Pekik Harapan di Pertunjukan Ruang Tunggu Dalam 7 Fragmen -->
close
Pojok Seni
14 October 2024, 10/14/2024 03:45:00 PM WIB
Terbaru 2024-10-17T15:59:07Z
teaterUlasan

Pekik Harapan di Pertunjukan Ruang Tunggu Dalam 7 Fragmen

Advertisement
Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen
Pementasan Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen di Rumentang Siang, Bandung (dari kanan; Wanda Rahmad, Muhfi, Imam, dan Adhyra)

Oleh: Putra Agung*


Sebuah Kritik Apresiasi TA Magister Penciptaan Seni Teater Pascasarjana ISBI Bandung

"Orang yang tidak bahagia sekalipun memiliki kebahagiaan tersendiri". Kalimat yang ditulis oleh sastrawan Rusia, Leo Tolstoy dalam novel Ana Karenina tersebut secara mendadak bergelanyar didalam benak saya usai menyaksikan pertunjukan teater Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen, yang digelar pada Senin lalu (07/10/24) di gedung Rumentang Siang, Jawa Barat.

Menonton teater berarti kita menonton sebuah seni menyajikan realitas kehidupan ke atas panggung. Masyarakat Perancis menyebutnya ‘faire du théâtre’, sebuah seni berkisah. Alhasil, sebuah pertunjukan teater harus memberi ruang realitas ke atas panggung dalam bentuk pelibatan emosi, pengalaman batiniah penonton sekaligus menghadirkan kemungkinan realitas baru sebagai opsi jalan keluar dari kesusahan atau kepedihan hidup. 

Agaknya Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen disiapkan cukup detail untuk ruang realitas yang berkisah tersebut. Karya ini berusaha menggiring pengalaman batiniah dan menyajikan peristiwa pertunjukan -menyitir kalimat Barba- sebagai proses interaksi yang mengandalkan kehadiran penonton untuk menyampaikan pesan utama dalam karya ini. 

Selama satu jam lebih, pertunjukan montage-absurd besutan Adhyra Pratama Irianto seakan berteriak lantang menyuarakan tematik pertunjukan tentang kehilangan harapan dan kebahagiaan serta mengajak penonton menyelami peliknya kebuntuan hidup, kemarahan, kekecewaan, kebohongan, kepalsuan hingga kematian yang dihadirkan dalam tujuh fragmen yang pilu, luruh sekaligus penuh haru.

Kepiluan harapan dan kebahagiaan ini dijalin dengan eskalasi emosi pertunjukan yang rapi oleh Adhyra lewat ketujuh fragmen yang diwakillan melalui sosok seorang bapak yang ditinggal anak istrinya, pemuda yang merasa tak berguna, kefrustasian seorang mahasiswa, penantian pertemuan, korban pelecehan hingga percakapan kaum tak kasat mata. 

Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen
Salah satu adegan dalam Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen (diperankan Muhfi)


Ketujuh fragmen ini yang dihadirkan dengan situasi, cara, metode bahkan alam yang berbeda-beda seakan menjadi penegas upaya Adhyra menghadirkan penciptaan karya melalui gagasan absurditas salto, bahwa sebab ketidakpastian semua orang akhirnya berlomba untuk menavigasi, dan mencari hakikat hidupnya. Ironisnya, pencarian itu hanya akan berakhir pada ketidakbermaknaan yang terus bersembunyi di balik ilusi-ilusi hakikat.

Fisiologis absurditas ini makin terasa kental melalui pilihan gaya akting yang sama sekali menihilkan permainan well made play bahkan disengaja canggung, urakan dan membanyol yang disimbolkan melalui properti, kostum, cara ungkap dan teknik bercerita. Sayangnya, kesakralan absurditas ini terganggu dengan pilihan penataan musik yang terkesan homogen dan bernuansa Gregorian dengan plot pencahayaan yang apa adanya atau adanya apa. 

Hal lain yang menarik untuk dicatat dalam pertunjukan Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen adalah keberadaan tulisan dan lukisan yang ditampilkan sebagai latar belakang panggung di setiap awal fragmen disajikan. Melalui tulisan dan lukisan tersebut, Adhyra Pratama Irianto berhasil menuntun perasaan luruh penonton terhadap berbagai kemuakkan yang terjadi didalam hidup. Hasilnya, penonton merasa akrab, familiar sekaligus terwakilkan emosi batinnya lewat tulisan pendek di belakang panggung; dunia begitu sunyi, dunia begitu sepi.

Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen secara kreatif berhasil mendedahkan dunia yang absurd dan menjadi potret buram orang-orang yang kehilangan harapan dan terus dikekang oleh lingkungan sekitarnya dengan kebenaran-kebenaran yang bersumber dari kesepakatan kolektif mayoritas. Akibatnya, menyisihkan jonglingen abnormal yang kerap kita ketahui lewat TV, media masa dan berita untuk memutuskan dan melakukan tindakan bunuh diri; sebuah tindakan bodoh menggantungkan hidup pada entitas lain yang dirasa benar.

Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen layak dicatat secara profisiat sebab karya ini tidak sebatas menawarkan sebuah alternatif metode penciptaan karya teater. Lebih jauh dari itu, Adhyra Pratama Irianto sukses menjadi juru kampanye pemerintah tentang fenomena bahaya bunuh diri beserta penyebabnya.

Selamat adikku Adhyra Pratama Irianto. Engkau secara baik dan benar telah menyampaikan tujuan utama absurdisme; pemberontakan terhadap setiap ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan manusia. 

*Putra Agung merupakan sutradara, dramaturg dan juri seni pertunjukan bersertifikasi resmi dari Badan Sertifikasi Profesi Kebudayaan Kemdikbudristek RI. Saat ini menjabat sebagai direktur program di kelompok seni DianArza Arts Laboratory (DAAL), brand ambassador Art Calls Indonesia (ACI) serta pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Prov. Jambi.

Pertunjukan Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen bisa disaksikan di bawah ini



Ads