Advertisement
Pertunjukan bertajuk Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen (Doc. Tim Ruang Tunggu) |
Oleh: Adhyra Irianto
Pendahuluan
Tulisan ini difokuskan pada usaha memperjelas apa yang saya tangkap dari disertasi Michael W. Bennett tentang parabolic drama. Teater absurd yang diteorisasikan Martin Esslin, secara positif, menjadikan teater absurd berada dalam satu rangkaian perkembangan gaya (style) teater dunia.
Sampai di sini, perlu ditegaskan dulu bahwa teater absurd adalah style dalam seni teater. Mari kita putar ke belakang, bahwa dalam teater ada istilah "genre", "bentuk/form", dan "style/gaya", dan ketiganya adalah hal yang berbeda.
Definisi Genre dalam Teater
Genre lebih sering ditranslasi menjadi "aliran", sebenarnya mengacu pada kategorisasi pertunjukan (dan lakon) pada kontennya secara tematik, struktur naratif, serta apa yang diharapkan sebagai respon emosional. Pembicaraan tentang genre akan mengarah pada bagaimana cara memenuhi apa yang dibutuhkan untuk membuat karya drama dengan ekspektasi tertentu. Bagi penonton, genre ditujukan untuk menetapkan cara mempersepsi karya tersebut secara estetis.
Penciri utama genre adalah alur cerita dan mood dari keseluruhan dari lakon. Bisa kita bagi bahwa genre dalam teater antara lain (misalnya) tragedi, komedi, dan tragedikomedi. Drama bergenre tragedi misalnya, akan ditujukan untuk mengarah ke katarsis atau pelepasan emosi bagi penonton. Maka, apa yang perlu digambarkan dalam tragedi adalah penderitaan manusia. Mood secara keseluruhan akan sangat berbeda dengan genre komedi, misalnya. Komedi akan menghadirkan hal yang menghibur, lebih ringan, serta penyelesaian yang cenderung lebih bahagia.
Perlu dicatat, bahwa label seperti "tragedi", "komedi", "tragedikomedi", dan sebagainya itu masing-masingnya memiliki serangkaian konvensi yang mengarahkan penulis/pengkarya. Penonton juga tahu apa yang akan mereka alami, bagaimana keterlibatan emosional dan intelektual yang dibutuhkan untuk menonton. Sebagai kesimpulan, genre dipengaruhi oleh tradisi historis (serta ekspektasi) dari penonton.
Definisi Bentuk (form) dalam Teater
Bentuk (form) adalah kerangka struktural, bagaimana cara penceritaan, serta pengorganisasian sebuah pertunjukan. Bicara kerangka struktural, berarti sudah membicarakan aristektur narasi dari awal. Bisa saja bentuk teater ini adalah sebuah narasi linear dengan kronologis yang jelas, bisa juga struktur non-linear yang seperti rangkaian abstrak. Ada juga yang berbentuk alur maju-mundur, atau bisa juga sirkular.
Bicara bentuk juga akan membicarakan "babak" dalam lakon, penataan naskah (babak, adegan dll), hingga cara penyampaian dan media yang digunakan; monolog, dialog, dramatari, dan sebagainya.
Definisi Style (gaya) dalam Teater
Sekarang, apa yang dimaksud dengan style? Dalam teater, style berarti cara menceritakan dan menyajikan suatu lakon di atas panggung. Style ini bisa terkait dengan penggunaan 'bahasa', desain pertunjukan, teknik akting yang dipilih, hingga pendekatan estetika secara keseluruhan. Style akan sangat terpengaruh dari periode tertentu dalam sejarah, dan menjadi "cara mewujudkan" semangat zaman tersebut.
Era Elizabethan ditunjukkan dengan mode akting presentasional, sebagai semangat neo-klasik. Naturalisme diwujudkan dengan upaya mencapai keaslian nyata di atas panggung. Ekspresionisme diwujudkan dengan usaha penggambaran keadaan psikologis internal manusia. Surrealis diwujudkan dengan menghadirkan alam bawah sadar yang berkelindan dengan alam sadar menjadikan rangkaian yang tidak logis dan imajinatif. Bisa disimpulkan bahwa gaya/style merupakan pilihan estetika dan cara mengeksekusi sebuah gagasan yang pada akhirnya memberikan tekstur dan karakter tertentu pada sebuah pertunjukan.
Parabolic Drama Sebagai Sebuah "Style"
Mengapa saya merasa harus kembali memaparkan definisi seperti di atas? Penyebabnya, karena harus ada pembeda yang jelas, mana "teater bergaya absurd" dan "teater dengan gagasan absurdisme". Dua hal ini sangat berbeda.
Albert Camus menulis Caligula yang secara "gaya" mesti ditampilkan dengan pendekatan klasik. Di sisi lain, Camus juga menulis Teroris yang mesti ditampilkan dengan pendekatan realis.
