Advertisement
Oleh: Syarif Maulana
Artikel ini merupakan sambungan dari Boal dan Rancière: Sebuah Interseksi (Bagian I)
Secara
garis besar, Adorno mengajak kita untuk kritis terhadap bentuk musik populer
yang menurutnya membuai massa karena dua persoalan yakni standardisasi dan
pseudo-individualisasi. Solusi
Adorno bukan mengarah pada aspek sosiologis dari musik, melainkan masuk pada
wilayah formal alias bentuk musik itu sendiri. Tawaran Adorno kemudian jatuh
pada musik dua belas nada Arnold Schoenberg yang dianggap menginterupsi,
mengganggu kenyamanan baik ritmis, melodis, maupun harmonis, sehingga dalam
dirinya sendiri punya sifat emansipatoris.
Dalam
wawancara yang dimuat dalam Journal of
French and Francophone Philosophy, terdapat pendapat Rancière tentang
Adorno, yang sekaligus akan mengantarkan kita pada pandangannya tentang
emansipasi. Menurut Rancière, Adorno masih mengandaikan adanya hierarki dalam
usahanya melakukan pembebasan lewat seni. Berbeda dengan Rancière yang
berangkat dari konsep kesetaraan (equality),
Adorno berangkat dari asumsi ketidaksetaraan (inequality) sehingga menganggap ada musik yang teraproriasi oleh
kultur industri dan ada musik yang bebas dalam dirinya sendiri.
Selain mengandaikan adanya hierarki, yang ditentang Rancière sebagai sesuatu yang elitis, Adorno juga membayangkan emansipasi sebagai suatu tujuan melalui proses dialektis. Memang dialektika Adorno sebagai dialektika negatif tidak terarah pada kondisi ideal seperti yang diandaikan oleh Hegel, tetapi tetap, dalam pandangan Rancière, dialektika Adorno masih memiliki aspek teleologis. Sementara tawaran disensus Rancière bukan dalam rangka menciptakan hierarki atau sedang berdialektik demi mengarah pada suatu telos.
Disinilah
sekaligus kita mendapati pengertian emansipasi menurut Rancière sebagai
peleburan antara sarana dan tujuan. Lewat
pandangannya tersebut, semakin jelas bahwa terdapat suatu perbedaan tegas
antara gagasan emansipasi Rancière dan Adorno. Adorno masih memandang seni
sebagai sarana bagi manusia untuk mencapai suatu pembebasan, sementara Rancière
melihat estetika sebagai tampakan sensori yang membebaskan si pelihat lewat
situasi “permainan” seperti yang ditawarkan oleh Schiller.
Interseksi Boal dan Rancière
Meski
tidak pernah secara khusus mengomentari gagasan Boal, bisa dibayangkan
bagaimana Rancière mengajukan keberatan terhadap teater Boal sebagai seni
kritis atau seni politis yang mengandaikan ketidaksetaraan sebagai titik
berangkat. Selain itu, sebagaimana keberatannya terhadap Adorno, Rancière juga
mengkritik gagasan emansipasi a la Boal sebagai hal yang di dalamnya masih
terdapat pemisahan tegas antara sarana dan tujuan. Rancière, berangkat dari
anggapan kesetaraan sebagai titik awal, melihat bahwa emansipasi estetik hanya
mungkin dalam arti otonomi sensori sebagai “permainan” menurut versi Schiller.
Bisa dibayangkan bahwa dalam pandangan Rancière, teater forum Boal jadinya
terlalu banal, membuat estetika terlalu menyehari sehingga tidak tampil dalam
suatu pesona sensori yang khas. Dalam arti tertentu, teater Boal tidak
menyuguhkan tipe keindahan yang sama seperti kita menikmati Juno Ludovisi atau Vir Heroicus Sublimis sehingga dalam pandangan Rancière, justru
gagal menghadirkan emansipasi.
Meski tampak bertentangan, Shawyer berupaya mempertemukan kedua pemikiran tersebut dan menawarkan gagasan “emancipated spect-actor” dalam teater sebagai gabungan pemikiran Rancière tentang “emancipated spectator” dan gagasan Boal tentang “spect-actor”. “Emancipated spect-actor”, menurut Shawyer, adalah spektator-partisipan yang menggunakan kesetaraan intelektual dan kemampuan interpretasi untuk mempertanyakan sistem polisi (istilah Rancière untuk sistem yang mendistribusikan posisi dan legitimasi dalam masyarakat - penulis) sambil juga menampilkan suatu praktik estetik yang membayangkan siapa yang berkuasa, dilihat, dan didengar.
Shawyer
merasa perlu untuk melakukan interseksi atas gagasan Boal dan Rancière karena
pertentangan pemikiran antara mereka lebih disebabkan karena perbedaan latar
belakang ketimbang perbedaan ontologis. Teori Boal tentang spect-actor muncul dari perjuangan pembebasan di Amerika Latin,
sementara teori estetika Rancière hadir dari lanskap pemikiran kontinental
kontemporer dengan semangat post-Marxis.[5]
Perbedaan latar belakang tersebut membuat penolakan Rancière terhadap gagasan
seni kritis atau seni politis sebagai moda yang mengandaikan ketidaksetaraan
justru terkesan ahistoris jika dikaitkan dengan konteks kemunculan teater Boal.
