Tangan Besar Mama Menganyam Tiqew -->
close
Pojok Seni
07 September 2024, 9/07/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-09-08T15:51:19Z
ArtikelUlasan

Tangan Besar Mama Menganyam Tiqew

Advertisement

Dokumentasi Tubaba Art Festival
Kolaborasi ibu-ibu penganyam tikew di Gedung Ratu, Tubaba bersama Sirun Chen (Dokumentasi Tubaba Art Festival)


Oleh: Selvi Agnesia


Proses kolaborasi Ibu-ibu penganyam tikew di Tiyuh (desa) Gedung Ratu, Tulang Bawang Barat bersama Sirun Chen menghasilkan anyaman tikew yang tidak sekedar memiliki fungsi praktis, namun karya seni rupa yang estetis dan bernilai filosofis, menyoal kemanusiaan dan kekuatan perempuan.


“Sebagai seniman, saya bekerja dengan laptop, tetapi mama benar-benar bekerja dengan tangan” ungkap Shirun Chen, seniman asal Chengdu, China. “Jari-jarinya seperti menari ketika menganyam, mereka memiliki big hand (tangan besar),” lanjut Shirun kagum, ketika mengamati proses pembuatan tikar. 


Pada Juli 2024, selama 2 minggu, Sirun melibatkan diri dalam "kolaborasi partisipasi" dengan ibu-ibu penganyam Tiqew di Tiyuh Gedung Ratu. kecamatan Tulang Bawang Udik, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung. Kolaborasi ini merupakan bagian dari program residensi seniman yang diinisiasi Tubaba Art Festival#8 bertema “Self and Space: Festivity From Kitchen.” 


Dalam rentang waktu tersebut, Sirun menggunakan waktunya untuk terlibat langsung dalam kehidupan sehari ibu-ibu pengrajin yang ia sebut “mama.” Setiap pagi, setelah membuat kopi, para pengrajin ini berkumpul dan mulai menganyam tikew. Ia pun seperti seorang murid yang antusias turut belajar pada mama yang mengajarinya dengan sabar, pada moment yang bersamaan, para mama menganyam sembari mengobrol, tertawa dan bercanda dengan bahasa setempat.  


Sirun mengandalkan penerjemah untuk mengetahui makna obrolan tersebut, namun dari proses tersebut Sirun sangat tertarik pada "teknik cara menganyam" dan refleksi "kekuatan perempuan." Simbol inilah yang disebut Sirun menjadi metafor Big Hand atau tangan besar. Sirun melihat para mama dengan tangannya terlihat terampil, berbakat, selain rendah hati dan profesional. 


“Mereka sungguh terlihat mencintai pekerjaanya,” ungkap seniman yang juga berprofesi sebagai guru seni di Chengdu, China. 


Anyaman Tiqew (foto: Selvi Agnesia)


Menganyam adalah salah satu bentuk tradisi budaya tertua di dunia, khususnya di kawasan Asia seperti Indonesia dan China. Konon kegiatan itu ditiru manusia dari cara burung menjalin ranting menjadi bentuk sarang yang kuat. 


Zaman dulu, kerajinan anyaman masih merupakan kegiatan sampingan masyarakat pedesaan dalam mengisi waktu ketika menunggu saat bercocok tanam sebagai mata pencaharian utama. Menganyam adalah cabang kerajinan yang telah sangat tua usianya, tetapi saat ini masih mampu bertahan bahkan mengalami perkembangan yang terus menerus, termasuk di Tubaba. 


Menurut Oho Garha, dalam buku “Berbagai motif anyaman” bahwa menganyam merupakan kegiatan menjalin bahan-bahan yang berbentuk pita sehingga satu sama lainnya saling kuat menguatkan dan karena tekniknya, timbullah motif yang berulang. Sedangkan pengertian anyaman sendiri adalah teknik membuat karya seni rupa yang dilakukan dengan cara menumpang tindih-kan (menyilangkan) bahan anyam dengan tanaman. 