Tapi, Waiting for Godot tidak ditulis untuk ditampilkan dengan pendekatan klasik, atau pendekatan realis. Aktingnya bisa jadi gabungan antara presentasional dengan representasional. Juga bisa ditampilkan dengan akting karikatural. Style ini yang kemudian dikodifikasi oleh Esslin dan disebut dengan Teater of the Absurd.
Sedangkan parabolic drama, yang diperkenalkan Michael W. Bennett adalah merupakan salah satu hasil pembacaan pada karya-karya dramawan absurd (utamanya Ionesco dan Beckett) dengan menggunakan perspektif post-modern. Post-modern sangat bisa digunakan dalam menggambarkan teater absurd, karena representasi peristiwa yang hadir dalam teater absurd tidak bisa diidentifikasikan secara jelas, begitu juga motifnya. Bisa dikatakan bahwa representasi peristiwa sangat kabur, dan tidak ortodoks. Teater absurd menekankan bahwa apapun yang terjadi pada manusia sebenarnya tidak memiliki makna apapun, juga tujuan apapun. Sehingga, hal yang hadir adalah kesia-siaan pemikiran, serta tindakan untuk mencari makna tersebut.
Post-modern menolak adanya grand-narrative, yang sifatnya meta dan bisa menjawab semua permasalahan hidup manusia. Gerakan penolakan pada "grand-narrative" ini yang menjadi akar dari teater absurd di kemunculannya pada akhir 1950-an. Bila grand-narrative di era itu (avant-garde) memaksakan ada suatu makna absolut pada hidup, kebenaran mutlak, dan keniscayaan yang sudah dinubuatkan. Teater absurd hadir dengan semangat mengusung penolakan terhadap grand-narrative tersebut.
Beckett dan Ionesco menjadi dua nama terdepan dalam gerakan ini. Namun, Esslin mengarahkan pembacanya untuk menangkap bahwa teater absurd begitu pesimis, seperti pemikiran Schopenhauer. Apa yang membedakan Schopenhauer dan Camus?
Kesamaan dari kedua pemikir ini adalah, hidup merupakan penderitaan yang tiada akhir. Semua masalah dalam hidup sebenarnya berawal dari kehendak hidup manusia itu sendiri. Karena keinginan dan kehendak hidup manusia, maka kejadian berikutnya adalah ada lingkaran setan yang disebabkan keinginan manusia untuk memuaskan hasratnya, lalu menjadi "neraka" bagi orang lain (meminjam terminologi Sartre). Kedua filsuf ini melihat bagaimana eksistensi manusia memiliki aspek negatif dan menimbulkan tekanan bagi orang lain di sekitarnya.
Tapi, perbedaan kentara terlihat dari solusi yang ditawarkan kedua orang ini. Schopenhauer menawarkan manusia untuk membunuh kehendak hidupnya. Manusia tidak hidup berdasarkan hasrat dan dorongan jiwanya. Sedangkan Camus, meminta kita untuk menerima kenyataan bahwa hidup memang absurd, hadapi dengan berani, memberontak, tapi terus menjalaninya dengan gagah berani.
Schopenhauer meminta manusia menjauhi pemenuhan hasrat kehidupan, tidak terlibat atau terikat dengan aturan moral, serta menolak hasrat dan nafsu. Dengan cara itu, manusia bisa hidup dengan damai. Namun Camus justru meminta manusia untuk terus berjuang dan memberontak. Pemaknaan terhadap hidup justru didapatkan lewat pemberontakan.
Schopenhauer meminta manusia untuk membunuh kehendak hidup, tapi tidak bunuh diri. Sedangkan Camus, menyatakan dengan tegas bahwa menolak hidup dan menolak kehendak hidup, adalah sama-sama bunuh diri. Sadar dan waspada permanen pada absurditas hidup, serta tetap hidup dan menjalaninya dengan bahagia, sekaligus memberontak pada absurditas hidup, adalah cara untuk memberi makna subjektif pada hidup.
Kembali ke pemikiran Bennett. Benett meyakini bahwa Esslin mengarahkan pemikiran para penonton teater absurd, untuk mempercayai bahwa dramawan absurd merupakan orang-orang yang pesimis radikal seperti Schopenhauer. Bennett meyakini bahwa Ionesco, Beckett, dan nama-nama lain dalam buku Esslin tersebut, justru lebih menggambarkan penerimaan realitas tanpa harus melarikan diri dari kenyataan. Ada satu kata kunci yang ada dalam pemikiran absurdis, tapi tidak ada dalam pesimisme Schopenhauer, yakni "pemberontakan".
