Seniman Feodal (Bagian I) -->
close
Pojok Seni
13 September 2024, 9/13/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-09-13T01:00:00Z
ArtikelUlasan

Seniman Feodal (Bagian I)

Advertisement

Oleh:  Zackir L Makmur*


Banyak seniman yang telah mencapai puncak popularitas berperilaku seperti "penguasa" feodal. Sekaligus hal ini juga mengungkapkan ironi yang mendalam dalam dunia seni. Padahal seni sering dipandang sebagai ruang kebebasan berekspresi, di mana setiap individu dapat menciptakan tanpa batasan hierarkis. Namun, realitanya menunjukkan adanya hierarki yang sangat kaku. 


Dalam konteks ini, seniman-seniman yang sudah mapan memegang kekuasaan yang hampir absolut atas publikasi, sosial, dan ekonomi. Mereka memanfaatkan posisi dominan untuk menjaga status mereka, menciptakan batasan bagi seniman baru yang berusaha mendapatkan pengakuan. Feodalisme modern ini menunjukkan bahwa dunia seni bukanlah arena yang sepenuhnya bebas, tetapi terperangkap dalam struktur kekuasaan yang mirip dengan sistem feodal, di mana penguasa menikmati kekuasaan mutlak dan lama.


Dengan begitu feodalisme dalam perilaku seniman mengandung ironi yang mendalam. Pola perilaku yang menunjukkan bahwa banyak seniman, setelah mencapai puncak popularitas, justru menunjukkan karakteristik yang mirip dengan elite feodal. Dalam masyarakat seni, seniman yang berada di puncak hierarki artistik seringkali dipandang sebagai "penguasa". Mereka bukan hanya memiliki pengaruh besar dalam menentukan trend artistik, tetapi juga membangun dominasi dalam aspek ekonomi dan sosial. 


Audiens, kritikus, bahkan seniman yang baru muncul, sering kali berada dalam posisi subordinat yang harus menghormati dan memuja mereka. Mereka yang berada di puncak ini cenderung mempertahankan status istimewa yang membuat mereka tetap dominan dalam berbagai aspek kehidupan seni. Dalam konteks ini, kita melihat adanya praktik feodal di mana hubungan seniman dengan “seniman baru muncul”, audiens, dan komunitas seninya, menjadi hubungan yang hierarkis dan tidak setara.


Tradisi Feodalisme Perilaku Seniman


Ketika kita membahas seniman dalam konteks tersebut, kita harus melihat bagaimana fenomena ini terjadi tidak hanya di dunia seni Barat tetapi juga di Asia, khususnya di Indonesia, serta dalam konteks Eropa. Di Eropa, tradisi panjang feodalisme sangat mempengaruhi pandangan tentang kekuasaan dan hierarki, yang kemudian tercermin dalam perilaku seniman. 


Seniman-seniman besar Eropa seperti Pablo Picasso, misalnya, menjadi ikon yang dihormati di dunia seni, sering kali menginspirasi generasi seniman berikutnya, namun juga menciptakan jarak sosial antara mereka yang sudah "sukses" dengan yang sedang berkembang. 


Status sebagai seniman terkemuka ini sering kali membuat mereka berada dalam posisi yang tak tersentuh, di mana pengaruh mereka dalam kebijakan seni, arah artistik, dan ekonomi seni tetap sangat kuat, mirip dengan penguasa feodal yang memegang kendali atas wilayahnya. Fenomena serupa ini juga terjadi di Asia, meskipun dalam konteks yang sedikit berbeda. Di Indonesia, misalnya, kita dapat melihat pola yang sama dalam dunia seni tradisional maupun modern. 


Seorang seniman yang sudah mencapai tingkat tinggi, baik melalui pengakuan lokal maupun internasional, sering kali diangkat sebagai tokoh panutan yang posisinya hampir tidak bisa digoyahkan. Penghormatan terhadap seniman ini bahkan melampaui karya mereka, dan beralih menjadi penghormatan terhadap status sosial yang mereka miliki. Dalam konteks ini, seniman menjadi figur otoritatif yang menentukan norma-norma estetika dan budaya yang harus diikuti oleh generasi berikutnya, menciptakan struktur sosial yang hierarkis di dalam komunitas seni.


