaissance mendorong transformasi yang melampaui estetika, membawa perubahan dalam tatanan politik dan budaya Eropa.


Dalam konteks Indonesia, seni juga memegang peranan penting, terutama selama era kolonial dan perjuangan kemerdekaan. Karya-karya seniman Indonesia, seperti lukisan Raden Saleh, menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Raden Saleh, melalui lukisannya yang menggambarkan keagungan alam dan kepahlawanan, menyuarakan keinginan rakyat Indonesia untuk kebebasan. Di sisi lain, puisi-puisi Chairil Anwar menjadi ungkapan keresahan dan semangat perjuangan di masa revolusi. Melalui bahasa yang tajam dan emosional, puisi-puisinya menjadi suara bagi generasi yang haus akan kemerdekaan dan keadilan.


Seni Indonesia selama masa kolonial tidak hanya terbatas pada lukisan dan puisi. Teater, musik, dan sastra juga memainkan peran penting dalam menyatukan bangsa yang terpecah. Seniman menggunakan media ini sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan perlawanan terhadap penjajah dan menginspirasi semangat nasionalisme. Teater dan musik menjadi ruang dimana rakyat berkumpul dan berbagi cerita tentang penderitaan di bawah penjajahan, sekaligus memperkuat semangat kebersamaan untuk mencapai kemerdekaan. 


Seni menjadi wadah di mana keresahan politik dan sosial diartikulasikan dengan cara yang bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Maka peran seni sebagai alat perubahan politik dan sosial di Indonesia terbukti efektif dalam menyatukan bangsa dan menginspirasi gerakan kemerdekaan. Dengan menggunakan seni sebagai alat ekspresi politik, seniman Indonesia membuktikan bahwa keindahan tidak harus terpisah dari kebutuhan akan keadilan. 


Karya seni yang tercipta pada masa itu memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menyatukan, menggugah, dan memotivasi perubahan. Hal ini menjadikan seni bukan hanya sekadar produk budaya, tetapi juga alat perjuangan yang esensial dalam sejarah perlawanan bangsa. Lantas sebagaimana di Eropa, sejarah seni di Indonesia juga menunjukkan bahwa seniman tidak pernah hanya menjadi pencipta karya estetis belaka. Mereka adalah aktor penting dalam pergerakan sosial dan politik yang mengubah sejarah. Baik di Eropa maupun Indonesia, seni telah dan akan terus menjadi medium yang kuat untuk menyuarakan perubahan, memperjuangkan keadilan, dan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih baik.


Pasifnya Seniman Dalam Politik Kontemporer


Kendati demikian dalam politik kontemporer, peran seniman tampak semakin pasif dan ambigu, terutama di Indonesia. Pada Pilkada Serentak 2024, seniman yang dulu sering memegang peran penting sebagai penggerak perubahan sosial kini lebih sering hanya menjadi "ornamen" dalam kampanye politik. Seniman yang berpartisipasi dalam dunia politik seringkali tidak diberi ruang untuk benar-benar memengaruhi wacana politik secara mendalam. 


Sebaliknya, mereka cenderung digunakan sebagai alat estetika untuk memperindah citra kandidat, menjauh dari peran mereka sebagai agen perubahan yang substantif. Sesungguhnya fenomena ini tidak terbatas pada Indonesia. Di banyak negara, seniman sering kali menjadi bagian dari dinamika politik yang lebih komersial dan dangkal. 


Dalam kampanye politik, mereka digunakan untuk menarik perhatian publik melalui popularitas dan pengaruh mereka, namun kontribusi substantif terhadap kebijakan atau perubahan sosial tetap minim. Misalnya, di Amerika Serikat, aktor, musisi, dan selebriti sering memberikan dukungan kepada kandidat presiden, tetapi dukungan ini lebih bersifat simbolis daripada mempengaruhi agenda politik secara nyata. Hal ini memperlihatkan bahwa di banyak konteks, keterlibatan seniman dalam politik lebih sering terjadi di permukaan daripada di tingkat substansi.


Salah satu alasan seniman terkesan enggan terlibat dalam politik secara mendalam, adalah karena kompleksitas dan kompromi yang melekat dalam dunia politik itu sendiri. Politik membutuhkan pendekatan yang sering kali bertentangan dengan idealisme yang biasa dianut oleh seniman. Proses politik, yang penuh dengan negosiasi dan kompromi, seringkali dianggap merusak integritas dan kebebasan kreatif yang dijunjung tinggi dalam seni. Akibatnya, banyak seniman lebih memilih untuk berpartisipasi secara pasif atau menjaga jarak dari politik, agar tidak terjebak dalam dinamika yang dianggap bisa merusak kebebasan berekspresi mereka.


Fenomena ini juga dapat dilihat sebagai bagian dari perkembangan global di mana politik semakin dikendalikan oleh kepentingan komersial dan media. Kampanye politik saat ini banyak bergantung pada citra dan pemasaran, di mana estetika dan popularitas menjadi faktor penting dalam menarik perhatian publik. Dalam konteks ini, seniman sering dimanfaatkan hanya sebagai "pemanis" yang memperindah strategi kampanye, tanpa diberi peran yang berarti dalam menentukan arah kebijakan atau menyuarakan isu-isu kritis.


Tentu saja keterlibatan yang pasif ini juga dapat merugikan seniman itu sendiri. Dengan hanya berperan sebagai pendukung estetis, seniman kehilangan kesempatan untuk menggunakan seni sebagai alat perubahan sosial dan politik yang kuat. Mereka mengabaikan potensi seni untuk menjadi medium yang lebih dari sekadar ekspresi individual, yaitu sebagai alat untuk menggugah kesadaran dan mempengaruhi kebijakan publik. Jika seniman terus memilih peran pasif ini, mereka akan kehilangan relevansi sebagai agen perubahan dalam masyarakat, membiarkan seni terjebak dalam batasan estetika dan hiburan tanpa dampak yang lebih luas bagi politik dan perubahan sosial.


