Advertisement
Oleh: Rizal Sofyan*
Sebanyak 6 unit motor matic terparkir rapi di atas panggung. Motor-motor itu dihiasi oleh pernak- pernik barang yang biasa dijual di emperan pinggir jalan kota-kota. Ada yang dihiasi oleh stik PS KW, headset KW, jepit rambut, uang, dan lainnya. Tak lama kemudian musik bernuansa timur tengah memberi atmosfir diikuti oleh kemunculan aktor yang berkostum baju gamis pria berwarna cerah, tetapi berwajah gelap. “Assalamualaikum”, aktor saling menyapa satu sama lain sambil sesekali menenggak minuman yang ada di mug perak. Kehadiran motor dan aktor mengingatkanku pada kota Jakarta, kota urban, atau kota yang penuh spectacle.
Tidak hanya membahas urban di dunia nyata, tetapi membahas juga soal urban di dunia maya – termasuk media digital. Tayangan adegan-adegan pembunuhan, terorisme, hingga trend hari ini ditampilkan dalam proyeksi video. Layar putih yang berada di belakang panggung disulap menjadi televisi, videotron, hingga feeds media sosial. Adegan ini diperkuat oleh aktor- aktor yang bermain di panggung seolah-olah teks dalam video proyeksi dan permainan aktor adalah satu kesatuan. Contohnya pada adegan yang menampilkan video kekerasan dari peperangan di timur tengah. Aktor-aktor terbagi menjadi 2 grup. Grup pertama membacakan ayat-ayat dari surah Ar-Rahman sementara grup kedua membacakan sari tilawah dari ayat yang dibacakan. Adegan ini seolah-olah menjadi semacam pengingat bahwa kehidupan di dunia ini fana. Manusia mestinya bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan.
Pertunjukan ini menampilkan adegan-adegan yang memiliki materi visual yang banyak dan kuat. Baik secara tematik maupun konteks plot – walau bercampur aduk sekali. Pertunjukan ini serasa ingin membaca ulang apa itu urban. Saya menangkap pertunjukan menyampaikan bagaimana urban itu dikonstruksi oleh elemen spectakel. Saya menarik pada pernyataan Debord yang mengatakan bahwa spectakel adalah bentuk dari konsumerisme dari komoditas visual yang ia bahas dalam The Society of the Spectacle. Ia menjadi jualan yang laku keras dan mampu mempengaruhi persepktif bahkan pola pikir seseorang - di sinilah setan yang bernama kapitalisme merasuk. Dalam pertunjukan dipresentasikan bagaimana peristiwa media digital menjadi gaya hidup dan pola pikir. Contohnya adegan fashion show dengan penampilan quotes- qoutes, konten visual mengenai kekerasan dan spiritualisme, budaya live streaming, hingga obsesi seseorang ingin menjadi karakter utama dalam sebuah platform media digital.
Barangkali inilah hubungan antara kiamat yang dijanjikan dalam alkitab dan peradaban spectacle. Bahwa sesungguhnya dunia berada dalam proses kiamat sosial. Orang-orang berlomba-lomba menjadi seorang bintang dan mempengaruhi yang lainnya. Satu adegan kunci yang menjadi kesimpulan pernyataan ini yaitu seseorang rela bunuh diri dengan aksi terorisme agar ia masuk televisi. Empati, etika, bahkan mungkin estetika sudah musnah dalam urban yang dimaksud dalam pertunjukan APROKSIMASI.
Pertunjukan visualisasi kiamat sosial karya Benny Yohannes ini dipentaskan di studio jurusan teater ISBI Bandung pada pukul 19.30 WIB tanggal 9-10 Oktober 2024 – saya menonton di hari terakhir. Lokasi pertunjukan yang terbatas, tetapi diperlukan agar atmosfer dan material visual pertunjukan dapat dilihat dengan detail. Benny Yohannes melekatkan dirinya pada isu-isu sosial yang ada di media digital hingga ia kemas dalam sajian visual-visual modern dan menyita perhatian.
Walau sayangnya terdapat blunder dengan mengatakan pertunjukan terdiri atas bentuk- bentuk performance art dalam teks konsepnya. Bagaimana tidak, apa yang saya lihat di panggung ialah performing art, bukan performance art. Jika membandingkan dengan karya performance art dari seniman seperti Melati Suryodarmo, Ridwan Rau-Rau, atau FJ Kunting pertunjukan ini sama sekali tidak menyimpan bentuk seperti itu. Semua dikonstruksi begitu ketat dan matematis. Performance art setidaknya peristiwa yang mengalir begitu saja atau bahkan terjadi secara insidental. Ia hanya mengetahui bagaimana pertunjukan dimulai, berakhir, dan apa yang ingin disampaikan secara konseptual. Performance art adalah dramatik yang sederhana atau bahkan tidak ada sama sekali karena tujuannya bukan pada dramatik. (Artikel terkait: Apa Itu Performance Art? Apakah Sama dengan Seni Pertunjukan?)
Saya pikir lebih cocok untuk menggunakan istilah performativitas. Bisa dijabarkan bahwa pertunjukan ini ialah pengolahan performativitas peristiwa di kehidupan yang kemudian ditransformasi menjadi seni peran dan pertunjukan. Saya lihat pun penampilan dari tiap co-performer dibentuk dengan format latihan pengadegan. Baik performance art maupun performing art memiliki unsur yang sama yaitu performativitas, bedanya bagaimana kemudian menempatkan performativitas dalam proses kreatif. Melalui pertimbangan tersebut, sayang jika Benny Yohannes harus memberi label dengan istilah performance art, bukan performing art.
Terlepas dari kesalahan tersebut, pesan yang ingin disampaikan oleh pertunjukan ini berhubungan dengan kondisi sosial saat ini. Kiamat sosial sedang terjadi di setiap generasi. Walau pada akhirnya saya belum menemukan apa yang dimaksud dengan teater setelah tatapan. Apakah pertunjukan ini menihilkan tatapan yang dibawa dalam pertunjukan teater (perspektif yang terbuka) atau mungkin tatapan dalam proses kreatif teater dipengaruhi oleh tatapan yang dibawa oleh co-performer. Bagi saya menarik untuk membahas secara lengkap bagaimana peran co-performer dalam penciptaan karya ini.
*Penulis merupakan seorang performer, sutradara, dan peneliti seni & budaya dari Rangkasbitung, Banten. Ia merupakan lulusan Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta (lulus tahun 2023). Memulai karir seninya di seni teater. Ia kemudian aktif mengerjakan proyek multi-disiplin seperti light novel, komik, Electronic Dance Music (EDM), desain grafis, film, dan boardgame yang kemudian mempengaruhi kerja artistiknya. Karya seni dan penelitiannya mencakup topik seni partisipatoris dan poskolonial. Ia memilih gim sebagai konsep artistik. Sejak tahun 2022 ia bergabung dengan Tilik Sarira Creative Process menjadi peneliti dan seniman kolektif. Tahun 2024 ia mendirikan Taman Ludens, proyek penelitian artistik seni partisipatoris.