Berbeda dengan Barat, yang dalam beberapa dekade terakhir mulai mengalami perubahan besar dalam dunia seni, terutama dengan munculnya gerakan postmodernisme yang menantang struktur hierarki yang kaku, di Asia, feodalisme dalam perilaku seniman masih sangat kuat. Hal ini sering kali terlihat dalam bagaimana institusi seni di Asia, baik museum, galeri, maupun akademi seni, memperlakukan seniman-seniman besar. Pengaruh mereka dalam kebijakan budaya dan arah seni nasional masih sangat dominan, sementara seniman-seniman muda yang mencoba mendobrak struktur ini sering kali menghadapi tantangan besar.


Feodalisme Antara Seniman dan Pemerintah


Feodalisme dalam perilaku seniman tidak hanya terbatas pada hubungan antara seniman dan audiens, tetapi juga dalam hubungan antara seniman dan pemerintah. Di banyak negara Asia, seniman yang sudah diakui seringkali memiliki hubungan erat dengan struktur kekuasaan, baik melalui penghargaan resmi, proyek seni yang didanai pemerintah, atau kedudukan dalam lembaga-lembaga budaya. Hubungan ini menegaskan posisi dominan mereka dalam dunia seni, yang tidak hanya didasarkan pada karya seni mereka, tetapi juga pada status sosial dan politik yang mereka miliki.


Ketika kita membandingkan fenomena ini dengan kapitalisme, sistem kapitalis memberikan ruang yang lebih besar bagi persaingan dan fleksibilitas. Di dalam kapitalisme, seniman yang baru muncul memiliki kesempatan untuk menantang seniman yang sudah mapan melalui mekanisme pasar bebas. 

Namun, dalam struktur feodal yang terselubung dalam dunia seni, posisi seniman top hampir tidak tergoyahkan. Publisitas yang mereka terima, hubungan mereka dengan institusi seni, dan pengaruh mereka dalam kebijakan budaya menciptakan lingkaran kekuasaan yang sulit ditembus.


Dalam dunia seni yang feodal, seniman top menjadi penentu narasi, estetika, dan arah seni kontemporer. Media dan galeri, ataupun medium  pementasan dan forum diskusi, sering kali memperkuat posisi mereka, dengan memberikan sorotan terus menerus kepada nama-nama besar dan mengabaikan potensi seniman-seniman muda. Publikasi, baik melalui media tradisional maupun digital, sering kali memperlakukan seniman mapan sebagai otoritas yang tidak dapat diganggu gugat, membuat hierarki dalam dunia seni semakin sulit ditembus. 


Seniman-seniman ini menjadi figur sentral, mengendalikan bagaimana seni dipersepsikan dan dipasarkan, sementara seniman lain harus bersaing keras di pinggiran, tanpa akses yang sama terhadap jaringan atau dukungan. Sementara itu dalam tataran sisinya, yang bernama kapitalisme, justru memberikan gambaran yang sedikit berbeda tentang distribusi kekuasaan. 


Dalam kapitalisme, meskipun tetap ada ketidaksetaraan, kekuasaan cenderung lebih tersebar karena adanya pasar bebas. Seniman dalam sistem kapitalisme memang dapat meraih sukses besar dan menjadi ikon ekonomi, tetapi kekuasaan mereka tidak sepenuhnya dominan karena adanya mekanisme pasar. 

Kapitalisme membuka ruang bagi persaingan, sehingga seniman-seniman baru bisa mendapatkan kesempatan untuk menonjol jika karya mereka berhasil menarik perhatian pasar. Tidak seperti dalam sistem feodal, kekuasaan dalam kapitalisme lebih cair, meskipun masih ada keterbatasan yang disebabkan oleh faktor ekonomi dan sosial yang mendukung seniman tertentu.


Meskipun kapitalisme menawarkan ruang lebih luas untuk persaingan, tetap ada ketidaksetaraan yang mendalam. Seniman-seniman yang sudah terkenal memiliki akses lebih besar terhadap modal dan sumber daya, sementara seniman baru sering kali berjuang untuk mendapatkan pijakan di pasar yang kompetitif. 

Dalam konteks ini, gagasan untuk mengembalikan sistem pergaulan seniman kepada masyarakat kerakyatan muncul sebagai solusi untuk menciptakan struktur sosial yang lebih egaliter. 