Melihat hasil anyaman para pengrajin yang dipamerkan di Tubaba Art Festival#8, anyaman tikew biasanya digunakan sebagai alas duduk di lantai, topi, tas keranjang, tempat tisu, wadah air minum, dompet, tempat sampah dan kebutuhan lainnya hingga tempat barang-barang saat upacara pernikahan hingga upacara kematian. Tikew telah menjadi bagian kosmologi masyarakat Tubaba. 


Tikew sendiri adalah tumbuhan  endemik rumput liar mirip bambu berwarna hijau dengan bentuk yang tipis dan kecil. Di daerah lain orang-orang menyebutnya purun atau mendong. Tanaman ini bisa ditemukan di lahan dekat rawa dan Tiyuh Gedung Ratu memiliki lahan gambut cukup luas. 


Hanya saja, mencari bahan baku untuk kerajinan tikew bukan pekerjaan mudah. Serupa  dengan masalah ketika para pengrajin tikew mendapatkan pemesanan banyak namun bahan baku kurang memadai, pemasaran yang belum meluas dan sumber daya manusia melalui regenerasi pengrajin anak muda.  


John Heriyanto salah seorang seniman di Tubaba Art Festival yang sudah lama tinggal di Tubaba acapkali menemani ibu-ibu dari Atuqu (kelompok usaha dan pemberdayaan perempuan penyaman tiqew di Tubaba)  untuk mencari tikew.  Mereka  harus melewati kebun karet yang luas, setelah sampai rawa, ratusan batang tikew diarit lalu ibu-ibu membopong di pundaknya. Tikew lalu dijemur, diinjak, ditumbuk oleh alung hingga siap untuk dianyam.   

 

Melalui hasil kolaborasi, Sirun fokus pada proses dan simbolisme yang diterjemahkan pada karya instalasi partisipasi di Tubaba Art Festival#8 melalui pameran seni rupa parsipatoris “Kehidupan Tiqew” di halaman Amphi theater. Sirun membuat design motif tiqew dengan laptop dengan meminjam tiga karakter dari mitologi lisan Lampung. Sirun menganyam satu persatu berdasarkan motif tersebut. 


Pertama instalasi dengan simbol “Pun”, dewa alam semesta, awal mula segalanya yang kehadirannya seluas kehampaan. Nenek moyang kita tidak tahu namanya, jadi mereka menamainya dengan bunyi yang ada saat ia muncul “Pun”


Kedua, “Sang Sri” adalah manusia pertama yang diciptakan Pun. Manusia dilahirkan untuk terus bertanya dan menjelajah, dari gunung hingga sungai, sampai mereka memperoleh kebijaksanaan. Terakhir motif instalasi dengan simbol “Riyah” adalah makanan bagi semua tanaman. 


Selain instalasi, pada hari  terakhir Tubaba Art Festival (3 Agustus 2024) diselenggarakan workshop tiqew bersama ibu-ibu penganyam tiqew di kota budaya uluan Nughik. Pengunjung festival, anak-anak sekolah dan dewasa yang turut mengikuti workshop ditemani para pengrajin dengan tekun menganyam sembari menyanyi.   


Bayangan hitam terlihat di sela-sela tangan ibu-ibu pengrajin yang sesekali merasa pegal menganyam, terlihat kesabaran dan ketekunan untuk menghasilkan kerajinan anyaman yang tidak sekedar hanya barang dengan fungsi praktis, namun tangan besar dan kesabaran dari para mama mengubah tikew dari tanaman liar rawa yang diabaikan, menjadi karya seni yang bernilai untuk kehidupan dan refleksi kekuatan perempuan.   


"Saya merasa bahagia & nyaman. Kalian akan mengerti perasaan saya, ketika kalian menyentuh tikew dari mama," ungkap Sirun dengan haru.


*penulis seni budaya berdomisili di Yogyakarta. 


Ads