Mengapa Tidak Ada Seniman Perempuan yang Hebat? -->
close
Pojok Seni
06 September 2024, 9/06/2024 11:20:00 AM WIB
Terbaru 2024-09-06T04:20:09Z
ArtikelOpini

Mengapa Tidak Ada Seniman Perempuan yang Hebat?

Advertisement


Oleh: Syarif Maulana


Esai Linda Nochlin (1931 – 2017) berjudul Why Have There Been No Great Women Artists? (1971) adalah teks penting yang membuka wacana terkait peran perempuan dalam sejarah seni, khususnya seni rupa. Nochlin menuliskan bahwa pertanyaan tersebut sekilas dapat dijawab dengan mudah dengan mengacu pada alasan “kodrati”, yakni perempuan memang tidak memiliki kapasitas (untuk menjadi seniman hebat).  Namun benarkah demikian? Apakah kita tidak bisa mempertanyakan lebih jauh atas hal yang dianggap “kodrati” tersebut? 


Kita tidak bisa memungkiri bahwa nama-nama besar dalam seni rupa seperti Michaelangelo, Rembrandt, Delacroix, Cézanne, Picasso, Matisse, de Kooning hingga Warhol, semuanya berjenis kelamin laki-laki. Bagi Nochlin, dominasi laki-laki tersebut tidak serta merta membuat kita harus menerima kesimpulan bahwa perempuan memang tidak sanggup menjadi seniman hebat. Nochlin kemudian menunjuk persoalan pokoknya: bahwa minimnya keterlibatan perempuan dalam seni merupakan problem institusional dan pendidikan, alih-alih individual.   


Nochlin memulainya dengan mengurai alasan historis. Dari periode Renaisans hingga akhir abad ke-19, melukis objek manusia telanjang dianggap sebagai kemampuan seni tertinggi. Pada periode tersebut, umumnya objek manusia telanjang adalah laki-laki. Barulah setelah sekitar tahun 1850-an, model perempuan telanjang mulai umum digunakan sebagai objek karya seni. Namun meski perempuan telanjang telah diperkenankan untuk dilukis sebagai objek, perempuan hampir selalu dilarang – sejak masa-masa sebelumnya - untuk berpartisipasi sebagai subjek dalam mempelajari dan melukis ketelanjangan (baik terhadap objek laki-laki maupun perempuan).  Memang dalam kasus tertentu, terdapat sekumpulan mahasiswi seni di Rusia pada akhir abad ke-19 yang diperkenankan melukis objek telanjang perempuan, tetapi biasanya didampingi oleh laki-laki.  


Kalaupun pelukis perempuan dibolehkan melukis objek laki-laki, umumnya tidak bisa dalam bentuk telanjang bulat. Berdasarkan sebuah litograf pasca Revolusi Prancis – suatu periode yang cukup bebas, Nochlin menunjukkan bagaimana sekumpulan perempuan muda dapat melukis laki-laki yang hanya menggunakan semacam pakaian agak minim untuk ukuran zaman itu, tetapi hal demikian sekaligus dituding sebagai perbuatan kurang bermoral dan pada akhirnya hanya berlangsung sebentar saja. 


Apa artinya? Dalam argumen Nochlin, minimnya akses perempuan terhadap objek telanjang sebagai “syarat” karya yang hebat dalam periode tertentu, telah mencerabut peluang perempuan untuk berkompetisi dengan laki-laki dalam menjadi seniman hebat. Secara institusional telah mengakar bahwa perempuan yang berkiprah di bidang seni rupa, tidak diperkenankan untuk melukis laki-laki telanjang dan kalaupun dibolehkan melukis perempuan telanjang, mereka harus didampingi oleh laki-laki. Dengan tertutupnya akses tersebut, perempuan seolah hanya diperkenankan untuk melukis objek seperti alam atau benda mati (seolah-olah hal demikian adalah “tipikal” bagi karya seniman perempuan). Dalam hal ini, Nochlin sebenarnya hendak mengatakan soal ketimpangan antara “tatapan laki-laki” (“male gaze”) dan “tatapan perempuan” (“female gaze”). Hal yang pada masa itu nyaris belum pernah dibicarakan. 


Problem struktural lainnya adalah perkara pandangan umum atas peran perempuan dalam masyarakat. Laki-laki tampak seolah lebih “kodrati” untuk meniti karirnya secara profesional, dengan mengandaikan bahwa kerja “sebenarnya” dari perempuan adalah untuk mengurusi hal-hal domestik seperti urusan rumah tangga dan merawat keluarga.  Di sisi lain, bagi perempuan, mengejar karir artinya juga menanggalkan kehidupan domestik, membuatnya kerap dihadapkan pada pilihan antara karir atau pernikahan. Namun pilihan perempuan untuk memilih karir akan menimbulkan stereotip tersendiri, seolah perempuan tersebut tidak peduli pada kehidupan keluarga dan bahkan dicap telah melakukan pengalihan, memikirkan kepentingan diri, egomania, hingga pengebirian.  


Sehingga dengan demikian, tampak lebih “wajar” jika perempuan hanya fokus pada kehidupan di rumah dan berusaha menopang karir laki-laki supaya menjadi seseorang yang hebat – termasuk menjadi seniman hebat. 


Peran semacam itu salah satunya didukung oleh teks yang ditulis oleh Sarah Stickney Ellis (1799 – 1872) berjudul The Family Monitor and Domestic Guide (1844). Ellis menyarankan agar perempuan tidak mesti fokus pada satu hal dalam hidup, supaya tetap punya kapasitas dalam banyak hal.  “Banyak hal” yang dimaksud Ellis ini mengacu pada peran domestik. Pendapat tersebut dikritik oleh Nochlin, seolah-olah perempuan tidak perlu untuk fokus pada kemampuan spesifik sebagai seorang profesional dan sebaiknya memilih untuk memiliki kemampuan banyak dalam beberapa hal (yang dianggap lebih berguna bagi keluarga dan masyarakat). 


Jika muncul pertanyaan: tetapi bukankah kenyataannya terdapat seniman perempuan hebat seperti Marietta Robusti, Lavinia Fontana, Artemisia Gentileschi, Elizabeth Chéron, Élisabeth Vigée-Lebrun, dan Angelica Kauffmann? Pertanyaan semacam itu seolah ingin memojokkan Nochlin dengan mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya problem struktural dalam seni. Namun Nochlin sekaligus telah menyiapkan jawabannya, bahwa seniman-seniman perempuan tersebut umumnya memiliki ayah seorang seniman, atau dalam konteks seniman perempuan abad ke-19 dan abad ke-20, biasanya memiliki hubungan dekat dengan seniman (laki-laki).  


Seperti telah disinggung di awal, pandangan Nochlin tersebut telah membuka wacana baru tentang peran perempuan dalam seni. Carolyn Korsmeyer (1950 - ) memperluas argumen Nochlin dalam bukunya yang berjudul Gender and Aesthetics: an introduction (2004) dengan membongkar wilayah seni yang lain seperti musik, teater, sastra, hingga kuliner. Sebagai contoh, dalam bidang musik, sejak Renaisans, perempuan boleh main musik tetapi dilarang untuk instrumen tertentu karena dianggap menampilkan gestur atau ekspresi “kurang sopan”. 


Misalnya, cello (karena posisi duduknya) atau alat tiup logam (karena membuat wajah memerah dan membuat pemain mengeluarkan air liur) (2004: 63). Contoh lainnya dalam dunia sastra, penulis perempuan lebih banyak muncul dan mereka justru lebih aktif di ruang-ruang privat (Emily Dickinson, Jane Austin). Namun karena karya-karyanya dianggap “populer”, muncul konstruksi bahwa tulisan-tulisan tersebut bukanlah karya “seniman sejati” – “Seniman sejati” harus punya karya yang rumit dan dimengerti sedikit orang, dan ini lebih banyak dilakukan oleh laki-laki (2004: 71 – 73).


Lalu muncul pertanyaan, bagaimana dengan memasak? Tidakkah memasak juga merupakan suatu keahlian dalam bidang seni? Sementara memasak kelihatannya merupakan kegiatan yang lebih banyak dilakukan perempuan ketimbang laki-laki. Lagi-lagi Korsmeyer mengatakan bahwa dalam sejarah, kegiatan memasak pun tidak lepas dari diskriminasi. Di antara lima indra, penglihatan dan pendengaran dianggap sebagai indra yang “lebih tinggi” karena menghasilkan pengertian (understanding). 


Sementara penciuman, pengecap dan sentuhan adalah indra yang “lebih rendah” karena harus dekat dengan objek dan tidak bisa menghasilkan pengertian apapun tentang dunia kecuali berkaitan dengan objek itu sendiri (2004: 86). Atas dasar itu, memasak, dan juga aktivitas seksual bukanlah kegiatan estetik atau setidaknya tidak dihargai sebagai sesuatu yang “tinggi” (2004: 94). Korsmeyer, sebagaimana halnya Nochlin, lagi-lagi menunjukkan bahwa problem peran perempuan dalam seni bukanlah perkara ketidakmampuan individu, melainkan masalah struktural yang mengakar. 


Saat ini, keterlibatan perempuan sebagai subjek dalam dunia seni sudah lebih ramai ketimbang abad-abad yang lampau (yang umumnya hanya diperlakukan sebagai objek). Kita bisa tunjuk peran para kritikus seperti Nochlin dan Korsmeyer, termasuk juga Judy Chicago dan Laura Mulvey (dan banyak lainnya), yang begitu berkontribusi dalam membongkar modus patriarki dan hal-hal diskriminatif dalam dunia seni – dunia yang kerap kita anggap sebagai “indah dari sananya”, “tempat segala kebeningan rasa”, tetapi sebenarnya mengandung berbagai konstruksi yang merepresi. 


Referensi

Korsmeyer, Carolyn (2004). Gender and Aesthetics: An Introduction. Routledge.

Nochlin, Linda (2018). Women, Art, And Power and Other Essays. Routledge.

Ads