Boal dan Rancière: Sebuah Interseksi (Bagian II) -->
close
Pojok Seni
01 October 2024, 10/01/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-10-01T01:00:00Z
Artikel

Boal dan Rancière: Sebuah Interseksi (Bagian II)

Advertisement



Oleh: Syarif Maulana


Artikel ini merupakan sambungan dari Boal dan Rancière: Sebuah Interseksi (Bagian I)


Secara garis besar, Adorno mengajak kita untuk kritis terhadap bentuk musik populer yang menurutnya membuai massa karena dua persoalan yakni standardisasi dan pseudo-individualisasi. Solusi Adorno bukan mengarah pada aspek sosiologis dari musik, melainkan masuk pada wilayah formal alias bentuk musik itu sendiri. Tawaran Adorno kemudian jatuh pada musik dua belas nada Arnold Schoenberg yang dianggap menginterupsi, mengganggu kenyamanan baik ritmis, melodis, maupun harmonis, sehingga dalam dirinya sendiri punya sifat emansipatoris.


Dalam wawancara yang dimuat dalam Journal of French and Francophone Philosophy, terdapat pendapat Rancière tentang Adorno, yang sekaligus akan mengantarkan kita pada pandangannya tentang emansipasi. Menurut Rancière, Adorno masih mengandaikan adanya hierarki dalam usahanya melakukan pembebasan lewat seni. Berbeda dengan Rancière yang berangkat dari konsep kesetaraan (equality), Adorno berangkat dari asumsi ketidaksetaraan (inequality) sehingga menganggap ada musik yang teraproriasi oleh kultur industri dan ada musik yang bebas dalam dirinya sendiri.


Selain mengandaikan adanya hierarki, yang ditentang Rancière sebagai sesuatu yang elitis, Adorno juga membayangkan emansipasi sebagai suatu tujuan melalui proses dialektis. Memang dialektika Adorno sebagai dialektika negatif tidak terarah pada kondisi ideal seperti yang diandaikan oleh Hegel, tetapi tetap, dalam pandangan Rancière, dialektika Adorno masih memiliki aspek teleologis. Sementara tawaran disensus Rancière bukan dalam rangka menciptakan hierarki atau sedang berdialektik demi mengarah pada suatu telos.


Disinilah sekaligus kita mendapati pengertian emansipasi menurut Rancière sebagai peleburan antara sarana dan tujuan. Lewat pandangannya tersebut, semakin jelas bahwa terdapat suatu perbedaan tegas antara gagasan emansipasi Rancière dan Adorno. Adorno masih memandang seni sebagai sarana bagi manusia untuk mencapai suatu pembebasan, sementara Rancière melihat estetika sebagai tampakan sensori yang membebaskan si pelihat lewat situasi “permainan” seperti yang ditawarkan oleh Schiller.

 

Interseksi Boal dan Rancière


Meski tidak pernah secara khusus mengomentari gagasan Boal, bisa dibayangkan bagaimana Rancière mengajukan keberatan terhadap teater Boal sebagai seni kritis atau seni politis yang mengandaikan ketidaksetaraan sebagai titik berangkat. Selain itu, sebagaimana keberatannya terhadap Adorno, Rancière juga mengkritik gagasan emansipasi a la Boal sebagai hal yang di dalamnya masih terdapat pemisahan tegas antara sarana dan tujuan. Rancière, berangkat dari anggapan kesetaraan sebagai titik awal, melihat bahwa emansipasi estetik hanya mungkin dalam arti otonomi sensori sebagai “permainan” menurut versi Schiller. Bisa dibayangkan bahwa dalam pandangan Rancière, teater forum Boal jadinya terlalu banal, membuat estetika terlalu menyehari sehingga tidak tampil dalam suatu pesona sensori yang khas. Dalam arti tertentu, teater Boal tidak menyuguhkan tipe keindahan yang sama seperti kita menikmati Juno Ludovisi atau Vir Heroicus Sublimis sehingga dalam pandangan Rancière, justru gagal menghadirkan emansipasi.


Meski tampak bertentangan, Shawyer berupaya mempertemukan kedua pemikiran tersebut dan menawarkan gagasan “emancipated spect-actor” dalam teater sebagai gabungan pemikiran Rancière tentang “emancipated spectator” dan gagasan Boal tentang “spect-actor”. “Emancipated spect-actor”, menurut Shawyer, adalah spektator-partisipan yang menggunakan kesetaraan intelektual dan kemampuan interpretasi untuk mempertanyakan sistem polisi (istilah Rancière untuk sistem yang mendistribusikan posisi dan legitimasi dalam masyarakat - penulis) sambil juga menampilkan suatu praktik estetik yang membayangkan siapa yang berkuasa, dilihat, dan didengar.


Shawyer merasa perlu untuk melakukan interseksi atas gagasan Boal dan Rancière karena pertentangan pemikiran antara mereka lebih disebabkan karena perbedaan latar belakang ketimbang perbedaan ontologis. Teori Boal tentang spect-actor muncul dari perjuangan pembebasan di Amerika Latin, sementara teori estetika Rancière hadir dari lanskap pemikiran kontinental kontemporer dengan semangat post-Marxis.[5] Perbedaan latar belakang tersebut membuat penolakan Rancière terhadap gagasan seni kritis atau seni politis sebagai moda yang mengandaikan ketidaksetaraan justru terkesan ahistoris jika dikaitkan dengan konteks kemunculan teater Boal. Itu sebabnya, bagi Shawyer, terlepas dari persoalan historis dan geografis, semestinya kedua gagasan besar ini tidak perlu saling berlawanan.


Shawyer kemudian memberi contoh penerapan “emancipated spect-actor” lewat karya berjudul Mattress Performance (Carry that Weight) oleh Emma Sulkowicz yang memprotes minimnya peran institusi kampus dalam menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Sebagai bentuk protes, Sulkowicz membawa matras besar (tempat dirinya dilecehkan) setiap hari ke kampus dan menyimpannya dimanapun seperti kelas atau kantin. Di hari terakhir performanya, Sulkowicz membawa matras ke atas panggung kelulusan. Dalam pengakuan Sulkowicz, ia berusaha menjadikan pengalaman traumatik sebagai sesuatu yang ditampilkan secara indah. Matras itu juga menciptakan efek alienasi, membuat suatu benda yang biasa disimpan di ruang privat, ternyata menjadi asing saat ditempatkan di ruang publik dengan segala konteksnya, terutama mengingat bahwa Sulkowicz pernah dilecehkan di atas matras tersebut.


Dalam analisis Shawyer, Sulkowicz telah menjalankan praktik estetik lewat performa yang disengaja dalam durasi tertentu. Ia juga menyerang sistem polisi tertentu yang membuat suaranya dibungkam, serta mengemansipasi kesadaran yang membuat orang-orang bersikap kritis atas apa yang dialaminya. Sulkowicz membawa matras berat itu sendirian, seolah menyimbolkan betapa berat beban yang diembannya setelah ia dilecehkan dan tidak mendapatkan dukungan. Sulkowicz, lanjut Shawyer, melakukan disrupsi lewat aksinya, menciptakan disensus di tengah tatanan sosial dominan yang tidak memberikan ruang bagi suara-suara korban kekerasan seksual.


Shawyer memberi contoh yang indah dengan menjabarkan aksi Sulkowicz, tetapi kurang tepat sasaran. Aksi Sulkowicz dapat dipandang sebagai aktivisme biasa yang lebih dekat pada unsur politis biasa ketimbang menempatkannya lebih jauh pada kerangka estetika. Kritik terhadap aksi Sulkowicz adalah kritik yang umum terhadap berbagai praktik estetika relasional dan seni partisipatoris: sebelah mana seninya? Emansipasi kesadaran berhasil dilakukan oleh Sulkowicz, tetapi bukan emansipasi sensori sebagaimana ditawarkan Rancière dalam konsep “permainan” yang dipinjamnya dari Schiller. Selain itu, aksi Sulkowicz juga gagal menerjemahkan pengertian emansipasi menurut Rancière yang menginginkan peleburan antara sarana dan tujuan - kenyataannya, “pertunjukkan” tersebut begitu bertujuan. Pada pokoknya, Shawyer terlalu memaksakan diri untuk menceritakan aksi Sulkowicz sebagai hasil interseksi gagasan Boal dan Rancière yakni “emancipated spect-actor”.


Tawaran interseksi yang lain adalah mengotak-atik tudingan Rancière bahwa teater Boal berangkat dari asumsi ketidaksetaraan. Dengan Boal menyiapkan serangkaian latihan bagi penonton-pemain, pada dasarnya ia juga memiliki asumsi kesetaraan, bahwa setiap orang punya kemampuan untuk mengeksplorasi tubuh. Pendapat bahwa petani, pekerja, dan buruh pabrik tidak usah bermain teater mesti diselidiki sebagai usaha menciptakan konsensus oleh tatanan sosial dominan yang menempatkan mereka-mereka selalu dalam posisi tereksklusi. Dalam arti demikian, teater menjadi seolah permainan mewah bagi orang-orang dengan hak istimewa tertentu atau waktu luang yang banyak.


Padahal dapat juga kita katakan, bahwa teater Boal adalah disensus dalam artian setiap orang tampil melalui praktik estetik tertentu untuk ambil bagian dalam isu-isu publik. Namun kita masih menyisakan problem di sini: bagaimana mengatasi masalah otonomi estetik dan yang paling penting, masalah emansipasi sebagai peleburan sarana dan tujuan? Estetika sebagaimana digagas oleh Boal memang bukan estetika yang mewah, yang kita bayangkan seperti keindahan teater Stanislavski atau keterampilan teater tubuh Grotowski. Kritik itulah yang kerap dilancarkan oleh Rancière terhadap seni kritis karena abai terhadap moda keberadaan dan terlampau fokus pada emansipasi sebagai sebuah tujuan. Disinilah kemudian menjadi penting menegur Rancière supaya lepas dari romantisme seni untuk seni yang ia agungkan mampu menciptakan otonomi sensori.