Itu sebabnya, bagi Shawyer, terlepas dari persoalan historis dan geografis,
semestinya kedua gagasan besar ini tidak perlu saling berlawanan.
Shawyer kemudian memberi contoh penerapan “emancipated spect-actor” lewat karya berjudul Mattress Performance (Carry that Weight) oleh Emma Sulkowicz yang memprotes minimnya peran institusi kampus dalam menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Sebagai bentuk protes, Sulkowicz membawa matras besar (tempat dirinya dilecehkan) setiap hari ke kampus dan menyimpannya dimanapun seperti kelas atau kantin. Di hari terakhir performanya, Sulkowicz membawa matras ke atas panggung kelulusan. Dalam pengakuan Sulkowicz, ia berusaha menjadikan pengalaman traumatik sebagai sesuatu yang ditampilkan secara indah. Matras itu juga menciptakan efek alienasi, membuat suatu benda yang biasa disimpan di ruang privat, ternyata menjadi asing saat ditempatkan di ruang publik dengan segala konteksnya, terutama mengingat bahwa Sulkowicz pernah dilecehkan di atas matras tersebut.
Dalam analisis Shawyer, Sulkowicz telah menjalankan praktik estetik lewat performa yang disengaja dalam durasi tertentu. Ia juga menyerang sistem polisi tertentu yang membuat suaranya dibungkam, serta mengemansipasi kesadaran yang membuat orang-orang bersikap kritis atas apa yang dialaminya. Sulkowicz membawa matras berat itu sendirian, seolah menyimbolkan betapa berat beban yang diembannya setelah ia dilecehkan dan tidak mendapatkan dukungan. Sulkowicz, lanjut Shawyer, melakukan disrupsi lewat aksinya, menciptakan disensus di tengah tatanan sosial dominan yang tidak memberikan ruang bagi suara-suara korban kekerasan seksual.
Shawyer
memberi contoh yang indah dengan menjabarkan aksi Sulkowicz, tetapi kurang
tepat sasaran. Aksi Sulkowicz dapat dipandang sebagai aktivisme biasa yang
lebih dekat pada unsur politis biasa ketimbang menempatkannya lebih jauh pada
kerangka estetika. Kritik terhadap aksi Sulkowicz adalah kritik yang umum
terhadap berbagai praktik estetika relasional dan seni partisipatoris: sebelah mana seninya? Emansipasi
kesadaran berhasil dilakukan oleh Sulkowicz, tetapi bukan emansipasi sensori
sebagaimana ditawarkan Rancière dalam konsep “permainan” yang dipinjamnya dari
Schiller. Selain itu, aksi Sulkowicz juga gagal menerjemahkan pengertian
emansipasi menurut Rancière yang menginginkan peleburan antara sarana dan
tujuan - kenyataannya, “pertunjukkan” tersebut begitu bertujuan. Pada pokoknya,
Shawyer terlalu memaksakan diri untuk menceritakan aksi Sulkowicz sebagai hasil
interseksi gagasan Boal dan Rancière yakni “emancipated
spect-actor”.
Tawaran
interseksi yang lain adalah mengotak-atik tudingan Rancière bahwa teater Boal
berangkat dari asumsi ketidaksetaraan. Dengan Boal menyiapkan serangkaian
latihan bagi penonton-pemain, pada dasarnya ia juga memiliki asumsi kesetaraan,
bahwa setiap orang punya kemampuan untuk mengeksplorasi tubuh. Pendapat bahwa
petani, pekerja, dan buruh pabrik tidak usah bermain teater mesti diselidiki
sebagai usaha menciptakan konsensus oleh tatanan sosial dominan yang
menempatkan mereka-mereka selalu dalam posisi tereksklusi. Dalam arti demikian,
teater menjadi seolah permainan mewah bagi orang-orang dengan hak istimewa
tertentu atau waktu luang yang banyak.
Padahal
dapat juga kita katakan, bahwa teater Boal adalah disensus dalam artian setiap
orang tampil melalui praktik estetik tertentu untuk ambil bagian dalam isu-isu
publik. Namun kita masih menyisakan problem di sini: bagaimana mengatasi
masalah otonomi estetik dan yang paling penting, masalah emansipasi sebagai
peleburan sarana dan tujuan? Estetika sebagaimana digagas oleh Boal memang
bukan estetika yang mewah, yang kita bayangkan seperti keindahan teater
Stanislavski atau keterampilan teater tubuh Grotowski. Kritik itulah yang kerap
dilancarkan oleh Rancière terhadap seni kritis karena abai terhadap moda
keberadaan dan terlampau fokus pada emansipasi sebagai sebuah tujuan. Disinilah
kemudian menjadi penting menegur Rancière supaya lepas dari romantisme seni
untuk seni yang ia agungkan mampu menciptakan otonomi sensori.
Teater
forum Boal bisa indah, bisa estetik, sepanjang diletakkan dalam kerangka
historis bahwa yang tampil di atas panggung adalah tubuh-tubuh yang selama ini
dieksklusi dari tatanan sosial dominan. Menganggap tubuh-tubuh tereksklusi
tersebut sebagai tidak indah dan tidak merangsang secara sensori justru membuat
kita perlu mempertanyakan posisi estetik Rancière sendiri. Pada titik ini
justru kita bisa meminjam pandangan Shawyer dalam membela performa Sulkowicz:
matras menjadi “indah” karena tidak lagi diperlakukan sebagai matras. Matras
menjadi “indah” karena dicerabut dari fungsi sehari-harinya. Ia masuk pada -
meminjam pandangan Kant - kondisi “disinterestedness”,
yakni kondisi nirkepentingan tetapi bukan dalam artian tidak memiliki fungsi
apapun: putusan estetik terhadap matras hadir karena fungsinya terdisrupsi oleh
kenyataan bahwa tempat tersebut pernah menjadi situs kekerasan seksual.
Rancière, sebagai orang yang punya banyak kesepahaman dengan putusan estetik
Kant, semestinya bisa turut membayangkan, bahwa keindahan dari panggung teater
forum adalah keindahan yang muncul dari “pembelokan kepentingan”: pekerja
memang tampil sebagai pekerja, buruh sebagai buruh, petani sebagai petani, tetapi
tidak persis dengan konteks sehari-hari dalam rutinitasnya. Mereka dilatih,
ditempatkan kembali dalam kerangka estetik tertentu dan diminta untuk “bicara
lebih banyak” melalui tubuhnya.
Terakhir,
hal yang perlu dipecahkan adalah perkara emansipasi sebagai peleburan antara
sarana dan tujuan sebagaimana disebutkan oleh Rancière dalam wawancara tahun
2019. Boal ternyata tidak sedemikian abai terhadap “permainan” sebagaimana ia
tuliskan dalam Theatre of the Oppressed.
Boal menekankan bahwa proses dalam latihan maupun tampil harus dibuat
menyenangkan dan dalam situasi bermain-main. Tentu “permainan” dalam pengertian
Boal dan Schiller ini bisa jadi berbeda, tetapi ada kemiripan, bahwa hanya
dalam bermain-main, terjadi peleburan sarana dan tujuan. Artinya, tujuan
pembebasan Boal sudah terdapat pada berbagai proses teater forum itu sendiri,
terhadap orang-orang yang dilibatkan di dalamnya dan tidak mutlak mesti terjadi
revolusi sosial sesudahnya sebagai konsekuensi eksternal.
Dengan
demikian, sedikit banyak terjelaskan bahwa emansipasi dapat diartikan sebagai
“permainan” yang meleburkan sarana dan tujuan, dapat dicapai melalui praktik
estetik, dan tidak melulu mensyaratkan teknikalitas seni tertentu, melainkan
cukup melalui “pembelokan kepentingan” melalui tampilan kembali aktor dalam
kerangka estetik tertentu sehingga muncul disrupsi atas tatanan sosial dominan.
Supaya taat dengan pandangan Rancière bahwa emansipasi tidak harus selalu
berujung revolusi yang malah terjebak pada hierarki, kita bisa katakan bahwa emansipasi
Boal juga sejalan selama membayangkan bahwa aktor-aktor itu sendirilah yang
pada akhirnya terbebaskan lewat “permainan” di dalam proses internal teater
forum.
Simpulan
Berdasarkan
uraian diskusi di atas, maka interseksi pemikiran Boal dan Rancière dalam
konteks seni, politik, dan pembebasan dapat disimpulkan dalam uraian sebagai
berikut:
- Sebagaimana Rancière, Boal juga memiliki asumsi kesetaraan dengan
melihat kemungkinan siapapun untuk mengeksplorasi tubuh dan menjadi aktor.
- Keindahan panggung teater forum Boal terletak pada “pembelokan
kepentingan” dari tubuh para aktor yang ditempatkan di luar keseharian dan
ditempatkan kembali dalam kerangka estetik tertentu.
- Bahwa teater Boal menaati pandangan emansipasi Rancière yang meleburkan sarana dan tujuan lewat “permainan” selama ditempatkan dalam kerangka proses pemain-penonton yang tidak terburu-buru memikirkan konsekuensi eksternal dari pembebasan.
Referensi
Allerkamp,
A., Genel, K., & Hazoume, M. (2019). What to do with Adorno’s Aesthetic
Theory? An Interview with Jacques Rancière. Journal of French and Francophone Philosophy, 27(2), 127–141.
https://doi.org/10.5195/jffp.2019.896
Boal,
A. (2008). Theatre of the Oppressed.
Pluto Press.
Rancière,
J. (1998). Disagreement: Politics and
Philosophy. the University of Minnesota Press.
Rancière,
J. (2009). Aesthetics and Its Discontents
(1st ed.). Polity.
Shawyer,
S. (2019). Emancipated Spect-actors: Boal, Rancière, and the Twenty-First-
Century Spectator. Performance Matters,
5(2), 41–54.