Pemberontakan yang dimaksud digambarkan dalam banyak hal. Seperti, bahasa yang digunakan dalam teater absurd justru adalah "bahasa yang menyindir bahasa". Bahasa yang awalnya diciptakan sebagai alat komunikasi, sudah berubah menjadi alat stratifikasi sosial. Ini yang diejek dalam teater absurd, di mana seharusnya kata-kata dibebaskan dari aturan-aturan yang memberikan kesan tertentu. Kata-kata harus melekat erat pada realitas. Karena itu, bahasa sindiran menjadi lelucon verbal dalam teater absurd.
Bagaimana Ionesco menggambarkan ia ingin memberikan pesan pada para penonton dan tamu undangan melalui seorang orator. Pada akhirnya, Orator tersebut hadir dalam tokoh fisik dan memberikan pesan penting yang ditunggu-tunggu, dengan keheningan dan tulisan "XP ΛGOD IS ΛGONE IΣ". Ini yang disebut bahwa pesan (yang dianggap bermakna) pada akhirnya bukan hal yang memiliki makna atau tujuan tertentu.
Ionesco menghadirkan karakter yang bisa berbahasa dengan baik, berkomunikasi dengan baik, namun karena tidak ada tokoh lain selain dua orang (pria tua dan wanita tua), selain hanya kursi-kursi kosong, maka apa yang hadir adalah kesenjangan pemahaman bagi penonton.
Melihat Kursi-Kursi (Ionesco) dan Menunggu Godot (Beckett), maka kita akan melihat karakteristik plot, serta dialektika yang ditawarkan dari keduanya cenderung sama. Permainan bahasa, repetisi, dan efek lain yang digunakan dalam dua drama ini menjadi pondasi mencari kesamaan lain dari drama-drama yang mengusung absurdisme sebagai gagasan awal, yang diturunkan dalam "style" pertunjukan. Bennett menemukan bahwa satu karakteristik yang paling serupa dari drama yang ditulis Beckett, Ionesco, Adamov, hingga Harold Pinter adalah metafora yang dihadirkan, memunculkan lebih banyak tafsiran dan dialektika.
Permainan kata-kata antara Pria Tua dengan Wanita Tua dalam The Chairs, atau permainan kata-kata antara Vladimir dan Estragon, tidak menghasilkan pemaknaan tunggal yang akan disepakati oleh semua orang yang mendengarnya. Secara tidak langsung, orang-orang ini membentuk ikatan sosial mereka sendiri.
Tentu saja, tidak hanya lewat kata-kata, tapi juga lewat act. Masih dalam Waiting for Godot misalnya, ingat adegan ketika Pozzo terjatuh lalu minta bantuan. Apa yang dilakukan Vladimir dan Estragon? Yah, keduanya berdebat dan menganalisis (atau menimbang) pro dan kontra, yang menjadikan keduanya malah ragu untuk menolong.
Sebagai penutup, Vladimir mengucapkan kalimat ini:
VLADIMIR: Let us not waste our time in idle discourse! (Pause. Vehemently.) Let us do something, while we have the chance! It is not every day that we are needed. Not indeed that we personally are needed. Others would meet the case equally well, if not better. To all mankind they were addressed, thosecries for help still ringing in our ears! But at this place, at this moment of time, ail mankind is us, whether we like it or not. Let us make the most of it, before it is too late! Let us represent worthily for once the foul brood to which a cruel fate consigned us! What do you say? (Estragon says nothing.) It is true that when with folded arms we weigh the pros and cons we are no less a credit to our species. […]
Bagian tersebut yang dikatakan oleh Beckett sebagai teknik "hortatory speech". Hal ini yang ditujukan menjadi alat dialektika dalam lakon Waiting for Godot. Hortatory Speech diartikan sebagai sebuah act berbentuk pencapaian yang mampu menginspirasi dan memancing opini tertentu. Perangkat dialektis juga muncul dalam bentuk-bentuk lain, seperti repetisi. Hal ini tidak hanya menunjukkan praktik kegagalan komunikasi atau irasionalitas saja, tapi membangun tekstur pertunjukan dalam paradigma akustik pada dialog lakon.
Dalam praktik verbal di teater absurd, karakter didesain gagal mengartikulasikan pesan secara komprehensif dalam praktik verbal. Sebab, ketika penonton mencoba menghubung-hubungkan peristiwa tertentu dalam lakon, watak dengan dialog tertentu, akan berujung pada kesia-siaan. Karena itu, imaji dan perspektif estetis dari seorang pendengar/penonton pada drama tersebut akan mengarah secara liar dan terfragmentasi. Tapi, masalah yang muncul adalah bagaimana tantangan retoris tersebut bisa diantisipasi dalam sebuah pertunjukan agar dialektika bisa tetap terjadi antara penonton (spektator) dengan apa yang ditonton (spektakel)?
Bennett memberikan solusi yang dia sebut sebagai parabolic drama. Ruang jelajah teater absurd memang masih terlalu gelap, karena itu dibutuhkan semacam definisi alternatif. Parabolic drama secara umum menginginkan teater absurd ini menjadi semacam pengejawantahan metaforis. Seperti kisah Malin Kundang yang sebenarnya ditujukan sebagai pesan agar anak tidak durhaka pada orang tuanya. Juga seperti ilustrasi negeri Atlantis oleh Plato yang ditujukan agar suatu negara bisa memiliki aturan yang adil dan diikuti seluruh rakyatnya. Maka peristiwa yang hadir di panggung adalah sebuah rekaan tentang absurditas hidup, dan bagaimana para tokoh menjalani "kehidupan" tersebut.
Referensi
Bamidele, L. O. (2000). Literature and
sociology. Stirling-Horden Publishers.
Beckett, S. (1954). Waiting for Godot. Grove
Press: USA (p.70)
Bennett, M. Y. (2018). Reassessing the
theatre of the absurd: Camus, Beckett, Ionesco, genet, and Pinter. Milton
Keynes UK: Lightning Source UK.
Bennett, M.Y. (2010). “Review of Godot,”
Theatre Journal 62.1 (March).110–111
Das, R. (2023). A comparative study Beckett’s
Waiting for godot and Ionesco’s rhinoceros. International Journal of English
Literature and Social Sciences, 8(3), 360–365. doi:10.22161/ijels.83.57
Doubrovsky, J. S. (1959). Ionesco and the
Comic of Absurdity. Yale French Studies, 3-10.
Enroth, H. (2021). Crisis of authority: The
Truth of Post-Truth. International Journal of Politics, Culture, and Society,
36(2), 179–195. https://doi.org/10.1007/s10767-021-09415-6
Esslin, M. J. (2008). Teater Absurd Edisi
Revisi dan lengkap. Penerjemah. Abdul Mukhid. Mojokerto: Penerbit Banyumili.
Frag, A. N. (2022). The circular structure of
Samuel Beckett’s Waiting for Godot. Journal of the College of Basic Education,
16(61), 1–12. https://doi.org/10.35950/cbej.v13i61.7076
Gupta, A. K. (2022). Samuel Beckett’s
iconoclastic deviation in the implications of language. The Creative Launcher,
7(3), 84–89. https://doi.org/10.53032/tcl.2022.7.3.10
Halloran, S. M. (1973). Language and the
Absurd. Philosophy & Rhetoric, 97-108
Hinchliffe, A. P. (2018). The absurd. London:
Routledge.
Ionesco, E. (1997). The Chairs. Faber and
Faber: London
Irianto, A. P., Jaeni, & Saleh, S.
(2023). Redefinisi Teater Absurd Berdasarkan Teori Parabolic Drama Michael Y.
Benneth. Jurnal Cerano Seni, 2(1), 1–9. doi:10.26887/mapj.v3i1.1342
Irianto, A. P., Timmerman, B. Y., &
Saleh, S. (2024). Minimalist Art and the Iconization of Trees in Waiting for
Godot. Pantun: Jurnal Ilmiah Seni Budaya, 9(1).
Kaur, P. (2018). Exploring emptiness: Beckett
and buddhism via Arthur Schopenhauer, Exploring emptiness: Beckett and Buddhism
via Arthur Schopenhauer. dissertation. University of Northampton.
Klaver, E. (1989). The play of language in
Ionesco's play of chairs. Modern Drama, 32(4), 521-531.
Margerrison, C., Orme, M., & Lincoln, L.
(2008). Albert Camus in the 21st century a reassessment of his thinking at the
dawn of the New Millennium. Amsterdam. Rodopi.
Nealon, J. (1988). Samuel Beckett and the
Postmodern: Language Games, Play and Waiting for Godot. Modern drama, 31(4),
520-528.
Panda, S. S. (2022). A comparative study of
Eugene Ionesco and Jean Genet in absurd theatre. International Journal of
Research -GRANTHAALAYAH, 10(6), 70–77.
https://doi.org/10.29121/granthaalayah.v10.i6.2022.4650
Schopenhauer, A., & Saunders, T. B.
(2007) Parerga and Paralipomena: A collection of philosophical essays. New
York: Cosimo.
Semak, O. I. (2019). Ihor Kostetskyi and
Eugene Ionesko: Typology of artistic thinking. PRECARPATHIAN BULLETIN OF THE
SHEVCHENKO SCIENTIFIC SOCIETY Word, (3(55)), 150–156.
https://doi.org/10.31471/2304-7402-2019-3(55)-150-156
Susandro, S., H, A., Saaduddin, S., & Suisno, E. (2020). Parabolic drama: Penyangkalan Teoretik terhadap teater absurd. Melayu Arts and Performance Journal, 3(1), 49. doi:10.26887/mapj.v3i1.1342