Politik yang Komersial dan Seniman Sebagai Komoditas


Komersialisasi politik telah mengubah cara seniman terlibat dalam arena politik, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Politik kini lebih terfokus pada pencitraan dan manipulasi media, menjadikan gagasan dan kebijakan lebih sering terpinggirkan. Dalam kampanye, termasuk pada Pilkada Serentak 2024 di Indonesia, seniman diperlakukan sebagai komoditas yang berfungsi untuk menarik perhatian massa dan memperkuat daya tarik visual kandidat. Di sini seniman bukan lagi aktor perubahan atau penggerak wacana sosial yang penting, melainkan menjadi alat pemasaran yang hanya memperindah citra politik.


Di Indonesia, keterlibatan seniman dalam politik lebih banyak bersifat estetis daripada substantif. Dalam konteks Pilkada Serentak 2024, misalnya, seniman seringkali muncul dalam acara kampanye untuk menarik perhatian khalayak, tetapi jarang berkontribusi dalam diskusi mendalam tentang kebijakan atau isu-isu krusial. Fenomena ini menunjukkan bahwa seniman tidak lagi dianggap sebagai agen perubahan sosial, tetapi sebagai bagian dari strategi pencitraan kandidat politik. Dengan kata lain, mereka dijadikan "alat" yang membantu membentuk kesan publik terhadap seorang calon, tanpa terlibat langsung dalam pembentukan kebijakan.


Seniman yang memiliki potensi besar untuk menantang ketidakadilan dan mempertanyakan status quo sering kali diabaikan, atau tidak diberi ruang untuk memainkan peran kritis dalam politik. Mereka hanya dijadikan elemen pemasaran yang memperindah kampanye, tanpa diberi kesempatan untuk benar-benar mempengaruhi arah kebijakan atau mengubah dinamika politik. Akibatnya, banyak seniman yang memilih untuk menghindari keterlibatan langsung dalam politik praktis. 


Kompleksitas politik yang penuh dengan kompromi dan komersialisasi bertentangan dengan idealisme seni yang murni dan bebas. Seniman merasa bahwa keterlibatan mereka dalam politik dapat merusak integritas artistik mereka, sehingga mereka lebih memilih untuk tetap berada di luar arena politik. Dengan demikian, seniman tidak lagi berfungsi sebagai aktor perubahan sosial yang kuat, melainkan hanya sebagai ornamen yang digunakan untuk mempercantik citra politik.


Jika fenomena ini terus berlanjut, peran seniman dalam politik akan semakin tereduksi. Mereka akan kehilangan kemampuan untuk mempengaruhi wacana sosial dan politik secara substantif, serta mengabaikan potensi seni sebagai alat untuk menantang ketidakadilan dan mendorong perubahan. Dengan demikian, penting bagi seniman untuk merebut kembali peran mereka sebagai agen perubahan, bukan hanya sebagai komoditas dalam politik komersial.


Dilema Kemandirian Kreatif dan Keterlibatan Politik


Seniman sering dihadapkan pada dilema antara kemandirian kreatif dan keterlibatan politik. Bagi banyak seniman, seni dianggap sebagai ruang kebebasan yang murni, di mana ekspresi kreatif tidak boleh dikekang oleh tekanan politik atau komersialisasi. Namun, di sisi lain, mereka juga menyadari bahwa politik adalah arena di mana perubahan sosial yang nyata dapat terjadi. Dalam menghadapi dilema ini, seniman harus memutuskan apakah akan terlibat dalam politik dengan risiko kehilangan kebebasan kreatif, atau tetap berada di luar ranah politik dan kehilangan kesempatan untuk memengaruhi perubahan.

Di Indonesia, dilema ini semakin diperburuk oleh karakteristik politik yang sering kali pragmatis dan transaksional. Seniman yang terjun ke dalam politik praktis harus menghadapi realitas di mana ide-ide besar tentang keadilan, kebebasan, dan perubahan sosial sering kali dikorbankan demi keuntungan jangka pendek atau kepentingan kelompok tertentu. Politik di Indonesia, seperti yang sering terlihat dalam Pilkada dan pemilu lainnya, cenderung lebih mengedepankan pencitraan dan keuntungan elektoral daripada debat ideologis yang mendalam. Hal ini membuat banyak seniman merasa ragu untuk terlibat, khawatir bahwa keterlibatan mereka hanya akan mengorbankan integritas karya mereka.

Namun, ada juga seniman yang berhasil menemukan keseimbangan antara kemandirian kreatif dan keterlibatan politik. Meski mereka tidak terjun langsung ke politik praktis, seniman ini tetap aktif menggunakan karya seni mereka sebagai medium untuk menyuarakan kritik sosial dan politik. Mereka mungkin tidak berpidato di panggung politik, atau berafiliasi dengan partai, tetapi karya mereka mampu menyentuh masyarakat, membangkitkan kesadaran, dan memicu diskusi tentang isu-isu sosial yang penting. Seni menjadi cara mereka untuk berpartisipasi dalam politik tanpa harus kehilangan esensi kreatifnya.

Seniman-seniman ini memainkan peran penting dalam membentuk opini publik, mengkritisi kebijakan pemerintah, dan memperjuangkan keadilan sosial melalui karya-karya mereka. Mereka menunjukkan bahwa meskipun tidak terlibat secara langsung dalam politik elektoral, seni tetap bisa menjadi alat yang kuat untuk mendorong perubahan dan menantang wacana dominan yang ada di masyarakat. (Bersambung)

* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads