Seniman Feodal (Bagian II-Habis) -->
close
Pojok Seni
14 September 2024, 9/14/2024 12:32:00 AM WIB
Terbaru 2024-09-13T17:32:32Z
Artikel

Seniman Feodal (Bagian II-Habis)

Advertisement


Oleh:  Zackir L Makmur*


Salah satu unsur penting yang menegaskan posisi dominan seniman top dalam masyarakat saat ini adalah kekuatan publisitas dan media. Dalam era digital dan media sosial, seniman memiliki alat yang belum pernah ada sebelumnya untuk mempengaruhi audiens dan masyarakat. Seniman yang sudah terkenal seringkali memiliki kendali atas narasi publik tentang diri mereka dan karya mereka, yang dapat mempengaruhi bukan hanya bagaimana seni mereka diterima, tetapi juga bagaimana mereka diperlakukan dalam ranah sosial.


Publisitas yang terus menerus membuat seniman ini mempertahankan status "penguasa" di mata publik, mengukuhkan posisi dominan mereka dalam ekonomi dan budaya seni. Dalam hal ini, media seringkali memperkuat hierarki yang ada, memberikan sorotan terus menerus pada nama-nama yang sudah terkenal, sementara seniman baru harus berjuang keras untuk mendapatkan pengakuan.


Kekuatan Publisitas dan Media


Kekuatan publisitas dan media dalam memperkuat dominasi seniman terkenal juga sangat relevan dalam konteks seniman Indonesia, Asia, dan Eropa. Di ketiga wilayah ini, media berperan besar dalam membentuk hierarki kekuasaan di dunia seni, meskipun dengan nuansa yang berbeda sesuai dengan karakteristik budaya dan ekonomi masing-masing. Publisitas menjadi alat penting bagi seniman-seniman mapan untuk mempertahankan posisi mereka, sementara seniman baru sering menghadapi tantangan yang serupa dalam mendapatkan pengakuan.


Di Indonesia, media tradisional dan digital telah menjadi platform utama bagi seniman untuk membangun citra mereka. Publisitas melalui acara-acara besar seperti pameran seni nasional, festival, dan publikasi di media sosial memegang peranan penting dalam mengukuhkan posisi seniman mapan. Media, terutama platform digital, juga memperluas pengaruh mereka, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.


Di sisi lain, seniman baru di Indonesia harus berjuang keras untuk mendapatkan perhatian yang sama. Meskipun media sosial telah membuka peluang yang lebih besar bagi seniman muda dan independen untuk mempromosikan karya mereka, sorotan yang dominan masih sering jatuh pada nama-nama besar. 


Media lokal sering kali mengulang-ulang nama seniman yang sudah terkenal, sehingga menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap eksposur. Hal ini menyebabkan seniman-seniman baru dan eksperimental harus bersaing di bawah bayang-bayang para seniman mapan yang sudah memiliki koneksi kuat dengan galeri, kurator, auditorium, media, dan sponsor.


Di Asia secara umum, terutama di negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, dinamika serupa terjadi. Di Jepang, seniman kontemporer seperti Takashi Murakami mendapatkan sorotan besar baik dari media nasional maupun internasional, sehingga memperkuat status mereka sebagai penguasa di dunia seni. 

Kekuatan media dan industri budaya pop di Jepang mendukung Murakami dan seniman terkenal lainnya untuk terus mempertahankan posisi dominan mereka, sementara seniman baru harus menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pengakuan yang sama. Media seringkali berfokus pada seniman-seniman yang sudah berhasil menembus pasar global, sehingga mempersempit ruang bagi seniman-seniman baru yang berusaha mengekspresikan gagasan-gagasan inovatif.


Di Korea Selatan, fenomena yang sama terlihat jelas. Seniman-seniman top, seperti Lee Ufan, yang sudah dikenal secara global, mendominasi media seni, sementara seniman muda berjuang untuk mendapat eksposur. Di Tiongkok, meskipun ada seniman-seniman baru yang mulai mendapatkan pengakuan, nama besar seperti Ai Weiwei terus mendominasi diskusi di media internasional. Publisitas besar-besaran pada seniman-seniman ini membangun narasi bahwa mereka adalah figur sentral dalam seni Asia, sehingga menyulitkan seniman-seniman lain untuk mendapatkan sorotan yang setara.


Sementara itu di Eropa, kekuatan media dan publisitas memiliki peran yang serupa dalam menjaga dominasi seniman mapan. Seniman-seniman besar seperti Damien Hirst dan Banksy di Inggris, atau Anselm Kiefer di Jerman, terus mendominasi ruang publik melalui berbagai platform media, baik tradisional maupun digital. 


Publisitas ini membuat mereka tetap relevan dan menjadi fokus perbincangan dalam dunia seni, bahkan ketika karya-karya baru dari seniman muda mungkin menawarkan perspektif yang lebih segar dan kritis. Di Eropa, galeri-galeri ternama dan pameran besar juga berperan penting dalam mengukuhkan posisi seniman-seniman mapan, dan media seringkali mengikuti alur yang sama dengan terus mempromosikan seniman-seniman ini.


Namun, di Eropa, ada sedikit ruang bagi seniman-seniman baru untuk mendapatkan pengakuan, terutama melalui inisiatif mandiri atau pameran alternatif. Media digital dan independen lebih terbuka dalam mendukung seniman-seniman eksperimental dan alternatif, meskipun seniman-seniman besar tetap mendominasi eksposur media arus utama. Seniman-seniman baru harus mengandalkan platform media sosial atau jaringan kurator dan galeri kecil untuk memperkenalkan karya mereka ke audiens yang lebih luas, yang memberikan sedikit peluang untuk mendobrak hierarki yang ada.


Oleh karenanya baik di Indonesia, Asia, maupun Eropa, kekuatan publisitas dan media memainkan peran penting dalam memperkuat hierarki yang ada di dunia seni. Seniman-seniman yang sudah mapan terus mendapatkan sorotan besar melalui berbagai saluran media, sementara seniman baru harus bekerja keras untuk memperoleh pengakuan di tengah-tengah dominasi seniman yang sudah terkenal. 


Publisitas yang terfokus pada seniman-seniman besar menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap audiens, tetapi media sosial dan platform digital setidaknya memberi peluang bagi seniman baru untuk mendapatkan eksposur. Tantangan utama bagi seniman-seniman baru di ketiga wilayah ini adalah bagaimana menembus hierarki yang sudah ada dan mendapatkan tempat yang layak dalam peta seni kontemporer yang semakin kompetitif.


Sistem Masyarakat Kerakyatan untuk Seniman


Maka gagasan mengembalikan "sistem pergaulan seniman kepada sistem masyarakat kerakyatan" harus diimplementasikan. Karena ide ini mempunyai pendekatan yang lebih egaliter dan demokratis dalam struktur sosial dan artistik. Dalam sistem ini, seniman dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas, bukan sebagai elite terpisah yang memiliki otoritas atas sesamanya. Masyarakat kerakyatan menekankan kolaborasi, partisipasi, dan solidaritas, di mana kekuatan tidak terkonsentrasi pada individu tertentu melainkan tersebar dan didistribusikan secara merata.


Dalam sistem seperti ini, hierarki yang kaku di antara seniman akan digantikan oleh jaringan hubungan yang saling mendukung, dimana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang tanpa harus tunduk pada otoritas atau pengaruh seniman yang sudah mapan. Hal ini juga mencerminkan pergeseran dari struktur kekuasaan tradisional menuju komunitas yang lebih inklusif dan setara.


Sistem masyarakat kerakyatan untuk seniman menawarkan visi tentang dunia seni yang lebih egaliter, dimana kekuasaan dan otoritas tidak terkonsentrasi pada segelintir individu tetapi tersebar di seluruh komunitas seni. Ide ini muncul sebagai tanggapan terhadap struktur sosial dan artistik yang sering kali diwarnai oleh hirarki ketat, dimana seniman yang sudah mapan memegang kendali atas narasi publik, kesempatan ekonomi, dan pengaruh budaya. 


Dalam sistem kerakyatan, seniman dilihat sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas, dengan hak dan kewajiban yang setara. Mereka tidak dipandang sebagai elite yang terpisah, tetapi sebagai aktor yang berpartisipasi aktif dalam kolaborasi, solidaritas, dan pengembangan seni bersama. Pendekatan masyarakat kerakyatan ini mencerminkan dorongan untuk merombak hierarki yang sudah lama terbentuk dalam dunia seni. Hierarki tersebut seringkali memisahkan seniman mapan dengan mereka yang baru memulai, menciptakan jarak antara keduanya dalam hal akses terhadap sumber daya, kesempatan, dan pengakuan. 


Dalam sistem kerakyatan, hierarki semacam itu berpotensi hilang, digantikan oleh jaringan kolaboratif yang didasarkan pada kesetaraan dan partisipasi. Setiap individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkarya, tanpa harus tunduk pada otoritas atau pengaruh seniman yang sudah lebih dulu mendapatkan posisi dominan.