Teater forum Boal bisa indah, bisa estetik, sepanjang diletakkan dalam kerangka historis bahwa yang tampil di atas panggung adalah tubuh-tubuh yang selama ini dieksklusi dari tatanan sosial dominan. Menganggap tubuh-tubuh tereksklusi tersebut sebagai tidak indah dan tidak merangsang secara sensori justru membuat kita perlu mempertanyakan posisi estetik Rancière sendiri. Pada titik ini justru kita bisa meminjam pandangan Shawyer dalam membela performa Sulkowicz: matras menjadi “indah” karena tidak lagi diperlakukan sebagai matras. Matras menjadi “indah” karena dicerabut dari fungsi sehari-harinya. Ia masuk pada - meminjam pandangan Kant - kondisi “disinterestedness”, yakni kondisi nirkepentingan tetapi bukan dalam artian tidak memiliki fungsi apapun: putusan estetik terhadap matras hadir karena fungsinya terdisrupsi oleh kenyataan bahwa tempat tersebut pernah menjadi situs kekerasan seksual. Rancière, sebagai orang yang punya banyak kesepahaman dengan putusan estetik Kant, semestinya bisa turut membayangkan, bahwa keindahan dari panggung teater forum adalah keindahan yang muncul dari “pembelokan kepentingan”: pekerja memang tampil sebagai pekerja, buruh sebagai buruh, petani sebagai petani, tetapi tidak persis dengan konteks sehari-hari dalam rutinitasnya. Mereka dilatih, ditempatkan kembali dalam kerangka estetik tertentu dan diminta untuk “bicara lebih banyak” melalui tubuhnya.


Terakhir, hal yang perlu dipecahkan adalah perkara emansipasi sebagai peleburan antara sarana dan tujuan sebagaimana disebutkan oleh Rancière dalam wawancara tahun 2019. Boal ternyata tidak sedemikian abai terhadap “permainan” sebagaimana ia tuliskan dalam Theatre of the Oppressed. Boal menekankan bahwa proses dalam latihan maupun tampil harus dibuat menyenangkan dan dalam situasi bermain-main. Tentu “permainan” dalam pengertian Boal dan Schiller ini bisa jadi berbeda, tetapi ada kemiripan, bahwa hanya dalam bermain-main, terjadi peleburan sarana dan tujuan. Artinya, tujuan pembebasan Boal sudah terdapat pada berbagai proses teater forum itu sendiri, terhadap orang-orang yang dilibatkan di dalamnya dan tidak mutlak mesti terjadi revolusi sosial sesudahnya sebagai konsekuensi eksternal.


Dengan demikian, sedikit banyak terjelaskan bahwa emansipasi dapat diartikan sebagai “permainan” yang meleburkan sarana dan tujuan, dapat dicapai melalui praktik estetik, dan tidak melulu mensyaratkan teknikalitas seni tertentu, melainkan cukup melalui “pembelokan kepentingan” melalui tampilan kembali aktor dalam kerangka estetik tertentu sehingga muncul disrupsi atas tatanan sosial dominan. Supaya taat dengan pandangan Rancière bahwa emansipasi tidak harus selalu berujung revolusi yang malah terjebak pada hierarki, kita bisa katakan bahwa emansipasi Boal juga sejalan selama membayangkan bahwa aktor-aktor itu sendirilah yang pada akhirnya terbebaskan lewat “permainan” di dalam proses internal teater forum.

 

Simpulan


Berdasarkan uraian diskusi di atas, maka interseksi pemikiran Boal dan Rancière dalam konteks seni, politik, dan pembebasan dapat disimpulkan dalam uraian sebagai berikut:

  1. Sebagaimana Rancière, Boal juga memiliki asumsi kesetaraan dengan melihat kemungkinan siapapun untuk mengeksplorasi tubuh dan menjadi aktor.
  2. Keindahan panggung teater forum Boal terletak pada “pembelokan kepentingan” dari tubuh para aktor yang ditempatkan di luar keseharian dan ditempatkan kembali dalam kerangka estetik tertentu.
  3. Bahwa teater Boal menaati pandangan emansipasi Rancière yang meleburkan sarana dan tujuan lewat “permainan” selama ditempatkan dalam kerangka proses pemain-penonton yang tidak terburu-buru memikirkan konsekuensi eksternal dari pembebasan.


Referensi

Allerkamp, A., Genel, K., & Hazoume, M. (2019). What to do with Adorno’s Aesthetic Theory? An Interview with Jacques Rancière. Journal of French and Francophone Philosophy, 27(2), 127–141. https://doi.org/10.5195/jffp.2019.896

​Boal, A. (2008). Theatre of the Oppressed. Pluto Press.

​Rancière, J. (1998). Disagreement: Politics and Philosophy. the University of Minnesota Press.

​Rancière, J. (2009). Aesthetics and Its Discontents (1st ed.). Polity.

​Shawyer, S. (2019). Emancipated Spect-actors: Boal, Rancière, and the Twenty-First- Century Spectator. Performance Matters, 5(2), 41–54.



Ads