Kapitalisme dan Seniman


Di sisi lain, kapitalisme menawarkan sistem yang berbeda dalam memahami hubungan kekuasaan dibandingkan dengan feodalisme. Dalam kapitalisme, kekuasaan tersebar melalui mekanisme pasar yang bergerak berdasarkan prinsip penawaran dan permintaan. Tidak ada satu kelompok yang memonopoli kekuasaan secara absolut, karena pemerintah berperan sebagai pengatur melalui kebijakan sosial dan ekonomi. 


Peran pemerintah di sini penting dalam memastikan bahwa kapitalis, meskipun menguasai alat produksi, tidak memegang kekuasaan yang terlalu dominan. Ada regulasi dan pembatasan yang menjaga keseimbangan antara kepentingan kapitalis dan masyarakat umum, sehingga distribusi kekuasaan lebih dinamis.


Jika kita membandingkan posisi seniman dalam sistem kapitalisme, situasinya serupa namun lebih kompleks. Meskipun seniman dapat memperoleh pengaruh ekonomi besar melalui komodifikasi karya seni mereka, mereka tidak memiliki kendali mutlak atas pasar seni atau audiens. Pasar seni bekerja berdasarkan prinsip yang sama dengan kapitalisme secara umum: penawaran dan permintaan. 


Artinya, karya seniman yang diminati oleh pasar akan bernilai tinggi, sementara karya yang kurang diminati akan tenggelam, tanpa memperhitungkan status atau reputasi sebelumnya. Ini menciptakan ruang bagi seniman baru untuk bersaing dengan seniman yang sudah mapan, membuka kemungkinan bagi munculnya kreativitas baru.

Berbeda dengan struktur feodal di mana penguasa seni dapat menikmati kekuasaan absolut dan hampir tak tergoyahkan. Justru dalam sistem kapitalisme posisi seorang seniman bisa lebih rentan. Sebuah karya yang populer hari ini bisa dengan cepat digantikan oleh tren baru besok, menciptakan situasi yang tidak stabil bagi banyak seniman. 


Popularitas dan kesuksesan ekonomi seorang seniman sangat bergantung pada preferensi pasar, yang dapat berubah seiring waktu. Ini berbeda dengan seniman dalam sistem feodal yang posisinya dilindungi oleh status dan otoritas yang bersifat sosial dan politis, menjadikan mereka lebih kebal terhadap perubahan.


Selain itu, kapitalisme juga menciptakan situasi di mana seniman dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar. Meskipun kapitalisme memungkinkan lebih banyak kebebasan dalam berekspresi, seniman seringkali terjebak dalam keharusan untuk membuat karya yang komersial agar bisa bertahan secara ekonomi. Kreativitas seniman dalam sistem ini sering kali dihadapkan pada dilema antara idealisme artistik dan kebutuhan untuk menciptakan karya yang bisa dijual. Hal ini bisa membatasi kebebasan kreatif mereka, karena tekanan untuk berproduksi dalam kerangka yang diterima oleh pasar.


Di sisi lain, kapitalisme juga memberikan peluang bagi seniman untuk menjadi wirausahawan dan memanfaatkan keterampilan mereka dalam mengelola karir mereka sendiri. Mereka dapat membangun merek, mengembangkan jaringan, dan memanfaatkan teknologi untuk mempromosikan karya mereka secara global. Kebebasan ini menciptakan ruang di mana seniman dapat mengambil kendali lebih besar atas nasib mereka sendiri, berbeda dengan struktur feodal di mana seniman bergantung pada patron atau sponsor. 


Kebebasan ini datang dengan risiko dan tantangan yang lebih besar, karena keberhasilan mereka sangat bergantung pada kemampuan untuk menavigasi pasar yang kompetitif dan terus berubah. Dengan demikian, dalam sistem kapitalisme, seniman tidak berada dalam posisi yang sepenuhnya dominan atau dilindungi seperti dalam sistem feodal. Pasar seni yang diatur oleh dinamika penawaran dan permintaan menciptakan fluktuasi dan ketidakpastian, yang memaksa seniman untuk terus berinovasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan. 


Meskipun sistem ini menawarkan peluang bagi seniman baru untuk muncul, ia juga menciptakan tekanan besar bagi mereka untuk bertahan dalam kompetisi pasar. Jadi, kapitalisme memberikan kebebasan dan fleksibilitas, tetapi juga menciptakan ketidakpastian yang konstan dalam dunia seni. (Bersambung)



* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads