Advertisement
Hélène Cixous, dramawan dan filsuf Prancis yang getol membicarakan estetika feminis |
Oleh: Adhyra Irianto
Sekali lagi saya memantik pembicaraan tentang feminisme, yang akan saya tutup dengan pandangan subjektif saya terhadap gelombang pemikiran yang satu ini. Harus diakui bahwa gerakan feminisme dalam konteks sosial-politik, begitu berpengaruh dengan kuat. Medan dialektis dari feminisme merebak ke setiap sendi kehidupan yang menjadikannya sangat luas. Mari kita persempit dulu pembicaraan ini pada konteks estetika. Saya juga tidak begitu dalam menyelami pemikiran feminisme ini karena ada kecenderungan untuk bias perspektif, sebagai lelaki, dengan seperangkat pemikiran yang "khas" lelaki.
Pembicaraan tentang estetika, dari zaman prasejarah sampai pascamodern, nyaris semuanya dibicarakan oleh laki-laki. Kita (termasuk saya) sebenarnya menyadari satu hal, bahwa pembicaraan tersebut sebenarnya tidak membawa-bawa unsur gender di dalamnya. Korsmeyer (2004) berpendapat bahwa keindahan dalam perspektif seseorang akan mengarah pada detail, lengkungan, kelembutan, kontur yang lembut, warna yang lembut, dan indah dalam konteks "cantik". Misalnya bunga, tubuh manusia, hingga bentuk-bentuk abstrak. Masalahnya, dalam estetika, kita tidak hanya bicara "keindahan" tapi juga "kesubliman". Kesubliman ini akan mengarah ke sifat kasar, keras, lucu, eksploitasi, kekuatan, kegelapan, kejelekan, dan sebagainya.
Misalnya:
- Ketika Anda menonton Waiting for Godot, apakah Anda akan bertemu warna yang indah, lembut, cantik, bercahaya, dan detail yang indah? Berbeda ketika Anda menonton drama musikal Cinderella misalnya.
- Beberapa waktu kemarin ada dua film yang berbarengan muncul di bioskop dan keduanya memancing animo yang tinggi dari masyarakat; Oppenheimer dan Barbie. Keduanya sama-sama bagus, Oppenheimer mengarah ke "kesubliman", sedangkan Barbie mengarah ke "keindahan".
Dari ilustrasi di atas, bisa kita arahkan bahwa keindahan itu mengarah pada "kelembutan", "imut/mungil", "cantik", dan setipenya. Sedangkan, kesubliman itu mengarah pada "keseruan", "kerumitan", "kengerian", "ketakutan", dan setipenya. Bukankah bisa disimpulkan bahwa "keindahan" itu adalah "perempuan", sedangkan "kesubliman" adalah "laki-laki"?
Ini premis awalnya sehingga memunculkan pendapat bahwa laki-laki membicarakan estetika, seperti mereka membicarakan perempuan; entah itu keindahan bentuk tubuh, maupun kecantikan wajah. Sampai ke titik ini, bisa dibilang bahwa pembicaraan panjang tentang estetika seakan-akan "hanya" pembicaraan antar sekelompok pemuda galau yang membandingkan mana yang lebih cantik antara Chelsea Islan dan Pevita Pearce.
Berdasarkan simpulan dari penjabaran di atas, maka muncullah para perempuan yang berbicara tentang estetika. Martin Suryajaya (2016) menyebut nama Laura Mulvey, seorang kritikus film, pertama kali yang menyebutkan tentang Male Gaze sebagai titik pandang melihat keindahan dalam tulisannya berjudul Visual Pleasure and Narrative Cinema (bisa Anda unduh di Perpustakaan Pojok Seni). Dengan kata lain, Mulvey menyebut bahwa pembicaraan estetika adalah tentang objektifikasi perempuan. Hal itu juga yang dianggap menjadi faktor utama penyebab pembicaraan wacana estetika dikuasai oleh lelaki.
Kelahiran Estetika Feminis
Estetika feminis lahir karena merasa perempuan direpresi oleh estetika, seni, dan sosial-politik. Perempuan dalam estetika dianggap hanya hadir sebagai objek dalam karya seni. Yah, karena dalam hal ini karya seni adalah "objek estetis", maka perempuan menjadi "objek di dalam objek". Ini yang memancing perlawanan dari para estetikawan feminis dunia. Nama Hélène Cixous, seorang dramawan asal Prancis, menjadi salah seorang yang paling berpengaruh gagasannya tentang feminis. Ia yang mengungkap betapa sedikitnya perempuan yang berbicara di panggung teater dan sastra dalam sejarah estetika dan budaya dunia. Perempuan lebih banyak dibicarakan alih-alih berbicara.
Cixous mengkritisi tiga hal yang lahir sebagai respon dari "tatanan patriarkis"; tulisan sastrawi sangat feminin, tulisan sastrawi hanyalah "masturbasi" maskulin, dan usulan bahwa tulisan sastrawi seharusnya tidak memiliki gender, alias netral, atau setidaknya mengandung dua gender sekaligus. Menurut Cixous, dua pandangan pertama sama sekali tidak berdasar. Pandangan pertama (tulisan sastrawi sangat feminin) hanyalah pandangan peyoratif terhadap sastra. Lalu, pandangan bahwa tulisan sastra harus mengandung dua gender sekaligus, menurut Cixous, adalah imajinasi patriarkis yang ingin mengarahkan manusia yang utuh atau sosok yang utuh (total being) adalah sosok laki-laki.
Perempuan menurut Cixous, memiliki keunikan berbeda-beda. Tidak bisa di-general-kan. Karena itu, ia menganggap tulisan feminin akan selalu khas dan mengakomodir kekhasan dari setiap individu perempuan. Maka, Cixous menyimpulkan bahwa laki-laki akan berbicara secara general seperti "umat manusia". Sedangkan perempuan akan berbicara lebih individual, sebagai pengejawantahan dari pengalaman kebertubuhannya yang berbeda satu sama lainnya.
Feminin atau Maskulin: "Materi" Masuk dalam Sistem
Sekarang, saya mencoba memberikan pendapat subjektif saya tentang distingsi seni feminin dan seni maskulin. Saya berpendapat bahwa ada "materi" yang masuk ke dalam sistem. Hal ini sebenarnya saya bicarakan dalam karya saya berjudul Pelukis & Wanita. Sangat menarik karena karya ini ditafsirkan sebagai manifesto feminisme (baca di artikel jurnal berjudul Representasi Feminisme dalam Naskah Drama Pelukis & Wanita Karya Adhyra Pratama Irianto Melalui Pendekatan Semiotik, ditulis oleh Ira Atikah Suci dan Wika Soviana Devi).
Saya sebenarnya membebaskan apapun tafsir terhadap karya saya, namun saya ingin sedikit memberikan apa yang saya yakini sebagai pengkarya. Saya selalu percaya bahwa peradaban kita dibangun dengan skema yang sangat mudah terlihat polanya: siapa yang kuat, dia yang menang. Siapa yang menang, dia yang berkuasa.
Dengan kata lain, kalau yang kuat adalah laki-laki, maka yang hadir adalah budaya patriarki. Begitu juga sebaliknya.
Kehidupan kita dilihat dari sisi "materi". Siapa yang punya materi, dia berkuasa. Apa saja yang dimaksud materi? Bisa jadi pengetahuan, kekayaan, pengaruh, keluarga, dan sebagainya. Patriarki dipermasalahkan oleh kaum feminis, tapi coba kita lihat akarnya. Bukankah permasalahannya bukan karena kesetaraan kesempatan? Yah, penyebabnya adalah harta, pride, sampai "kasta".
Sekarang, coba lihat di India, bagaimana perempuan dengan kasta tinggi akan berkuasa pada lelaki yang kastanya lebih rendah. Hanya saja, di Indonesia, pria menjadi lebih punya "power" karena pengaruh agama mayoritas. Dalam pandangan agama mayoritas, pria adalah "pemimpin/imam", dan wanita yang berada di belakangnya. Bahkan jargon yang paling terkenal adalah "tidak ada pria hebat, tanpa wanita di belakangnya".
Kita semua mengamini itu. Sehingga, menyetujui bahwa wanita memang selalu berada di belakang pria. Sesekali ada wanita yang di depan, maka akan dicap sebagai wanita yang "tidak normal" sebagaimana wanita lain. Tapi tetap saja, wanita kalangan atas misalnya, akan jauh lebih berkuasa daripada pria dari kalangan bawah. Wanita yang merupakan istri Kapolri, akan jauh berkuasa daripada pria perwira rendah.
Apa yang bisa disimpulkan? Ketika Najwa Shihab berbicara, laki-laki pun akan manut dan memperhatikan esensi pembicaraannya, alih-alih kecantikan wajahnya. Tapi, ketika personel BTS (semuanya laki-laki) berbicara, maka perempuan akan lebih memperhatikan ketampanan wajahnya, alih-alih esensi pembicaraannya.
Kembali ke konteks estetika, apakah semua seni yang lucu, imut, berwarna lembut, dan detail adalah "feminin"? Dan apakah ketika para perempuan mengapresiasi BTS itu masuk dalam kategori objektifikasi laki-laki?
Sebagai penutup, saya ingin memberikan sedikit ilustrasi dan pertanyaan.
Warna pink yang identik dengan perempuan misalnya, tadinya adalah warna anak laki-laki pada sebelum abad ke-19, lalu menjadi warna netral gender pada sebelum abad ke-20. Abad ke-20, khususnya dimulai tahun 1930-an, warna pink lebih sering digunakan oleh anak perempuan. Tahun 1990-an, dalam budaya Barat kembali menjadi warna netral gender. Hari ini, warna pink selalu dihubungkan dengan nuansa feminin karena mewakili kehangatan, kelembutan, kecantikan, dan kebahagiaan.
Pertanyaannya, bagaimana perspektif secara universal bisa berubah seperti itu? Begitu juga karya seni, sebagai objek permenungan estetis. Siapa yang mengarahkannya menjadi objektifikasi perempuan?