Hal ini tentu membutuhkan perubahan mendasar dalam cara seniman berinteraksi dengan sesama dan masyarakat. Alih-alih melihat seni sebagai kompetisi untuk mencapai puncak popularitas, sistem ini mendorong seniman untuk saling mendukung, berbagi pengetahuan, dan bekerja bersama dalam menciptakan karya yang bermakna. 


Gagasan kolaborasi dan solidaritas ini bertentangan dengan sifat individualistik dan elitis yang seringkali mengakar dalam dunia seni kontemporer, terutama di era kapitalisme global yang cenderung mengutamakan kompetisi dan komodifikasi karya seni. Sistem kerakyatan, sebaliknya, menempatkan nilai pada proses kreatif kolektif, di mana setiap seniman, tanpa memandang status atau popularitas, memiliki peran yang sama pentingnya dalam membentuk budaya.


Pergeseran Sistem Kekuasaan Seniman Feodal


Sistem masyarakat kerakyatan juga mengusulkan pergeseran dari sistem kekuasaan seniman feodal menuju komunitas yang lebih inklusif. Dalam banyak kasus, seniman mapan memiliki akses eksklusif terhadap jaringan galeri, kurator, dan kritikus seni, yang sering kali menjadi penentu kesuksesan di dunia seni. 


Dalam masyarakat kerakyatan, akses semacam ini akan didistribusikan lebih merata, memberi peluang bagi seniman-seniman baru untuk mendapatkan pengakuan tanpa harus melewati batasan yang ditetapkan oleh seniman yang lebih berkuasa. Ini juga mencerminkan upaya untuk mengurangi kesenjangan antara seniman yang sudah terkenal dan yang belum dikenal, menciptakan ruang di mana kreativitas dapat berkembang tanpa batasan hierarki sosial atau ekonomi. Gagasan ini juga relevan dalam konteks masyarakat Indonesia dan Asia, di mana sistem sosial tradisional seringkali menempatkan seniman dalam posisi yang lebih tinggi atau berjarak dari masyarakat umum. 


Di Indonesia, khususnya, budaya patronase di mana seniman bergantung pada tokoh-tokoh berkuasa untuk mendapatkan dukungan finansial atau eksposur telah lama menjadi bagian dari sejarah seni. Sistem masyarakat kerakyatan menentang gagasan tersebut dengan mendorong seniman untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat, dan langsung terlibat dalam isu-isu yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Ini memungkinkan seniman untuk menjadi agen perubahan sosial yang lebih aktif, bukan hanya sebagai pengamat dari jauh.


Di Asia, transformasi menuju sistem yang lebih inklusif juga mulai terlihat dengan semakin banyaknya platform seni independen yang menawarkan ruang bagi seniman-seniman baru dan alternatif. Pameran seni kolektif dan komunitas seni yang berbasis solidaritas menunjukkan bagaimana struktur yang lebih egaliter dapat muncul dalam masyarakat yang sebelumnya memiliki struktur hierarkis yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kerakyatan tidak hanya menjadi impian idealis tetapi sesuatu yang dapat diwujudkan melalui praktik-praktik kolaboratif dan inklusif dalam dunia seni.


Di Eropa, meskipun seniman juga sering kali terperangkap dalam hierarki yang kaku, gerakan seni kolektif dan komunitas seni alternatif telah menjadi bagian penting dari sejarah seni modern dan kontemporer. Misalnya, gerakan seni Dada di awal abad ke-20 adalah salah satu contoh bagaimana seniman Eropa telah lama mencari cara untuk melampaui batasan-batasan hierarki yang ada dalam dunia seni, dan menciptakan komunitas yang lebih egaliter dan anti-otoritarian. Pendekatan ini tetap relevan dalam konteks seni Eropa hari ini, di mana banyak seniman dan kurator yang terus mencari cara untuk mendemokratisasi dunia seni melalui platform kolektif, ruang alternatif, dan proyek berbasis masyarakat.


Dengan demikian, mengembalikan sistem pergaulan seniman kepada sistem masyarakat kerakyatan berarti menegaskan kembali pentingnya kesetaraan, kolaborasi, dan solidaritas dalam dunia seni. Seniman tidak lagi dilihat sebagai individu-individu yang berdiri di atas masyarakat, tetapi sebagai bagian integral dari jaringan sosial yang lebih luas. 


Sistem ini mengusulkan pergeseran dari elitisme dan hierarki menuju komunitas yang inklusif dan partisipatif, di mana setiap seniman memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi pada budaya. Ini adalah visi tentang dunia seni yang lebih adil dan demokratis, yang tidak hanya relevan di Indonesia atau Asia, tetapi juga di Eropa dan seluruh dunia.***


* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads